HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Svetlana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Svetlana. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Oktober 2018

Anak Njoto, Svetlana: Bapakku Orang Sabar dan Penyayang


Pebriansyah Arief - Rabu, 03 Oktober 2018 | 13:12 WIB

Svetlana Dayani, putri sulung anggota CC PKI Njoto. [Suara.com/Abdus Somad]

Svetlana sebagai anak pertama Njoto menceritakan semua yang dilakukan Njoto tidak bisa lepas dari nalurinya untuk peduli antar sesama bahkan mempunyai karakter kuat untuk menyanyangi semua manusia.

Suara.com - Sebagai seorang anak yang lahir dari seoarang pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) banyak hal yang didapat seperti pengetahuan, kebahagiaan sampai penderitaan. Itulah yang dirasakan oleh Svetlana anak dari Njoto yang merupakan pemimpin PKI.

Di balik kecerdasannya Njoto yang telah mendirikan Lembaga Kebudyaan Rakyat (Lekra) menghidupkan kembali semangat juang PKI sampai pada memberikan napas pemersatu rakyat yang berorientasi pada kesejahteraan bagi rakyat Indonesia berjuang bersama rakyat. Njoto adalah orang yang sabar dan penyayang.

Ia membuat segalanya untuk keluarga, di saat ia senggang waktu dibuat untuk keluarganya.

Svetlana sebagai anak pertama Njoto menceritakan semua yang dilakukan Njoto tidak bisa lepas dari nalurinya untuk peduli antar sesama bahkan mempunyai karakter kuat untuk menyanyangi semua manusia.

Namun sayangnya keberadaanya tak dapat diketahui sampai saat ini. Ia hilang setelah peristiwa G 30 September (Gestok) terjadi. Meskipun sempat menengok keluarga pada dua hari setelah Gestok terjadi, Njoto dalam pengakuan Svetlana tidak pernah bertatap muka maupun berkomunikasi kembali bahkan sampai saat ini.

Suara.com menemui Svetlana yang berada di Yogyakarta dari ceritanya kita mengetahui lebih dekat bagaimana Njoto dari kaca mata seorang anak yang kala itu masih berusia 9 tahun.

Bapak Anda pada saat kabinet Soekarno menjabat sebagai menteri. bagaimana Anda melihat hal itu?

Kami dapat mobil dinas menteri, bapakku nggak bisa nyopir jadi selalu ada sopirnya, sudah gitu saja, yang lainya normal nggak seperti menteri-menteri di era kemudian yang mengalami kenyamanan hidup. Bapak saya biasa saja wong ke sekolah saya diantar naik becak. Itupun kalau jadwalnya berdekatan dengan bapak, kalau di jemput juga naik becak.

Bapak saya pernah melihat tukang becak yang biasa mangkal di depan rumah, sama bapak malah dikasi tempat tidur di belakang rumah, nah tukang becak itu yang biasa antar dan jemput saya.

Njoto (kanan berkacamata) dan Ketua CC PKI DN Aidit. [Dok. majalah Life]

Nah bicara soal sabar tadi sabar tadi pernah suatu ketika saya bermain di tempat kerja bapak saya, saat itu saya recokin kerjaan bapak saya tapi dia gak pernah marah. Saya malah dipangku disuruh ngetik bersama, belajar nulis.

Pokoknya sabar banget. Banyangkan dulu kalau salah ngetik pakai mesin ketik kan susah banget memperbaiki, akan tetapi bapak mau melakukan itu. Ia sabar ketika direcokin.

Bagaimana kesan Anda melihat bapak Anda?

Ayah saya itu buat saya setelah dewasa itu ia sabar dia penyanyang kepada semua orang, tidak hanya kepada anak. Itu juga saya ketahui setelah tinggal di Solo. Bahkan ponakan saya sangat sayang dan hormat pada bapak saya.
Biasanya balik ke Indonesia atau pulang dari luar negeri selalu ada buah tangan yang di bawa untui dibangikan kepada ponakannya dan bapak ingat apa yang disenangi ponakannya. Selain itu bapak saya senang main musik, kalau berada di rumah ngajak bernyanyi.

Kalau di rumah bapak sering main akordian dan piano meskipun di rumah itu ada seksofon. Dulu sering dimainkan lagu anak-anak. Bahkan diajarin main piano. Kalau bapak senggang dia milik keluarga.

Kalau perkara minta jangan minta mainan akan jarang dikasi, sesekali kalau pergi luar negeri kalau minta bacaan pasti dibelikan. Dari hal itu saya terbiasa membaca.

Svetlana Dayani, putri sulung anggota CC PKI Njoto, berpose bersama anggota Gerwani yang menjadi tahanan politik. [dok. Svetlana]

Anda juga kenal dan tahu D. N Aidit saat Anda masih kecil?

Tahu, saya kenal namanya teman-teman bapak saya sering ke rumah saya jadi tahu, tapi kegiatan apa yang dilakukan saya nggak tahu. Di rumah itu saling berkunjung itu biasa, pernah om Lukman, om Aidit. Pak Hesri ingat bapakku ketika ada tamu saya sering lari-lari di ruangan kerja bapakku.

Anda juga sering diajak ke Sekretarian pusat Lekra di Cidurian 19?

Iya, pada waktu itu kan anak kecil hanya main-main, saya memang tahu kegiatan seni, di sana itu kadang ada yang nyanyi, ada yang melukis ada yang sedang membuat patung-patung sering kali karnyanya Lekra ada disana, waktu itu usiaku masih 9 tahun, saya di ajak bapak.

Saya kalau sekolah lalu pulang gak sempat ada yang jemput, saya biasanya di Cidurian 19 sampai tukang becak jemput dan ibu saya jemput baru pulang. Jaraknya TK Melati dengan rumah saya lumayan jauh sih.

Bicara soal TK Melati, itu sekolah siapa yang menderikan?

Belakangan saya tahu TK milik ibu-ibu Gerwani, tapi di sana itu tahunya gurunya bebas. Ketika tidak ada guru pernah ibu saya ngajar, saya gak ingat banget di TK itu. Namun saya ingat di sana itu sih main-main, nyanya-nyanyi, kadang melipat kertas.

Seingat saya juga anak-anak yang bersekolah di sana kebanyakan anak-anak yang orang tunya ikut partai, akan tetapi ada juga yang di luar partai itu bagi anak-anak yang rumahnya dekat dengan sekolah TK Melati.

Svetlana Dayani, putri sulung anggota CC PKI Njoto. [Suara.com/Abdus Somad]

Saat peristiwa G 30 September (Gestok) itu terjadi, apa yang Anda ketahui?
Saya tidak tahu apa-apa, saya ingat bapak saya sedang dinas di Sumatera. Peristiwa terjadi saya tidak tahu apa-apa. Saya hanya ingat tanggal 1 Oktober anakanya saudara saya ulang tahu. Karena tidak ada bapakku, saya kemudian diajak nginep di rumah saudara untuk merayakan ulang tahun sepupu. Saya dan ibu kemudian bermalam di sana.

Pas tanggal 1 oktober juga, masih dalam suasana ulang tahu, ibu saya dikasi tahu saudara untuk pulang, pesan itu didapat dari tantenya yang suaminya tentara. Kamu pulang, Menurut ibu saya jalannya sepi banget.

lalu Tanggal 2 Oktober 1965 bapak saya pulang, kita dibawa pergi dari rumah. Di sana kita mulai berpindah-pindah. Pagi hari di sini, malam hari di mana, pokoknya berpindah-pindah.

Sampai akhirnya saya terpisah dari bapak. Sedangkan saya dan ibu beserta anak-anak yang lainnya-adik saya tinggal di sebuah rumah yang terletak di Gunungsari, itu dulu kontrakannya CMGI. Di sana saya agak lama tinggal.
Lama tinggal di sana, tiba-tiba kami digrebek tentara Angkatan Darat (AD) kemudian kami semua dibawa ke penjara termasuk saya sebab ibu saya tidak mau meninggalkan anak saya sendiri. Ibu saya bilang ke tentara itu,” Saya mau ikut asal anak-anak saya di bawa nah saat itu kami dibawa.

Digrebek Tentara Angkatan Darat, kapan itu terjadi?

Saya ingatnya bulan Oktober tahun 1966 setahun setelah Gestok. Peristiwa selalu terjadi rata-rata malam. Saya ingat malam itu tidak terlalu larut banget. Kala itu saya main screbel bersama adik-adik, datang seorang tentara bernama Kapten Suroso yang kemudian mendekati tempat bermain screbel dan menyusun huruf berbentuk bapak saya - Njoto. Ia menyusun itu maksudnya dia tahu kami anaknya.

Mulai saat itu kami dibawa ke Kodim 0501, Kodim air mancur namanya, sekarang kalau nggak salah dekat dengan Gedung BI yang ke arah Kebun Siri.

Svetlana Dayani, Putri Njoto

Nah saat dibawa kami dimasukkan ke sel perempuan di sana kami jadi satu ada banyak tahanan. Selnya lumayan besar namun ketika hendak tidur harus berimpitan. Sel yang kami tempati benar yang bentuknya jeruji besi.
Nah di sana deket dengan kantor yang dipakai introgasi saya tahu lokasiny dekat sekali.

Jadi orang habis disiksa serta diintrogasi darahnya yang berserakan dilap itu bagian yang membuat saya trauma. Saya melihat orang berdarah-darah kadang diseret, kadang dipapah. Perempuan yang selesai disiksa masuk kembali ke sel kami di sana mereka diobati sama teman-temanya di rawat.

Ibu saya dan adik saya kalau tidur kadang terbangun dan nangis karena ada bunyi sabetan serta teriakan yang jelas banget terengar, wong itu deket, saya bahkan menatap langsung orang yang disiksa.

Anda katakan ada siksaan, alat apa saja yang digunakan pada saat itu?

Macam-macam yang saya lihat dengan nyata dan pahami waktu itu cambuk yang bentuknya ikan pari. Kan itu ada di meja nah saya setiap pagi bersihakan meja di sana juga ada puntung rokok.

Saya sering bersihkan untuk tugas pagi itu dilakukan karena saya membantu tahanan perempuan yang bertugas. Bahkan ada kabar juga ada yang diinjak kukunya di duduki pakai kaki meja, lalu disundut pakai rokok. Saat saya bersihkan itu saya lihat ekor pari masih berdarah-darah sih jumlahnya hanya satu sampai dua.

Selama dalam tahanan, Anda melihat bapak Anda?

Di tahanan bapak tidak ketemu lagi terkahir di Gunugsari, itupun sempat tenggok malam sekali. Udah itu saya gak tahu lagi bapakku ada di mana. Waktu itu sempat melihat Martin Aleida lalu Putu Oka, bahkan ibu saya ingat ada Sudisman ditangkap dan dibawanya ke situ.

Teman-teman bapak Anda juga tidak pernah cerita di mana keberadaan Njoto?

Nggak ada sama sekali, terkahir itu diketahui jelas saat ada sidang kebinet terkahir di Bogor. Itu sidang kabinet Soekarno terakhir. Orang bilangnya peristiwa itu terjadi pada 6 Oktober, itu sidang terkahir bersama Lukman.

Nah kalau lukman anaknya sendiri yang tahu kalau Lukman dieksekusi di depan rumahnya di Kebayoran, kalau bapak saya nggak tahu.

Kembali bicara soal Anda ditahan, kalau boleh cerita berapa tahun ada ditahan saat itu?

Nggak lama kami sekitar 3 bulan atau lebih saya agak lupa waktunya apa akhir tahun apa awal tahun. Saat itu kami dijemput kakak saya di Solo kami boleh pulang ke Solo entah bagaimana menjaminya.

Lalu selama di Solo apa yang Anda lakukan?

Ibu saya kan masih di tahan beberapa kali, setelah di Solo dua tahun kemudian saya masuk SD, saya lulus SD masuk SMP. Saya waktu kelas 1 SMP harus mengurus adik-adik saya yang jumlahnya lima. Saya nggak ngerti bagaimana saja menjadi ibu dari adik saya meksipun ada bule saya ada pembantu dan ada saudara yang ikut membantu, namun saya berpikiran apa yang aku bisa lakukan, saat itu aku paling bisa memberi contoh yang baik pada adikku dan aku sekolah yang benar.

Saya mulai berpikiran harus berupaya untuk meringankan beban keluarga. Saya punya kesadaran untuk membelikan adik saya alat tulis. Dari sana saya mulai bekerja, dari kelas 1 SMP saya sudah kerja, kerja pertama itu menempelkan amplop.

Dari sana saya dapat uang. Selain itu kadang membantu teman belajar sehabis belajar bareng kadang dikasi uang hanya nemani belajar tetangga. Pernah juga saya merajut pakaian bayi lalu dikardusin, satu set ada baju ada sarung tangan, dari situ saya dapat uang lagi.

Selain itu kalau adik saya sakit, saya disuruh bawa ke dokter waktu itu saya yang bawa. Bulek saya kan sibuk karena harus nengok anaknya di Riau.
Ibu saya kan di tahan lagi kemudian dibawa ke Semarang. Adik saya yang bungsu dibawa ibu saya ke tahanan Mbulu setelah itu dipindah lagi dari Semarang ke Bukit Duri. Ibu saya bebas tahun 79. jadi hidup saat itu benar-benar mandiri.

Anda tahu bapak Anda adalah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia?

Saat kecil ya ndak tahu, saya tahu bapak saya ikut partai waktu duduk dibangku SMP, tepatnya di SMP Negeri Solo. Itupun saya taju dari buku sejarah, di buku itu ada tulusan Aidit, Lukman Njoto gembong PKI, tulisannya gitu.

Saya berpikiran, wau ini berarti yang menyebabkan saya seperti ini sekarang. Saya sebelumnya tidak mengerti kenapa bapak saya dicari-cari, saya sendiri tidak pernah tahu kenapa pindah rumah, saya tidak mengerti sama sekali. Owh ternyata karena bapak.
Meskipun saya tidak percaya bapakku ada kaitannya dengan pembunuhan Jenderal, akan tetapi saya jadi mengerti ini lho peristiwa yang menyebabkan hidup saya seperti ini.

Sampai saat ini meskipun sistem reformasi serta demokrasi diterapkan, Anda masih mengalami Stigma?

Masih dirasakan, ada pihak tertentu yang tahu siapa saya, namun saya bersyukur keluarga kami memahami, di luar saya ada banyak keuarga lain tidak diterima bahkan diusir karena takut itu ada.

Bagaimana dengan diskriminasi?

Saya merasa kadang seperti saya punya penyakit disingkirkan orang diaggap bagaimana gitu, dilihat bagaimana gitu, sekarang pun gitu.
Saya pernah satu keluarga pergi dari rumah selama beberapa bulan karena ada FAKI. Saat itu sedang ada kegiatan diskusi kejadiannya tangga 27 Oktober 2013. Orang FAKI mengrebek diskusi itu.

Saya lalu diminta berlindung, saya-pun pergi tanpa bawa-bawa apa-apa dan itu bersama anak saya saya pergi dari rumah. Saya merasakan tepat 48 tahun sama seperti apa yang saya alami dulu. Saya merasa anak saya juga merasakan diskriminasi. Banyak yang hilang dari hidup ini, seperti kesempatan hilang, saya mencari kerja terbatas, sekolah juga saya terbatas.
 Namun saya tetap bersyukur menjalani hidup ini.

Kontributor : Abdus Somad

Senin, 01 Oktober 2018

Malam di Gunung Sahari, Penangkapan Keluarga CC PKI Njoto

Senin, 01 Oktober 2018 | 08:00 WIB - Reza Gunadha


Svetlana Dayani, putri sulung anggota CC PKI Njoto, berpose bersama anggota Gerwani yang menjadi tahanan politik. [dok. Svetlana] 
"Masih banyak yang sinis ketika mereka tahu saya putri Njoto."
Perburuan terhadap orang-orang PKI menjadi lazim pada hari-hari setelah G30S alias Gestok, gerakan 1 Oktober 1965. Pengejaran juga menyasar pada keluarga mereka. Tak jarang, anak-anak mereka ikut menyaksikan semua kepiluan itu. Terekam tak pernah mati sebagai trauma yang berkepanjangan.

MALAM belum begitu larut di Gunung Sahari, Jakarta Pusat pada bulan Oktober 1966, ketika Kapten Suroso dan anak buahnya sudah bersiap dengan senapan terkokang di luar sebuah rumah. Mereka mendapat perintah atasan untuk merazia satu rumah indekos di sana.

Sang kapten memimpin anak buahnya masuk ke dalam griya itu. Mereka menyeruak, menangkapi orang-orang yang ada di dalamnya.

Menurut atasan, orang-orang itu adalah mahasiswa komunis, anggota Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi massa milik PKI.

Bagi Suroso, orang-orang yang diseret anak buahnya keluar indekos tersebut turut bersalah dalam malam biadab itu, yakni ketika 5 jenderal dan 2 perwira matranya ditemukan telah menjadi mayat di Lubang Buaya, persis pada bulan sama, tapi setahun silam.

Namun, Suroso mendapati ada yang berbeda dari penggerebekan kali ini. Sebab, selain para ”mahasiswa merah”, sang kapten mendapati perempuan separoh baya dan ketujuh anaknya yang masih kecil-kecil. Ia menaruh curiga kepada satu keluarga tanpa ayah tersebut. 
”Dia kakak ipar saya, Mariana namanya kapten,” tutur seorang mahasiswa yang ditangkap kepada Kapten Suroso, menjelaskan sosok perempuan tersebut.
Suroso bukan anak kemarin sore dalam perburuan komunis, ia tak percaya pengakuan pemuda itu.
”Kalian anak siapa? Siapa nama ayah kalian?” tanya Suroso kepada anak-anak yang berkerumun di sekitar perempuan itu.
”Ayah kami Ridwan,” kata anak yang tertua di antara mereka.
Kapten Suroso lantas memberi aba-aba perintah balik badan kepada anak buahnya yang tengah memukuli mahasiswa-mahasiswa. Sejumlah pemuda hasil tangkapannya menangis saat diseret keluar. Mereka mundur.

Sejumlah serdadu diperintahkannya untuk tetap tinggal, menjaga perempuan yang disebut Mariana dan ketujuh anaknya. Mereka tak diperbolehkan keluar, apalagi meninggalkan rumah itu.

Keesokan hari, Kapten Suroso kembali mendatangi rumah indekos yang hanya tinggal menyisakan 1 orang dewasa dan 7 anak-anak di dalamnya.
Ia mengumpulkan 8 orang itu di sebuah ruangan yang sudah diporak-porandakan serdadu semalam. Suroso melihat keping-keping huruf permainan scrabble masih berserakan di lantai ruangan.

Di depan perempuan dan anak-anak itu, Kapten Suroso mengambil 5 keping huruf yang terserak di lantai dan menyusun sebuah kata di papan scrabble hadapan mereka: N-J-O-T-O.

Setelahnya, Kapten Suroso dalam-dalam menatap perempuan yang tadinya mengaku nama Mariana itu. 
”Ibu dan anak-anak mau kami bawa. Tidak apa-apa, nggak lama kok bu. Cuma sebentar, mau dimintakan keterangan.”
Sejak hari itu, RA Soetarni Soemosoetargijo bersama ketujuh anaknya hidup dalam penjara. Hari-hari selanjutnya, mereka dihadapkan pada kenyataan, betapa perihnya hidup sebagai keluarga Njoto, Menteri Negara RI dan salah satu anggota CC PKI.

Ikut Ditahan
”Kapten Suroso membuat nama ayah saya di papan scrabble. Dia seperti memberi isyarat ’saya tahu siapa kalian’. Malam belum begitu larut saat kami dibawa. Saya masih berusia 9 tahun waktu itu,” kenang Svetlana Dayani, Jumat, 21 September 2018.
Svetlana Dayani adalah putri sulung Njoto. Dia, bersama 7 adiknya ikut bersama sang ibu hidup dalam penjara Orde Baru. Sementara sang ayah tak tahu di mana rimbanya.

Saat penangkapan, Svetlana maupun ibunyanya belum tahu akan dibawa ke mana. Kepastian mengenai nasib keluarga itu baru ditahui setelah mobil tentara yang membawa mereka berdelapan memasuki area markas komando distrik militer di Jalan Setiabudi.

Soetarni dan ketujuh anaknya kemudian digiring ke dalam, ditempatkan pada satu kamar sempit yang sebenarnya sudah diisi sembilan perempuan yang dituding kader serta simpatisan PKI.
”Kamarnya sangat kecil, bahkan sebenarnya tidak muat untuk kami berdelapan. Padahal, adik bungsu saya yang masih berusia tiga bulan, dia masih harus menyusu,” tuturnya.
Svetlana Dayani, putri sulung anggota CC PKI Njoto. [Suara.com/Abdus Somad]

Depan kamar mereka, terdapat ruangan lain. Dari ruangan depan selnya itu, Svetlana kecil kerap mendengar suara jeritan dan tangisan perempuan. Kelak, ia mengetahui, ruangan itu adalah sel interogasi.

Tiga bulan penuh Svetlana menemani sang ibunda di sel tersebut. Selama itu pula ia menyaksikan banyak penyiksaan tahanan.

Perempuan yang ditahan ditelanjangi, dipecut, disundut rokok, di ruangan interogasi itu. Puas disiksa, tak jarang perempuan tahanan yang keluar dari ruang interogasi itu berdarah-darah dan diseret karena tak sadarkan diri.

Kalaupun ada yang lebih beruntung, yakni masih sadar, jalannya pun harus dipapah oleh tentara. Kesemua itu adalah pemandangan biasa yang dilihat Svetlana kecil dan adik-adiknya.
”Teriakan dan jeritan itu sudah biasa kami dengar. Adik-adik juga dengar. Tapi saya sendiri, lihat dengan mata kepala perempuan dicambuk memakai buntut ikan pari. Saya tahu, karena saya yang ditugaskan membersihkan ruangan itu setiap pagi. Itu yang membuat saya trauma,” tuturnya.
Irina Dayasih, adik Svetlana, pada masa tuanya juga mengakui, dalam sel itulah ia kali pertama melihat orang ditembak mati. Kala itu ia masih berusia 4 tahun.

Beruntung, Svetlana, adik-adiknya dan sang ibunda hanya tiga bulan di markas militer tersebut. Mereka, pada tahun yang sama, dijemput oleh keluarga yang berasal dari Solo.

Ibu mereka sendiri nantinya kembali ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan. Soetarni baru bebas tahun 1979. Ia wafat di Jakarta, 5 September 2014.

Pertemuan Terakhir

Lelaki ceking berkaca mata bulat yang kerap menyisir rambut ke samping kanan itu dikenal sebagai orang yang cerdas. Tak hanya menjadi salah satu pemimpin PKI, ia juga dikenal aktif dalam Harian Ra’jat—surat kabar dengan oplah terbesar pada era 1960-an dan berafiliasi ke PKI.

Mulai dari artikel politik, filsafat, seni, hingga sepak bola ditulis Njoto secara bernas. Kesukaannya pada seni juga yang membuat Njoto  menginisiasi pendirian Lembaga Kebududayaan Rakyat (Lekra). Lelaki yang dikenal jenius itu membuat Presiden pertama RI kepincut, dan menjadikannya sebagai Menteri Negara RI.
“Tapi bagi saya dan adik-adik, Njoto yang kami kenal adalah Njoto yang penyabar dan penyayang,” tutur Svetlana.
Sepotong kisah yang betul-betul masih diingatnya adalah Njoto yang hidup sederhana meski berstatus pejabat negara dan dikenal akrab dengan presiden.

Sebagai Menteri Negara RI, Njoto mendapat fasilitas mobil dinas. Sayangnya, Njoto tak pandai menyetir, sehingga sering menggunakan sopir saat bepergian.

Namun, Njoto sendiri jarang menumpangi mobil dinas itu. Ia lebih memilih menumpangi becak. Begitu pula biasanya kalau Njoto menjemput Svetlana kecil saat bersekolah di TK Melati.
“Saya juga kalau pergi ke sekolah ya naik becak. Kadang diantar bapak. Pulang juga kadang dijemput bapak, pakai becak.”
Njoto (kanan berkacamata) dan Ketua CC PKI DN Aidit. [Dok. majalah Life]

Selain itu, Njoto di mata Svetlana adalah sosok ayah yang peduli terhadap keluarganya. Saat tidak bertugas atau libur, Njoto sering mengajak ia dan adik-adiknya melakukan beragam aktivitas: bermain musik, membaca buku bersama, atau mengajarkan menulis.

Sang ayah juga jarang atau bahkan tak pernah memarahi Svetlana, walaupun Njoto dalam banyak kesempatan tampak tengah sibuk dengan pekerjaannya.
“Pernah, sewaktu bapak mengetik di mesin tik, saya recoki. Dia tak marah. Bahkan ia mengajak saya duduk di pangkuan dan mengajarkan mengetik,” kenangnya.
Svetlana mengingat, Njoto gemar bermain musik dan menikmati seni. Karena itulah, Njoto bersama DN Aidit ikut mendirikan Lekra di Jakarta, dua tahun setelah peristiwa Madiun 1949.

Njoto sering mengajak Svetlana ke kantor pusat Lekra, Jalan Cidurian 19, Cikini, Jakarta Pusat.
“Namanya juga masih kecil, saya ke sana main-main saja. Saya tahu kegiatan seni, kadang bernyanyi, kadang melukis, membuat patung- patung di sana.”
Dalam kesaksian Svetlana kecil, tak ada tanda-tanda sang ayah atau anak buah Njoto yang berlatih perang untuk melakukan kudeta terhadap Bung Karno.

Saat peristiwa pembunuhan jenderal TNI itu terjadi, Svetlana yakin hakulyakin Njoto tak berada di Jakarta, apalagi di Lubang Buaya. Ayahnya saat itu tengah berada di Medan, Sumatera Utara.
“Malam tanggal 30 September 1965 bapak ada di Sumatera. Saya sendiri menginap di rumah tante, saudara ibu, di Mampang. Anaknya ulang tahun pada 1 Oktober, jadi malam sebelumnya saya menginap di sana,” jelasnya.
Tanggal 2 Oktober 1965, Njoto baru pulang ke rumah. Ketika itu, Njoto mengajak Svetlana dan semua anggota keluarga untuk pergi, berpindah rumah.

Mereka dua kali berpindah rumah sebelum terakhir disembunyikan Njoto di rumah indekos tempat anggota CGMI, Gunung Sahari.
“Saya kali terakhir melihat ayah datang pada suatu malam, saat kami sudah berada di Gunung Sahari. Itu juga hanya sebentar. Setelahnya, saya tak lagi tahu ayah di mana. Sampai sekarang, saya tak tahu di mana dia dibunuh dan dikubur,” tuturnya.

Terus Diawasi

Peristiwa Gestok sudah 51 tahun silam berlalu, namun stigmatisasi terhadap keturunan kader-kader maupun petinggi PKI tetap langgeng. Svetlana benar-benar masih merasakan stigma sebagai anak gembong PKI.

Sekali peristiwa, Svetlana pernah digeruduk segerombolan orang yang mengatasnamakan Forum Anti Komunis Indonesia. Saat itu, Svetlana sedang berdiskusi dengan para penyintas tragedi 1965.

Setelahnya, ia sempat merasa tak aman. Oleh sejumlah kawannya, Svetlana diminta mencari tempat perlindungan yang aman. Akhirnya, ia harus pergi sementara dari rumahnya di Yogyakarta bersama anak bungsu, Bimo.
“Puluhan tahun lalu, saya dibawa oleh ibu tanpa membawa apa-apa.
 Ternyata anak saya juga merasakan hal yang sama. Saat saya diminta berlindung, saya membawa Bimo tanpa persiapan. Pergi cuma membawa pakaian yang ada di badan, dan peralatan sekolah Bimo,” tuturnya.
Svetlana merasa seolah-olah dalam darah dan dagingnya ada penyakit yang membuatnya harus diasingkan di negeri sendiri.

Svetlana Dayani, putri sulung anggota CC PKI Njoto. [Suara.com/Abdus Somad]
“Masih banyak yang sinis ketika mereka tahu saya putri Njoto. Terkadang, saya merasa mereka melihat saya ini seperti punya penyakit mematikan dan layak disingkirkan.”
Svetlana mengakui, peristiwa G30S membuat dirinya kehilangan segalanya. Ia tak dapat mengenyam pendidikan setinggi yang dimauinya. Tak pula ia mendapat pekerjaan. Bahkan untuk hidup sederhana pun tetap diawasi.

Tapi, ia menuturkan tak pernah menyesal menjadi putri Njoto. Tak juga ia menyesali hidupnya yang dirundung penderitaan karena berstatus anak gembong PKI.

Satu-satunya yang disesali Svetlana adalah, tentara membakar habis koleksi buku-bukunya dan Njoto dalam perpustakaan pribadi. Pembakaran itu terjadi saat tentara menggerebek rumahnya dulu.
“Sejak kecil saya diajari bapak untuk gemar membaca. Tiba-tiba saya kehilangan semua itu. Kehilangan semua buku adalah siksaan terberat bagi saya.”
Kontributor : Abdus Somad