HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 26 Juni 2015

Peristiwa 1965, Sebuah Tragedi kemanusiaan dalam Sejarah Bangsa


26 Juni 2015   09:22
"Peristiwa 1965, Sebuah Tragedi kemanusiaan dalam Sejarah Bangsa"

Ketika kita berbicara mengenai peristiwa 65, maka yang terbayang dalam benak kita adalah peristiwa ‘pemberontakan PKI’ pada tanggal 30 September 1965 atau dikenal dengan Gerakan 30 September (G30 S/PKI).

Sejarah yang ditulis orde baru tentang peristiwa 65 ini adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu akan melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno dan berencana menjadikan Indonesia menjadi negara komunis. Kudeta yang akan dilakukan PKI saat itu memakan korban 7 orang jendral di kalangan angkatan darat di Jakarta dan dua orang di Yogyakarta.

Pembunuhan sadis dan kejam terhadap para jendral tersebut, serta kepahlawanan Soeharto dalam mengatasi situasi yang ‘genting’ saat itulah yang ditonjolkan oleh film G30S PKI karya sutradara besar Arifin C Noer. Setiap tanggal 30 September kita diwajibkan menonton film itu sehingga tanpa tersadar kita didoktrin oleh pemerintahan orde baru yang dipimpin Soeharto atas peristiwa yang terjadi tahun 1965 tersebut.


Kita tidak pernah tahu bahwa sesungguhnya peristiwa 65 tidak hanya menimbulkan korban dari kalangan Angkatan Darat (AD) tapi juga ribuan rakyat sipil yang tidak tahu menahu mengenai peristiwa tersebut karena dianggap terkait dengan PKI.

Mereka yang haknya dirampas, dianiaya, dilecehkan, diperkosa, di buang, diasingkan, di anggap bukan manusia, dan berbagai macam perlakuan yang dapat disebut sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM).

Pengakuan Sarwo Edhi (mantan komandan RPKAD) yang bertanggungjawab atas operasi pembasmian orang-orang yang dianggap terlibat dalam ‘kudeta’ 1965, tercatat sekitar 3 juta orang yang telah di’lenyapkan’nya. Jumlah ini belum termasuk yang ditahan di berbagai penjara di daerah-daerah

Beberapa lembaga korban peristiwa 1965 seperti Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP ’65), Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) atau Yayasan Penelitian Korban Peristiwa 1965 (YPKP 65) mencoba melakukan penyusuran kembali data orang-orang yang ditangkap, ditahan, dianggap hilang dan dibunuh. Namun sampai saat ini belum ada angka pasti berapa jumlah korban peristiwa 1965 dari kalangan rakyat sipil yang dianggap terkait dengan PKI. Peristiwa 65 merupakan peristiwa besar dalam sejarah Indonesia. Begitu banyak pertanyaan yang timbul berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Terdapat banyak skenario peristiwa yang dipaparkan oleh berbagai pihak yang menjadi saksi dan korban pada tahun 1965. Pemerintah orde barupun mengeluarkan sebuah buku berjudul “Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia,” sebagai dokumen resmi yang menjelaskan latarbelakang, aksi dan penumpasannya. Dokumen yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia tahun 1994, berhasil memberikan pemahaman pada generasi muda terutama yang lahir setelah 1965, bahwa peristiwa 1965 semata-mata peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia atau PKI.

Pada jaman Soekarno berkuasa, PKI merupakan partai yang memiliki massa yang besar. Terutama berhasil mendapat posisi dalam empat besar pada pemilu 1955.

Apalagi terdapat kebijakan Soekarno dengan politik Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) sebagai upaya mempersatukan bangsa Indonesia yang saat itu terbagi dalam tiga kekuatan yaitu kaum nasionalis, agamais dan komunis. Politik nasakom memberi ruang bagi ketiga kekuatan tersebut untuk saling mengembangkan diri dan menyatukan ideolgi dalam wadah-wadah partai politik. Ketiga kekuatan inilah yang mendukung ide-ide dan perjuangan Soekarno untuk melanggengkan kekuasaannya selama bertahun-tahun.

Di dalam perkembangannya, ide dan perjuangan Soekarno banyak didukung oleh kaum komunis dan sosialis, terutama dengan konsep marhaenisme, yang dekat dengan ide sosialis dan komunis. Soekarno sebagai pendukung utama ekonomi kerakyatan dapat dijawab dengan keberadaan PKI.

Tahun 1960-an Soekarno mengambil kebijakan anti nekolim (anti neo kolonialisasi, liberalisme dan imperalisme), yang artinya ketergantungan ekonomi kepada negara-negara blok barat diputuskan. Indonesia pun mulai melirik ke blok-blok timur. Soekarno membentuk hubungan poros Jakarta-Peking-Moscow. Negara-negara timur yang sosialis dan komunis. Akibatnya ajaran sosialis, komunis, marxis, dibebaskan.

Bukannya salah untuk mempelajari semua ideologis yang ada, namun cita-cita luhur Soekarno yang ingin mempersatukan Indonesia dengan semua ideologinya tidak mungkin ketika ideologi itu saling bertentangan. Kalangan agama menuduh kalangan komunis tidak bertuhan, lalu kalangan komunis menuduh kalangan nasionalis pro dengan liberalisme dalam hal ini Amerika dan Inggris.

Ketika ‘perang’ ideologis saling tarik menarik dikalangan masyarakat Indonesia saat itu, pihak-pihak yang memang menghendaki kekuasaan Soekarno diakhiri karena dianggap sesudah terlalu lama berkuasa, mencoba memanfaatkan situasi tersebut.

Peristiwa 1965 merupakan puncak dari segala pertentangan ideologis tersebut. Skenario-skenario politik berbagai pihak dimainkan dalam sandiwara perang ‘Bharatayudha’, sebuah perang saudara dalam pewayangan Jawa. Yang timbul kemudian adalah korban dari rakyat sipil yang tidak mengetahui sama sekali skenario-skenario politik yang tengah dimainkan. Para rakyat hanyalah menjadi wayang, yang siap di’korbankan’ oleh dalangnya. Intinya, peristiwa 30 september 1965 merupakan trigger factor bagi operasi paling efektif pembasmian sebuah ideologi.

Namun uraian diatas hanyalah sebagian cukilan kecil dari penelitian, riset dan kajian yang telah banyak dilakukan untuk mengurai skenario peristiwa 30 September1965. Beberapa hasil dan teori bahkan telah diuraikan dalam buku-buku dapat dibagi dalam 6 teori yaitu :
1. Skenario yang disetujui oleh pemerintah orde baru bahwa pelaku utama G 30 S adalah PKI dan Biro Khusus, dengan memperalat unsur ABRI untuk merebut kekuasaan dan menciptakan masyarakat komunis di Indonesia.
2. Skenario kedua yakni G 30 S merupakan persoalan internal AD, yang merupakan kudeta yang dirancang mantan presiden, Soeharto
3. Sedangkan untuk skenario ketiga bahwa CIA-lah yang bertanggungjawab dengan menggunakan koneksi di kalangan AD bertujuan menggulingkan Soekarno dan mencegah Indonesia menjadi basis komunisme
4. Skenario yang dibuat oleh Inggris dan Amerika bertujuan menggulingkan Soekarno
5. Merupakan skenario yang paling kontroversial dengan menempatkan Soekarno sebagai dalang dari G 30 S untuk melenyapkan pemimpin oposisi dari kalangan AD
6. Teori chaos, gabungan dari nekolim, pemimpin PKI yang keblinger dan oknum ABRI yang tidak benar

Teori atau skenario apapun yang dijalankan saat itu oleh pihak-pihak yang masih dianggap misterius, dikarenakan belum adanya kesepakatan untuk menunjuk satu pihak yang bertanggungjawab dalam peristiwa 1965, peristiwa tersebut telah menorehkan luka yang sangat dalam bagi sebagian besar warga Indonesia. Sekitar 500.000 juta jiwa telah menjadi korban, tewas dibunuh hanya karena diduga menjadi kader, simpatisan atau anggota PKI. Tragedi ini juga telah mengakibatkan penderitaan bagi 700.000 orang rakyat Indonesia termasuk keluarganya.

September tanggal 30, memang sudah lewat, namun ada yang perlu dicermati ketika memasuki bulan Oktober. Tanggal 1 Oktober yang disebut sebagai hari Kesaktian Pancasila, ternyata masih dirayakan dengan upacara di kawasan Lubang Buaya. Upacara tersebut ditujukan untuk memperingati ‘kesaktian’ dari Pancasila, sebagai lambang negara yang menurut sejarah Orde Baru akan digantikan oleh Palu Arit sebagai lambang komunis.
Singkatnya, para komunis yang waktu itu tergabung dalam Partai Komunis Indonesia berencana mengkudeta pemerintahan Soekarno dan mengkomuniskan Indonesia.

Yang menjadi pertanyaan dalam benak saya, “apakah masih perlu kita memperingati hari tersebut berdasarkan penulisan sejarah yang dilakukan orde baru yang penuh rekayasa?”
Sementara penulisan sejarah akan selalu bersikap subjektif karena ditulis oleh pihak yang berkuasa. Memang benar ketika peristiwa 1965 beberapa jendral angkatan darat terbunuh.
Memang benar telah terjadi korban dalam peristiwa tersebut, dan korbannya tidak hanya dari golongan agama atau nasionalis tapi juga komunis. Semua pihak merupakan korban. Lalu apa yang harus dikritisi kembali?

Yang harusnya dikritisi yaitu pandangan-pandangan yang masih saja menganggap peristiwa 1965, terbunuhnya para jendral dan korban-korban lain dari non komunis dikarenakan golongan komunis ingin berkuasa.

Tidak ada dokumen yang pasti yang menunjukkan komunislah dalam hal ini PKI yang bertanggungjawab atas semua. Bahwa kemudian yang terjadi adalah pembantaian dan penangkapan para anggota, simpatisan ataupun orang yang dekat dengan PKI, bukanlah suatu tindakan yang dapat dibenarkan.

Peristiwa 1965 merupakan peristiwa yang masih mengundang banyak pertanyaan bagi semua orang. Dan kenyataannya tidak ada satu dokumenpun yang dapat ditunjukkan oleh pemerintahan orde baru mengenai peristiwa tersebut sebagai upaya kudeta oleh PKI ataupun usaha penggantian Pancasila sebagai lambang negara.

Karena bukti yang baru didapatkan bahwa pada dalam sidang penentuan Pancasila tahun…. sebagai simbol negara, justru dari PKI lah yang memiliki suara terbanyak dan mendukung Pancasila. Golongan agama justru ingin memberlakukan syarikat islam dan mengganti lambang Pancasila dengan simbol islam.

Jadi, ketika dikatakan PKI sebagai anti Tuhan, kita harus mulai kritis dengan membedakan komunisme sebagai ideologi dengan marxisme atau leninisme karena sebagai ide atas penghapusan sistem kelas dalam masyarakat, semuanya berbeda. Orde barulah yang menjadikan semua ideologi diatas sebagai larangan, yang artinya sama dengan anti agama
Maaf sebelumnya pabila tulisan saya tidak berkenan di hati saudara sebangsa dan setanah air......

Istri Tapol G-30-S "disambar Hansip" atau "disambar Koramil"


26 Juni 2015   01:28


Dari sekian banyak cerita-cerita yang di kisahkan dalam mengingat tragedi G30S pada hari ini, hampir seluruhnya menceritakan kekejaman dan kengerian atas tragedi tersebut. Setelah saya berselancar kesana kemari, nampaknya saya tertarik dengan sebuah penggalan cerita dari buku yang di tulis oleh korban G30S itu sendiri, yaitu Bapak H. Suparman, yang mengangkat judul dalam bukunya "Tragedi 1965; dari Pulau Buru sampai Ke Mekah.

H.Suparman merupakan merupakan putra Jawa Barat kelahiran Bandung. Buku ini termasuk otobiografi, namun goresan pena sang penulis tidak terjebak pada subyektivisme. Berbekal ilmu jurnalistik dan wawasan ilmu sosial dan ilmu agama yang memadai, H.Suparman mampu mengutarakan secara obyektif persoalan-persoalan kehidupannya berhubungan dengan dunia sosial dan politik.

Kutipan agak panjang di bawah ini akan mengantarkan kita untuk memahami latar belakang Suparman menulis buku ini, termasuk memberikan pemahaman kepada kita tentang kenyataan tragis politik Indonesia di masa silam;
“Kalau mau dikatakan dosa, barangkali bagi saya, dosa itu hanyalah karena saya menjadi pimpinan umum dari sebuah surat kabar di Bandung, (Warta Bandung-pen) yang selalu mendukung politik Bung Karno. Lucunya, pada Peristiwa G-30 S itu, satu-satunya koran di Indonesia yang mem-back-out berita Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Letnan Kolonel Untung Samsuri itu, adalah koran yang saya pimpin. Tapi anehnya lagi, saya dan kawan-kawan yang justru menjadi korban penangkapan dan kebiadaban militerisme Soeharto. Saya bersama rekan-rekan redaksi lainnya ditangkap, dijebloskan ke penjara dan akhirnya, saya sebagai pimpinan umum dan Sdr. H Rusman Saleh sebagai pimpinan redaksi dibuang ke Pulau buru tanpa proses peradilan.” (Hlm 26-27)
Sejak 20 Oktober 1965, Suparman yang juga adalah Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Barat itu resmi menjadi tahanan politik Kodam III Siliwangi. Selama 13 tahun ia dipenjara, mendekam di Rumah Tahanan Kebon Waru selama 5 tahun, kemudian dikirim ke Pulau Buru selama 8 tahun -dengan transit di Nusa Kambangan selama 3 bulan.

Cerita tentang tahanan politik korban G 30 S beserta derita korban, termasuk perilaku sadis militer sudah banyak kita ketahui dari berbagai penjara di berbagai wilayah Indonesia. Anehnya, LP Kebon Waru Bandung yang memiliki banyak keunikan ini nyaris tidak banyak dipublikasikan dalam bentuk buku. Bahkan media massa pun terkesan enggan mengangkatkan sebagai sumber berita. Menurut Suparman, tempat pemeriksaan dan penyiksaan yang paling sadis memang bukan di Kamp Kebon Waru, tapi dari kamp-kamp ilegal yang tidak diketahui secara umum, antara lain di ruang bawah tanah Gedung Merdeka yang terletak di Jl Asia-Afrika.
Teman-teman Suparman yang mengalami penyiksaan kejam militer itu menceritakan, sejak tragedi G-30-S 1965, Gedung Bersejarah itu digunakan oleh Angkatan Darat Kodam Siliwangi untuk menyiksa para tahanan; menyetrum tubuh, mencabuti kuku, merusak organ tubuh dengan benda-benda keras. Setelah tahanan dalam kondisi fisik dan mental yang tidak normal, selanjutnya mereka dibawa ke Kamp Kebon Waru.


Kamp Kebon Waru menurut Suparman sangat unik, bahkan tidak tertandingi oleh kamp-kamp pengasingan lain yang ada di Indonesia. Keunikannya, bukan hanya terletak pada tidak diberikannya makanan para tahanan, atau pada kebebasan yang relatif lebih longgar, atau juga bukan karena tiap hari Minggu dan hari libur menjadi pasar kerajinan, tetapi juga digunakan untuk “melepas rindu” suami-istri yang sudah lama berpisah.

Ada beberapa kamar yang bisa disewakan, yang dikelola para tahanan tertentu. Praktek ini bisa berjalan tentu berkat kerjasama petugas keamanan, dengan penjaga, bahkan mungkin dan tentu saja atas restu komandan kamp. Tidak heran kalau kemudian Kamp Kebon Waru sering dijuluki sebagai “surga” tahanan.(hlm 60). Di Kamp Kebon Waru, ihwal perceraian sangat menarik untuk diceritakan, sebab agak berbeda dibanding kisah perceraian dari penjara lain,-setidaknya itu yang saya bandingkan dengan kisah para tahanan di Penjara Cipinang, Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tangerang, LP Kalisolok Surabaya. 
“Hampir setiap hari-bezuk ada saja keluarga istri-istri yang membawa lebai (penghulu) untuk meminta cerai kepada suaminya. Mungkin karena pelbagai faktor, terutama karena faktor ekonomi dan biologis” (hlm 81).
Kebetulan Suparman juga bagian dari kisah tragis perceraian ini. Ia harus bercerai akibat istrinya selingkuh seorang tentara berpangkat letnan dua.

Lebih unik lagi jika kisah perceraian itu dihubungkan dengan dunia luar (sumber penyebab) terjadinya perceraian. Menurut Suparman, (hlm 88), di desa-desa, komandan dan atau anak buah Babinsa dan Koramil-yang mata keranjang- merupakan “hantu-hantu” yang mengerikan, karena selalu bergentayangan di siang bolong mencari mangsa istri-istri tapol. Para istri ini menjadi mudah dijadikan bulan-bulanan militer dengan cara diintimidasi karena suaminya menyandang status pemberontak negara.
“Biasanya anggota Koramil “menjarah” istri tapol itu kemudian mencampakkannya kembali. Akibatnya banyak “janda-janda korban Koramil” yang namanya di desa menjadi semakin terpuruk, karena di samping menerima tuduhan telah “mengkhianati” suaminya, juga telah menjadi “sampah” Koramil atau Babinsa. “Di kalangan tapol muncul pameo yang mengatakan, jika seorang tapol yang istrinya minta cerai, disebut sebagai “disambar Hansip” atau “disambar Koramil” (hlm 88).
Lima tahun menjadi tahanan Kamp Kebon Waru, Suparman beserta tapol lainnya dibuang ke Pulau Buru,-dengan transit di Pulau Nusakambangan selama 3 bulan. Pulau buru adalah goulaq, tempat pembuangan sekaligus penyiksaan. Menurut Dr Asvi Warman Adam (hlm 4), lebih dari 10.000 orang yang dikategorikan sebagai tapol Peristiwa G-30-S golongan B diangkut dari tempat-tempat penahanan di Pulau Jawa tahun 1969, mereka tidak tahu akan dibawa kemana.
Setelah sekitar 10 tahun disiksa dan disuruh kerjapaksa, antara 1978-1979 mereka dipulangkan ke Pulau Jawa karena tekanan internasional terutama pemberian utang Indonesia. Tapi, kepulangan ini bukan berarti bahwa persoalan mereka telah selesai. Keretakan, bahkan pecahnya keluarga, stigmatisasi buruk di masyarakat dan kesulitan mencari nafkah adalah problem utama para tapol.

Dari penggalan kisah tersebut, bahwa tidak saja negeri ini telah dengan hausnya mengorbankan rakyatnya sendiri demi sebuah tahta dan harta. Namun  ternyata masih banyak lagi kisah tragedi di balik peristiwa G30S tersebut, dengan ribuan nyawa melayang maka di balik korban itu maka dia telah meninggalkan seorang Istri dan anak-anaknya yang telah menjadi korban secara tidak langsung.

Banyak sejarah kelam negeri ini masih berselimut kabut belum terungkap pasti hingga saat ini, semoga negeri ini terus mampu belajar dari kegagalan-kegalan masa lalu untuk terus berjuang menjadi negeri yang mampu mensejahterakan seluruh anak negeri. Tragedi G30S merupakan perwujudan sebuah keserakahan dan kebiadaban segelintir orang atas nafsu duniawi.

Semoga hanya sejarah itulah dan tidak akan terulang lagi di masa akan datang, dan semoga dengan adanya karya tulis dalam buku ini dapat memberikan wahana yang berbeda atas peristiwa tersebut.

Suatu Waktu Ketika “Dibajak” Bung Karno

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:32
Emanuel Dapa Loka


Di masa tuanya, Om Karatem masih aktif melatih dan menciptakan lagu

Opa Michiel Karatem Melihat itu, Bung Karno langsung menyuruh Karatem pindah ke podium yang diperuntukkan baginya. 
Beberapa hari setelah upacara 17 Agustus 1963. Sebuah kapal berukuran sedang kembali bertolak dari Pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta menuju Ambon mengantar pulang rombongan paduan suara dan orkestra dari "Negeri Seribu Pulau" itu. Rombongan tersebut datang ke Jakarta untuk memeriahkan perayaan HUT kemerdekaan RI yang ke-18. 
Pada masa itu ada tradisi mendatangkan wakil-wakil dari setiap daerah untuk ambil bagian dalam perayaan di Jakarta. Dari Jakarta kapal terlebih dahulu mampir di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Ketika kapal sedang bersandar, tanpa disangka telepon di ruang marconi berdering. Seseorang berbicara menyampaikan perintah langsung dari Presiden Soekarno. Isi pesan adalah memerintahkan Karatem, pimpinan rombongan untuk kembali ke Jakarta. 
"Ini perintah!" kata pria di balik telepon yang tidak lain adalah Prof. Dr. Priyono, salah satu menteri yang juga asisten sang presiden. Marconi menyampaikan, "Pak Karatem, ada perintah. Bapak harus kembali ke Jakarta". 
Sementara Karatem berbicara dengan marconi, perwakilan P dan K Jatim sudah naik ke kapal mencari Karatem. Katanya kepada Karatem, 
"Bapak besok pagi harus berangkat balik ke Jakarta, kami sudah beli tiket. Ini perintah dari menteri!". 
Karatem sendiri tidak terlalu kaget sebab permintaan semacam ini bukan yang pertama dari Bung Karno. Yang kaget dan mungkin juga kecewa dan besungut-sungut adalah anggota rombongannya. Soalnya, Karatem tidak bisa menolak permintaan atau perintah Sang Presiden sehingga rombongannya harus melanjutkan perjalanan ke Ambon tanpa Karatem. 
Setibanya di Jakarta dia langsung disuruh bergabung dengan rombongan komposer yang akan melakukan studi banding dan pertujukkan ke Vietnam, Hongkong dan Korea. Karena waktu yang sangat mepet-berangkat tiga hari kemudian-Karatem sama sekali tidak ikut training seperti yang lain. 
Awalnya adalah Aubade
Pertemuan Karatem dengan Bung Karno di Jakarta merupakan pertemuan yang ketiga. Dua kali yang pertama terjadi di Ambon saat kunjungan Presiden ke Ambon pada tahun 1955 dan 1956. Tidak diragukan lagi Bung Karno adalah seorang seniman besar. Dia sangat senang menyaksikan pertunjukkan yang bersifat kolosal. Pada kunjungan 1955, dia disambut dengan gempita aubade
Saat itu Dinas P dan K meminta pihak Kweek School atau Sekolah Guru Atas (SGA) tempat Karatem bersekolah memimpin aubade. Tanpa diduga Karatem yang duduk di kelas 2 dipilih memimpin orchestra dan paduan suara. Hati Karatem berbunga-bunga bercampur deg-degan. Untuk upacara penghormatan ini disiapkan dua buah podium. Yang satu untuk pemimpin orchestra dan satu lagi untuk Bung Karno. Tentu saja podium untuk Bung Karno jauh lebih tinggi. 
Akibat podium untuk Karatem rendah, dia tidak begitu menonjol saat memimpin paduan suara. Melihat itu, Bung Karno langsung menyuruh Karatem pindah ke podium yang diperuntukkan baginya. Setelah turun dari podium, Bung Karno meminta pria hitam manis dan murah senyum ini untuk duduk di sampingnya. 
Saat itulah terjadi dialog-dialog singkat. Karena kepincut aksi Karatem, Bung Karno langsung memintanya ke Jakarta setelah lulus. 
"Kalau selesai bisa ke Jakarta?" tanya Bung Karno. 
"Saya tidak tahu, Pak," jawab Karatem singkat nan lugu. Setahun kemudian mantan presiden berjulukan "singa podium" itu kembali berkunjung Ambon. Saat itu Karatem sudah menjadi guru di SMP Dogo. 
Pada kunjungan kali ini Bung Karno ketemu lagi opa yang telah berusia 77 tahun dan tinggal di Tangerang ini. Ternyata Bung Karno sangat ingat Karatem. Paginya setelah selesai pertunjukkan, saat Karatem sedang mengajar, Bung Karno memanggil Karatem dan mengatakan, 
"Kamu jangan di sini ya. Ke Jakarta saja." Dia lalu memerintahkan asistennya, "Pak Priyono, Karatem ditarik ke Jakarta". 
Namun Kepala Perwakilan Setempat (KPS) keberatan, 
"Tidak bisa Pak. Di Ambon dulu. Boleh ke Jakarta tapi kerja dulu di Ambon. Kami harus dapat dulu hasilnya". 
Dorongan Bung Karno 
Sepulang dari studi banding dan pentas di tiga negara tersebut, hubungan Karatem dan Bung Karno makin akrab saja. Beberapa kali Karatem diberi kesempatan menjadi juri pemilihan bintang radio dan televisi bersama Pohan, Iskandar, Mochtar Embut dll. Pada 17 Agustus 1963-1964 Karatem dan AR Soedjasmin dipercaya memimpin paduan suara massal Pemuda Pelajar Se-Jakarta Raya berkekuatan 10.000 orang. 
"Bung Karno itu seorang seniman besar dan selalu memberi dorongan dengan ucapan 'kamu bisa!'. Ini yang luar biasa. Dia bahkan memperhatikan setiap karya saya dan memberi apresiasi. Kalau ada pertemuan kita pasti diundang makan bersama di istna," kenang ayah tiga anak ini. 
Perhatian Bung Karno pada kebutuhan hidup Karatem juga sangat besar. 
"Saya perlu apa saja tinggal telepon lalu diantara ke mana-mana untuk mendapatkan keperluan itu. Saya juga kerap disuruh nonton wayang di istana Bogor, sudah disiapkan kamar di sana. Uang sungguh tidak menjadi masalah, dia betul-betul menjamin," tambah angota TING (Tim Inti Nyanyian Gereja) Yamuger-Yayasan Musik Gereja ini kembali mengenang. 
Kalau dirunut ke belakang, Karatem memang lahir dari keluarga yang gemar bermusik. 
"Papa serani (rohani) saya pimpinan orkes suling, mama serani penyanyi. Ibu saya juga suka nyanyi, kadang-kadang memimpin paduan suara perempuan. Kalau ibu pergi latihan saya ikut, lalu kalau bapak serani latihan orkes saya ikut juga. Bapak kerja di gereja sehingga selalu ikut ke gereja," urainya saat ditemui di YAMUGER di Kawasan Rawamangun. Karatem tidak melewati kelas-kelas khusus. 
Contoh konkret dari bapak/ibu serani dan kedekatannya dengan "halaman" gereja seakan menjadi kelas tersendiri baginya, terutama dalam membangkitkan minatnya pada musik dan lagu. Bibit semacam inilah yang secara alami tumbuh, bersemi dan mendapat lahan pengembangannya kemudian. Kini pria kelahiran Kampung Ngaibor, Pulau Tarangan, Kabupaten Aru, Maluku Tenggara, 27 Agustus 1934 ini tetap berkarya baik di bidang musik maupun pendidikan. 
Telah banyak lagu yang ia ciptakan. Kata hati, keprihatinan atau suka citanya ia tuangkan dalam syair dan lagu. Pada Juli 2006 lalu, berkat dua buah lagu ciptaannya, PS Anak dari GKI Kwitang dan PS Anak Riau berhasil mendapatkan medali dalam Olympiade di Cina. Di usianya yang sudah lanjut (77 tahun), dengan "topi putih" yang selalu nangkring di kepala, dia tidak kenal lelah mewariskan ilmu yang dia miliki kepada generasi muda. 
Setidaknya dia masih aktif mengajar music di sekolah, guru di Bina Vokalia GPIB Immanuel Bekasi Timur, anggota POKJA Musik Sinode GPIB. Tapi eit. . . sabar dulu! "Topi putih" yang dimaksudkan adalah rambutnya yang seluruhnya sudah memutih. Dia telah meninggalkan "dunia hitam" secara utuh! 
Sumber: Kompasiana 

Rabu, 24 Juni 2015

Saksi & Pelaku Gestapu: Mencari Titik Terang di Wilayah Abu-abu


 24 Juni 2015   23:21

Sumber gambar: dok. Pribadi
“Kita tidak mencari siapa benar atau siapa salah, melainkan melihat di mana kesalahan Negara ini. Apa yang salah dengan Negara ini.” Kata Agus Widjojo, Pengamat Militer, saat berkunjung ke makan pahlawan revolusi, Kalibara, Jakarta, senin (1/10) (Kompas, 2/10/2012).
Pasukan itu merangsek ke rumah seorang jenderal, dini hari. Lengkap dengan senjata siap serbu. Beberapa orang masuk dan lainnya berjaga di luar. Pintu rumah diketuk, sang empu rumah membukakan pintu dengan kondisi mata mengatuk. Salah satu dari pasukan itu mengatakan jika Sang Jenderal detik ini juga harus menghadap Presiden untuk menyampaikan kebenaran mengenai “dewan jenderal” yang akhir-akhir ini santer di kalangan tentara.

Otomatis Sang Jenderal menolak, sebab pekat malam belum pudar dan sangat tidak mungkin presiden mengundang mereka (para jenderal) di pagi yang buta. Masih ada waktu. Firasat akan terjadi sesuatu yang tak baik bercampur aduk bersama butanya malam, satu regu pasukan yang terlatih dengan senjata lengkap. Berbagai alasan dilancarkan untuk meyakinkan para pasukan tersebut. Namun nihil, pasukan itu tetap ngotot bila malam itu juga Sang Jenderal harus ikut. Ending, suara letusan senjata, darah bersimbah, tangisan keluarga yang ditahan.

Itulah adegan film G 30 S/PKI yang pernah tayang saat orde baru berkuasa. Film garapan Arifin C.Noer itu mengisahkan bagaimana lika-liku tragedi penculikan para jenderal yang dinilai akan melakukan pembakangan terhadap Presiden. Film, yang sekarang dilarang tayang, itu memang begitu mengiris bagi pemirsa dan dengan spontanitas mengatakan: “begitu kejamnya mereka!”. Namun, seakan kebengisan adegan itu malah seperti candu yang digandrungi, dikangeni para pemirsa: setiap tanggal 30 September berduyun-duyun orang menontonnya dan kemudian kembali mendesis. Begitu seterusnya.

Masih ingat di benak saya, para tetangga, yang pada waktu belum begitu banyak yang memliki dan listrik belum menjamah desa, ada semacam antusias untuk menyaksikan film yang direstui Negara pada waktu itu. Persiapan menonton jauh hari dilakukan: mengisi stroom accu. Pas tiba waktunya, para tetangga itu berkumpul di rumah salah satu warga yang kebetulan punya televisi. Sudah bisa dipastikan obrolan apa yang akan terjadi: ya, rasan-rasan masalah PKI. Partai yang pernah berjaya itu menjadi narasi malam yang mengiringi acara film itu sendiri.

Obrolan malam yang sebenarnya duka bagi negara malah menjadi rasan-rasan, mengungkap kembali borok tetangga yang dulu berkubang pada dunia “merah” meski hanya simpatasian dan tak tahu apa-apa tentang ideologi tersebut. “kakeknya Si A dulu itu merah dan pernah Mbahmu sebagai daftar yang akan dibersihkan!” sebagaian warga mengatakan begitu, dan saya masih ingat dengan kata-kata itu: Mbah saya adalah satu daftar pembersihan oleh tentara “merah”. Hanya saja niat itu belum terlaksana keburu para tentara “merah” dibersihkan.Konon katanya, di bengawan kota saya banyak Batang pating kleler. Ngeri untuk membayangkan. Entah bagaimana kebenarannya, apakah yang mati, yang masuk daftar “pembersihan” benar-benar tahu seluk beluk permasalahannya ataukah mereka sebenarnya hanya korban dari segelintir kelompok. Benar-benar kelabu. Begitu samar dan kaburnya pihak mana yang diuntungkan dan yang dirugikan. Tetapi masyarakat tidak mungkin lupa dengan peristiwa itu dan cap berbagai kebiadaban telah terlanjur membekas.

Syukurlah film itu sudah tidak beredar karena hanya menambah luka lara yang berkepanjangan dan sudah sepatutnya antara elemen bangsa, keturunan yang moyangnya terlibat dalam peristwa tahun ’65 itu saling memaafkan, meski memoar peristiwa tak mudah dilupakan.
Seperti yang dikatakan oleh Agus Widjojo, kita tidak mencari siapa yang benar-siapa yang salah, tetapi kita harus menilik lagi peristiwa itu agar perang saudara tidak kembali pecah. Ibaratnya, sulaman baju yang terlanjur cacat harus kita runut kembali bagaimana dulunya dirajut supaya kelak proses merajutnya tidak salah lagi.

Buku “Saksi dan Pelaku Gestapu: Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965” yang dikoordinatori Surya Lesmana ini berusaha merunut kembali sejarah yang telah berlampau waktu. Seperti yang sudah disinggung dalam pengantarnya bahwa buku ini tidak menyimpulkan siapa yang benar, siapa yang salah. Pemaparan buku ini tidak ada kesimpulan hitam putih. Tidak ada vonis, sebab semua mengungkapkan kebenaran dari pelakunya sendiri, yang bisa saja ditambahi atau dikurangi.

Soeharto (alm), selanjutnya ditulis Pak Harto, yang pada waktu berpangkat mayjen dan panglima kostrad adalah tokoh utama di balik peristiwa penumpasan Gerakan 30 September 1965. Pada hari yang menentukan itu, 1 Oktober 1965, ia mengambil langkah-langkah taktis yang menentukan bagi perkembangan karir politiknya. Salah satu langkah terpenting adalah, bertentangan dengan kehendak Presiden/Pangti Soekarno, ia mengambil alih Kepemimpinan Angkatan Darat, setelah Jenderal Yani (Men/Pangad) diculik oleh gerombolan G30S.

Seperti yang dituturkannya, dalam buku ini, pada tanggal 30 September 1965. Kira-kira pukul Sembilan malam Pak Harto bersama Ibu Tien (alm) sedang berada di Rumah Sakit Gatot Soebroto, menengok anaknya, Tomy, yang dirawat di sana sebab tersiram air sup yang panas. Kira-kira pukul 12 malam Pak Harto pulang ke rumah dan terus tidur. Kira-kira pukul lima subuh, 1 Oktober, kedatangan seorang kameraman TVRI yang mengabarkan adanya suara tembakan di beberapa tempat. Pak Harto tidak berpikir panjang. Setengah jam kemudian datang Mashuri, tetangganya, yang memberi tahu jika ia mendengar banyak tembakan.
Setengah jam datang Broto Kusmardjo, menyampaikan kabar mengagetkan mengenai penculikanatas beberapa Pati Angkatan Darat.
 Dan sekitar Monas ada pasukan yang tidak dikenal sebagaimana laporan Letkol Sadjiman, atas perintah Pak Umar Wirahadikusumah.

KemudiaN Pak Harto mengambil langkah-langkah penyelamatan. Dikumpulkan anak buahnya dan berbegas menumpas gerombolan G 30 S yang dipimpin Letkol Untung sebagaimana yang tersiar dari RRI.

Setelah menguasai RRI dan Telkom, Brigjen Ibnu Subroto dan beberapa orang menuju RRI dengan membawa rekaman pidatonya Pak Harto. Isinya:
“…apa yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September” telah membentuk apa yang mereka sebut “Dewan Revolusi Indonesia”. mereka telah mengambil alih kekuasaan Negara atau lazimnya coup dari tangan Paduka Yang Mulia Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan melempar Kabinet Dwi Kora ke kedudukan demisioner, di samping mereka telah menculik beberapa perwira Tinggi Angkatan darat.

Para pendengar sekalian,
Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan-tindakan mereka itu Kontra Revolusioner yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya.

Kami yakin, dengan bantuan penuh dari masyarakat yang progresif dan revolusioner, gerakan kontra revolusioner 30 September pasti dapat kita hancurkan-leburkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila pasti tetap jaya di bawah Paduka Yang Mulia Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi kita yang tercinta Bung Karno…”(hal. 8-10)

Jika kita cermati pidato Pak Harto tidak ada penyebutan bahwa penumpasan diarahkan pada PKI, melainkan pada Gerakan 30 September. Tetapi juga ada kejanggalan ada kata “sampai akar-akarnya” yang mengindikasikan jika pemberontakan itu masif dari atas sampai bawah. Meski “akar-akarnya” tidak mengetahui sedikitpun permasalahan.

Mungkin, Pak Harto mengkaitkan dengan Letkol Untung yang dikenal sebagai anggota PKI maka pemberontakan itu dinisbahkan pada partai “Palu Arit” tersebut. Begitu pula dengan gerakan penumpasan yang boleh dibilang singkat dan cepat. Tentunya ada strategi jitu untuk mengalahkan, atau tidak para penumpas mempunyai titik-titik simpul yang jika ditariknya maka runtuh semua anggota pemberontak.

Pengakuan dari anggota pasukan Cakrabirawa, pasukan yang dikenal pelaku penculikan para jenderal, yakni Serka Bungkus. Dalam wawancaranya Serka Bungkus mengakui jika yang menculik para jenderal memang pasukan cakrabirawa. Tujuannya tidak lain untuk mengamakan presiden yang ketika itu ada dewan jenderal yang akan meng-kup.

Serka Subur ditugasi mejemput Jenderal M.T. Haryono. Menurut keterangannya ada masalah ketika menjalankan tugasnya. Sebab yang menemui pasukan adalah istrinya M.T. Haryono, sedangkan dia (M.T. Haryono) berada dalam kamar. Merasa kelamaan dan bertele-tele, akhirnya kamar didobrak oleh Serka Subur. Keadaan kamar gelap, ketika Serka Subur mencari stop kontak tiba ada sekelebatan bayangan putih, dan anak buahnya berteriak jika ada banyangan putih. Karena terkejut Subur mengangkat senjata dan “dor” bunyi. Ternyata, anak buahnya menembak, padahal senjata baru saja diangkat. “dor”nya senjata ketidaksengajaan, katanya.

Pak Haryono tertembak di bagian belakang, tembus dari punggung ke perut, dan saat itu masih hidup. Senjata yang dipegang oleh anak buahnya dan menyalak adalah jenis Thomson, isinya 12. Itu senjata berat. Menembak dari jarak dekat belum tentu kena, apalagi gelap. Serka Subur menyangsikan jika penembak Pak Haryono adalah anak buahnya, keraguannya seakan mengarahkan ada penembak lain yang bermain di malam itu.

Pasukan membawa para jenderal ke lubang buaya. Tujuannya penculikan adalah untuk di hadapkan ke presiden yang tentunya berada di istana kepresidenan. Lha ini kok ke lubang buaya, ada apa? Ternyata komandonya berada di lubang buaya dan nantinya akan di hadapkan presiden (tapi kok ada yang mati?). bagaimana para jenderal bisa memberikan klarifikasi kepada presiden jika mereka dalam keadaan tak bernyawa?

Para sandera yang dibawa ke lubang buaya kemudian di “dor” di dekat lubang tersebut. Menurut pengakuan Serka Subur di lubang buaya tidak ada penyiksaan, penyiletan terhadap sandera. Para sandera di gandeng, mendekat ke lubang kemudian di dor. Dan penembaknya bukan pasukan Cakrabirwa, ada pasukan lain yang mengeksekusi. Entah dari kesatuan mana.

Namun, kesaksian Bungkus ditepis oleh anak kelima dari M.T Haryono, yaitu Rianto Nurhadi. Saat peristiwa itu dia baru berumur sembilan tahun. Pasukan yang dipimpin Bungkus benar-benar menembaki rumahnya, pintu tidak didobrak sebagaimana pengakuan Bungkus melainkan ditembaki hingga rusak. Hanya saja, saat kejadian tertembak ayahnya dia tidak melihat karena keburu kabur menuruti perintah bapaknya.

Dalam film G30S ada adegan penyayatan, penyiksaan, bahkan mata dicongkel. tentunya jika ini benar sebagaiman kenyataannya, maka visum dari kedokteran bisa membuktikannya. Kesaksian otopsi terhadap jenazah korban penculikan dilontarkan oleh prof. Dr. Arif Budianto. Beliau adalah dokter muda ahli forensik dari UI (Universitas Indonesia) yang ditugasi oleh tentara untuk memeriksa para jenazah penculikan.

Menurut Beliau, tidak ada penyiksaan, pecongkelan mata, penyayatan terhadap para jenazah. Memang ada kondisi jenazah yang bola matanya copot, kalau tidak salah jenazah Pak Yani. Itu terjadi karena, ketika dimasukkan ke sumur, kepalanya lebih dahulu. Di dasar sumur ada air, jadi kepalanya terendam di sana. Jenderal Yani pakaian piyama loreng-loreng, biru-putih-biru. Piyamanya penuh pecahan kaca. Dia ditembak di depan pintu kaca rumahnya. Itu sebabnya sisa pecahan kacanya masih berhamburan kemana-mana.

Di luar, kabar mengenai kondisi para jenazah yang kondisi penisnya seram terdengar santer. Ketika dilakukan pemeriksaan yang lebih teliti lagi tentang itu. Ternyata kondisi penisnya tidak ada yang terpotong, bahkan luka iris saja tidak ada. Namun, dokter Arif juga menampik jika tidak ada penyiksaan terhadap para jenazah. Pergelangan tangan mayat Haryono malah jelas sekali hancur karena bebatan perekanyang direkat kuat-kuat dan diikat sejak dari lubang buaya. Dokter Arif kembali menegaskan, luka-luka di luar tubuh memang ada namun karena kondisi mayatnya sendiri yang sudah busuk, kami tak bisa bedakan lagi apakah kondisi mayat sesudah mati atau sebelum mati.

Itulah sekelumit kisah persaksian para pelaku yang terlibat, mengalami peristiwa G 30 S. kesaksian tersebut bisa dipakai sebagai pelajaran bagi bangsa Indonesia bahwa sejarah kelam tak perlu diulang. Yang lalu biarlah berlalu. Permasalahan, bencana itu bersumber dari perebutan kekuasaan, takut kehilangan tampuk kekuasaan. Padahal itu hanya untuk kepentingan segelintir orang yang mengatasnamakan “kepentingan bangsa”. Imbasnya adalah rakyat kecil yang tidak tahu punjering perkoro, menjadi tumbal kebiadaban perebutan kekuasaan.

Kewaspadaan bangsa perlu diasah terus menerus untuk mengantisipasi peristiwa kurawa-pendowo terulang. Sebab kita semua saudara, satu ibu pertiwi meski ada perbedaan tetapi itu sudah menjadi keniscayaan. Yang paling jelek adalah perilaku sengkuni yang terus mengadu domba antar komponen bangsa. Inilah perilaku keji nan licik.

*Tulisan ini disarikan dari Buku “Saksi dan Pelaku Gestapu: Pengakuan para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965” yang dikoordinatori Surya Lesmana, terbitan Agromedia Yogyakarta, Tahun 2005 (cetakan kedua)

Untold Story: Kisah Tapol PKI Nusakambangan No.3536


24 Juni 2015   07:05

TUDINGAN bahawa anggota PKI [pasti] bersalah, hingga detik ini masih santer. Meski tak “sekejam” era Soeharto, tapi masih ada. Ketakutan akan ideology yang di negara asalnya sudah mengecil pengaruhnya ini, masih begitu kuat.
Lalu apa yang salah belajar komunis? Apakah kita masih "terprogram" bahwa komunis [selalu] identik dengan congkel mata, potong kemaluan, lagu "genjer-genjer" jadi lagu pembunuhan [kasihan Bing Slamet, stigma ini membuat lagu ini tak pemah/boleh dinyanyikan di sembarang tempat].

Penulis ingat, ketika SD, diwajibkan menonton film G 30 S/PKI [judul yang saat itu, sudah membuatku aneh --penjelasan lebih lanjut di alinea selanjutnya]. Kami yang masih 'bau kencur' diminta mencerna sebuah "kilas balik" kebohongan yang terorganisir. Jijiknya, itu harus diulangi setiap tahun --sampai sekitar 3 tahunan. Selanjutnya, propaganda itu diulang lagi di TVRI, bertahun-tahun.

Sayangnya, sejak kecil penulis tidak pernah merasa film itu adalah kebenaran. Buat penulis, film itu hanya hiburan semata, sama seperti kita menonton Harry Potter misalnya [masih mending nonton Harry Potter malah]. Tulisan ini hanya sebagian kecil sejarah yang digelapkan. Mungkin tidak akan mengubah apapun, tapi mungkin bisa sedikit melengkapi puzzle sejarah yang terberai.
___

Suatu hari, penulis remaja [sudah masuk SMP] ngobrol dengan bapak. Kegelisahan bertahun-tahun itu coba penulis tanyakan ke bapak. Apa komunis itu pak? Sederhananya begini: Komunis itu berasal dari makna Komunal, yang artinya kebersamaan. "Ketika kita melakukan aktivitas bersama yang hasilnya untuk kebersamaan kelompok kita, kita sudah komunis," Penjelasan pertama  tentang komunis. Sederhana saja!
Benarkah komunis tidak mengenal Tuhan? Benarkah komunis itu atheis?   "Loh komunis itu bukan ideologi yang menafikan Tuhan. Mungkin ada yang atheis, sama seperti sekarang ini juga banyak yang tidak percaya Tuhan. Tapi kami di Partai Komunis, tidak didoktrin untuk menganggap Tuhan tidak ada. Jangan kaget, kalau ada pendeta, kyai, bhiksu yang juga komunis."
Sayangnya, sampai saat ini, masih banyak yang menuding komunis itu anti Tuhan. Komunis itu tidak mengenal Tuhan. "Karl Marx pernah bilang, agama itu candu. Makna sederhananya, pisahkan urusan kenegaraan dengan agama. Kalau tumpang tindih, repot karena pemaknaanya berbeda."

"...agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum." [Haji Misbach, Penyusun tulisan "Islamisme & Komunisme"]

Benarkah komunis itu tukang bunuh orang, tukang potong kemaluan orang, tukang nyemplungin jenderal ke sumur? Percaya atau tidak, "pembunuh" terbesar justru bukan komunis. Ketika massa yang mengatasnamakan agama tertentu [ini bukan generalisir], membabi buta membunuh setiap orang yang "dianggap" komunis. Jutaan orang --ini data internasional-- tewas terbunuh atau dipenjara tanpa pernah disidang.
 "Seperti ideologi lainnya, komunis tidak pernah mengajarkan untuk membunuh. Tidak ada doktrin membunuh atau dibunuh. Doktrin itu hanya ada para militer [baca: tentara]," kata ayah saya.
___

Suatu pagi, 1 Oktober 1965. Di sebuah rumah sakit di Bumiayu, Jawa Tengah. Suasana tenang, semua berjalan seperti biasa. Seorang mantri yang juga kepala rumah sakit Bumiayu, sedang berjaga-jaga. Laki-laki ini juga aktivis Partai Komunis Indonesia. Tiba-tiba masuk berita, ada "kekacauan" di Jakarta yang "konon" dilakukan oleh PKI. Benarkah? Kalau nasional "memberontak" seharusnya telegram rahasianya menyebar ke daerah-daerah. Sekedar mengingatkan, PKI adalah partai ke-4 terbesar di Indonesia ketika itu. 
 "Tidak ada pemberitahuan apa-apa, artinya memang tidak niat untuk memberontak!"
Tapi siapa yang percaya? Propaganda TNI --pro Soeharto-- cepat menyebar. Berita televisi dan radio, disensor ketat. Media cetak dibreidel habis-habisan. Di alun-alun Bumiayu tertulis tulisan besar "BUNUH 3M [Munadi, Muntoyib, Munandar]" Tiga nama yang disebut tadi adalah tiga tokoh atas PKI di sana. Mereka juga menjadi tokoh Front Nasional Jawa Tengah.

3M itu, kemudian menjadi orang buruan nomor 1 di Bumiayu dan sekitarnya. Padahal, mereka tidak pernah berusaha kabur, melarikan diri, ngumpet atau menghilangkan jejak. Mereka hanya kaget, ketika kemudian melihat massa yang memburu mereka, seolah mereka adalah pesakitan yang harus segera dilenyapkan.

Sementara di alum-alun, teriakan massa anti PKI [yang didukung ABRI], sudah semakin kalap. Tak hanya seruan bunuh, tapi sudah gantung, bakar dan hancurkan. Suasana yang menegangkan untuk 3M dan keluarganya tentu saja. Apalagi kemudian massa bergerak menangkap [dan menghakimi] orang-orang yang dianggap berafiliasi ke PKI.

Seorang perempuan, berumur 14 tahun, masuk daftar yang "wajib" tangkap lantaran ketika 17-an di desanya, menyanyikan lagu "Genjer-Genjer". Seorang perempuan lain, ditangkap dengan kasar karena bergabung dengan GERWANI [padahal, GERWANI-lah organisasi perempuan yang benar-benar memperjuangkan perempuan dengan segala hak-nya, tapi siapa peduli?]
___

3M akhirnya ditangkap tentara. Semua harta benda, buku-buku, rumah dinas, motor HD, surat-surat, dokumen, foto-foto disita [kelak ketahuan, beberapa diantaranya dibagi antar penyita]. Semua angota yang "berbau" GERWANI, BTI, Lekra, PKI, Front Nasional, Pemuda Rakyat, GMSI, ditangkap tanpa terkecuali. Semuanya -- dibawah todongan senjata -- dipaksa dengan kasar ke atas truk yang "anehnya" sudah tersedia komplit dengan cepat.

Munandar, dengan tangan terikat naik ke atas truk dengan sekitar100-an orang. Ada yang dikenalnya, ada juga yang tidak. semuanya dengan wajah yang "resah" tetap bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Mereka semua dibawa ke arah Purwokerto. Anehnya, dibawa ke daerah alas roban yang waktu masih banyak di daerah selatan Jawa Tengah.
 "Kami semua dengan tangan terikat, dibawa ke hutan di daerah Purwokerto. Kita tidak tahu apa yang akan dilakukan tentara-tentara itu, pokoknya pasrah saja!" terang Munandar suatu ketika. 
 Rupanya slogan 3B [Bui, Buang, Bunuh] yang berlaku di kalangan politisi waktu itu, masih terasa di dada.
 "Kami tidak takut, karena inilah resiko perjuangan!"  
___                   
                                               
Satu persatu tawan politik itu, diturunkan di sebuah hutan yang lebat dan jauh dari kehidupan. Beberapa tentara tampak mengokang senjatanya. Sebagian lagi sibuk mengingat jempol ketemu jempol. Konon, itu sebagai tanda, tawanan itu harus dilenyapkan. Benarkah?

BENAR! Satu persatu dipanggil dan disuruh berjalan ke arah dalam hutan. Dan kemudian, DOOR! [bangsat!], satu persatu tawanan itu roboh dengan darah menetes dari punggung atau kepala bagian belakang. Mereka ditembak dari belakang. Setelah terjungkal, mereka dibiarkan menumpuk.

Ada sekitar 50-an orang yang sudah ditembak mati oleh tentara-tentara yang anehnya, menurut Munandar, masih bisa tertawa meski kemudian menampar dengan popor, ketika ditanya alasan tawanan itu ditembak mati. "Pokoknya sampeyan harus mati! Ini perintah!" Perintah? dari siapa? Mengapa harus ke hutan?

Ya, perintah dari siapa? Sampai sekarang tidak pernah ada kejelasan, perintah siapa untuk membunuh orang-orang yang dianggap PKI dan memang PKI itu.
Munandar [sebenarnya namanya Ngoenandar], berdetak keras ketika namanya dipanggil oleh tentara yang memegang senjata. 
 "Ayo, kowe mlaku mrene!" [Ayo, kamu jalan kesini --jawa] perintahnya dengan kasar. Sebelumnya Munandar harus menahan gemuruh, ketika satu-persatu teman dan orang-orang yang bersamanya, tewas di depan matanya!
Kedua jempolnya diikat erat. Turun dari truk perlahan, tapi terpaksa cepat lantaran dipopor punggungnya. Beberapa barisan di depannya, sudah ditembak. Dan lagi-lagi ditumpuk begitu saja seperti "bangkai".

Satu barisan lagi, Munandar akan dapat giliran ditembak. Tapi tiba-tiba, tentara yang kasar itu menerima perintah lewat radio. Samar-samar Munandar mendengar, eksekusi dihentikan dan semua tahanan harus segera dibawa ke Pulau Nusakambangan.
___
Di Nusakambangan, Munandar ditempatkan di daerah Permisan dengan nomor registrasi penjara 4493. Di Pulau yang tahun 65-an masih benar-benar hutan lebar ini, Munandar mendengar banyak kisah pilu yang mengejutkannya. Pembunuhan itu terjadi merata di seluruh Jawa. PKI dan orang yang di-PKI-kan, diburu seperti "hama wereng" yang harus dimusnahkan di sawah.

Inilah kesaksian seorang eksekutor/pembunuh yang akhirnya mengaku. Namanya RAMA [nama asli disamarkan]. Pekerjaannya adalah petani, yang untungnya tidak sempat dicap PKI, jadi lolos dari penangkapan. Suatu hari ketika sedang ngarit [mencari rumput], tiba-tiba ada seseorang berpakaian loreng datang. 
 "Kamu mau jadi pahlawan untuk negaramu?"
Dengan ketakutan RAMA menjawab,"Mau!" 
Dan mulailah Rama masuk dalam episode "pembunuhan" masal itu.

Tugasnya "sederhana" hanya membunuh! Dan hari bertama bertugas menjadi "pahlawan", Rama sukses membunuh 5 orang. Caranya? Kepalanya ditebas dengan golok! 
 "Awalnya memang sering mimpi, tapi setelah itu semuanya biasa-biasa saja!" akunya. Sadis!
___

Selanjutnya, Rama pernah "memaku" dengan paku rel kereta api, seorang yang dianggap PKI. Dari kuping kanan tembus ke kuping kiri. Lainnya, mengubur hidup-hidup beberapa orang dalam satu lubang, dan langsung diuruk. Termasuk diantaranya melempar beberapa orang hidup ke dalam lubang gua sempit. Kemudian diuruk juga.

Ternyata, dengan kedok nasionalisme, banyak orang dipaksa dan terpaksa menjadi pembunuh, pemerkosa, penginjak. Belakangan, tahun-tahun 90-an, diusut lagi dan ditemukan banyak tengkorak mayat-mayat yang tidak dikenal, termasuk hutan dimana Munandar "nyaris" dieksekusi.

NGOENANDAR akhirnya menjadi tahanan politik di Nusakambangan. Hebatnya, sampai dia dibebaskan setelah mendekam sekitar 6-7 tahun, tidak pernah ada pengadilan yang sah dan benar secara hukum. Ngoenandar menjadi tawanan tanpa tahu kesalahannya apa. Hanya karena dia anggota PKI, itu saja.

Untungnya, semua tahanan itu punya mental dan kekuatan 'tambahan' untuk bertahan hidup. Meski ada juga yang kemudian meninggal karena sakit dan tidak ada pengobatan yang layak, tapi paling tidak banyak diantara mereka yang bertahan dan menjadi tangguh kelak.

Ngoenandar yang menguasai ilmu kesehatan [tahun 1954, Ngoenandar sudah menjadi bidan], kalau sekarang mungkin levelnya D1 - D3, banyak dimintai tolong bahkan oleh Kalapas untuk membantu kesehatan tapol lain yang sakit. Kesempatan itu biasanya dimanfaatkan untuk saling bercerita atau berbagi makanan. Resikonya kalau ketahuan memang dihajar.
___

Ada beberapa rekan seperjuangan yang Ngoenandar ceritakan kepada Penulis. Ada Pakde Maimun, mantan sipir Nusakambangan yang bersimpati kepada korban PKI [akhirnya kelak menjadi sahabat], ada Om Harjo yang pintar bercerita soal wayang dari A -Z [dia mantan ketua Pemuda Rakyat Semarang], kemudian ada Pak Mirmo [yang wajahnya mirip sama Bapak], lalu ada Abah Dolly, yang jago servis jam merek apa saja [kelak akhirnya menjadi seperti saudara sedarah]

Keluar dari Penjara sekitar tahun 1971-an, Ngoenandar harus menghadapi stigma masyarakat yang "ketakutan" dengan PKI. Untung saja, desa asalnya, ternyata mayoritas memang anggota PKI, jadi stigma itu tidak terlalu lama, karena sama-sama menderita dan ditahan sebagai tapol.

Repotnya, tidak instansi apapun yang menerima mereka sebagai karyawan untuk bekerja. Apa boleh buat, wiraswasta menjadi pilihan, meski kadang diawasi oleh aparat. Maklum saja, desa tempat tinggal Ngoenandar diposisikan sebagai desa yang dikepung oleh kesatuan aparat. Ada Yonif 400 Banteng Raiders, Brigade Mobil, Kantor Pangdam IV Diponegoro, Arhanudri dan kantor Kodim.
___

Ibuku adalah Pegawai Negeri. Sebenarnya kalau ketahuan, ibu bisa dipecat. Untungnya, solidaritas antara kawan waktu itu, masih demikian tinggi. Hingga pensiun tahun 1994, Ibu tetap pegawai negeri yang bersuamikan anggota PKI. Aman-aman saja..katanya, Tuhan itu Adil kok...
---
DJOKO MOERNANTYO 
Laki-laki biasa-biasa saja. Berujar lewat kata-kata, bersahabat lewat dialog. Menulis adalah energinya. Suka BurgerKill, DeadSquad, Didi Kempot, Chrisye & Iwan Fals. Semoga mencerahkan :)\r\n\r\n@personal blog:\r\n#airputihku.wordpress.com\r\n#baladaatmo.blogspot.com 

#based on true story – diceritakan langsung kepada penulis #pernah dimuat di blog pribadi: moer.multiply.com [sudah tutup]


Minggu, 21 Juni 2015

1965: Pembunuhan Tanpa Akhir

21 June 2015 | Made Supriatma 




MINGGU LALU saya menonton film ‘The Look of Silence.’ Di Indonesia, film dokumenter ini diberi judul ‘Senyap.’ Saya menontonnya dalam acara Human Rights Watch Film Festival. Agak menyenangkan melihat reaksi publik atas film ini. Ada dua ratus tiket tersedia dan habis tandas. Terlebih lagi sebagian besar penonton masih duduk untuk sesi diskusi.

Saat acara diskusi, ada satu pertanyaan yang sangat menggelitik saya. ‘Mengapa pembantaian tahun 1965 tidak memancing perhatian dan reaksi dunia internasional?’ Sedikit sekali orang tahu bahwa pembantaian besar-besaran ini benar-benar pernah terjadi.

Orang akrab dengan pembantaian massal oleh Khmer Rouge di Kamboja; pembantaian besar-besaran orang Yahudi pada Perang Dunia II; genosida terhadap orang Armenia pada tahun 1915 oleh Turki; atau yang lebih modern lagi, pembantaian etnis Hutu oleh etnis Tutsi di Rwanda tahun 1994.

Namun, hampir tidak ada orang tahu akan pembantaian orang-orang Komunis di Indonesia tahun 1965. Padahal, pembantaian di Indonesia terjadi dalam skala yang tidak kurang besarnya.

Mengapa? Jawaban yang paling spontan adalah bahwa pembunuhan ini didukung oleh pemerintah Amerika dan negara-negara Barat. Suara Ted Yates, reporter TV Amerika NBC, sangat jelas dalam film ini. Bahwa pembantaian itu adalah kemenangan terbesar Amerika dalam front melawan komunisme, tanpa melibatkan satu pun prajurit, tanpa mengeluarkan sepeser pun uang dan tanpa ada satupun bom Amerika dijatuhkan.

Film ini diputar di di wilayah Greenwich Village, New York City. Ini adalah wilayah yang termasuk paling progresif di Amerika, dimana aktivis, seniman, atau intelektual berkumpul. Karena itulah, ketidaktahuan mereka akan pembantaian 1965 menjadi mencengangkan.

Namun bisa dimaklumi. Bagaimana pun juga kaum progresif ini adalah orang Amerika.

Tetapi, bagaimana dengan Indonesia?

***

Saya merasa, sebagai orang Indonesia identitas keindonesiaan saya didefinisikan oleh pembunuhan massal ini. Suka atau tidak suka, identitas itu melekat erat pada diri saya. Saya adalah bagian dari bangsa yang melakukan pembunuhan massal itu.

Memang, banyak bangsa lain juga melakukan pembunuhan massal. Hanya saja bedanya adalah bahwa bangsa-bangsa tersebut berani membicarakannya secara terbuka. Beberapa bangsa mengakui pembantaian massal itu sebagai sejarah hitam bangsanya. Dengan mengakui noda hitam ini mereka berharap untuk tidak mengulanginya.

Bahkan Kamboja, negara yang jauh lebih miskin dari Indonesia, mengadili anggota-anggota Khmer Merah yang melakukan pembunuhan massal. Sekalipun tidak sempurna, toh peradilan itu memancing perbincangan yang meluas. 
Bangsa Khmer berusaha mencari jawaban mengapa kebiadaban itu terjadi. Dari sana mereka berharap menemukan jiwanya kembali, yang bersih dari kebiadaban.

Mendiskusikan pembantaian massal, mengenali siapa pelakunya, mengetahui mengapa pembantaian itu terjadi, dan dimana itu terjadi tentu sangat penting. Itu adalah bagian dari proses penyembuhan.

Namun, sebagai bangsa kita sebagai memilih untuk tidak melakukannya. Pembantaian massal tahun 1965 kita perlakukan seperti keluarga kita memperlakukan ‘aib.’ Kita berada dalam situasi seperti bapak yang memperkosa putrinya sendiri. Alih-alih menuntutnya dan menghukumnya seberat mungkin, kita memilih diam. Kita menolak membicarakannya. Kita bahkan menolak mengingatnya. Kita terlalu takut bahwa ‘aib’ itu akan memberikan nama buruk pada keluarga kita.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah si bapak ini kemudian memperkosa kiri-kanan. Karena dia tidak pernah dihukum oleh satu kesalahan yang berat, dia merasa bebas untuk melakukannya lagi.

Yang lebih parah lagi, kita menerima penjelasan dari si bapak itu bahwa yang terjadi bukan perkosaan melainkan karena kesalahan si putri yang menggoda dengan pakaiannya yang seksi. Kita juga menerima penjelasan itu karena takut akan kekuasaan si bapak.

Akhirnya, kita ikut mengasingkan si putri dari keluarga. Kita mengusirnya keluar dari rumah, menistanya, bahkan memukulinya.

***

Sayangnya, pembantaian itu tidak berhenti hanya pada tahun 1965. Beberapa tahun sesudahnya, kita membersihkan ‘pemberontakan’ di Kalimantan Barat. Pelakunya adalah ‘pemberontak’ ciptaan kita sendiri, yakni PGRS/Paraku. Ini adalah organisasi ciptaan tentara Indonesia ketika terjadi konfrontasi menentang pembentukan negara Malaysia.

Sejarah resmi selalu menyatakan bahwa pembantaian 1965 dimulai dari usaha kudeta Gerakan 30 September (G30S). Sejarah yang sama mengajarkan bagaimana jenderal-jenderal Angkatan Darat ditangkap dan disiksa oleh gerombolan G30S, yang sesungguhnya dipimpin oleh perwira-perwira muda Angkatan Darat. Mereka disiksa habis-habisan, muka mereka disilet, kemaluan dipotong, dan dipukuli.

Dari narasi itulah muncul pembantaian massal. Pelakunya, sebagaimana kelihatan dalam film ‘The Look of Silence’ bukanlah tentara melainkan ‘massa’ atau rakyat yang marah terhadap PKI.

Hal yang serupa diulangi dalam menangani PGRS/Paraku di Kalimantan Utara, yang kebetulan disokong oleh etnis Cina. ‘Pemberontakan’ ini berhasil dipadamkan karena penculikan dan kemudian pembunuhan sembilan orang Dayak –diantaranya adalah Temenggung. Orang-orang Dayak ini disiksa sebelum dibunuh. Setelah meninggal, kelaminnya dipotong dan dimasukkan ke dalam mulut dan didadanya terdapat kain bertuliskan aksara Cina. Kemudian diketahui bahwa penculikan dan pembunuhan ini adalah bagian dari operasi ‘psywar’ (perang psikologis) yang dilakukan oleh pihak militer.

Kematian sadis itulah yang disebarkan. Seorang petinggi militer dengan terus terang mengakui adanya operasi militer untuk mendorong orang-orang Dayak melakukan ‘pengayauan’ terhadap orang-orang Cina. Pihak militer dengan aktif mendampingi orang-orang Dayak melakukan pembunuhan dan pengusiran orang-orang Cina dari pedalaman Kalimantan Barat.

Pembantaian itu tidak berhenti di sini. Satu dekade berikutnya, kita mengirim pasukan untuk menginvasi negara tetangga kita yang kecil. Sepertiga penduduknya habis, entah karena peluru atau karena kelaparan akibat strategi perang.

Tidak berapa lama kemudian, kita melihat pembantaian-pembantaian terjadi di Talangsari, Lampung; di Tanjung Priok, Jakarta; dan di seantero Indonesia dengan alasan membasmi preman. Belum lagi pembantaian secara sistematis yang kita lakukan di Aceh dan Papua.

***

Kita, sebagai bangsa, didefinisikan oleh apa yang kita lakukan atas nama Indonesia. Suka atau tidak suka, kita juga didefinisikan oleh sekian banyak pembantaian massal yang dilakukan atas nama bangsa Indonesia. Dan itu akan terus berlangsung jika kita tidak melawannya dan melakukan definisi ulang atas apa artinya menjadi ‘orang Indonesia’ itu.

Saya seringkali mendengar orang berbicara dengan topik ‘Menjadi Indonesia.’ Beberapa buku sudah ditulis dengan topik yang sama. Ada juga lomba esei untuk mahasaiswa dengan judul seperti itu.

Namun, ada yang hilang dalam semua perbincangan dan diskusi ‘menjadi Indonesia’ itu. Tidak ada satu pun perbincangan ‘menjadi Indonesia’ itu terkait dengan pembantaian massal 1965 dan pembantaian-pembantaian yang terjadi sesudahnya. Bisu. Senyap.

Semua pembantaian massal itu adalah aib kita sebagai bangsa. Dia harus kita kubur dalam-dalam. Kita tabu membicarakannya. ‘Yang lalu biarlah lalu,’ demikian selalu dalih para pembunuh yang muncul dalam film ‘The Look of Silence.’ Kita tidak mau mengungkap luka lama sekalipun luka itu hadir terus menerus dengan pembunuhan-pembunuhan massal yang lain.

***

Ketika sedang merenungkan soal ini, tiba-tiba saya ingat pada sebait kalimat dari Dr. Martin Luther King, Jr. yang diucapkan saat menyampaikan eulogy atas kematian tiga anak korban pengeboman sebuah gereja di Birmingham, Alabama. Dr. King mengatakan bahwa kita tidak usah terpaku hanya kepada siapa yang membunuh melainkan kita harus lebih menaruh perhatian kepada ‘sistem, cara hidup , dan filosofi yang menghasilkan para pembunuh tersebut.’[1]

Hampir mustahil untuk menjadi orang Indonesia masa kini tanpa menanggung beban pembunuhan massal itu. Kita ada dalam sistem, cara hidup, dan filosofi yang menghasilkan para pembunuh itu. Kita lakukan itu demi tegaknya ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia.’ Kita menerima filosofi ini dengan sukarela dalam hidup sehari-hari kita. Kita didefinisikan oleh pembunuhan massal itu.
Jika Anda membisu maka Anda menerima definisi ini. Saya menolaknya. Untuk itulah saya bersuara. 

***
———
[1] ‘They say to us that we must be concerned not merely about who murdered them, but about the system, the way of life, the philosophy which produced the murderers.’ Lihat, http://kingencyclopedia.stanford.edu/encyclopedia/documentsentry/doc_eulogy_for_the_martyred_children/

Sumber: Indoprogress