HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label DN Aidit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DN Aidit. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 Februari 2020

Palu Arit di Ladang NU



Peristiwa Madiun kerap menjadi titik bakar penentangan NU terhadap komunis.

Ketua CC PKI DN Aidit melirik ke arah Menteri Agama Saifuddin Zuhri yang menerima ucapan selamat dari Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan Jenderal TNI AH NAsution pada Maret 1962. Foto: repro: "Berangkat dari Pesantren."

Sejak lama NU antipati terhadap PKI. Menurut Greg Fealy dan Katharine McGregor dalam “Nahdlatul Ulama and the Killing of 1965-66: Religion, Politics, and Remembrance”, dimuat jurnal Indonesia 89, April 2010, sejak didirikan pada 1926, para pemimpin NU secara konsisten menentang komunisme, mencela doktrinnya sebagai ateis, serta cita-cita mengenai kepemilikan kolektif atas kekayaan dan properti sebagai laknat menurut ajaran Islam.
“Tapi anti-komunisme NU, sampai akhir 1940-an, kurang intens dibandingkan rekan agamawan mereka dari kelompok modernis dalam organisasi seperti Muhammadiyah dan Persis,” tulis mereka.
Sikap itu berubah setelah sejumlah kiai NU, yang saat itu tergabung dalam Masyumi, menjadi korban dalam Peristiwa Madiun 1948.

Menghadapi PKI

Setelah menjadi partai politik, dalam beberapa isu NU mempertahankan sikap oposisinya terhadap PKI. Antara lain ditunjukkan dengan menolak pelibatan PKI dalam kabinet pada 1953 dan 1956. NU juga memprotes pembukaan Kedutaan Besar Uni Soviet di Jakarta, penggunaan tanda gambar “PKI dan orang-orang tak berpartai” dalam pemilu, dan dukungan menteri pertahanan terhadap dipersenjatainya veteran-veteran komunis untuk melawan Darul Islam.

Namun, tak seperti Masyumi, selama 1950-an NU cenderung akomodatif. NU, misalnya, mengutuk pembentukan Front Anti Komunis yang disokong sayap kanan ekstrem Masyumi. Ketika Masyumi menginisiasi acara Muktamar Ulama di Palembang pada 8-11 September 1957, yang menghasilkan rekomendasi mengharamkan komunisme, NU tak bersedia mengirimkan delegasi.

Menurut Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, NU secara politik memang tak setuju dengan keberadaan PKI, tapi banyak elite NU merasa bisa bersanding dengan pihak komunis, ketimbang terhadap kelompok muslim reformis.

PKI sendiri mengulurkan tangan atas kesediaan NU menjalin kerjasama dengan partai nasionalis dan kiri. Pada September 1954, PKI mengirimkan ucapan selamat atas penyelenggaraan Muktamar NU di Surabaya. 
Bahkan, editorial Harian Rakjat, koran PKI, selalu menempatkan NU di antara “partai-partai demokratik”.

Kekhawatiran NU mencuat setelah PKI meraih peningkatan luar biasa, termasuk di basis-basis NU, dalam pemilu DPRD. 
 “Seusai pelaksanaan pemilu daerah, cabang-cabang NU di daerah lebih memandang PKI, dan bukan Masyumi, sebagai ancaman terbesar mereka,” tulis Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967.
Meningkatnya pengaruh PKI dan kedekatannya dengan Sukarno memaksa NU mengadopsi kebijakan akomodatif dan berpartisipasi dalam semua kabinet dan lembaga di era Demokrasi Terpimpin. Sikap ini mendapatkan kritik dari kelompok militan yang antikomunis seperti M. Munasir, Jusuf Hasyim, Subchan ZE, dan Bisri Syamsuri.
“Berbeda dengan para pemimpin moderat NU yang memandang PKI semata-mata sebagai masalah politik, kelompok militan memandang PKI sebagai ancaman fisik yang membahayakan Islam,” tulis Fealy.
Hubungan NU dan PKI memburuk pada 1960-an ketika PKI mengkampanyekan “aksi sepihak” sebagai upaya melaksanakan reformasi agraria (landreform) yang diamanatkan dalam UU No. 5/1960 atau Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Aksi Sepihak

Pada Oktober 1961, sebulan setelah Panitia Landreform mulai bekerja, Pengurus Besar Syuriah NU menggelar Bahtsul Masail atau forum diskusi untuk membahas masalah agraria. Forum menghasilkan fatwa yang mengharamkan landreform. Alasannya, melanggar himayatul mal (perlindungan properti) yang menjadi salah satu tujuan syariah.

Gita Anggraini dalam Islam dan Agraria menyebut, pengharaman itu bukanlah terhadap program landreform, “tetapi terhadap hal-hal yang mencederai prinsip dasar landreform, karena program landreform itu sendiri mendapat dukungan dari kalangan ulama.” Salah satunya DPR-GR, yang mensahkan UUPA, diketuai KH Zainul Arifin dari NU.

Namun, sebulan kemudian, rapat Dewan Partai menyimpulkan, UUPA “boleh” hukumnya kalau memang diperlukan untuk membantu fakir miskin dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, sedangkan jalan lain tidak ada.

Dalam praktiknya, banyak kiai atau pemilik tanah muslim tak rela kehilangan tanah mereka.

Terkait keengganan tuan tanah muslim, Deliar Noer dalam Partai Islam di Pentas Nasional menekankan perlunya memahami persoalan tanah dalam hubungan dengan wakaf; bahwa tanah bisa dimiliki masyarakat, sedangkan pengelolaannya bisa dilakukan seseorang atau sekelompok orang. Mereka yakin tanah wakaf tak masuk kategori tanah landreform.

Namun, kaum komunis punya cara pandang berbeda.

Karena pelaksanaan UUPA berjalan lamban, PKI menggiatkan aksi ofensif melalui aksi sepihak. Selain PNI, aksi ini mendapat perlawanan dari NU, terutama para kiai dan pemimpin Ansor di daerah. Bentrokan, bahkan disertai kekerasan, pun tak terelakkan.

Presiden Sukarno turun tangan dan mengundang partai-partai dalam pertemuan di Bogor, yang menghasilkan Deklarasi Bogor. Namun, bentrokan masih terjadi di sana-sini.

Dalam putusan sidang dewan partai 20 Desember 1964, NU menyatakan siap melaksanakan Deklarasi Bogor. Namun NU juga meminta pelaksanaan UUPA secara konsekuen, “yang di dalamnya mengatur pelaksanaan land reform dan land use dan menjamin hak milik wakaf, waris, dan hak-hak lain yang diatur oleh Agama Islam. 
“Mengenai tanah wakaf, jika merupakan tanah hibah palsu akan dikutuk,” ujar Idham Chalid dalam rapat dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), 19 Januari 1965.
Di jantung kekuatan NU di Jawa Timur, PKI bersikap defensif dan akhirnya menarik diri dari kampanye aksi sepihak. Bagi NU “kemenangan” itu peningkatan kepercayaan diri mereka dalam berhadapan dengan PKI.

Aksi Militan

Peristiwa 30 September 1965 mencemaskan para pemimpin NU. Beberapa kiai dan tokoh senior NU disembunyikan di tempat yang aman. Sementara yang lainnya, terutama tokoh-tokoh muda militan, pindah ke rumah Wahid Hasyim di Matraman dan Subchan ZE di Jalan Banyumas, Menteng; keduanya di Jakarta Pusat.

Sementara tokoh-tokoh senior bersembunyi, kelompok militan mengadakan pertemuan dengan para pejabat militer, yang dekat dengan Soeharto, yang merebut kembali kendali ibukota keesokan harinya.

Pertemuan-pertemuan itu menghasilkan kampanye anti-PKI, termasuk pembentukan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu (KAP-Gestapu) dan Badan Koordinasi Keamanan Jam’iyah Nahdlatul Ulama (BKKJNU).

Inisiatif diambil kelompok militan tanpa berkonsultasi dengan Idham Chalid, yang masih bersembunyi, atau Wahab Chasbullah, yang sedang berada di Jombang. 
 “Bahkan jika Idham dan Wahab ada, mereka mungkin tak berdaya menghentikan kelompok militan,” tulis Fealy dan McGregor.
Dengan dua organ itu dimulailah aksi pengerahan massa hingga pengganyangan PKI, dengan persetujuan Angkatan Darat. Yang terparah terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Menurut Fealy, ada beberapa faktor penyebab. Yang paling kuat adalah pengaruh psikologis bahwa mereka hanya punya dua pilihan: dibunuh atau membunuh. Mereka juga mengambil pelajaran dari Peristiwa Madiun dan aksi sepihak.
“Aksi kekerasan cenderung lebih banyak terjadi di daerah-daerah yang lebih sering mengalami aksi sepihak,” tulis Fealy.
Kekerasan terhadap PKI mulai berhenti pada Februari 1966.
Persoalan belum rampung karena Presiden Sukarno enggan membubarkan PKI. Tokoh-tokoh senior NU, yang sudah mengambilalih kendali partai, juga masih merapat ke Sukarno.

Namun kedudukan Sukarno terus melemah. NU akhirnya mengakhiri hubungannya dengan Sukarno dan mendukung rezim baru, Soeharto.

Senin, 30 September 2019

30 September 1965 | Drama G30S 1965: di Mana Mereka di Malam Jahanam Itu?


Oleh: Petrik Matanasi - 30 September 2019

Malam 30 September 1965: Sukarno di rumah Dewi; Soeharto menunggu anaknya yang sakit di RSPAD, lalu pulang ke rumahnya. tirto.id/Deadnauval

Malam 30 September 1965, Soeharto tidur di rumahnya, begitu juga para jenderal yang diculik. Sementara Sukarno di rumah istri mudanya.

Malam itu, 30 September 1965, tepat hari ini 54 tahun lalu, sang jenderal terpaksa harus berada di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Anak laki-laki bungsu kesayangannya, yang kelahirannya bersamaan dengan pulihnya karier sang jenderal, harus dirawat karena kena siraman sup panas. Bersama sang istri, sang jenderal menunggui sang putra yang dipanggil Tommy Soeharto itu.
“Tanggal 30 September 1965. Kira-kira pukul sembilan malam saya bersama istri saya berada di Rumah Sakit Gatot Subroto. Kami menengok anak kami. Tommy, yang masih berumur empat tahun dirawat di sana karena tersiram sup yang panas,” aku Soeharto pada Ramadhan K.H. dalam Soeharto Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989). Hutomo Mandala Putra alias Tomy adalah anak kesayangan.
Latief, dalam bukunya Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto terlibat G 30 S, mengaku mendatangi Soeharto di sana. Latief, yang percaya pada Soeharto sebagai atasan, bercerita soal rencana penculikan para Jenderal itu.
“Pak, malam ini kami beberapa kompi pasukan akan bergerak untuk membawa para jenderal anggota Dewan (Revolusi) ke hadapan yang mulia presiden,” kata Latief.
Meski terkejut, Soeharto tetap bersikap tenang. Usai bertemu Soeharto di RSPAD, Kolonel Latief menghadiri rapat bersama Soepardjo, Letnan Kolonel Untung, dan lainnya.

Sementara Soeharto, yang merasa tidak diberitahu Latief serta merasa tidak tahu bahaya yang menimpa Ahmad Yani, memilih pulang ke rumahnya jelang tengah malam. Esoknya, tersiar berita adanya suara tembakan di rumah-rumah korban penculikan. Para jenderal itu pun hilang dan ditemukan tak bernyawa di Lubang Buaya.

Kala itu, Soeharto menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Dengan kuasanya, dia bisa menggerakkan pasukan dengan kualifikasi raider di tubuh Angkatan Darat itu untuk bertindak. Di sekitar lapangan Gambir Monas juga sudah ada pasukan raider dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang jumlahnya berkompi-kompi.

Di Rumah Istri Muda

Kolonel Maulwi Saelan adalah saksi mata yang mengetahui di mana Sukarno berada pada 30 September 1965 sebelum dini hari. Wakil Komandan Resimen Cakrabirawa itu sedang sibuk mengawal Presiden menghadiri resepsi penutupan Musyawarah Nasional Kaum Teknisi Indonesia di Istora, Senayan. Malam itu, Untung juga ada di sana. Sebagai Komandan Batalyon II Kawal Kehormatan Cakrabirawa, Untung ikut mengawal Bung Besar di ring terluar.

Dari Istora, menurut Mangil Martowidjojo, yang kala itu Komandan Detasemen Kawal Pribadi Cakrabirawa, Bung Besar sempat pulang ke Istana Merdeka. Sementara Maulwi pulang. Setelah berganti pakaian, menurut cerita dari buku Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1965 (1999), Si Bung pergi lagi dengan diam-diam, dengan memakai mobil Chrysler hitam. Mangil juga ikut serta, jadi setelah pukul 22.00 malam hingga pagi, Mangil yang paling tahu di mana posisi Sukarno pada malam jahanam 30 September 1965.

Sukarno dan pengawalnya terlebih dahulu singgah di Hotel Indonesia untuk menjemput Ratna Sari Dewi, istri termudanya. Mereka menginap di rumah Ratna Sari Dewi, Wisma Yaso, di Jalan Gatot Subroto. Tempat itu sudah jadi Museum Satria Mandala.

Sogol, salah satu pengawal, melihat Bung Besar sudah bangun sejak pukul 05.00 subuh 1 Oktober. Maulwi pagi itu kebingungan mencari di mana Sukarno berada. Sejak subuh saluran telpon istana terputus. Bung sempat ke rumah Hartini, istrinya yang lain lagi. Setelah mendapat laporan soal raibnya petinggi Angkatan Darat, Bung Besar ke Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah dan bertemu beberapa pelaku gerakan lain. Paham atau tidaknya pihak Angkatan Udara soal G30S, pangkalan itu membuat Sukarno dan pelaku gerakan untuk sementara terlindungi.

Lubang Buaya, Penas, dan Rumah Anis

Sebagai Panglima Komando Tempur II, seharusnya Brigadir Jenderal Soepardjo berada di Kalimantan. Namun, dia belum punya pasukan lengkap untuk memimpin konfrontasi militer Dwikora di sana. Jelang 30 September, dia terbang ke Jakarta. Di malam 30 September 1965, Soepardjo sudah berada di Gedung Biro Pemetaan Nasional (Penas) di Jakarta Timur. Gedung itu, menurut Heroe Atmodjo, seperti ditulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September Pelaku, Pahlawan dan Petualang (2010), disewa pihak Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), di mana Heroe berdinas sebagai letnan kolonel penerbang.

Pihak AURI, menurut Heroe, tidak tahu menahu jika di malam 30 September gedung itu menjadi Central Komando (Cenko) I. Selain Soepardjo yang semula satu-satunya perwira yang mengenakan seragam militer di sana. Selain Latief dan Soepardjo, perwira penting dalam gerakan yang ada disitu adalah Letnan Kolonel Untung. Syam Kamaruzaman, Biro Khusus PKI, juga ada di situ. Banyak militer yang terlibat G30S tak mengenal Syam di sana.

Sebelum di tempat itu, Untung sempat berada di Lubang Buaya untuk memantau kerja pasukannya yang telah membawa para Jenderal Angkatan Darat. Lubang Buaya adalah tempat akhir bagi pasukan penculik bernama Pasopati setelah sasaran berhasil mereka ambil paksa dari rumah masing-masing.


Sementara itu Ketua CC PKI D.N. Aidit, yang dituding Orde Baru sebagai otak Gerakan 30 September 1965, dijemput juga oleh anggota komplotan dari rumahnya di Jalan Pegangsaan Barat no 4 Cikini.
“Malam itu, kira-kira pukul 21.00, Bang Amat dibawa dengan mobil oleh orang-orang yang tidak aku kenal,” aku Murad Aidit dalam Menolak Menyerah (2005).
Aidit dibawa bersama Koesno ke Wisma Angkasa di Kebayoran Baru oleh Mayor Soejono. Perintah membawa Aidit tersebut datang dari Soepardjo. Sopir mobil yang mebawa Aidit itu adalah Sersan Udara Muljono, yang merupakan pengawal Soebandrio. Mereka tak berhasil menemui Marsekal Omar Dani dan akhirnya ke Pangkalan Halim Perdana Kusumah. Aidit menginap di rumah Sersan Udara Anis Soejatno. Rumah ini, menurut Julius Pour, dipersiapkan sebagai Cenko II.
“Tanggal 1 (Oktober) pagi pukul jam 09.00 saya minta Mayor Udara Soejono, oleh karena Penas harus segera dikosongkan, maka saya minta untuk sementara rumah Dek Jatno, saya pinjam untuk kantor. Selanjutnya saya diperintahkan untuk pulang lebih dulu dan menyiapkan meja dan kursi. Dengan kendaraan saya berangkat pulang ke rumah di kompleks MBAU rumah nomor 14,” ujar Anis Soejatno dalam kesaksiannya di persidangan Letnan Kolonel Untung.
Lebih lanjut, Anis menyebut pelaku-pelaku yang dilihatnya antara lain Soepardjo, Abdul Latief, Heroe Atmodjo, Untung dan tentu saja Soejono. Ada juga orang-orang sipil yang Anis tak tahu nama-namanya. Kemungkinan adalah Aidit dan Syam. Orang-orang ini, pada 1 Oktober 1965 itu, kemudian bertemu Sukarno di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah, yang datang untuk mencari perlindungan karena adanya tembakan-tembakan senjata malam 30 September.

Keberadaan Sukarno di Halim pada 1 Oktober membuat banyak orang berpikir dirinya terlibat G30S. Bagaimanapun, Halim dengan pesawat-pesawat angkut yang ada di sana tentu lebih bisa menerbangkan Sukarno jika keadaan Jakarta memanas dan tidak aman. Tanggal 1 Oktober 1965 nyatanya menjadi titik balik bagi G30S yang makin berantakan dan akhirnya bubar.

Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Soeharto sedang berada di RSPAD sebelum peristiwa G30S.

Tirto.ID 

Rabu, 21 Agustus 2019

Terasing di Negeri Sendiri, Putra DN Aidit Setelah 74 Tahun RI Merdeka

Reza Gunadha | Muhammad Yasir
Rabu, 21 Agustus 2019 | 07:15 WIB

Untuk orang-orang seperti saya, yang terkait peristiwa 1965, tentu sampai saat ini tidak bisa bilang bahwa kami sudah betul-betul merdeka.

[Suara.com/Ema Rohimah]

Suara.com - Fisik boleh jadi bebas, tapi lebih dari separuh hidup anak-anak DN Aidit, Ketua CC PKI, tak bisa dikatakan merdeka. Namun, cinta mereka kepada Tanah Air tak pernah tergerus.

PONSEL SAYA tiba-tiba bergetar ketika masih bercakap bersama Sardjono Kartosoewirjo, putra mendiang pendiri sekaligus Imam Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, di Malangbong, Garut, Jawa Barat, berbarengan semburat senja yang baru mulai berpendar, Jumat (16/8/2019) pukul 17.59 WIB.

“Saya tinggal di alamat ini, Bandung,” sepotong pesan WhatsApp dari seorang lelaki itulah yang membuat ponsel saya bergetar.

Kami—saya, videografer Adit dan kru sekaligus driver Subhan—langsung berpamitan dengan Sardjono, bergegas menaiki mobil, menuju alamat yang dikirim lelaki tersebut. Kami ingin mengejar waktu, agar ketika sampai di Bandung, hari belum begitu larut.


Perjalanan dari Garut ke Bandung menghabiskan waktu tiga jam. Pukul 21.20 WIB, kami tiba di lokasi sesuai alamat yang diberikan lelaki itu. Alamat tersebut mengantarkan kami menuju sebuah rumah berlantai dua.

Rumah yang kami tuju sudah gelap. Bendera Merah Putih di ujung tiang berkibar tertiup angin malam Bandung yang cukup dingin.

Tiang bendera itu diikat pada bagian pagar rumah yang dicat hitam. Satu kendaraan mobil mini bus dan sepeda motor terpakir di garasi rumah.

Lelaki mengenakan kemeja Charcoal dengan celana bahan hitam keluar dari rumah mewah itu, ketika kami baru saja mematikan mesin mobil.

Dia sepertinya cukup peka mendengar suara mesin kendaraan yang berhenti di depan kediamannya, atau mungkin memang lelaki itu sudah menanti kedatangan kami.
“Bung Yasir?” tanya lelaki itu.
“Iya, Bung,” jawab saya.
“Silakan masuk, sama berapa orang?” tanyanya.
 “Kami bertiga Bung”.
Saya kemudian memperkenalkan Adit dan Subhan kepada lelaki itu: Ilham Aidit, putra keempat Ketua CC PKI Dipa Nusantara Aidit.
“Ayo, masuk,” kata lelaki yang memiliki wajah mirip dengan ayahnya itu mempersilakan.
Enam foto yang terbingkai terpajang di dinding sebelah kiri saat memasuki pintu utama. Lima foto dalam bingkai yang berukuran kecil, dipampang mengitari satu bingkai ukuran poster berisi potret Presiden pertama RI Bung Karno tengah bercengkerama dengan DN Aidit. 
“Itu foto pas di Istana Merdeka,” kata Ilham Aidit.
***

SEORANG PEREMPUAN yang terlihat jauh lebih muda dari Ilham Aidit sibuk menyiapkan makanan di meja makan.

Ruang meja makan itu berada pada posisi yang menghadap langsung ke ruang tamu, tempat kami diterima sang empu rumah. 

Ilham memperkenalkan kami kepada perempuan itu yang tak lain adalah istrinya.
“Anak-anak sampai sekarang tidak tahu kalau mereka cucunya DN Aidit,” kata istri Ilham kepada kami.
Foto-foto yang terpajang di rumah Ilham Aidit. [Suara.com/Muhammad Yasir]

Kerapkali, memasuki bulan September, media massa mengulas tragedi pembunuhan tujuh perwira tinggi mililer Indonesia atau biasa disebut peristiwa Gerakan 30 September 1965—yang sebenarnya terjadi pada tanggal 1 Oktober dini hari.

Ilham Aidit, sebagai putra Ketua CC PKI DN Aidit, beberapa kali diundang menjadi narasumber media massa untuk menjelaskan sejarah sebenarnya yang dinilai sudah banyak direkayasa oleh Soeharto, penguasa Orde Baru.
 “Bapak masuk televisi ya?” kata istri Ilham Aidit menirukan pertanyaan anaknya tiap melihat ayahnya menjadi narasumber.
Dia lantas tertawa saat mengatakan, 
 "Mereka mah senang, mengira, oh bapaknya artis. Padahal mengerikan, buat saya aja mengerikan he-he-he-he."
Sang istri mengetahui Ilham adalah putra DN Aidit saat keduanya hendak melangsungkan pernikahan. Dia tahu ketika membaca salah satu artikel dalam surat kabar.

Awalnya dia merasa kaget, hingga membawa surat kabar tersebut kepada orang tuanya. Beruntung, orang tua istri Ilham Aidit tidak terlalu menyoal latar belakang calon menantunya.

Akhirnya, mereka menikah tahun 2004 dan kekinian sudah dikaruniai dua orang anak laki-laki.
“Tapi setelah menikah, terus tahu bahwa itu diulasnya dahsyat, mamah saya bilang ‘jangan suruh dia wawancara lagi, jangan, sudah… sudah… sudah...” kata istri ilham Aidit.
“Saya juga selalu wanti-wanti, sudah enggak usah masuk televisi, mau masuk tv berapa kali juga tetap begitu, enggak ada perubahan.”
Menjadi istri putra pemimpin PKI bukan hal mudah. Pada awal pernikahannya, istri Ilham sempat diteror ketika menetap di Bali.

Rumah mereka dilempari oleh batu, hingga diintai oleh orang-orang tak di kenal. Kejadian tersebut terjadi pada bulan September 2004.

Sang istri berapa kali kerap bertanya pada Ilham Aidit terkait peristiwa tahun 65. Sebab, dia hanya tahu tragedi itu berdasar film dokudrama propaganda berjudul “Pengkhianatan G30SPKI” karya Arifin C Noer, yang wajib ditonton ketika masih duduk di bangku sekolah.

Film itu, pada era 80-an hingga 90-an, menjadi modal Presiden Soeharto memberikan penjelasan tentang tragedi 65 versinya sendiri. Film tersebut disponsori pemerintah Orba dengan anggaran Rp 800 juta.
“Saya nanya, aku mah dulu dengernya PKI itu pembunuh, kok bisa sih sampai diputar-balikkan sampai beberapa tahun. Sampai sekarang juga memang enggak selesai-selesai. Yang masih jadi pikiran dan pertanyaan, kok bisa sih sampai begitu?” kata istri Ilham Aidit.
Ilham langsung menimpali, “Dari situ saya bisa tahu bahwa propaganda itu memang luar biasa melekat. Saya beda umur sama istri, 21 tahun. Generasi dia itu melekat bener bahwa cerita versinya seperti itu (film Pengkhianatan G30SPKI).”
Harapan Ilham Aidit, pembodohan melalui film propaganda tersebut akan berakhir pascareformasi. Karenanya, Ilham terkaget-kaget saat tahun 2017, Gatot Nurmantyo saat menjabat sebagai Panglima TNI Jenderal, mewajibkan prajurit menonton film Pengkhianatan G30SPKI.

Instruksi Gatot Nurmantyo membuat Ilham Aidit marah. Baginya, apa yang diinstruksikan Gatot Nurmatyo hanya akan kembali menanamkan kebodohan kepada generasi bangsa, perihal sejarah yang telah direkayasa Orde Baru.

 “Saya marah besar, itu pembodohan ulang, dulu ada suatu generasi yang dibodohi, setelah reformasi berharap akan lebih baik dan terbuka.”
 “Gila saya bilang, ini generasi mau dibohongi berapa kali,” gugat Ilham.
Ilham Aidit [Suara.com/Adit]

Perpisahan Malam Jahanam

TERDENGAR SUARA ribut-ribut di sebuah rumah bilangan Jalan Pegangsaan Barat, Jakarta Pusat, Kamis malam, 30 September 1965.

Hari sudah mendekati tengah malam, sekitar pukul 23.00 WIB, dua mobil berhenti di depan rumah. Sejumlah orang turun dan mengetuk rumah.

DN Aidit, ketua partai yang mendominasi jagat politik Indonesia, dan sang istri menemui mereka. Orang-orang itu meminta izin menjemput dan mengawal Aidit ke Istana Presiden. 
“Kenapa harus malam-malam seperti ini? Kenapa enggak besok pagi saja?” kata Soetanti, bersitegang dengan para penjemput.
”Maaf bu, ini agak mendesak,” jawab si penjemput.
Soetanti kekeh, dia tetap marah-marah kenapa sang suami dapat perintah malam-malam begitu, dan mendadak pula.
”Maaf bu, pak, ini perintah Paduka Yang Mulia Bung Karno,” kata penjemput, tak mau kalah.
Mendengar nama Paduka Yang Mulia Bung Karno, amarah Soetanti mereda. Ia mengalah, mempersilakan suaminya untuk pergi.

DN Aidit lantas masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Tak lama, dia keluar kamar dan memasuki mobil. Gayanya santai.

Sepasang mata bocah berusia 6 tahun 3 bulan mengikuti langkah DN Aidit sejak keluar kamar.

Sebelum pergi, Aidit sempat menggendong anak itu tinggi-tinggi hingga mata mereka bisa beradu pandang.

Aidit juga sempat berbicara kepada Soetanti. Bocah kecil dalam gendongan Aidit tak tahu apa yang dibicarakan mama dan papanya.

Akhirnya, Aidit menurunkan bocah itu. Waktunya pergi. Sementara kedua mata bocah itu terus memandangi sang papa mulai dari pintu rumah, menaiki mobil, hingga melesat berlalu.

Bocah itu Ilham Aidit, putra keempat DN Aidit. Hingga bertahun-tahun berlalu, dia yakin papanya dijemput tanggal 30 September 1965 pukul 23.00 WIB.

Njoto (kanan berkacamata) dan Ketua CC PKI DN Aidit. [Dok. majalah Life]

Ilham kecil tahu benar lantaran dirinya menghafal suara denting jam dinding rumahnya. Dia sudah terbiasa menghitung denting jam dinding di rumahnya.

Bertahun-tahun setelahnya, Ilham baru menyadari itu adalah kali terakhir dirinya dalam gendongan papa.

Tiga hari setelah DN Aidit dijemput ke istana, 3 Oktober 1965, enam jenazah jenderal TNI AD dan satu perwira menengah ditemukan di dalam sumur berdiameter 75 sentimeter dengan kedalaman 12 meter yang kekinian dikenal sebagai sumur Lubang Buaya, di Jakarta Timur.

Situasi mulai memanas. Sekitar satu minggu setelah ditemukannya enam jenazah jenderal TNI AD dan satu perwira menengah di sumur Lubang Buaya, tuduhan dalang peristiwa tersebut mulai menyasar kepada PKI.

Ilham Aidit bersama saudara kembarnya Irfan Aidit, dan kakak mereka Iwan Aidit, dititipkan kepada adik ibunya di Bandung.

Sementara dua kakak perempuannya Ibarruri Putri Alam dan Ilya Aidit memang sedari kecil sudah tinggal di Moskow—kala itu ibu kota Uni Soviet.

Ternyata, situasi di Bandung turut memanas. Tulisan-tulisan ‘Bubarkan PKI’ dan ‘Gantung DN Aidit’ tersebar di dinding-dinding gang, sekolah, dan tempat sampah.

Ilham yang sudah bisa membaca, gemetar tiap kali membaca grafiti-grafiti di dinding itu. Dalam benaknya muncul pikiran, “Papa dimusuhi banyak orang.”

Secara naluriah, Ilham berpikir, kehidupannya bakal seratus delapan puluh derajat berubah. “Sejak saat ini, hidupku bakal lebih sulit,” kata Ilham dalam hati.

Hampir sebulan berlalu, 23 November 1965, Ilham membaca kabar duka pada dua surat kabar milik TNI, Berita Yudha dan harian Angkatan Bersenjata: DN Aidit ditembak mati di Boyolali, Jawa Tengah.

Ilham Aidit [Suara.com/Adit]

Ilham hanya bisa mengingat detik-detik terakhir papa meninggalkan rumah pada malam 30 September. Ternyata benar nalurinya, itu adalah perjumpaan terakhirnya dengan papa.

Kabar buruk kembali mendatangi Ihlam pada bulan Maret 1966. Ibunya, Soetanti dikabarkan dipenjara. Ilham Aidit mengetahui kabar itu dari bibi dan pamannya di Bandung.
“Ibumu sekarang dipenjara, penjaranya di Bukit Duri,” kata bibi kepada Ilham.
Ilham kerapkali berpindah tangan, diurus oleh sejumlah orang tua angkat setelah ditinggal papa dan mama.

Sejak tahun 1965 hingga 1992 atau hampir 27 tahun pula, Ilham tak pernah bersua maupun bisa mengontak kedua kakak perempuannya, Ibarruri Putri Alam dan Ilya Aidit, yang terpaksa menetap di Moskow dan China.

***

SUATU HARI tahun 1992, Ilham mendapat nomor telepon Ibarruri. Mereka banyak berbincang via telepon.
“Melalui telepon, kami berbicara banyak. Kakak saya tinggal di Prancis sebagai pelarian politik. Dia meminta saya datang ke sana,” kata Ilham.
”Soal pertemuan terakhir dengan papa, apa yang sekarang bisa bung simpulkan soal itu?” tanya saya.
“DN Aidit sebagai dalang kudeta 30 September itu sangat meragukan. Malam itu, saya lihat, papa sangat... sangat... sangat... santai.”
”Dia diminta datang ke istana oleh Bung Karno untuk dimintakan klarifikasi soal isu Dewan Jenderal. Saya yakin papa mengetahui hal itu.”
”Tapi bahwa DN Aidit merencanakan lubang buaya, penculikan, saya yakin tak seperti itu,” kata Ilham, serius.
Bully yang Merajam

NAMA AIDIT yang melekat padanya, berubah bak kutukan bagi Ilham setelah tragedi politik serta kemanusiaan 1965.

Semasa duduk di bangku SMP, Ilham Aidit kerap diejek oleh sebagian temannya. “Aidit Gantung” atau “anak PKI” menjadi perisakan yang dialamatkan kepada Ilham sehari-hari.

Ilham anak yang kuat dan pemberani. Tak jarang ia berkelahi karena tak terima ada seseorang yang menghina papanya.

“Kehidupan saya yang paling rumit itu SMP. Kalau diledek sedikit, berantem. Jadi saya masih ingat, seminggu itu ada dua kali berantem,” kata Ilham.
“Saya babak belur juga, karena waktu SMP, pikiran saya belum matang.
Jadi, kalau ada yang meledek, menghina papa, saya pikir harus dilawan dengan pukulan.”
Sikap Ilham menghadapi perundungan berubah total setelah dirinya dipanggil menghadap seorang pastor asal Belanda yang mengelola SMP-nya.

Sang pastor mengakui kepada Ilham, dirinya mengetahui latar belakang keluarganya. Pastor itu pula yang mengingatkan Ilham Aidit untuk tidak terlalu menghiraukan ejekan sebagian temannya.

Ilham diminta tak ambil pusing terhadap perisakan, karena justru dapat merugikan dirinya. Apalagi, akibat sering berkelahi, nilai akademik Ilham Aidit semakin menurun.
“Dia mengajarkan saya untuk mengabaikan bullying itu. Dan saya merasa semenjak itu saya betul-betul disiplin.”
Ilham Aidit [Suara.com/Adit]

Diskriminasi sebagai anak PKI tidak hanya dirasakan Ilham Aidit kecil. Selepas tamat kuliah, Ilham Aidit masih merasakan betapa tak merdekanya dia di tengah alam kemerdekaan.

Sekitar tahun 1988, banyak peraturan-peraturan pemerintah yang melarang bagi siapa pun yang terlibat langsung maupun tak langsung dengan PKI untuk menjadi pegawai negeri sipil.
“Jadi guru tidak boleh, PNS juga, TNI apalagi. Diskriminasi seperti itu berjalan puluhan tahun,” kenangnya.
Tapi Ilham Aidit keras kepala. Ia sempat mencoba tes sebagai CPNS. Ilham mengisi seluruh daftar riwayat hidupnya saat melamar, apa adanya. Pada kolom nama orang tua, Ilham menuliskan: Dipa Nusantara Aidit.

Ilham Aidit sadar betul dirinya tidak akan diloloskan. Namun, hal itu dia lakukan semata-mata untuk membuktikan apakah benar anak seorang PKI tidak bisa mencalonkan diri sebagai PNS.
“Saya sudah tahu, tapi saya hanya pengin mencoba, benar atau enggak, ternyata benar. Sudah, jangan harap jadi PNS, saat itu tidak bisa.”
Kini, ketika Indonesia merayakan 74 tahun kemerdekaannya, Ilham mengakui diskriminasi seperti pada era Orba tak lagi kental dirasakan.

Kebebasan berpendapat dan berbicara sebagai seorang keturunan PKI jauh lebih baik jika dibandingkan saat di masa rezim orde baru.

Namun, bagi Ilham Aidit, kemerdekaan yang dirasakannya sebagai anak keturunan PKI, apalagi putra DN Aidit, tidaklah sama dengan warga negara Indonesia lain.

Stigma terhadap PKI dan DN Aidit sebagai dalang tragedi berdarah 1965 masih cukup kuat tertanam pada benak masyarakat, akibat propaganda Orde Baru.
“Untuk orang-orang seperti saya, yang terkait peristiwa 1965, tentu sampai saat ini tidak bisa bilang bahwa kami sudah betul-betul merdeka.”

Selasa, 30 April 2019

Sejarah Nasakom: Upaya Sukarno Menyatukan Tiga Kekuatan Politik

Oleh: Iswara N Raditya - 30 April 2019


Presiden Indonesia Sukarno (kanan), memegang pundak Ketua Partai Komunis Indonesia D. N. Aidit ketika Sukarno memuji Aidit saat rapat umum di Stadion Olahraga Merdeka Jakarta, 23 Mei 1965. Mereka merayakan ulang tahun PKI, Partai Komunis Indonesia. AP Photo 


Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatan wapres karena Sukarno menghendaki Demokrasi Terpimpin dan Nasakom.

Konsep Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom) dicetuskan oleh Sukarno. Rumusan ini mewakili tiga pilar utama yang menjadi kekuatan politik bangsa Indonesia, sejak era pergerakan nasional hingga pasca-kemerdekaan.

Beberapa waktu lalu, Hanum Rais sempat menyinggung mengenai Nasakom melalui akun media sosialnya. Putri Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengomentari pemberitaan tentang Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan istilah tersebut. 
"Partai NasaKom. Bukan Nasional Komunis lho. Tapi Partai Nasib Satu Koma," cuit Hanum di Twitter, Kamis (24/4/2019).
Nasakom sendiri menjadi ciri khas era Demokrasi Terpimpin yang berlangsung pada 1959 hingga 1965. Namun, gagasan ini ternyata sudah dipikirkan oleh Sukarno jauh sebelum itu, yakni pada 1926. Dalam artikelnya di surat kabar Soeoleh Indonesia Moeda, Sukarno menulis:
“Dengan jalan yang kurang sempurna, kita mencoba membuktikan bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain,” tulis Sukarno.
“Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah asas-asas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini,” lanjutnya.
Sukarno muda menilai ada tiga aliran politik yang menjadi pilar pergerakan nasional dalam kehidupan bangsa pada zaman kolonial Hindia Belanda kala itu. Pertama adalah kelompok nasionalis yang diwakili Indische Partij (IP), kedua golongan muslimin yang mewujud dalam Sarekat Islam (SI), dan ketiga Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan ideologi marxisme.

Tiga dekade berselang, tepatnya 1956 atau 11 tahun setelah Indonesia merdeka, Bung Karno mengumandangkan kembali gagasan yang pernah dilontarkannya pada 1926 itu. Ia mengkritik sistem Demokrasi Parlementer yang dianggapnya tidak cocok diterapkan di Indonesia. 

Dikutip dari buku Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta (2010) karya Zulfikri Suleman, Demokrasi Parlementer melindungi sistem kapitalisme –karena menurut Sukarno, parlemen dikuasai oleh kaum borjuis– dan oleh karenanya tidak akan bisa memakmurkan rakyat.
Tak hanya itu, Bung Karno juga menganggap sistem Demokrasi Parlementer juga bisa membahayakan pemerintahan.
“Di dalam Demokrasi Parlementer, tiap-tiap orang bisa menjadi raja, tiap-tiap orang bisa memilih, tiap-tiap orang bisa dipilih, tiap-tiap orang bisa memupuk kekuasaan untuk menjatuhkan menteri-menteri dari singgasananya,” sebutnya.
Maka, pada Februari 1956, Sukarno mengusulkan konsep baru yang disebutnya Demokrasi Terpimpin dengan berpondasi kepada tiga pilar utama: Nasakom.

Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002) mengungkapkan, konsep Demokrasi Terpimpin dan Nasakom ditentang oleh Mohammad Hatta, sang wakil presiden.

Menurut Rosihan, Nasakom berarti bekerja sama dengan PKI dan Hatta kurang cocok dengan itu.

Bagi Hatta, Demokrasi Terpimpin membuat kekuasaan negara kian terpusat kepada sosok presiden, dan itulah yang memang terjadi. Syafii Maarif dalam Demokrasi dan Nasionalisme: Pengalaman Indonesia (1996) menyebut, Hatta mundur dari kursi wakil presiden karena Sukarno semakin otoriter.

Dwitunggal pun akhirnya tanggal. Dua sosok proklamator berpisah jalan.
Hatta menepi, Sukarno semakin kokoh di puncak kekuasaan. Taktik Politik Sukarno Sepeninggal Hatta, Sukarno semakin leluasa mengkampanyekan konsep Nasakom-nya.

Dengan sistem Demokrasi Terpimpin, Bung Karno menyatukan tiga kekuatan politik dengan tujuan untuk semakin memperkuat posisinya. Nasakom memang menjadi tiga faksi utama dalam perpolitikan Indonesia kala itu.

Ada partai-partai politik berhaluan nasionalis terutama Partai Nasional Indonesia (PNI) besutan Sukarno, termasuk kalangan militer, ada kelompok Islam macam Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), serta golongan kiri yang dimotori PKI. Tak berhenti di situ. Sukarno bahkan menyatakan bahwa Nasakom merupakan perwujudan Pancasila dan UUD 1945 dalam politik.

Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1961, sang penguasa berucap lantang: 
“Siapa yang setuju kepada Pancasila, harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila,” seru Sukarno dikutip dari buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) yang ditulis oleh Jan S. Aritonang.
Sukarno melanjutkan, “Sekarang saya tambah: Siapa setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945, harus setuju kepada Nasakom; Siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945.”

Kampanye Nasakom bahkan dibawa Bung Karno hingga ke forum internasional. Dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 30 September 1960 di New York, Amerika Serikat, Sukarno menyampaikan pidato bertajuk “To Build The World a New”.
“Sukarno menawarkan sebuah konsep tata dunia yang baru. Sukarno ketika itu merangkum konsepsi politiknya sebagai Nasakom: Nasionalisme, Agama, Komunisme,” sebut Bernhard Dahm, periset senior yang telah banyak meneliti tentang sejarah Asia Tenggara dan Indonesia, dalam wawancara dengan dw.com.
“Pemahaman Komunisme di sini adalah sebagai Sosialisme, karena dasar pemikirannya adalah prinsip keadilan sosial, yang juga menjadi dasar pemikiran politik Karl Marx,” imbuh profesor berdarah Jerman kelahiran Sumatera ini.
“Jadi, Sukarno yakin bahwa perbedaan dan perpecahan dunia dalam persaingan ideologis saat itu bisa dijawab dengan menghormati nasionalisme, agama dan prinsip sosialisme,” tambah Dahm.
Selanjutnya, dalam Sidang Panca Tunggal Seluruh Indonesia yang digelar di Istana Negara, Jakarta, tanggal 23 Oktober 1965, Sukarno lagi-lagi menegaskan tentang pentingnya Nasakom. 
“Ik ben nasionalist, ik ben islamiet, socialist. Tiga in one. Three in one [... ] Aku adalah perasan daripada Nasakom,” kata Bung Karno.
Ini disampaikan Sukarno bahkan ketika pengaruhnya mulai luruh dan pamor PKI hancur akibat Gerakan 30 September (G30S) 1965. Tapi, sekuat apapun Bung Karno mempertahankan Nasakom-nya, rumusan ini akhirnya kandas juga seiring peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru pimpinan Soeharto yang sangat anti-komunis.

Penulis: Iswara N Raditya Editor: Nuran Wibisono


Bung Karno menyatukan tiga kekuatan politik dengan tujuan untuk semakin memperkuat posisinya

Source: Tirto.Id 

Senin, 04 Maret 2019

Saling Hajar Masyumi-PKI


Kaum islamis dan komunis bersaing ketat dalam Pemilu 1955. Mereka saling menjelekan dalam ajang kampanye.

Hendi Johari - 04 Maret 2019

Poster-poster saling menjatuhkan antara Masyumi dengan PKI. (Sumber: Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi&Islam Integral karya Remy Mardinier)

PEMILU 2019 akan berlangsung 44 hari lagi. Namun persaingan antar partai  politik (terutama partai-partai politik terkemuka) dan calon presiden sudah terasa sejak hari-hari kemarin. Berbagai cara dilakukan untuk menonjolkan kualitas masing-masing konstestan. Tak jarang itu dilakukan lewat prilaku saling menjatuhkan dan menjelek-jelekan lawan politik. Media sosial menjadi palagan efektif untuk melontarkan kampanye dan sumpah serapah politik. Kompetisi antara kubu #2019 Ganti Presiden dengan #2019 Tetap Jokowi pun terselenggara dalam situasi yang banal dan nyaris tanpa akal sehat.

Situasi yang nyaris sama pernah terjadi menjelang berlangsungnya Pemilu 1955. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) adalah dua partai politik yang kerap terlibat adu tegang. Tidak hanya lewat poster, para juru kampanye kedua partai politik itu tak jarang menghamburkan provokasi yang kadang menimbulkan adu fisik antar masing-masing massa pendukung.

Isu Anti Agama

Bagi Masyumi, isu paling efektif untuk menghajar PKI adalah soal isu “keatheisan” partai berlambang palu arit tersebut. Dalam surat kabar Abadi, 30 Maret 1954, tokoh Masyumi Jusuf Wibisono menyatakan adalah suatu kemustahilan bagi pihak-pihak yang akan menyatukan kalangan agama dengan kalangan komunis. Terlebih kaum komunis tidak mengenal Tuhan dan agama.

Itu pula yang diyakini para pemimpin Masyumi yang melihat “niat jelek” PKI kala mengusulkan mengganti sila “Ketuhanan yang Maha Esa” dalam Pancasila dengan prinsip kebebasan beragama. “Suatu langkah pertama menuju peresmian “kebebasan propaganda antiagama”,” demikian menurut pernyataan sikap yang dikeluarkan BKOI (Badan Koordinasi Organisasi Islam) dalam Abadi, 18 Januari 1955.

Isu yang menempatkan PKI sebagai lawan kaum beragama, disantap habis oleh masyarakat kebanyakan terutama di daerah-daerah. Di Cianjur, Atikah masih ingat saat remaja dirinya berkawan akrab dengan seorang putri dari tokoh PKI setempat. Namun menjelang Pemilu 1955 berlangsung tetiba orangtuanya yang merupakan pengikut Masyumi fanatik melarang Atikah untuk berkawan lagi dengan karibnya itu.
“Alasannya dia orang kafir yang membenci agama,” kenang perempuan kelahiran Cianjur 74 tahun lalu tersebut
Menghadapi serangan politik itu, tentu saja PKI tak tinggal diam. Remy Madinier dalam bukunya Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral menyatakan sebagai upaya untuk menampik isu tersebut, PKI berupaya keras menampilkan  wajah yang lebih toleran terhadap agama.
“D.N. Aidit mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia harus menjadi “taman di mana semua agama dan keyakinan politik hidup secara harmonis dan sama-sama berjuang bahu membahu untuk menghancurkan imperialism”,” ujar peneliti sejarah Maysumi dari Prancis itu.
Aidit juga pernah ‘menyiratkan’ bahwa Nabi Muhammad bukan hanya milik golongan tertentu dan PKI tidak anti agama. Pada 28 April 1954 saat sebagai Sekretaris I PKI ia berpidato di depan kader PKI Malang: 
“Nabi Muhammad Saw. bukanlah milik Masyumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masyumi. Memilih Masyumi sama dengan mendoakan agar seluruh dunia masuk neraka. Masuk Masyumi itu haram dan masuk PKI itu halal!” ujarnya.
Menurut Remy, kata-kata Aidit sontak mendapat respon keras dari para aktivis Masjumi setempat yang langsung mengepung podium tempat Aidit berpidato. Setelah dipaksa oleh Hasan Aidid (Ketua Masjumi Cabang Surabaya), untuk menarik perkataannya, Aidit pun berujar ke khalayak yang mengepungnya: 
“Apabila diantara saudara ada yang tersinggung oleh ucapan-ucapan saya, maka saya meminta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti agama.”

Tuduhan Pro AS

Menjelang Pemilu 1955, bertiup kencang isu yang menuduh Masyumi bermain mata dengan AS (Amerika Serikat). Kendati ditolak mentah-mentah oleh kalangan pemimpin Masyumi, hubungan antara Masyumi-AS memang pernah terjalin. Setidaknya itu diakui oleh mantan agen intelijen CIA (Agency Intelijen Pusat) Joseph Burkholder Smith dalamPotrait of a Cold Warriors.
“Perhitungan kami atas situasi di Indonesia menjelang Pemilu 1955 adalah bahwa Masyumi merupakan kekuatan tanding yang dibutuhkan Indonesia untuk menghentikan kecenderungan Sukarno dan para pendukung politiknya bergerak kea rah kiri, menuju suatu pemerintahan otoriter yang didukung oleh PKI,” tulis Joseph.
Sebagai tindak lanjut dari dukungan itu, CIA menggelontorkan dana sebesar $1 juta ke Masyumi. Demikian menurut Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA.

Isu yang bertiup kencang itu tentu saja menjadi amunisi yang handal bagi PKI menghajar Masyumi sebagai partai politik yang didukung oleh kaum imperialis. Tak jarang tuduhan itu dilontarkan di depan khalayak dan memanaskan kuping para pendukung partai berlambangkan bulan sabit tersebut.

Para pemimpin Masyumi sangat sadar bahwa isu yang ditiupkan PKI itu cukup mengganggu. Dalam sebuah pertemuan Masyumi di Jember pada 21 Juli 1954, Ketua Pengurus Masyumi Cabang Sukabumi Muchtar Chazaly bertanya kepada hadirin: 
“Apakah di sini ada yang memiliki potret (Dwight D.) Eisenhower (Presiden AS saat itu)?”
Pertanyaan itu dijawab secara serempak oleh sekira 10.000 massa Masyumi dengan kata: tidak! Sang politisi Masyumi itu lantas menyimpulkan bahwa itulah buktinya bahwa Masyumi bukan agen AS, seperti yang dituduhkan oleh orang-orang komunis.
Secara sinis, Muchtar malah menyebut bahwa justru PKI merupakan agen-agen Uni Sovyet dan Tiongkok karena mereka kerap memajang foto para pemimpin komunis seperti Malenkov, Mao Tse Tung dan lain-lain.

Jumat, 15 Februari 2019

BTI dan Warisan-Warisannya


Oleh: Muhammad Nashirulhaq - 15/02/2019

Suara Tani, salah satu terbitan rutin BTI. Kredit gambar: warungarsip.co

Memperingati Hari Lahir BTI dan Kongres Petani Indonesia Pertama

Sekilas Awal Sejarah BTI

Tak seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), atau Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia),[1] BTI (Barisan Tani Indonesia) bersama dengan SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat, dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) menjadi beberapa onderbouw atau organisasi (yang dianggap) terafiliasi PKI (Partai Komunis Indonesia) yang belum dikaji secara khusus dan menyeluruh sebagai sebuah organisasi nasional, dalam satu karya akademik.[2] 

Padahal signifikansi pengaruh BTI, khususnya di tahun 1960-an, sama sekali tak bisa disepelekan. Betapa pentingnya peran organisasi tani ini di era itu, tergambar dari keanggotaannya, seperti yang ditulis Karl J. Pelzer,

“Pada bulan Maret 1954, BTI mengklaim bahwa jumlah anggotanya 800.000 orang dan sekitar 2.000.000 orang pada bulan April 1955. Pada waktu pemilihan umum yang diselenggarakan akhir tahun 1955, sekretarian BTI melaporkan bahwa jumlah anggotanya 3.300.000 orang. Pertambahan yang mengagumkan ini disebabkan oleh kampanye yang dilakukan golongan komunis secara gencar sebelum pemilihan umum. Dalam sepuluh tahun berikutnya, BTI mengalami pertambahan keanggoaan yang sangat pesat dan pada tahun 1965 mengklaim bahwa jumlah anggotanya tak kurang dari 8.500.000 orang… Tahun 1965, cabang BTI dapat ditemukan praktis di seluruh kabupaten dan di lebih dari 80 persen kecamatan yang ada di Indonesia”.[3]

Dengan besarnya jumlah kenggotaan, BTI mendinamisir kehidupan pertanian dan politik pedesaan, terutama ketika organisasi ini menjadi pendukung dan pendorong utama program land reform yang menjadi mandat UU Pokok Agraria No 5/1960 dan UU No. 56 PRP/1960. Melihat pelaksanaannya yang mengalami kemacetan akibat keengganan para pemilik dan tuan tanah untuk menyukseskan program ini, BTI melancarkan “aksi-aksi sepihak” guna mengambil alih dan menduduki tanah-tanah yang dianggap akan diredistribusikan kepada petani penggarap. Serangkaian peristiwa di berbagai daerah inilah yang seringkali dirujuk sebagai akar tensi dan konflik di pedesaan yang memuncak pada pembantaian-pembantaian selama kurun waktu 1965-1966, dengan menyasar para anggota PKI dan organisasi-organisasi yang dianggap terafiliasi dengannya (termasuk BTI di dalamnya).

“Aksi-aksi sepihak” yang seringkali diilustrasikan penuh kekerasan pula yang selalu ditekankan oleh rezim Orde Baru dan aparatusnya dalam menggambarkan BTI. Tak sampai di situ, Orde Baru juga menjadikan gambaran ini sebagai dalih untuk “mendisiplinkan” gerakan tani dengan hanya melegalkan satu organisasi tani yang bisa dipantau dan dikontrol oleh negara, HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). Karenanya, tak banyak yang kita tahu dari BTI sebagai gerakan petani terbesar di zamannya ini, selain dari apa yang digambarkan oleh Orde Baru.[4]

Namun, dari sekelumit informasi yang tersedia, dapat diketahui bahwa BTI resmi dideklaraikan pada 25 November 1945, tepatnya dalam rangkaian kongres petani yang pertama kali diselenggarakan setelah Indonesia merdeka pada 22-25 November 1945 di Yogyakarta. Kongres ini mulanya didahului oleh rapat kaum buruh bersamaan dengan kelompok-kelompok petani pada 5-7 November 1945 di Surakarta, untuk merespon Maklumat Pemerintah yang ditandatangai oleh Moh. Hatta tertanggal 3 November 1945 yang berisi pemberitahuan bahwa pemerintah Indonesia memberi kesempatan bagi terbentuknya partai-partai politik.

Melihat bahwa utusan-utusan kaum tani tidak terwakili dalam partai-partai yang baru terbentuk, kelompok ini lalu menginisiasi satu kongres, yang salah satu tujuan utamanya memang untuk membentuk organisasi petani.[5] Dalam kongres inilah BTI lalu berdiri dengan M. Tauchid, Wijono Suryokusumo, S. Sardjono “Petruk”, Djadi, Asmoe Tjiptodarsono, dan Sajoga sebagai tokoh-tokoh utamanya.[6]

BTI memang tidak lantas menjadi satu-satunya organisasi petani. Segera sesudah itu, bermunculanlah beberapa organisasi tani lain, diantaranya adalah RTI (Rukun Tani Indonesia) dan Sakti (Sarekat Kaum Tani Indonesia). Melalui dorongan PKI, pada Juli 1951 ketiga organisasi ini membentuk FPT (Front Persatuan Tani). Lebih jauh, pada awal tahun 1953 muncul usulan untuk melakukan fusi atas tiga organisasi tersebut. Hal ini ditindaklanjuti melalui kongres yang diadakan pada September 1953 di Bogor, yang menyetujui fusi antara BTI dan RTI dengan mengambil nama BTI. Selanjutnya, pada Juni 1955, Sakti juga memutuskan melebur ke dalam BTI hasil fusi sebelumnya. Dari situlah terbentuk BTI yang mapan, yang kita kenal sampai hari ini.[7]

Warisan-Warisan BTI

Melihat kebesaran BTI sebagai gerakan tani, sebaiknya kita tak berhenti dan tersihir dengan angka-angka fantastis jumlah keanggotaan. Justru, kita perlu bertanya, aspek kualitatif apa dari organisasi ini yang berhasil dikonversikannya menjadi satu lompatan kuantitatif. Setidaknya ada beberapa pencapaian BTI yang kita daftar, yang menjadikannya menarik banyak massa. Beberapa pencapaian ini juga menjadi penting sebagai bahan evaluasi atas gerakan tani hari ini yang masih sangat terfragmentasi dan kehilangan napak tilas, setelah Orde Baru betul-betul berhasil memberangus ingatan akan organisasi tani yang pernah begitu aktif dan dinamis di zamannya. Berikut adalah beberapa “warisan” yang menurut penulis perlu dilihat dan dipelajari dari BTI, mengingat aspek-aspek ini yang masih banyak absen dalam gerakan tani saat ini.

BTI Sebagai Lembaga Pendidikan

Berdasarkan data statistik, diperkirakan bahwa sekitar 84,4% penduduk Indonesia di tahun 1961 hidup di pedesaan. Angka ini tidak turun jauh dari prosentase 95,3% bagi kategori yang sama di tahun 1930. Di sisi lain, pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan Belanda, dari sekitar 5 juta pemuda usia 15-19 tahun, hanya 1.789 orang yang dapat mencecap pendidikan menengah dan 637 orang yang mampu menghadiri institusi pendidikan tinggi. Artinya, hanya 1 dari setiap 2.000 orang yang dapat mengenyam pendidikan menengah non-tradisional (seperti pesantren dan semacamnya). [8]

Meskipun mungkin tidak memberi gambaran akurat, data-data di atas cukup bisa menjadi pegangan untuk memperkirakan bagaimana kondisi pendidikan di tahun 1950-an dan 1960-an di Indonesia, khususnya di lingkup pedesaan. BTI sebagai organisasi yang menaungi petani sadar betul betapa rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pedesaan, khususnya kaum tani. Banyak di antara mereka bahkan masih buta huruf. Di saat yang sama, kelompok yang punya privilese untuk mengakses pendidikan pada umumnya adalah kelas-kelas sosial yang diuntungkan oleh struktur agraria yang timpang dan menikmati hasil eksploitasi surplus pertanian. Karenanya, BTI memberi perhatian besar bagi pendidikan kaum tani dan keluarganya, terutama karena hal ini berkaitan langsung dengan kualitas organisasi. Dalam satu publikasi BTI, majalah Suara Tani, Asmu, sang ketua mengeluhkan,
“kebanyakan anggota BTI dan petani masih buta huruf dan tingkat kebudayaan mereka secara umum masih terbelakang. Karenanya, mereka tidak sadar betapa pentingnya membaca publikasi organisasi dan mendengarkan pengajaran-pengajaran yang dilakukan oleh BTI”.[9]

Selain untuk meningkatkan kapasitas kaum tani dan kualitas organisasi, pendidikan juga diperlukan untuk mendongkrak kepercayaan diri para petani, yang selama ratusan tahun dikondisikan untuk hidup dengan mental jajahan. Pada kesempatan lain di satu kuliahnya, Asmoe menyatakan,
 “Rakyat buta huruf akan belajar membaca. Mereka yang merasa dirinya rendah akan diangkat dari lumpur yang merendahkan ke dalam pengakuan bahwa kaum buruh adalah mulia dan bahwa rakyat pekerja, termasuk kaum tani, adalah pencipta dunia ini”.[10]

Pada tahun 1957, PKI meluncurkan program Pemberantasan Buta Huruf (PBH), dan BTI menjadi garda terdepan dan ujung tombak utamanya. Pendidikannya biasanya berlangsung selama dua bulan pada musim panen. Kelak, petani-petani yang sudah mentas dari kubangan tuna aksara bertugas menularkan pengetahuannya kepada rekan-rekannya yang lain. Tak hanya sampai di situ, demi memastikan kemampuan kader-kadernya dalam membaca semakin terasah dan tidak hilang begitu saja, BTI juga mendirikan kelompok-kelompok baca dan perpustakaan-perpustakaan di berbagai tingkatan organisasi.

Selain pendidikan anggotanya, BTI yang bekerjasama dengan Universitas Rakyat (Unra) juga memperhatikan pendidikan anak-anak petani yang putus sekolah dengan mengorganisasikan program pendidikan Sekolah Dasar Sederhana (SDS), di luar waktu mereka untuk membantu orang tuanya di pertanian. Sekolah dasar disini bukan berarti hanya pendidikan dasar, tetapi jenjang  pendidikan yang dibagi dalam tiga tingkatan, mulai dari Panti Pengetahuan Rakjat (Panpera) di tingkat paling bawah, Balai Pengetahuan Rakjat (Bapera) yang setara dengan sekolah menengah pertama, dan Mimbar Pengetahuan Rakjat (Mipera) yang sebanding dengan Sekolah Lanjutan Atas (SLA) kala itu.

Namun, pemberantasan buta huruf tentu saja program minimum dan tidak cukup untuk mendorong kemajuan pertanian dan pengetahuan serta kesadaran kaum tani lebih jauh. Untuk itu, didirikanlah Sekolah Tani Egom di Cisarua, Bogor, pada April 1965, yang berperan sebagai pusat sekolah kader. Kursus-kursus yang diselenggarakan institusi ini berlangsung selama empat bulan dengan materi yang meliputi teori ekonomi-politik Marxisme, materialisme dialektis-historis (MDH), dan hal-hal seputar peningkatan produksi pertanian.[11]

BTI sebagai Lembaga Penelitian

Sebagian kita mungkin pernah mendengar konsep “tujuh setan desa”. Sebagian lagi juga mengaitkannya dengan PKI atau BTI. Namun tak banyak yang tahu bahwa kategorisasi ini tidak disusun secara asal atau jargonistik, melainkan diabstraksikan dari satu riset serius yang cukup panjang di berbagai wilayah di Jawa Barat, dan dituliskan dalam laporan yang juga serius, berjudul Kaum Tani Mengganjang Setan-Setan Desa: Laporan Singkat tentang Hasil Riset mengenai Keadaan Kaum Tani dan Gerakan Tani di Djawa Barat.[12]

BTI memang tak main-main dalam hal penelitian. Selain sekolah tani, BTI juga memiliki Institut Pertanian Egom (IPE) yang bahkan sudah didirikan lebih dahulu, tepatnya pada November 1963. Tugas utamanya, selain sebagai institusi pendidikan pertanian juga melakukan penelitian-penelitian agraria. Selaiknya institut, lembaga ini juga mengorganisir seminar dan diskusi, namun dengan orientasi praksis yang jelas manfaatnya bagi rakyat petani, seperti Seminar Produksi Pertanian yang diselenggarakan pada 1963.
Riset-riset yang dilakukan institusi ini, di samping mengenai keadaan pertanian dan gerakan tani, juga seputar hal-hal teknis pertanian. Selain IPE, penelitian dalam tema terakhir ini juga banyak dikerjakan oleh Jajasan Lembaga Penjelidikan Keilmiahan Pertanian & Pembibitan (JLPKPP) di Klaten yang didirikan sejak 1959 dan digerakkan oleh tokoh-tokoh BTI.[13]

Perhatian besar pada urusan teknis pertanian perlu ditekankan, karena menurut BTI, fungsi lembaga ini (BTI) bukan hanya untuk membangkitkan semangat revolusioner kaum tani, namun juga untuk meningkatkan produksi pertanian. Kader-kadernya harus bisa memberikan petunjuk praktis dalam hal-ihwal yang berkenaan dengan budidaya padi, palawija, beternak, budidaya ikan, dan sebagainya. Di sisi lain, mereka juga harus mau belajar dari praktik petani lokal yang dianggap memadai, di samping menawarkan terobosan-terobosan baru yang berasal dari pengetahuan ilmiah mereka. BTI perlu membuktikan bahwa apa yang mereka perjuangkan memang berhasil meningkatkan produktifitas dan taraf kehidupan kaum tani. Jika tidak, niscaya kaum tani tak akan lagi tertarik untuk bergabung dengan organisasi ini. Maka, persoalan teknis dan produktifitas pertanian menjadi pertaruhan serius oleh BTI.[14]

Penelitian-penelitian soal produktifitas pertanian ini tak bisa dilepaskan dari nama Jagus, salah satu anggota pleno Pimpinan Pusat BTI yang juga memimpin JLPKPP. Rekam jejaknya dalam penelitian benih sejak bekerja pada onderneming (perkebunan) di era kolonial, melambungkan namnaya sebagai ahli di bidang ini. Namun komitmen ideologisnya tak perlu diragukan lagi. Dengan keahliannya, ia berupaya memberi sumbangsih bagi rakyat petani dan revolusi. Seperti disimpulkan seorang penulis, “baginya, pelipatgandaan kapasitas produksi pertanian rakyat termasuk dalam mata rantai strategi revolusi nasional Indonesia, yang tidak kalah serius dan penting dibanding masalah-masalah lainnya”. Hal ini masuk akal, mengingat di akhir tahun 1950-an hingga pertengahan 1960-an, Indonesia sedang dalam gejolak kampanye memperebutkan Irian Barat dan mengganyang “negara boneka” Malaysia. Karenanya, Jagus sudah terlibat dalam gerakan swasembada beras yang dimulai sejak 1959/1960.[15]

Riset-riset yang mempelajari kondisi pertanian dan hal-hal teknis pertanian sebenarnya juga berfungsi untuk mempertahankan jalinan BTI dan PKI dengan massa rakyat itu sendiri. Para pimpinan organisasi ini sebenarnya sudah lama menyadari bahwa mereka tidak cukup pengetahuan tentang pedesaan Indonesia. Karenanya, sudah sejak kongres partai keenam pada 1959, diamanatkan adanya penelitian soal watak eksploitasi feodalisme di desa-desa. Namun, karena dirasa akan terlalu memakan banyak waktu, maka dalam Kongres Ketujuh PKI pada 1962, diputuskan bahwa riset yang akan dilakukan seputar hubungan kerja (relasi produksi) antara tuan tanah dan buruh tani untuk merumuskan kampanye peningkatan upah; dan studi spesifik mengenai penggunaan tanah, sistem panen, dan biaya produksi agar dapat meningkatkan produksi dan menetapkan permintaan realistis untuk mereformasi sistem penguasaan lahan.[16]

Riset ini dilakukan selama enam minggu di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Desa-desa yang diteliti di Jawa Timur tersebar di 70 kecamatan, dan di Jawa Barat meliputi 24 kecamatan. Besarnya jumlah yang terlibat dalam penelitian ini seperti tergambar dari Jawa Tengah, di mana ada 56 peneliti yang mengawasi dan mengolah data-data yang dikumpulkan oleh 850 pelapor lokal yang tersebar di 29 kecamatan. Sayangnya, dari penelitian ini, baru yang dilakukan di Jawa Barat yang sudah diterbitkan menjadi laporan. Sisanya belum sempat dipublikasikan sebelum Gestok (Gerakan Satu Oktober) terjadi.

Terlepas dari beberapa kekurangan, hasil penelitian yang dilakukan BTI mengundang kekaguman dari banyak pihak. Ruth McVey, seorang Indonesianis dari Universitas Cornell, misalnya, melihat keterhubungan antara baiknya kualitas riset ini dengan proses-proses pendidikan yang sudah digalakkan sebelumnya. Ia lalu menarik kesimpulan bahwa “tak diragukan bahwa laporan yang bagus ini berasal dari pengaruh jangka panjang pendidikan dan agitasi PKI”.[17]

Untuk ukuran zamannya, riset-riset BTI ini memang menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda, untuk tidak mengatakan bahwa riset-riset ini melampaui zamannya. Kepada para peneliti dan pelapor di pedesaan, misalnya, BTI menekankan prinsip yang dikenal sebagai  “tiga sama, empat jangan, empat harus” – sama kerja, sama makan, dan sama tidur; jangan tinggal di rumah elit desa, menggurui, merugikan, dan mencatat di hadapan kaum tani; dan harus sopan, siap membantu, menghormati adat istiadat setempat, dan belajar dari kaum tani. Salah seorang scholar-activist mengakui bahwa apa yang dilakukan BTI ini “dilakukan sebelum reflexive ethnography, participatory action research, dan segala jargon serta metode penelitian-penelitian yang menonjolkan aspek keterlibatan peneliti menjadi nge-tren – dan terkadang dipelintir untuk melancarkan pelaksanaan agenda-agenda developmentalis di pedesaan.”[18]

Selain itu, menurut Ben White—salah seorang pakar agraria yang juga Indonesianis—, riset-riset BTI ini menyajikan gambaran detail akan kondisi kehidupan petani di pedesaan, khususnya para petani gurem dan buruh tani, mulai dari apa yang mereka miliki di rumah-rumah mereka, sampai rincian neraca penerimaan dan pengeluaran rumah tangga petani kaya, menengah, dan tunakisma. Gambaran ini yang hampir absen dalam riset-riset agraria sebelum BTI, yang dalam pengumpulan datanya hanya menekankan penggunaan survei-kuesioner. Selain itu, menurutnya, diskursus soal tujuh setan desa, alih-alih kategorisasi kelas petani secara klasik, adalah satu tawaran dan modifikasi kreatif BTI untuk menjabarkan betapa kompleksnya eksploitasi dan ekstraksi nilai-lebih yang terjadi pada petani miskin di pedesaan.[19]

Namun, hasil-hasil riset BTI seakan tak berbekas setelah pergantian rezim. Orde Baru yang menganggap kuatnya gerakan tani di masa sebelumnya sebagai ancaman, berupaya melakukan depolitisasi atasnya, terutama dengan melarang berdirinya serikat tani di luar yang dibentuk negara, yaitu HKTI. Analisa kelas (yang akan dibahas lebih lanjut dalam bagian selanjutnya) yang diproduksi BTI melalui riset-risetnya juga dibuang jauh-jauh dan dihilangkan dalam wacana akademik Indonesia. Alih-alih, dengan selubung Pancasila, Orde Baru selalu menekankan tatanan masyarakat yang harmonis, nir-konflik, dan setiap perbedaan kepentingan dapat diselesaikan melalui musyawarah, tanpa melihat ada hubungan yang eksploitatif di dalamnya.

Hasil-hasil riset BTI, terutama yang dimotori oleh Jagus, soal peningkatan produktifitas pertanian juga mengalami nasib yang tak jauh berbeda. Kebijakan Revolusi Hijau oleh Orde Baru, menyeragamkan hampir semua input dan sarana produksi pertanian, mulai dari bibit, pupuk, hingga pestisida, yang hampir semuanya berasal dari impor, yang mesti dibeli petani, hampir pasti melalui mekanisme kredit. Tak berlebihan rasanya ketika seorang penulis menyebut bahwa penghabisan BTI dan lembaga riset di dalamnya pada dasarnya tak sekadar menghilangkan nyawa, tapi juga ide-ide, dan upaya membangun kedaulatan pangan itu sendiri.[20]

Membawa Analisis Kelas ke Pedesaan

Sejak pertengahan 1980an, terdapat pergeseran dalam studi dan penelitian agraria di Indonesia. Dari segi lokus, penelitian yang sebelumnya banyak berfokus pada pedesaan Jawa, lalu mulai beralih ke pulau-pulau luar Jawa. Selain itu, dari segi tema, riset-riset sejak 1980an lebih banyak menyoroti proyek-proyek pembangunan yang dipromosikan oleh Orde Baru, seiring berakhirnya masa oil boom dan penetrasi yang makin masif dari lembaga keuangan global, seperti Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund).
Para penstudi dan peneliti agraria lalu lebih banyak berfokus dan mencurahkan perhatian pada bagaimana satu proyek pembangunan akan menimbulkan konflik agraria, dampak sosial, dan dampak lingkungan di tengah masyarakat.[21] Tentu saja, dalam konteks rezim fasistik yang tak segan menggusur dan meminggirkan rakyat demi kelancaran arus modal, studi-studi semacam ini menjadi relevan. Namun, di sisi lain, riset-riset dengan tema ini seringkali tidak memeriksa kondisi internal pedesaan dan mengabaikan begitu saja adanya diferensiasi kelas di kalangan petani itu sendiri. Studi-studi pedesaan dengan pendekatan kelas yang ada sebelumnya, seperti yang dikerjakan oleh Frans Huskens dan Jonathan Pincus, lalu menjadi tidak begitu populer lagi sejak masa ini.[22]

Hal yang sama juga berlaku pada serikat-serikat tani yang bermunculan pasca-Reformasi. Jika kita baca hasil studi terkait organisasi tani ini atau kebijakan pertanahan dan agraria yang menyasar basis serikat tani, akan terlihat bagaimana perjuangan gerakan tani hari ini lebih terfokus pada pengakuan hak atas tanah, tanpa melakukan penataan struktur agraria seperti yang sebenarnya dimandatkan oleh program land reform di tahun 1960an. Tak jarang, kebijakan yang mengatasnamakan “pembaruan agraria” atau “reforma agraria” dan ditandai dengan “bagi-bagi sertifikat” ini justru mengukuhkan ketimpangan penguasaan lahan yang ada. Bahkan, setelah pelaksanaan program semacam itu, tak sedikit kasus di mana terjadi rekonsentrasi penguasaan lahan, terutama di tangan elite-elite serikat tani itu sendiri.[23]

32 tahun represi Orde Baru dan upaya pengendalian petani melalui organisasi tunggal HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) berhasil menghapus ingatan dan memberangus analisis kelas dalam serikat-serikat tani kita. Absennya diskursus kelas ini sebenarnya tak hanya terjadi di sektor agraria, namun dalam ilmu sosial di Indonesia secara umum. Dan pangkalnya memang tak bisa dilepaskan dari Orde Baru. Hilmar Farid, dalam satu tulisannya menyebut,

“siapa saja yang mengamati sejarah Indonesia modern akan dengan cepat menghubungkan hilangnya konsep dan diskursus tentang kelas dari ilmu-ilmu sosial di Indonesia dengan bangkitnya Orde Baru. Ketika penghancuran kelas melancarkan jalan bagi ‘pembangunan’ (Farid, 2000), represi yang memberangus pemikiran di dunia akademik dibarengi dengan apa yang oleh salah seorang penulis sebut sebagai ‘dis-edukasi’ (Ward 1973: 75).”[24]

Berkait dengan kenyataan ini, menurut Ben White, terdapat satu pandangan dominan di kalangan pembuat kebijakan, akademisi, teknokrat, dan birokrat sejak Orde Baru, terkait gambaran masyarakat pedesaan sebagai komunitas yang tersusun secara homogen, terdiri atas “petani” yang mempraktikkan pertanian subsisten, dan proses interaksi di antara sesama mereka diatur bukan oleh individualisme, melainkan oleh gotong royong, kekeluargaan, dan kerukunan.[25] Mereka dianggap sebagai satu kesatuan unit yang integral, di mana pembelahan antara elite dan massa bukan timbul dari ketidaksetaraan dalam struktur sosial. Dalam kondisi normal, mereka hidup dalam harmoni, terlepas dari pebedaan pendapatan, situasi hidup, dan etik kerja.
Seorang pakar agraria Indonesia lainnya, S.M.P. Tjondronegoro menulis, “ada praduga kultural bahwa secara sosial dan politik, masyarakat Indonesia sudah sangat egaliter”. Konsep “kelas” lalu jelas berada di luar pandangan ini. Setiap upaya menyuarakan perjuangan kelas atau analisis kelas secara ilmiah sekalipun, akan rentan mendapat cap “PKI”. [26]

Berlawanan dari pandangan romantik semacam ini, BTI dengan pendekatan ekonomi-politiknya sadar betul bahwa apa yang kita sebut “petani” sesungguhnya terdiferenisasi dalam kelas-kelas dengan kepentingan yang berbeda satu sama lain dan terhubung dalam relasi produksi yang eksploitatif.[27] Dengan mempertimbangkan adanya kelas-kelas di antara petani itu sendiri, BTI memang dimaksudkan sebagai organisasi yang memperjuangkan kepentingan petani kecil/miskin dan buruh tani.

Dalam satu kesempatan rapat antara pengurus BTI dan Comite Central PKI, Ismail Bakri, ketua Comite Daerah Besar Jawa Barat mengeluhkan “karena banyak kader di gerakan tani revolusioner masih terdiri dari petani menengah, maka prinsip untuk menempatkan kepentingan petani kecil dan buruh tani sebagai yang utama hanya berakhir sebagai kata-kata”.
Oleh Asmu, sang ketua BTI, kenyataan ini diakui. Ia bahkan menambahkan bahwa di dalam kepengurusan pusat BTI sendiri masih terdapat kalangan tuan tanah dan petani kaya. Namun upaya terus dilakukan “untuk mendorong dan menempatkan petani miskin dan buruh tani, baik laki-laki maupun perempuan untuk duduk dalam kepemimpinan BTI dan membersihkan BTI dari kelas-kelas yang mengeksploitasi”.[28]

Melalui serangkain penelitian di tahun 1959, BTI merumuskan adanya tujuh kelompok yang mengeksploitasi petani kecil dan buruh tani, yang lalu dikenal dengan “tujuh setan desa”. Mereka adalah “tuan-tanah jahat, lintah darat, tukang-ijon, kapitalis birokrat, tengkulak jahat, bandit desa, dan penguasa jahat”. Sebagian akademisi, seperti Ben White yang disinggng sebelumnya, mengapresiasi modifikasi kategorisasi yang diajukan BTI ini. Namun pencampur-adukan antara klasifikasi bedasar penguasaan lahan, pendapatan, dan pendirian politik (political stands), juga memunculkan kritik oleh sebagian kalangan lain.[29] Sebagai contoh, BTI membagi tuan tanah menjadi “tuan tanah baik” dan “tuan tanah jahat” berdasar keberpihakannya. Hal ini jelas berbeda dari kategori kelas-kelas agraria klasik yang dirumuskan secara objektif oleh Lenin dalam The Development of Capitalism in Russia, misalnya[30].

Bertolak dari kenyataan ini, Farid bahkan menyebut bahwa “analisis PKI dan BTI lebih tampak sebagai analisis politik dengan menggunakan jargon kelas, alih-alih analisis kelas pada satu situasi politik tertentu”. Namun menurutnya, pilihan ini diambil oleh BTI dan PKI karena berdasarkan pembacaan mereka, Indonesia ketika itu berada dalam tahap “semi-jajahan dan semi-feodal”, sehingga nasionalisme radikal dianggap lebih mendesak kala itu dibanding perjuangan kelas. Aidit dianggapnya menelan mentah-mentah doktrin Mao Zedong yang menulis bahwa partai komunis tak bisa berjuang secara langsung menuju sosialisme, tetapi terlebih dahulu harus melewati perjuangan nasional-demokratik untuk membebaskan negara dari imperialisme dan menghilangkan sisa-sisa feodalisme.[31]

Sementara John Roosa mengaitkan model analisis kelas di atas dengan strategi PKI membangun sebuah “front persatuan nasional” yang bersifat populis. Apa yang diperhitungkan sebagai subjek revolusioner adalah “rakyat Indonesia” secara keseluruhan, dengan tujuan untuk mencapai apa yang disebut “demokrasi rakyat” yang memberi cukup ruang bagi kelas “kapitalisme nasional”. Persekutuan antara kelas buruh, tani, borjuis kecil, dan borjuasi nasional coba dibangun guna melawan kaum imperialis, borjuasi yang bekerjasama dengan mereka, dan tuan tanah feodal. Lebih jauh, pembacaan kelas ini dikembangkan lebih lanjut menjadi satu teori yang disebut “teori dua aspek kekuasaan negara”, di mana satu aspek “pro-rakyat” harus didukung untuk melawan unsur-unsur “anti-rakyat” dalam pemerintahan.[32]

Di kemudian hari, terutama setelah peristiwa Gestok, beberapa elemen dalam partai sendiri melakukan otokritik atas model analisa ini. Namun, terlepas dari analisis kelas yang tidak jeli dan menjadi satu kesalahan yang cukup fatal, BTI setidaknya telah berusaha membawa analisis kelas ke lingkup pedesaan. Jika kita bandingkan dengan serikat-serikat tani hari ini, misalnya, analisis kelas yang dimiliki BTI kala itu bisa dibilang sudah selangkah lebih maju.

Mempromosikan Koperasi sebagai Ekonomi Bersama Kaum Tani

Dalam satu wawancara dengan penulis, seorang ketua serikat petani di Garut, Jawa Barat, berulangkali mengungkapkan kekhawatirannya, bahwa tanah-tanah garapan petani yang telah mendapat sertifikat hak milik dari pemerintah justru akan berpindah tangan melalui mekanisme gadai/agunan atau jual-beli. Beberapa kondisi yang mendorong fenomena ini adalah sulitnya akses permodalan dan absennya lembaga pemberi kredit atau simpan-pinjam untuk keperluan modal atau kebutuhan mendesak, di luar renternir, pengijon, tengkulak, atau bank. Kenyataan ini cukup tipikal di mana-mana dan sudah menjadi problem yang dihadapi petani dan serikat petani sejak dulu, termasuk BTI.

Dalam upaya mengatasi persoalan keterbatasan modal dan penyediaan akses simpan-pinjam bagi kebutuhan mendesak kaum tani ini, BTI mengajukan bentuk koperasi. Dalam konferensi nasional petani pada April 1959, BTI bersama PKI mengelaborasi kebijakannya mengenai koperasi, khususnya koperasi kredit dan koperasi yang menampung dan memasarkan hasil produksi pertanian. Selanjutnya, dalam kongres PKI keenam pada September tahun yang sama, D.N. Aidit menyerukan kepada pemerintah untuk menyediakan perlindungan dan fasilitas yang lebih besar bagi koperasi. Dengan adanya koperasi, diharapkan petani miskin mempunyai “bantalan” (cushion) yang melindungi mereka dari tekanan ekonomi.[34]

Menurut Aidit, ada dua segi positif yang perlu dikembangkan dari koperasi. Pertama, bahwa ia dapat mempersatukan rakyat pekerja yang lemah ekonominya dan menghambat proses diferensiasi produsen kecil. Dengan persatuan dan kerjasama ini, kaum tani dapat mengurangi eksploitasi tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, tengkulak dan kelas pemodal. Sebab, perjuangan membebaskan kaum tani dari penghisapan tuan tanah dan lintah darat sebagai sisa-sisa feodalisme adalah bagian dari perjuangan revolusi untuk Indonesia yang demokratis. Kedua, koperasi juga dapat digunakan untuk meningkatkan produksi, sehingga dapat menambah pendapatan anggota-anggotanya.[35]

Sebagai wujud keseriusan untuk membangun koperasi petani ini, pada 1963, BTI membentuk sebuah pusat sekolah koperasi petani untuk sekitar 400 kader-kader BTI di tingkat provinsi. Di bawah itu, di tingkat provinsi, ada sekolah-sekolah regional yang melatih kader di tingkat kabupaten, dan seterusnya hingga ke tingkat kecamatan, yang di situ kursus kilat diorganisir untuk mendidik kader di cabang lokal (ranting) dan para pemimpin kelompok. Bahan-bahan pendidikan banyak disuplai oleh Akademi Ilmu Sosial Aliarcham (AISA), di mana departemen Ekonomi Politik dalam institusi tersebut memberi perhatian cukup besar tentang tema koperasi.[36]

Namun, yang penting untuk digarisbawahi, koperasi yang dipromoikan BTI adalah koperasi yang didasari oleh analisa kelas. Dan bahwa koperasi 
hanya satu jalan dan upaya dalam memperkuat ekonomi kaum tani.

Karenanya, Aidit, misalnya, dalam satu tulisannya dengan tegas menolak pernyataan Moh. Hatta bahwa “koperasi adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kemakmuran bagi bangsa kita yang masih lemah”. Sebaliknya, dalam pandangan BTI dan PKI, upaya pembangunan dan penguatan koperasi harus berjalan siring dengan “perdjuangan Rakjat… melikwidasi kekuasaan kapitalis monopoli imperialis dan sisa-sisa feodalisme di Indonesia”. Organisasi ini menyadari betul apa yang disampaikan Soekarno dalam peringatan Hari Koperasi, 12 Juli 1962, bahwa “kita punya tujuan bukan sekadar masyarakat kapitalis dengan koperasi, koperasi kaum buruh atau kaum tani di dalamnya”.[37]

Karenanya, koperasi yang dibayangkan BTI bukanlah koperasi yang diisi campur aduk antara kelas pemodal, petani kaya/besar, dan petani gurem atau petani tunakisma penyakap (landless-tenants) dengan kepentingan yang sesungguhnya berbeda satu sama lain. Alih-alih, koperasi kaum tani idealnya dibangun secara swadaya, mandiri, dan berdaulat, tanpa campur tangan pemodal yang hanya ingin menjadikannya sebagai ladang bisnis, dan dengan subyek penerima yang jelas, yaitu kelas-kelas petani yang terdapat dalam lapisan-lapisan paling bawah dalam stratifikasi sosial petani.
Implikasinya, koperasi yang dimaksud disini bukanlah koperasi yang sekadar menjadi ajang arisan “kelas menengah” yang sedang gandrung dengan istilah dan konsep “koperasi”. Dan bahwa mendirikan koperasi tanpa ditunjang analisa kelas sesungguhnya menjadi sebentuk langkah melucuti “koperasi” dari elan dan potensi revolusionernya.[38]

Aidit, misalnya, dalam menyandingkan soal peran koperasi dalam menggenapi program land reform menulis,

“Saudara-saudara tentu akan bertanya, di mana kedudukan daripada koperasi dalam ekonomi nasional demokratis yang hendak kita bangun. Koperasi memainkan peranan mengorganisasi pemilik-pemilik alat produksi kecil seperti nelayan, tukang kerajinan tangan, dan terutama kaum-kaum tani yang telah memiliki tanah-tanah garapan, baik yang dimiliki sebelum dilaksanakan landreform yang radikal maupun sebagai hasil dari pembagian tanah yang disita dari tuan tanah. Koperasi kaum tani, koperasi pertnaian akan merupakan organisasi ekonomi yang membantu meningkatkan taraf hidup kaum tani dan mendorong peningkatan produksi serta memajukan pertanian”.[39]

***
Tanpa perlu terjebak dalam glorifikasi dan romantisme, rasanya memang perlu diakui bahwa BTI menjadi organisasi dan gerakan tani yang pilih tanding sepanjang sejarah pertanian dan agraria di Indonesia. Tidak berlebihan, sepertinya, apabila dinyatakan bahwa (sampai) hari ini, baik dari segi kuantitas jumlah keanggotaan, maupun kualitas keorganisasian dan signifikansi peran yang dimainkannya, belum ada organisasi petani yang mampu menandingi BTI di Indonesia. Ben White, misalnya, menilai bahwa SPI (Serikat Petani Indonesia) yang muncul segera setelah reformasi dan menjadi anggota aktif La Via Campesina—satu organisasi “petani” trans-nasional terbesar saat ini, masih jauh dari pencapaian BTI dengan tujuh juta anggotanya.[40]

Namun, bukan sekadar jumlah keanggotaan seperti yang disoroti Ben White, yang juga penting untuk dilihat adalah relatif absennya “warisan-warisan” BTI dalam serikat-serikat tani hari ini. Sejauh pengetahuan saya, jarang kita temui organisasi tani yang juga memainkan peran sebagai lembaga pendidikan, melakukan penelitian baik dalam kondisi sosial maupun teknis pertanian, membangun koperasi-koperasi pertanian bagi kaum tani kecil, dan terutama mempunyai analisis kelas yang solid dalam melihat dinamika dan diferensiasi kelas petani di pedesaan.

SPI yang disinggung sebelumnya (dan hampir semua serikat petani di Indonesia, sebenarnya), misalnya, masih mewakili tradisi neo-populis yang juga dipegang oleh Via Campesina. Baik SPI maupun Campesina seperti nampak enggan memproblematisir isu perbedaan struktural seiring dengan penetrasi kapitalisme dalam sektor pertanian. Padahal, meskipun coba melindungi “petani” dari ancaman-ancaman yang sifatnya eksternal, seperti perampasan lahan atau monopoli korporasi benih dan agro-industri, tetapi tanpa memeriksa kondisi internal pedesaan dan pertanian hari ini yang sudah ditandai oleh diferensiasi kelas, maka organisasi dan gerakan tani terancam “barangkali bukan hanya akan gagal menghancurkan kerangkeng eksploitasi bagi mereka yang begitu mendambakannya, tapi bisa jadi justru turut melanggengkan posisi eksploitatif itu sendiri”, seperti yang ditulis seorang pengkaji agraria.[41]

Dengan melihat kenyataan-kenyataan di atas, alih-alih dimaksudkan sebatas mengenang kejayaan dan kebesaran organisasis petani Indonesia di masa lampau, tulisan ini coba memberi sumbangsih dan tawaran, bahwa banyak yang bisa dipelajari dan perlu diduplikasi dari gerakan dan keorganisasian BTI terutama pada kurun 1950an dan 1960an oleh gerakan-gerakan tani hari ini.

***
[1] Untuk kajian yang banyak menyinggung soal Gerwani, misalnya, Saskia Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra, 1999). Karya tentang Pesindo yang menjadi cikal bakal Pemuda Rakyat seperti Norman Joshua Soelia, Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (Tangerang: Marjin Kiri, 2017). Bandingkan dengan beberapa literatur soal Lekra seperti Muhidin M. Dahlan & Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (Yogyakarta: Merakesumba, 2008); Alexander Supartono, Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965 (Yogyakarta: Wacana Sosialis); atau JJ Kusni, Di Tengah Pergolakan: Turba Lekra di Klaten (Yogyakarta, Ombak, 2009).
[2] Sebelumnya memang sudah ada beberapa kajian soal BTI, tetapi sifatnya lokal atau parsial hanya menyoroti isu tertentu (semisal aksi sepihak), atau memang bertujuan untuk menggambarkan BTI dengan citra yang buruk, sebagaimana dalam narasi Orde Baru. Lihat, misalnya Octandi Bayu Pradana, Petani Klaten Bergerak: BTI, Aksi Sepihak, dan Penghancurannya 1950-1965 (Yogyakarta: Kendi, 2016); atau Aminuddin Kasdi, Kaum Merah Menjarah: Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur, 1950-1965 (Surabaya: YKCB & CICS, 2001).
[3] Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani (Jakarta: Sinar Harapan, 1991), hlm 72. Tentu saja kita bisa meragukan angka-angka yang dikutip oleh Pelzer dari publikasi-publikasi PKI atau BTI. Tetapi bahwa kenggotaan BTI memang besar dan mengalami peningkatan pesat adalah kenyataan yang sulit ditepis.
[4] Padahal, jika mau adil, sebenarnya apa yang disebut “aksi-aksi sepihak” dan pendudukan yang dilakukan oleh BTI bersama Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) di era sebelumnya mempunyai peran besar dalam menasionalisasi aset-aset peninggalan Hindia Belanda, khususnya perkebunan. Sebab, sebagai akibat dari perjanjian yang disepakati dalam KMB (Konferensi Meja Bundar, pemerintah RIS yang dibentuk kala itu harus mengembalikan aset-aset perkebunan kepada Belanda. Baca: Noer Fauzi Rachman, Landreform dari Masa ke Masa (Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2012), hlm 28 dan 51.
[5] Noer Fauzi Rachman, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia (Yogyakarta: Insist, KPA, dan Pustaka Pelajar, 1999), hlm 131.
[6] A. Nashih Luthfi dan Amien Thohari, “Mochammad Tauchid: Tokoh Pendiri Bangsa, Gerakan Tani, dan Pendidikan Taman Siswa” dalam Mochammad Tauchid, Masalah Pertanian Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia (Yogyakarta: STPN Press, 2009), hlm 644. Di kemudian hari, ketika organisasi ini semakin dekat dan terafiliasi dengan PKI, yang menjadi ketuanya adalah Asmoe. Baca: Rex Mortimer, Indonesia Communism Under Soekarno: Ideology and Politics 1959-1965 (Singapore: Equinox, 2006).
[7] Pelzer, Sengketa Agraria, hlm 72.
[8] Benedict R’O.G. Anderson, Java in A Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1966 (New York: Cornell University, 1972), hlm 16-17.
[9] Mortimer, Indonesian Communism, hlm 293. Ia mengutipkannya dalam Bahasa Inggris, dan penerjemahan ke Bahasa Indonesia oleh penulis.
[10] Ruth McVey, Mengajarkan Modernitas: PKI Sebagai Sebuah Lembaga Pendidikan (Jakarta, IndoProgress, 2016), hlm 29-30.
[11] Keterangan soal program PBH, SDS, dan sekolah tani bersumber dari Ibid, hlm 39.
[12] Bandingkan, misalnya, dengan pernyataan Taufik Ismail yang menganggap konsep “tujuh setan desa” sebagai jargon semata. URL: https://radiobuku.com/2015/10/taufiq-ismail-di-pekan-raya-buku-frankfrut-komunis-gaya-baru-itu-ada/
[13] Tidak jelas benar, apakah lembaga ini sama dengan Lembaga Keilmuan Jagus untuk Pertanian dan Pemilihan Benih yang disebut oleh McVey. Namun, dengan melihat lokasi keduanya di Klaten, dan keberadaan Jagus di dalamnya, ada kemungkinan (cukup besar) bahwa nama yang berbeda ini merujuk pada lembaga yang sama, meskipun McVey menyatakan bahwa Lembaga Keilmuan Jagus berdiri setelah Institut Pertanian Egom, artinya setelah 1963. Tentang sekelumit informasi soal JLPKPP, lihat Grace Leksana, “Jagus dan Hilangnya Kedaulatan Pangan Kita” dalam Harian IndoProgress, 31 Oktober 2016, URL: https://indoprogress.com/2016/10/jagus-dan-hilangnya-kedaulatan-pangan-kita/
[14] McVey, Mengajarkan Modernitas, hlm 50. Persoalan produktifitas ini terasa semakin mendesak di era kiwari, ketika lahan pertanian semakin menyempit, sementara pertumbuhan penduduk dunia mengandaikan kebutuhan pangan yang terus meningkat. Hal ini juga ditekankan oleh akademisi ekonomi-politik agraria Marxis, Henry Bernstein dalam karyanya, Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria (Yogyakarta: insist Press, 2015), khususnya pada Bab II.
[15] Leksana, “Jagus dan Hilangnya Kedaulatan Pangan Kita”. Penulis berterima kasih kepada Kawan Wahyu Eka yang merekomendasikan artikel ini.
[16] Ibid, hlm 52.
[17] Ibid, hlm 53.
[18] Iqra Anugrah, “Tiga Sama: Sebuah Refleksi Etnografis” dalam Harian IndoProgress, 26 Juli 2016. URL: https://indoprogress.com/2016/07/tiga-sama-sebuah-refleksi-etnografis/
[19] Ben White, “Remembering The Indonesian Peasants’ Front and Plantation Workers Union (1945-1966)” dalam Journal of Peasant Studies 2015.
[20] Leksana, “Jagus dan Hilangnya Kedaulatan Pangan Kita”.
[21] Nancy Peluso dan Gilian Hart, “Revisiting ‘Rural’ Java: Agrarian Research in The Wake of Reformasi: A Review Essay” dalam Jurnal Indonesia 80 (Oktober 2005).
[22] Bdk, misalnya Jonathan Pincus, Class, Power, and Agrarian Change: Land and Labour in Rural West Java (London: Palgrave Macmillan, 1996); Frans Husken, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980 (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1998).
[23] Untuk kajian yang menyinggung soal transaksi tanah setelah pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di masa rezim Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, lihat Mohammad Shohibuddin, Surya Saluang, dan Laksmi Safitri, Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria dan Krisis Sosial Ekologi (Bogor: Sains, 2010).
[24] Himar Farid, “The Class Question in Indonesian Social Science” dalam Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia (Singapore: Equinox & ISEAS, 2005), hlm 167.
[25] Ben White, “UU nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa: Pertarungan Visi dan Wacana dalam Penelitian dan Kebijakan” dalam Jurnal Wacana Nomor 36/Tahun XIX/2017.
[26] Farid, “The Class Question”, hlm 170, 190.
[27] Tegangan antara kedua pandangan ini diulas lebih mendalam oleh Ben White dalam tulisan lain, “Marx and Chayanov at The Margins: Understanding Agrarian Change in Java” dalam Journal of Peasant Studies 2018.
[28] Mortimer, Indonesian Communism, hlm 293-4.
[29] Kritik yang paling sistematis terhadap kategorisasi ini, sejauh pengetahuan penulis, ditulis oleh Farid dalam “The Class Qustion”; juga tulisannya yang lain “Sekilas Tentang Analisis Kelas dan Relevansinya” dalam Harian IndoProgress, 7 dan 9 Januari 2008. URL: https://indoprogress.com/2008/01/sekilas-tentang-analisis-kelas-dan-relevansinya-bagian-1-dari-2-tulisan/https://indoprogress.com/2008/01/sekilas-tentang-analisis-kelas-dan-relevansinya-bagian-2-habis/
[30] Lenin membagi kelas-kelas dalm sektor agraria dalam kategori tuan tanah (big landowners/landlord), petani kaya (big/rich peasants), petani menengah, petani kecil/miskin (small/poor peasants), petani semi-proletar, dan buruh tani (agricultural labourers/proletariats). Baca: Haroon Akram Lodhi dan Christobal Kay, “Surveying the agrarian question (part 1): unearthing foundations, exploring Diversity” dalam Journal of Peasant Studies, Vol. 37, No. 1, Januari 2010.
[31] Farid, “The Class Question”, hlm 177.
[32] John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (Jakarta: ISSI & Hasta Mitra, 2008), hlm 235.
[34] Mortimer, Indonesian Communism, hlm 261.
[35] D.N. Aidit, Peranan Koperasi Dewasa Ini (Jakarta: Depagitprop CC PKI, 1963), hlm 14.
[36] McVey, Mengajarkan Modernitas, hlm 38.
[37] Aidit, Peranan Koperasi Dewasa Ini¸ hlm 13.
[38] Penulis berterima kasih kepada Kawan Muhtar Habibi atas masukannya tentang poin analisa kelas dalam koperasi ini.
[39] Aidit, Peranan Koperasi Dewasa Ini¸ hlm 11.
[40] White, “Remembering The Indonesian Peasants’ Front”, hlm 13.
[41] Muhtar Habibi, “’Petani’ dalam Lintasan Kapitalisme”, dalam Harian IndoProgress, 18 April 2018. URL: https://indoprogress.com/2018/04/petani-dalam-lintasan-kapitalisme/