Kaum islamis dan komunis bersaing ketat dalam Pemilu
1955. Mereka saling menjelekan dalam ajang kampanye.
Hendi Johari - 04 Maret 2019
Poster-poster saling
menjatuhkan antara Masyumi dengan PKI. (Sumber: Partai Masjumi: Antara Godaan
Demokrasi&Islam Integral karya Remy Mardinier)
PEMILU 2019 akan berlangsung 44 hari lagi. Namun
persaingan antar partai politik (terutama partai-partai politik
terkemuka) dan calon presiden sudah terasa sejak hari-hari kemarin. Berbagai
cara dilakukan untuk menonjolkan kualitas masing-masing konstestan. Tak jarang
itu dilakukan lewat prilaku saling menjatuhkan dan menjelek-jelekan lawan
politik. Media sosial menjadi palagan efektif untuk melontarkan kampanye dan
sumpah serapah politik. Kompetisi antara kubu #2019 Ganti Presiden dengan #2019
Tetap Jokowi pun terselenggara dalam situasi yang banal dan nyaris tanpa akal
sehat.
Situasi yang nyaris sama pernah terjadi menjelang
berlangsungnya Pemilu 1955. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan PKI
(Partai Komunis Indonesia) adalah dua partai politik yang kerap terlibat adu
tegang. Tidak hanya lewat poster, para juru kampanye kedua partai politik itu
tak jarang menghamburkan provokasi yang kadang menimbulkan adu fisik antar masing-masing
massa pendukung.
Isu Anti Agama
Bagi Masyumi, isu paling efektif untuk menghajar PKI
adalah soal isu “keatheisan” partai berlambang palu arit tersebut. Dalam surat
kabar Abadi, 30 Maret 1954, tokoh Masyumi Jusuf Wibisono menyatakan adalah
suatu kemustahilan bagi pihak-pihak yang akan menyatukan kalangan agama dengan
kalangan komunis. Terlebih kaum komunis tidak mengenal Tuhan dan agama.
Itu pula yang diyakini para pemimpin Masyumi yang melihat
“niat jelek” PKI kala mengusulkan mengganti sila “Ketuhanan yang Maha Esa”
dalam Pancasila dengan prinsip kebebasan beragama. “Suatu langkah pertama
menuju peresmian “kebebasan propaganda antiagama”,” demikian menurut pernyataan
sikap yang dikeluarkan BKOI (Badan Koordinasi Organisasi Islam) dalam Abadi,
18 Januari 1955.
Isu yang menempatkan PKI sebagai lawan kaum beragama,
disantap habis oleh masyarakat kebanyakan terutama di daerah-daerah. Di
Cianjur, Atikah masih ingat saat remaja dirinya berkawan akrab dengan seorang
putri dari tokoh PKI setempat. Namun menjelang Pemilu 1955 berlangsung tetiba
orangtuanya yang merupakan pengikut Masyumi fanatik melarang Atikah untuk
berkawan lagi dengan karibnya itu.
“Alasannya dia orang kafir yang membenci agama,” kenang perempuan kelahiran Cianjur 74 tahun lalu tersebut
Menghadapi serangan politik itu, tentu saja PKI tak
tinggal diam. Remy Madinier dalam bukunya Partai Masjumi: Antara Godaan
Demokrasi & Islam Integral menyatakan sebagai upaya untuk menampik isu
tersebut, PKI berupaya keras menampilkan wajah yang lebih toleran
terhadap agama.
“D.N. Aidit mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia harus menjadi “taman di mana semua agama dan keyakinan politik hidup secara harmonis dan sama-sama berjuang bahu membahu untuk menghancurkan imperialism”,” ujar peneliti sejarah Maysumi dari Prancis itu.
Aidit juga pernah ‘menyiratkan’ bahwa Nabi Muhammad bukan
hanya milik golongan tertentu dan PKI tidak anti agama. Pada 28 April 1954 saat
sebagai Sekretaris I PKI ia berpidato di depan kader PKI Malang:
“Nabi Muhammad Saw. bukanlah milik Masyumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masyumi. Memilih Masyumi sama dengan mendoakan agar seluruh dunia masuk neraka. Masuk Masyumi itu haram dan masuk PKI itu halal!” ujarnya.
Menurut Remy, kata-kata Aidit sontak mendapat respon
keras dari para aktivis Masjumi setempat yang langsung mengepung podium tempat
Aidit berpidato. Setelah dipaksa oleh Hasan Aidid (Ketua Masjumi Cabang
Surabaya), untuk menarik perkataannya, Aidit pun berujar ke khalayak yang mengepungnya:
“Apabila diantara saudara ada yang tersinggung oleh ucapan-ucapan saya, maka saya meminta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti agama.”
Tuduhan Pro AS
Menjelang Pemilu 1955, bertiup kencang isu yang menuduh
Masyumi bermain mata dengan AS (Amerika Serikat). Kendati ditolak mentah-mentah
oleh kalangan pemimpin Masyumi, hubungan antara Masyumi-AS memang pernah
terjalin. Setidaknya itu diakui oleh mantan agen intelijen CIA (Agency
Intelijen Pusat) Joseph Burkholder Smith dalamPotrait of a Cold Warriors.
“Perhitungan kami atas situasi di Indonesia menjelang Pemilu 1955 adalah bahwa Masyumi merupakan kekuatan tanding yang dibutuhkan Indonesia untuk menghentikan kecenderungan Sukarno dan para pendukung politiknya bergerak kea rah kiri, menuju suatu pemerintahan otoriter yang didukung oleh PKI,” tulis Joseph.
Sebagai tindak lanjut dari dukungan itu, CIA
menggelontorkan dana sebesar $1 juta ke Masyumi. Demikian menurut Tim Weiner
dalam Membongkar Kegagalan CIA.
Isu yang bertiup kencang itu tentu saja menjadi amunisi
yang handal bagi PKI menghajar Masyumi sebagai partai politik yang didukung
oleh kaum imperialis. Tak jarang tuduhan itu dilontarkan di depan khalayak dan
memanaskan kuping para pendukung partai berlambangkan bulan sabit tersebut.
Para pemimpin Masyumi sangat sadar bahwa isu yang
ditiupkan PKI itu cukup mengganggu. Dalam sebuah pertemuan Masyumi di Jember
pada 21 Juli 1954, Ketua Pengurus Masyumi Cabang Sukabumi Muchtar Chazaly
bertanya kepada hadirin:
“Apakah di sini ada yang memiliki potret (Dwight D.) Eisenhower (Presiden AS saat itu)?”
Pertanyaan itu dijawab secara serempak oleh sekira 10.000
massa Masyumi dengan kata: tidak! Sang politisi Masyumi itu lantas menyimpulkan
bahwa itulah buktinya bahwa Masyumi bukan agen AS, seperti yang dituduhkan oleh
orang-orang komunis.
Secara sinis, Muchtar malah menyebut bahwa justru PKI
merupakan agen-agen Uni Sovyet dan Tiongkok karena mereka kerap memajang foto
para pemimpin komunis seperti Malenkov, Mao Tse Tung dan lain-lain.
0 komentar:
Posting Komentar