01/03/2019 | Fathiyah Wardah
Diskusi bertajuk “Quo Vadis Reformasi, Kembalinya Militer dalam Urusan Sipil” di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta, Jumat, 1 Maret 2019. (Foto: VOA/Fathiyah)
Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia menolak kebijakan pemerintah yang akan menempatkan perwira TNI aktif di
jabatan sipil. Menurutnya hal itu sama saja melanggar komitmen bangsa dan
negara untuk menjaga supremasi sipil, serta mendorong TNI supaya lebih profesional.
JAKARTA — Isu dwi
fungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali disorot setelah sejumlah
perwira TNI yang masih aktif kini menempati jabatan di lembaga-lembaga sipil,
seperti Letnan Jenderal Doni Monardo yang ditunjuk menjadi Ketua Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB).
Kalangan masyarakat sipil
menuding kebijakan yang diambil Presiden Joko Widodo tersebut sebagai upaya
untuk menghidupkan kembali dwi fungsi TNI dan ini melanggar ccita-cita
reformasi.
Dalam diskusi bertajuk
“Quo Vadis Reformasi, Kembalinya Militer dalam Urusan Sipil” di Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta, Jumat (1/3), Komisioner Komnas HAM
Choirul Anam menegaskan lembaganya tidak sepakat dengan langkah pemerintah itu.
Menurutnya kebijakan yang
menempatkan perwira TNI aktif di jabatan sipil sama saja melanggar komitmen
bangsa dan negara untuk menjaga supremasi sipil, serta mendorong TNI supaya
lebih profesional.
Anam mengatakan melihat
kondisi saat ini artinya peta jalan tentang reformasi TNI itu tidak ada atau
tidak berjalan. Yang terjadi justru TNI lebih mengedepankan pragmatisme. Karena
itu tidak mengherankan kalau TNI sudah menandatangani 30-an nota kesepahaman
dengan kementerian atau lembaga untuk pelibatan TNI dalam urusan sipil.
Sementara ketika diminta
datang untuk memberi kesaksian saat Komnas HAM mengusut suatu kejadian yang
menimpa masyarakat sipil, sebagian besar perwira TNI menolak datang. Ini juga
menunjukkan gagalnya reformasi di tubuh TNI, tegas Anam.
“Roadmap yang tidak jelas
ini tercermin dalam konteks reformasi peradilan militer. Sampai saat ini wacana
reformasi peradilan militer nggak jelas arahnya kemana. Ini juga totokritik
terhadap otoritas sipil karena yang membuat undang-undang soal peradilan
militer bukan tentara, tapi tritas politik sipil. Jadi supremasi sipil ini juga
gagal untuk mendorong bagaimana agenda-agenda penting dan strategis dalam
pertahanan negara tidak berhasil," kata Anam.
Presiden Jokowi Dinilai Harus Lebih Tegas Sikapi
Wacana TNI Masuk Institusi Sipil
Peneliti di Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsudin Haris juga sependapat. Menurutnya,
Presiden Joko Widodo harus lebih tegas menolak wacana masuknya TNI ke institusi
sipil.
Ia mengakui bahwa sejak
awal kekuatan politik sipil memang tidak memiliki visi, agenda, dan skema yang
jelas tentang bagaimana seharusnya posisi militer dalam sistem demokrasi pasca
tumbangnya rejim Orde Baru.
Lebih lanjut Syamsudin
mengungkapkan partai-partai politik di Dewan perwakilan Rakyat hasil Pemilihan
Umum 1999 dan pemilihan-pemilihan umum berikutnya juga sama; tidak memiliki
visi, agenda, dan skema yang jelas tentang bagaimana posisi militer
paca-Soeharto.
Oleh karena itu reformasi
sektor keamanan lebih merupakan agenda berbagai elemen masyarakat sipil
ketimbang agenda otoritas politik resmi hasil pemilihan umum yang demokratis.
Syamsudin menduga pola
kompromistis dalam hubungan antara sipil dan militer telah membuka peluang
munculnya wacana mengenai penempatan TNI aktif dalam jabatan-jabatan sipil.
"Presiden Jokowi
sebagai pemegang otoritas sipil yang dihasilkan oleh pemilu, mestinya bisa lebih
tegas menolak wacana penempatan TNI aktif dalam jabatan-jabatan sipil. Sebab
ini pada dasarnya bukan tidak sesuai dengan keniscayaan supremasi sipil dalam
sistem demokrasi, tapi juga mengkhianati agenda reformasi kita," ujar
Syamsudin.
TNI Punya Kapasitas Lain Yang Tak Kalah Penting,
Selain Masuk Institusi Sipil
Direktur Eksekutif
Imparsial Al A'raf menegaskan di negara manapun militer direkrut, dilatih, dan
dipersiapkan untuk berperang. Karena itu, lanjutnya, negara wajib memenuhi
semua aspek dalam membangun kekuatan untuk kesiapan TNI untuk menghadapi
perang.
Konsekuensinya, menurut Al
A'raf, anggaran negara dialokasikan untuk memodernisasi alat utama sistem
pertahanan.
Selain itu, pelatihan dan
pendidikan di dalam TNI bertujuan membangun profesionalisme. Untuk itu TNI
tidak boleh berpolitik dan berbisnis. Otoritas sipil perlu memastikan
kesejahteraan prajurit TNI.
Al A'raf menyayangkan TNI
sekarang masuk lebih jauh ke urusan sipil yang bukan menjadi tugas utamanya.
Dia mencontohkan nota kesepahaman antara TNI dengan Kementerian Pertanian untuk
program cetak sawah.
"Karena sesungguhnya
operasi militer selain perang itu harus ada batasan. Meski batasan itu sudah
diatur di dalam Pasal 7 ayat 3 (Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI),
yakni harus atas keputusan politik negara, tapi juga harus dilihat kapankah hal
itu dilakukan? Selain atas dasar keputusan politik negara, dia juga dilakukan
jika kapasitas sipil tidak mampu untuk mengatasi situasi dan kondisi ancaman
yang terjadi," tutur Al A'raf.
Pelibatan TNI dalam
mengevakuasi korban tsunami di Aceh pada Desember 2004 masih dapat dimaklumi,
tetapi dalam program cetak sawah, kapasitas sipil masih mampu melakukan dan
Indonesia bukan sedang dalam krisis pangan seperti yang terjadi di sejumlah
negara Afrika, ujar Al A'raf.
Jokowi Umumkan 60 Pos Jabatan Baru Untuk Perwira
Tinggi TNI, Kontroversi Merebak
Isu TNI masuk lembaga
sipil dan menjadi dwi fungsi kembali merebak setelah Presiden Jokowi
mengumumkan akan menambah 60 pos jabatan baru untuk perwira tinggi TNI,
meskipun dibantah oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
TNI berencana menambah pos
jabatan baru bagi jabatan perwira tinggi di lingkup internal serta di
kementerian dan lembaga. Jabatan baru ini salah satunya bertujuan menampung
perwira tinggi yang bertumpuk di TNI.
Salah satu usulan adalah
restrukturisasi dan merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan revisi UU TNI dianggap perlu
karena ratusan perwira tinggi dan perwira menengah tanpa jabatan struktural.
Dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pasal 47 ayat 1 menyatakan prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pasal 47 ayat 1 menyatakan prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Sementara dalam ayat 2
disebutkan prajurit aktif dapat menempati jabatan pada kantor yang membidangi
koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris
militer presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional,
Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue Nasional, narkotik nasional, dan
MA.
Menhan Bantah Bangkitnya Kembali “Dwifungsi”
Menteri Pertahanan Ryamizard
Ryacudu membantah bangkitnya kembali konsep dwifungsi ABRI terkait wacana
personil TNI aktif diberi lampu hijau untuk menempati jabatan di kementerian
atau lembaga negara.
Menurut Ryamizard,
dwifungsi ABRI sudah selesai. Meski merespon soal kehawatiran tersebut,
Ryamizard menjelaskan, kementerian atau lembaga memiliki hak untuk menerima
atau menolak masuknya personel TNI tersebut. [fw/em]
Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/komnas-ham-tolak-tni-isi-jabatan-sipil/4809537.html?fbclid=IwAR0yxy3RGZg-15qT8cggVWZ3Kf0-lO1uOtV3nZ5y_AFFkba2hPC3dUBss-w
0 komentar:
Posting Komentar