Muhidin M Dahlan*
Dwifungsi TNI—sebelumnya akrab dengan “Dwifungsi
ABRI”—tak bisa dibunuh reformasi. Jika dwifungsi serupa kanker dalam dalam
tubuh Republik, suksesi 1998 lewat gerakan massa itu hanya bisa menjinakkannya,
menidurkannya.
Karena tak bisa dibunuh, suatu ketika ia bisa menggeliat
dan bangun kembali saat imun kelompok sipil Republik melemah karena sibuk
bertengkar segala-gala soal informasi sampah.
Kini, si dwifungsi menggeliat lagi lewat pernyataan bekas
jenderal Orde Baru dan kini menjadi bumper utama Presiden Joko Widodo bernama
Luhut Binsar Panjaitan.
Saya menduga, keluarnya wacana dwifungsi dari
jenderal cum menteri segala urusan itu bersamaan dengan kegaduhan
soal para tuan tanah yang jumlahnya hanya se-RT, tapi mampu mengatur hajat
(ekopol) ratusan juta masyarakat Indonesia.
Dwifungsi memang tak berhubungan langsung dengan soal
menjadikan para jenderal menjadi tuan tanah. Jauh lebih genealogis dari itu.
Dwifungsi yang berarti menjalankan dua fungsi sekaligus, yakni fungsi
pertahanan negara dan fungsi cawe-cawe dalam urusan “ketertiban
sipil”, susunan kromosomnya sudah terbentuk dan dibawa serta tentara saat lahir
setelah satu purnama Republik diproklamasikan di Gang Pegangsaan.
Tentu saja, genetika itu tak bernama dwifungsi,
melainkan manunggaling tentara-kawula. Lahir dari rahim rakyat ditafsir
oleh kaum bersenjata ini secara serta-merta sebagai kekuasaan menata tertib
sosial. Memang, tahun 1948 ada usaha untuk membikin profesional tubuh tentara
dengan melucuti para laskar yang datang dari kalangan kawula. Hanya tentara
terpelajar (KNIL) yang punya hak atas sebutan “tentara nasional”.
Diotaki Jenderal Nasution, salah satu jenderal peletak
dasar “tentara profesional” Republik, fungsi manunggalnya tentara-rakyat itu
memasuki gelombang kehidupan berbangsa kita. Tentara disebut profesional bila
bisa hidup dalam dua dunia dengan sama baiknya: hidup dalam budaya barak dan
cakap dalam budaya demokrasi.
Cawe-cawe dalam budaya demokrasi itu melahirkan
budaya “tentara berpolitik”. Eksperimennya tampak saat kaum bersenjata ini ikut
dalam Pemilu 1955 dengan mengendarai partai bikinan tiga kolonel aktif bernama
IPKI (Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan).
Bukan soal perolehan suaranya yang cukup signifikan,
yakni meraih 4 kursi di DPR dan 8 kursi di Konstituante, melainkan eksperimen
Kolonel Nasution, Azis Saleh, dan Gatot Subroto ini menabalkan keyakinan bahwa
dua fungsi tentara itu bisa diaplikasikan.
Seperti cendawan, tentara pun kemudian kita tahu ada di
mana-mana; bukan saja di lembaga politik, melainkan lembaga-lembaga ekonomi.
Dwifungsi tak hanya menjadikan tentara berpolitik, melainkan juga menghasilkan
“tentara pedagang”.
Di masa Sukarno, hasrat luar biasa besar tentara
menjalankan fungsi “(pen)tertib(an) sosial” masih bisa direm dengan kekuatan
penyeimbang PNI-PKI-NU (Front Nasional). Namun, fungsi itu los stang saat
Sukarno jatuh. Tentara langsung menjadi kelompok utama yang mengatur segala
peri kehidupan masyarakat. Bidang apa saja.
Anda mesti tahu, perencanaan pembangunan yang kemudian
melahirkan apa yang disebut Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) justru
embrionya lahir dari seminar yang diselenggarakan kelompok perwira pemikir di
Bandung.
Traktat dari seluruh jalan pemikiran yang kemudian menjadi cetak biru
Orde Baru itu secara verbal kita temukan dalam judul buku penting Jenderal Ali
Moertopo yang melahirkan rezim kapitalisme birokratik: Akselerasi
Pembangunan …
Bukan saja “buku penting” itu menyoal bagan besar ekonomi
macam apa yang dikehendaki, melainkan juga pembatasan partisipasi politik dan
pembersihan praktik-praktik politik di level terbawah seperti desa yang marak
di masa-masa sebelumnya. Apa yang diinginkan Nasution soal dibolehkannya
tentara “membuka usaha” di luar barak, sepenuhnya dipraktikkan secara murni, konsekuen,
dan berkelanjutan sejak 1966 oleh Jenderal Besar Soeharto.
Puluhan tahun dwifungsi menjadi praktik harian
perikehidupan ekosospolbudhankam menjadikannya sebagai lingua franca. Ia
menjadi cakapan sehari-hari tanpa mesti menyebutnya secara verbal. Di iklim
dwifungsi, sudah menjadi pemandangan lumrah di mana tentara yang menjadi tuan
tanah berkongsi bebas dengan pengusaha lintah darat. Sebab, tentara ada di
mana-mana; dari institusi olah raga hingga komisaris perusahaan; dari
organisasi keagamaan macam Lemkari/LDII hingga perusahaan film dan asosiasi
musik.
Ya, pada 1971, Letnan Jenderal Ali Moertopo cum Menteri
Penerangan–posisinya mirip Jenderal Luhut Panjaitan, menteri multitasking–membentuk
organisasi event organizer dengan nama Artis Safari. Personel Koes
Plus, Mas Nomo, didudukkan sebagai “CEO” organisasi yang dibangun dari
sebuah “ambisi besar” mengorganisasi pelawak, band, dan musisi “masuk
desa”.
Dwifungsi telah membikin tentara, tak hanya tampak
berkebudayaan, tapi juga sejahtera dan sehat walafiat. Hingga datang badai
reformasi.
Namun, reformasi yang digerakkan mahasiswa dan dibonsai
kelompok elite hanya sukses menidurkan virus dwifungsi itu. Dwifungsi tidak
benar-benar hilang. Beberapa perwira progresif memang melakukan “refleksi” ke
dalam dengan “menyejahterakan kehidupan barak”, namun tak pernah bisa mematikan
budaya “luar barak” yang serbaenak dan nyaman itu.
Memang, sosok ber-uniform dengan senjata tersampir
di pundak tak lagi muncul secara terang-terangan, melainkan terlihat saat
keterlibatan tentara sebagai “penjaga” (baca: centeng) dari apa yang disebut
sebagai “aset-aset vital negara (taipan)”. Ia menjadi alat pemukul petani dalam
konfrontasi perebutan lahan. Ia menjadi buldozer bagi siapa pun dianggap
pengganggu modal para tuan tanah dalam bentuk konsesi segala rupa: tambang,
sawit, minyak, properti.
Di satu sisi, menjadi kerja utopia bagi para peneguh
demokrasi untuk mencabut dwifungsi hingga ke akar-akarnya. Sebab, ia telah
bertiwikrama menjadi mental dan cara berpikir.
Sementara itu, dwifungsi yang nyaman dan enak itu sendiri
memang selalu menjadi godaan sepanjang masa bagi tentara. Ketegangan itu bakal
berlangsung terus-menerus hingga tiba masanya saat kuda-kuda bertanduk satu
berkeliaran di lapangan raja, Koningsplein, sebagai penarik dokar wisata.
***
* Dipublikasikan pertama kali di Jawa Pos, 2 Maret 2019
Sumber: Muhidin M Dahlan
0 komentar:
Posting Komentar