Minggu, 31 Maret 2019

Banjir Drama Pelukis Hendra

oleh Chabib Duta Hapsoro | 31 Maret 2019

Surga Kemelut Pelukis Hendra. Agus Dermawan T. Kepustakaan Populer Gramedia. 2018. 290 hlm.

Agus Dermawan T. mengungkapkan banyak kisah Hendra Gunawan, beberapa di antaranya hanya bisa diketahui dari jarak teramat dekat. Perspektif ini mengajak kita untuk memahami konteks seni rupa modern Indonesia melalui sudut pandang paling intim terhadap salah satu seniman terpentingnya.
Hendra Gunawan adalah salah satu dari tiga seniman modern Indonesia terpenting, bersama Sudjojono dan Affandi. Seni rupa modern Indonesia muncul dan tumbuh pada masa revolusi. Seniman-seniman itu muncul dan berdaya di tengah masyarakat yang masih dilanda ketidakpastian. Perang terjadi sewaktu-waktu. Seni rupa di tengah situasi sulit menjadi semacam alat untuk mengobarkan gairah perjuangan, memupuk semangat kebangsaan, dan mempersatukan rakyat untuk mengupayakan lepas dari penjajahan.
Praktik seni lukis tiga serangkai ini menjadi kritik atas praktik seni lukis Mooi Indie yang marak di Hindia Belanda pada abad ke-18 dan ke-19. Menurut mereka, aliran seni lukis ini menghadirkan keindahan alam (gunung, sawah, sungai, pohon kelapa) yang hanya dilihat dari jauh--menyajikan pandangan mata burung, yang menangkap objek dari jarak yang jauh. Karena itu, keindahan lukisan macam ini menampilkan keindahan semu, yang “menyembunyikan keberadaan petani-petani yang mengeluh, merintih dan menangis karena kakinya kena pacul, berdarah dan luka parah.”[1] Ia memperlihatkan watak antroposentris manusia, menjadikan alam dan manusia sebagai objek pengetahuan yang kemudian melegitimasi mereka untuk melakukan eksploitasi dan penjajahan.
Sudjojono, Affandi, dan Hendra punya kesadaran untuk melawan praktik melukis Mooi Indie semacam ini, yang kala itu lazim dibawa oleh pelukis-pelukis Eropa ke Hindia Belanda. Praktik Mooi Indie ini di kalangan kolonial telah melembaga. Semakin banyak pelukis Eropa bermukim di wilayah-wilayah yang bagi mereka asri dan indah—dari pandangan mata burung. Pelukis lokal juga turut mempraktikkannya. Lukisan-lukisan ini laku di pasaran, menjadi cendera mata bagi turis barat yang pelesir ke Hindia Belanda. Imaji lukisan Mooi Indie juga direproduksi dalam wujud poster-poster, reklame, dan kartu pos sebagai promosi wisata Hindia Belanda.
Dalam melawan seni lukis Mooi Indie ini, lukisan Sudjojono, Affandi, dan Hendra kebanyakan menampilkan manusia dalam pandangan mata katak. Gaya lukisan ini menampilkan dalam jarak dekat orang-orang yang mengungsi, ibu-ibu yang sedang bertransaksi di pasar, pengemis, hingga gerilyawan semenjana yang sedang mengaso.
Menurut saya, praktik seni lukis ini terilhami oleh gerakan seni lukis realisme di Perancis yang diperkenalkan Gustave Courbet pada abad ke-19. Lukisan-lukisan Courbet menggambarkan keadaan rakyat yang sedang bekerja, atau orang-orang biasa dalam situasi keseharian dalam jarak dekat. Gaya seni lukis ini menjadi kritik atas gaya romantisisme yang menekankan glorifikasi masa lalu dan kemegahan yang mencerminkan fragmen-fragmen kehidupan kelas borjuis.
Tiga serangkai ini mencari dan menemukan gaya ungkap dalam menggambarkan objek-objek yang mereka lukis. Hal ini bisa dilihat sebagai keragaman wajah genre seni rupa Indonesia modern. Sudjojono dengan kredo jiwa kethok: melukis sebagai praktik menggoreskan jejak kepengarangan sang seniman, sehingga meninggalkan aura yang menggetarkan pelihat. Affandi melukiskan objek dan suasana dengan pelototan cat yang memperlihatkan ekspresi dan vitalitas manusia. Sedangkan Hendra dikenal melalui pemiuhan figur manusia yang khas wayang dan pengadopsian elemen dekoratif batik.
Hendra berfokus menghadirkan jiwa manusia Indonesia, yang berabad-abad tercerabut dari akarnya oleh penjajahan. Masing-masing wajah itu menyerukan bahwa manusia Indonesia bisa punya keberanian untuk menyampaikan gagasan sebagai manusia seutuhnya, sebagai “bangsa muda menjadi”, yang “baru bisa bilang aku.”[2]
Posisi mereka juga signifikan karena di tengah masa-masa susah itu mereka mau bekerja lebih repot: menyumbang banyak pemikiran melalui tulisan, menginisiasi serta mengelola sanggar atau kolektif untuk mematangkan teknik seni lukis demi memapankan seni rupa Indonesia modern dan menyebarkan kepercayaan dan harapan bahwa seni rupa Indonesia itu ada.
Konteks-konteks di atas memperlihatkan perlunya mengangkat narasi sosok ataupun pembacaan mendalam atas kekaryaan para seniman Indonesia modern melalui publikasi yang dapat dijangkau semua kalangan.
Visi kerakyatan para pelukis ini dapat dikatakan agak berbeda dengan narasi seni rupa di Indonesia yang acap hadir dalam buku-buku meja kopi berukuran besar, bersampul keras dan tebal, berbahan premium yang membuatnya dibandrol dengan harga mahal. Publikasi semacam ini hanya terjangkau bagi kalangan kelas menengah. Ini, bagaimanapun, merupakan masalah dalam pertukaran dan diseminasi pengetahuan kesenirupaan di Indonesia.
Buku Surga Kemelut Pelukis Hendra: Dari Pengantin Revolusi Sampai Terali Besi ini merangkum ketokohan pelukis Hendra Gunawan dengan format buku Surga Kemelut Pelukis Hendra lebih mudah diakses sebagaimana cita-cita kerakyatan mereka: berukuran tidak terlalu besar, bersampul paperback, dan karenanya harganya pun terjangkau. Sesuatu yang layak diapresiasi.
Judul “Surga kemelut” seperti berhasil menempatkan kisah-kisah Hendra menjadi yang paling dramatik dibandingkan dua pelukis lainnya. “Surga kemelut” mengandung ironi. Frasa ini menggabungkan dua kata yang bermakna sangat bertolak belakang. Surga seperti apa yang berisi kemelut yang lekat dengan tragedi atau kesan ketidakstabilan? Terminologi surga bisa merujuk pada tempat yang membuat kita nyaman. “Surga kemelut” mengesankan bahwa Hendra justru menikmati kemelut yang tak pernah usai dari hidupnya.
Dramatisasi yang terasa berlebihan ini juga menghiasi beberapa gaya pengisahan penulis terhadap detail-detail kehidupan Hendra yang lain. Mereka ibarat laku penyuntingan gambar bergerak zoom in, diimbuhi potongan musik yang menegangkan pada sebuah adegan sinetron kejar tayang.
Namun demikian, beberapa detailnya masih perlu dikritisi. Subjudul “Dari Pengantin Revolusi Sampai Terali Besi” sebenarnya kurang menggarisbawahi muatan apa pun selain bunga dramatisasi. “Pengantin Revolusi” merujuk pada salah satu judul lukisan Hendra yang terbaik. “Terali Besi” merujuk kisah tragis Hendra sebagai tapol saat dipenjara pada 1965. Kendati diceritakan dalam buku, dua hal ini tidak memiliki hubungan yang terlalu jelas sebagai fondasi pendukung narasi tentang kemelut Hendra.
Agus Derwaman T. (ADT) adalah penulis yang paling sering menuliskan sosok pelukis Hendra, baik dalam buku kumpulan tulisan ataupun dalam monograf. Beberapa informasi dalam buku ini pernah ia sebutkan dalam Hendra Gunawan: A Great Modern Indonesian Painter (2001) yang ia tulis bersama Astri Wright, sejarawan seni dari Kanada. Pengisahan ADT dalam buku ini enak diikuti, setidaknya hingga bab IV. Bab V hingga bab VIII tampak seperti kumpulan informasi yang terserak, tidak tampak terjahit dengan baik, meski mengandung informasi-informasi penting.
Kemelut Drama dan Peristiwa-peristiwa Ganjil dalam Kehidupan Hendra
Hendra lahir pada 11 Juni 1918 di tengah keluarga menak. Ayahnya, Raden Prawiradilaga, adalah pegawai mapan di perusahaan kereta milik negara yang berkantor di Bandung. Ibunya, Raden Odah Tedjaningsih, seorang kelas menengah juga, dari Desa Jelekong, Bandung Selatan. Ibunya adalah putri dari Raden Karna Soemantri, organisator kongres Boedi Oetomo pada 1928 (hlm 1). Silsilah keluarga Hendra sekali lagi membuktikan bahwa kelas menengah acap menjadi pendorong perubahan.
Drama mulai hadir ketika ayahnya tak betah di rumah dan menemukan pujaan baru di sosok Anna, seorang Indo Belanda. Prawiradilaga akhirnya bercerai dengan Odah. Hendra pun menjadi lebih dekat dengan ibunya dan diam-diam membenci ayahnya. Ia kemudian sering pergi dari rumah selama berhari-hari. Hendra bisa berjalan-jalan mengelilingi kebun teh, ataupun memasuki hutan dan menyeberangi sungai hingga merasa terpanggil untuk menjadi pelukis. Panggilan ini bertolak dari gejolak eskapisme Hendra dari kehidupan keluarga yang disfungsional.
Hendra banyak memetik pelajaran hidup dari sang ibu. Diceritakan sebuah peristiwa yang terus menginspirasi Hendra seumur hidupnya. Saat di sungai kecil ia menangkup segerombolan ikan cethul berwarna-warni dan ditunjukkan ke ibunya. Ibunya kemudian berkata “tingali nu laleutik, maneh bakalan manggih nu galede” (hlm 5), “perhatikan yang kecil, kamu bakal menemukan yang serba besar”.
ADT menjelaskan, keterpesonaan Hendra atas warna-warna ikan cethul itu mendorongnya untuk memperhatikan ratusan jenis ikan lain, dengan warna yang lebih beraneka. Warna-warna ikan itu kemudian menginspirasi warna lukisan-lukisannya di masa depan.
Kesan kedekatan Hendra dengan sang ibu muncul dari lukisan-lukisannya yang sarat menampilkan sosok-sosok perempuan berdada besar, berkebaya dengan beraneka aktivitas: berjualan di pasar, kerokan, hingga mencari kutu.
Di masa kecil, Hendra juga suka iseng membongkar kuburan-kuburan orang dan mengumpulkan tulang-tulang manusia tanpa alasan jelas (hlm 5). Hal ini mungkin dapat dihubungkan dengan kebisaan Hendra di masa depan sebagai dukun yang mampu menyembuhkan orang-orang gila.
Kisah yang paling sinetron agaknya adalah saat Hendra remaja diangkat anak oleh seorang pria di Bandung. Periode ini adalah saat ia sering lari dari rumah. Di rumah pria itu, Hendra selalu disuguhi makanan enak. Ia tinggal di sana dalam waktu cukup lama hingga sebuah momen menggerus emosinya. Saat berjalan-jalan mencari objek menggambar, ia melihat pengemis menyodorkan nampan di di bawah jendela sebuah restoran. Ia mendekati pria itu dan terhenyak karena pria itu adalah ayah angkatnya sendiri. Ternyata makanan mewah yang ia santap hampir setiap hari adalah hasil mengemis sisa-sisa makanan di restoran. Perut Hendra mendadak mual. Ia kemudian memohon pamit kepada ayah angkatnya sembari dalam hati berjanji bahwa ia akan berkarya dengan memberi tempat pada orang-orang miskin (hlm 8).
Kisah-kisah superlatif dan nyeleneh ini makin didramatisasi sang penulis dengan pilihan diksi atau ungkapan yang berlebihan atau penggunaan kalimat langsung yang seolah-olah berasal dari Hendra sendiri.
Drama kehidupan Hendra kembali hadir saat ia dicokok aparat pada Desember 1965 di Bandung. Sebagai Ketua Lekra Jawa Barat, ia ditangkap pemerintah Orde Baru dengan alasan ia adalah simpatisan komunis.
Saat ditangkap, salah satu yang paling ia khawatirkan adalah beberapa lukisannya. Dan kekhawatirannya menjadi kenyataan. Saat ia dipenjara di Kebon Waru, Bandung, situasi di luar sangat kacau. Kemarahan rakyat terhadap PKI tak terbendung. Rumah Hendra juga dijarah. Banyak barangnya dihancurkan, termasuk lukisannya. Oleh penjarah lukisan Pengantin Revolusi, lukisan itu bahkan digorok. Sebelum penggorokan tuntas, lukisan itu rupanya bisa diselamatkan oleh sahabat Hendra, Tatang Ganar (hlm 80).
Jika anda kebetulan bisa masuk ke ruang kerja Direktur Museum Seni Rupa dan Keramik di kompleks Kota Tua Jakarta, anda akan dapat melihat lukisan Pengantin Revolusi. Anda hanya membutuhkan sedikit kecermatan untuk melihat beberapa garis samar yang saling berpotongan membagi-bagi lukisan tersebut yang menandai bekas sambungan. Lukisan ini bersejarah karena menggambarkan sebuah peristiwa unik yang dialami Hendra saat menjadi saksi di garis depan pertempuran revolusi fisik. Hendra saat itu tergabung dalam kelompok Pelukis Front yang bertugas merekam situasi pertempuran baik dengan lukisan maupun sketsa.
Salah satu peristiwa yang terekam dalam sketsa Hendra adalah pernikahan warga biasa di sela-sela pertempuran di kawasan Karawang. Sepasang pengantin itu berjalan diarak dengan iringan orkes tanjidor. Keunikan sepasang pengantin itu muncul dari busana pernikahan mereka. Sang mempelai pria mengenakan baju tentara. Sedangkan mempelai perempuan menggunakan busana penari topeng Betawi. Keduanya adalah busana pinjaman.
Sang pengantin perempuan duduk di rangka sepeda yang dipegang kemudinya oleh sang pria tanpa dikendarai. Dalam lukisan, sepasang pengantin itu menatap kosong ke depan. Sementara Hendra dan dua orang kawannya tampak menatap mereka dengan tawa yang sedikit menghina. Momen dalam lukisan ini amat mengharukan. Pasangan pengantin ini memulai sebentuk komitmen kehidupan baru dalam situasi serba sederhana, suatu imaji yang dapat kita anggap sebagai metafora keadaan pada masa awal terbentuknya republik.
Kendati sketsa ini dibikin sejak zaman revolusi fisik, baru pada 1955 ia ditindaklanjuti sebagai lukisan. Hidup di zaman yang susah membuat keadaan rumah tangga Hendra dan keluarga tak menentu. Sketsa-sketsa Hendra harus mengantre cukup lama untuk dieksekusi sebagai lukisan.
Lukisan-lukisan Hendra pada periode revolusi ini rata-rata berwarna kusam. Wajar saja, Hendra dan para pelukis ketika itu susah memperoleh bahan melukis bermutu. Mereka hanya bisa memperoleh pigmen-pigmen murahan dari toko besi dan mencampurnya dengan bahan-bahan lain. Hendra pun mengaku saking susahnya ia mendapatkan kanvas sampai-sampai ia mengambil jarit istrinya dan jarit itu digunakannya melukis.
Detik-detik saat Hendra ditangkap disampaikan sekali lagi secara dramatis. ADT mengutip pernyataan Hendra, “Saya dulu juga ikut perang, memerdekakan Indonesia (hlm. 76).” Pernyataan Hendra itu secara ironis dapat berarti negeri yang ikut diperjuangkan kemerdekaannya oleh Hendra justru di kemudian waktu memenjarakannya. Hendra dipenjara dan meninggalkan istri dan ketiga anaknya. Karmini, sang istri, harus bekerja keras menghidupi tiga anaknya. Untungnya Hendra masih diperbolehkan melukis di penjara. Lukisan-lukisan itu Karmini jual dari rumah ke rumah.
Meski dinaungi keterbatasan, hasrat melukis Hendra tak pernah padam. Bahkan periode penjara adalah periode paling produktifnya sebagai pelukis. Merujuk lagi ke judul “Surga Kemelut”, Hendra menjumpai drama kembali ketika ia bertemu Nuraeni, seorang tahanan lantaran aktivitasnya dalam Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang oleh aparat juga dilabelkan sebagai simpatisan komunis. Nuraeni pada awalnya adalah murid melukis Hendra yang kemudian ia angkat menjadi asisten. Setelah itu, ADT menyebut ada cinlok—cinta lokasi (diksi yang dipilih ADT) di antara Hendra dan Nuraeni. Mereka akhirnya menikah di penjara. Kisah semacam ini menjadi bumbu klise yang menyesakkan. Kebencian Hendra terhadap ayahnya yang menduakan ibunya seolah tidak berbanding lurus terhadap lakunya sendiri.
Kisah Dramatis Hendra dengan Para Figur Penting
Drama kehidupan Hendra juga belum habis kendati Hendra sudah berpulang. Setelah Hendra wafat pada 1983, kasus-kasus pemalsuan lukisannya semakin menjadi karena harga lukisannya membumbung di balai lelang. Lukisan Hendra dipalsukan dengan beberapa cara. Para pemalsu ini tampak cerdik menggambar sama persis dengan lukisan Hendra. Ataupun, melukis dengan gaya Hendra dengan perupaan yang belum pernah Hendra buat. Kedua jenis perupa ini membubuhkan tanda tangan serupa dengan tanda tangan Hendra.
Kasus pemalsuan lukisan ini memanas ketika muncul buku monografi berjudul Hendra Gunawan Sang Pelukis Rakyatoleh Agung Tobing dan keluarga Hendra pada 2014 (hlm. 126). Ratusan lukisan Hendra di buku terindikasi palsu dan saya pun meyakininya. Status kasus ini masih mengambang sampai sekarang dan memperlihatkan pincangnya pranata seni rupa Indonesia. Seni rupa Indonesia masih terlalu dikuasai pasar. Norma dan standar moral terhadap penghormatan atas hak cipta masih belum terwadahi. Proses pertukaran pengetahuan juga masih terkendala akibat masih dipingitnya karya-karya seni rupa penting di rumah-rumah kolektor sehingga publik kurang dapat menjangkaunya.
Dalam buku ini ADT juga menceritakan momen-momen penting Hendra dalam hidupnya saat berhubungan dengan tokoh-tokoh besar di Indonesia, yang menjadikan Hendra seorang tokoh. Interaksi dengan tokoh-tokoh ini memberikan sejumlah dorongan bagi Hendra untuk keputusan-keputusan penting dalam hidupnya.
Tentu saja kisah-kisah ini tak luput dari drama.
Pertama, interaksi Hendra dengan Abdullah Suriosubroto dan anaknya, Basoeki Abdullah hadir saat Hendra akan berguru melukis. Hendra di rumah Abdullah menunggu keputusan apakah ia akan diterima sebagai murid oleh Abdullah. Ia tak sengaja mencuri dengar percakapan antara Abdullah dan anaknya itu. Basoeki meminta sang ayah untuk tidak menerima murid karena takut saingan melukis akan bertambah. Mendengarnya, Hendra mengaku bahwa ia lantas pergi tanpa menunggu jawaban Abdullah (hlm 11).
Hendra kesal akan percakapan itu, sembari bersumpah bahwa kelak, saat ia akan menjadi pelukis yang mapan ia akan membuka rumahnya sebagai sanggar agar para calon pelukis bisa belajar melukis darinya dengan percuma. Sumpah ini terbukti saat Hendra mendirikan Pelukis Rakyat.
Setelah tidak jadi berguru kepada Abdullah, Hendra kemudian berguru kepada Wahdi Sumanta, seorang pelukis pemandangan yang cukup terkenal di Bandung. Setelah lumayan cakap melukis, ia berusaha berguru kepada Affandi. Untuk meluluhkan hati Affandi, Hendra kerap menyapu halaman, membuatkan kopi atau teh untuk Affandi. Hingga Affandi pun mengizinkannya untuk berguru sembari menyindirnya sebagai anak bangsawan yang mau belajar ke orang miskin (hlm 12). ADT seperti mengutip pernyataan Affandi sebagai berikut, “Bagus kalau anak tunggal keluarga ningrat mau jadi batur.” Saya lagi-lagi tidak bisa memastikan apakah itu pernyataan dari Affandi sendiri atau gubahan ADT yang merujuk pada esensi pernyataan Affandi yang sebenarnya.
Selanjutnya, interaksi Hendra dengan Sukarno. Hendra adalah salah satu dari banyak seniman yang hijrah ke Yogyakarta saat ibukota negara dipindahkan untuk sementara. Hendra meminta Sukarno membuka pameran tunggalnya pada 1946. Pamerannya itu adalah pameran pertama setelah Indonesia merdeka, menempati gedung KNIP di Jalan Malioboro. Ada kisah dramatis pula dalam pameran ini, karena Hendra mengumpulkan para pengemis untuk menjadi pagar bagus dan pagar ayu dalam seremoni pembukaan. Sukarno yang pada awalnya tak mengetahui bahwa mereka pengemis terharu hingga menitikkan air mata saat mendapati fakta ini (hlm 31). Sukarno agaknya merasa diingatkan bahwa kerja kemerdekaan saat itu “belum selesai, belum apa-apa.”[3]
Peristiwa ini juga seakan melunasi janji Hendra kepada ayah angkatnya dulu untuk mengangkat derajat kaum miskin. Penggambaran kaum kecil yang juga acap hadir pada lukisan Hendra.
Interaksi berbau kebatinan adalah salah satu momen dramatis yang di luar prediksi. Dikatakan dalam buku ini bahwa ada satu interaksi saat Hendra berhubungan dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Hendra dan para anggota Pelukis Rakyat sedang getol melakukan eksplorasi memahat patung dengan material batu kali. Teknik ini amat susah sehingga membuat Hendra menimba ilmu kepada ahli pembuat kijing atau nisan kuburan di Yogyakarta.
Eksplorasi ini masuk akal, Hendra hendak mewarisi kembali ilmu seni pahat batu khas Nusantara di candi-candi yang pengetahuannya makin hilang akibat penjajahan. Setelah melakukan beberapa kali eksperimen Hendra akhirnya memberanikan diri untuk membuat patung tubuh Jenderal Sudirman yang niatnya untuk ditaruh di depan Gedung Agung pada 1950.
Lantaran Sudirman telah wafat—dan entah kenapa Hendra tak berusaha mencari foto sang jenderal sebagai model— Hendra justru memutuskan bersemedi untuk bertemu Sudirman “di dalam hati dan alam pikir” (hlm 45). Setelah mendapatkan wangsit, Hendra memberanikan diri untuk membuat patung itu. ADT menyebut bahwa saat Hendra menatahkan besi pahatnya di atas batu tatah itu, ia seakan merasakan batu tatah itu berjalan sendiri membentuk sesuatu. Setelah patung itu selesai, istri dan anak Sudirman dikabarkan sampai pingsan saat melihat saking persisnya wajah patung Sudirman itu dengan wajah Sudirman dalam kenyataan.
Ada lebih banyak lagi kisah di buku ini. Setelah membaca buku ini, pembaca akan mendapatkan kesan bahwa Hendra mengalami momen-momen dramatik di luar kewajaran. Momen-momen itu mungkin dapat membuat pembaca menitikkan air mata atau geleng-geleng kepala atau malah sedikit jengah.
Di balik fasihnya ADT menceritakan drama hidup pelukis Hendra, narasi tentang kepakaran melukis Hendra justru lumayan terabaikan, meski kita masih dapat menemukan pemikiran-pemikiran Hendra yang otentik tentang kebudayaan di buku ini. Padahal, narasi kepakaran melukis itu justru urgen untuk dihadirkan, karena dapat memperlihatkan bagaimana seni rupa Indonesia modern menyumbang wacana khas bagi kebudayaan Indonesia modern.
[1] Dikutip dari S. Sudjojono, “Seorang Seniman dengan Sendirinya Harus Seorang Nasionalis” dalam Seni Lukis, Kesenian dan Seniman, Yayasan Aksara Indonesia, 2000, hlm. 33.
[2] Dari Buat Gadis Rasid oleh Charil Anwar (1948)
[3] Dari Karawang Bekasi oleh Charil Anwar (1949).
Sumber: JurnalRuang

1 komentar:

  1. Ebobet merupakan situs slot online via deposit pulsa aman dan terpercaya, Dengan menggunakan Satu User ID bisa bermain semua game dari Bola, Live Casino, Slot online, tembak ikan, poker, domino dan masih banyak yang lain.

    Sangat banyak bonus yang tersedia di ebobet di antaranya :
    Bonus yang tersedia saat ini
    Bonus new member Sportbook 100%
    Bonus new member Slot 100%
    Bonus new member Slot 50%
    Bonus new member ALL Game 20%
    Bonus Setiap hari 10%
    Bonus Setiap kali 3%
    Bonus mingguan Cashback 5%-10%
    Bonus Mingguan Rollingan Live Casino 1%
    Bonus bulanan sampai Ratusan Juta
    Bonus Referral
    Minimal deposit hanya 10ribu

    EBOBET juga menyediakan berbagai layanan transaksi deposit dan withdraw Bank Lokal terlengkap Indonesia seperti Bank BCA - Bank BNI46 - Bank BRI - Bank Mandiri - Bank Danamon - Bank Cimb Niaga, OVO, Deposit via Ovo. Deposit via Dana, Deposit via Go Pay, Telkomsel dan XL.

    Situs :EBOBET
    WA : +855967598801

    BalasHapus