Membangun kemandirian
kolektif bagi para korban/ penyintas di tengah mandeknya upaya penyelesaian
kasus kejahatan HAM berat dalam tragedi 1965-66 dan setelahnya, sudah
seharusnya menjadi hal yang lebih penting ketimbang terjebak pada wacana
pemenangan pemilihan presiden maupun pemilu legislatif di tahun politik 2019.
Mengapa demikian? Karena
siapa pun presidennya dan dari kalangan manapun politisinya; penyelesaian kasus
kejahatan HAM berat harus menjadi prioritas. Urgensi ini muncul dan menjadi
topik utama yang dibicarakan dalam pertemuan para korban tragedi 65-66 di
Kendalsari, Petarukan Pemalang.
Belasan korban yang
rata-rata telah berusia lanjut (70 tahun
lebih_Red) merajut kembali komunikasi lintas profesi yang telah lama mengalami
persekusi kekejian antara tahun 1965 hingga tahun-tahun 1970-an. Ada eks tapol
Pulau Buru, mantan guru PNS, mantan aktivis (Gerwani, Lekra, Pemuda Rakyat,
BTI), mantan tentara dan polisi militer; menggelar pertemuan lintas desa (10/3/19)
di wilayah Petarukan itu.
Bukan PKI
Adalah Aruji Kisdiono (76)
mantan prajurit CPM yang baru akan berdinas ketika Gestok 65 meletus dan menjadi korban dalam tragedi kemanusiaan masa
itu hingga tahun-tahun setelahnya. Tanpa melalui proses hukum di pengadilan
militer, dia ditangkap satuan Denpom dan dijebloskan ke penjara Purwokerto. Di
hari tuanya kini, Kisdiono memiliki kesempatan buat aktif menjalin komunikasi diantara
para korban tragedi 65 maupun keluarganya. Terutama untuk wilayah Taman,
Petarukan, Ampelgading, Bodeh. Comal dan Kaso.
“Ini tak ada sangkut paut dengan politik PKI”, terangnya buru-buru.
Dia sendiri bukan anggota
PKI ketika G30S meletus dan Gestok dilansir sebagai huru-hara reaksioner
pembasmian komunis dimana-mana; tak terkecuali di Petarukan. Ayahnya yang
terbilang keluarga kaya adalah Ketua BTI Ranting Kendalsari masa itu dan mantan
pejuang kemerdekaan (veteran) pada masa perang kemerdekaan sebelumnya.
Istrinya, Sudi Rahayu tak
luput menanggung resiko paska penangkapan dan pemenjaraan suaminya secara
semena-mena. Sementara rumah keluarganya musnah, harta tak bersisa habis
dijarah; perlakuan tak adil lainnya berlanjut berkepanjangan.
“Ini bekas rumah keluarga yang dulu dirusak massa dan dijarah”, terang ibu tua ini menunjukkan bekas lokasi rumahnya yang lama. Matanya basah tapi bicaranya tegar bertutur tentang peristiwa November 1965.
Saat itu, rumah
keluarganya diserbu dan dirusak massa. Harta dan isinya dijarah, bahkan padi di
lumbung pun dikurasnya. Sudi Rahayu banyak menyaksikan kekejian huru-hara masa
itu, karena ia tak ikut ditahan tentara. Kejahatan dalam berbagai bentuknya
berlangsung dimana-mana. Perkosaan terhadap perempuan Petarukan pun terjadi
pada masa itu.
Semua dilakukan atas nama
pembasmian PKI, padahal keluarganya bukan PKI. Tak ada yang bisa menghentikan beringas
kejahatan, tak ada yang bisa membantu korban untuk melakukan tuntutan.
Tak Melupakan
“Membantu korban akan dipekaikan”, terang ibu Sudi bertutur kisah kelam yang menimpa keluarganya di masa lalu; ngeri dan getir.
Kengerian yang sama juga
menimpa banyak keluarga lainnya di desa Kendalsari. Puluhan tahun ia kenang kegetiran
itu. Tapi sepanjang yang ia tahu, PKI tak pernah melakukan kejahatan seperti
ini di desanya, juga di desa-desa Petarukan lainnya; tak juga di wilayah Taman,
Ampelgading, Bodeh. Comal dan Kaso.
Secara umum, situasi
Pemalang kala itu baik-baik saja. Aruji yang masa itu bersiap memasuki dinas
kemiliteran juga memahami situasinya, tak ada benih keresahan umum. Keresahan
timbul dan cepat meluas, justru ketika operasi militer mulai dilancarkan dengan
melibatkan massa. Dan kekerasan massa ini menyerbu desanya, bahkan melanda pula
rumah keluarganya pada bulan November 1965.
Sebagaimana pendapat umum
para korban yang berhimpun itu, menurut Aruji yang akrab dipanggil Pak Kis,
operasi militer ini dilancarkan dalam rangka penumpasan PKI. Dalihnya karena
PKI mendalangi kudeta melalui gerakan yang disebut G30S. Dan itu di Jakarta,
yang tak semua orang mengetahuinya, apalagi terlibat melakukannya.
Aruji tak melupakan itu
dan setelah semua anaknya mentas ia
aktif membangun kemandirian di kalangan para korban; dan beruntung karena sang istri mendukungnya...
0 komentar:
Posting Komentar