Raisa Widiastari | Mar 21, 2019
Ilustrasi oleh Staff Kajian dan Aksi Strategis BEM FIB UI 2015, staffku tersayang, RA.
Air mata saya kembali mengalir ketika mengingat saat
terakhir saya harus mengucap selamat tinggal kepada perempuan luar biasa ini.
Jiwanya telah meninggalkan raga, tapi tampak senyum dari bibirnya seolah tengah
merayakan betapa ‘indah’nya hidup yang telah ia jalankan selama tujuh puluh
delapan tahun.
Ia tak pernah sedikitpun membenci tanah airnya meskipun
negara ini telah mencabik-cabik kemanusiaan yang ia miliki. Setahun sudah ia
meninggalkan dunia fana ini. Setahun sudah memori tentangnya tersimpan rapi
dalam benak ini.
Sri Sulistyawati, yang biasa saya panggil Eyang Sri,
adalah mantan wartawan Istana kesayangan Presiden Soekarno. Ia lulusan Akademi
Jurnalistik Jakarta dan memulai karir di Harian Ekonomi Nasional dan Suluh
Indonesia, sebelum akhirnya direkrut sendiri oleh Soekarno untuk meliput dirinya
setiap pagi pada saat sang Paduka Yang Mulia tengah menyiram tanaman di teras
rumahnya.
Siapa sangka kedekatan ini akan menyeretnya ke dalam
sejarah kelam bangsa pada tahun 1965. Ia dituduh anggota Gerwani, yang pada
malam akhir September tahun kelam itu diyakini bertugas menyayat kelamin tujuh
perwira angkatan darat sembari telanjang. Padahal, pada saat kejadian ia sedang
berada di luar Jakarta (kalau tidak salah Aceh).
Bersama dengan banyak orang, ia diamankan oleh aparat.
Pembelaan dirinya dengan mengungkapkan fakta tidak pernah meringankan siksaan
yang ia terima. Ia disetrum, ditindih dengan balok kayu, dilecehkan oleh para
sipir dan tentara yang menginterogasi ataupun menjaga sel tahanan tempat ia
berada. Ia menahan semua rasa sakit itu selama sebelas tahun.
Saya mengenal Eyang Sri dari pertemuan kami di kantor
KontraS (tempat kerja saya dulu), pertemuan rabu-an untuk penyintas 65 di
Yayasan YLBHI, dan acara-acara lain. Ia tampak sederhana namun anggun dalam
balutan kain dan kebaya yang menjadi busana khasnya. Selama itu saya tidak
pernah mendapati Eyang Sri mengutarakan kebencian. Tak pernah sedikitpun ia
dendam kepada negara Indonesia yang sudah merenggut kehidupannya — termasuk suaminya yang dieksekusi mati. Ia
menggenggam restu dari semesta untuk membenci, tetapi tidak pernah saya
melihatnya dalam luapan amarah.
Tiap kami berjumpa, ia selalu membelai rambut saya dan menyapa, “Kabarmu gimana? Sehat? Harus dong! Kalau kamu sakit nanti HAM tidak bisa ditegakkan”.
Demi Tuhan, saya masih masih bisa mendengar jelas suara
lembutnya. Ia selalu tertawa ketika melihat tingkah laku saya yang tidak bisa
diam dan konyol. Kadang ia menggelengkan kepala dan berujar bahwa ia sangat
bersyukur ada anak muda seperti saya dan teman-teman yang perhatian akan kasus
masa lalu.
Saat penyerangan LBH Jakarta dan YLBHI pada September dua
tahun lalu, Eyang Sri menepuk bahu saya dan berujar,
“Tidak apa, jangan panik. Kami [korban] tidak apa-apa. Sudah pernah mengalami hal yang lebih parah.”
Ia
tersenyum menenangkan saya. Keadaan itu membuat saya semakin marah kepada
negara yang membiarkan para korban 65, yang kala itu tengah berkumpul untuk
mencari kebenaran, dipersekusi sekali lagi setelah sebelumnya mereka sudah
mengalaminya berkali-kali seumur hidup.
Eyang Sri telah memberikan saya kehidupan dan semangat
untuk bertahan dan berjuang dalam ranah HAM. Kekuatannya membuat saya semakin
hidup dan semakin semangat untuk memerangi impunitas yang masih langgeng berada
di dalam tubuh kekuasaan. Hari demi hari, tahun demi tahun, saya berjuang
bersamanya untuk melepas belenggu impunitas tersebut.
Mendampingi Eyang Sri, mendengarnya bercerita tentang
masa lalu atau sekadar berbincang kecil mengenai apa yang telah ia lakukan
seharian, atau seminggu, atau mungkin sebulan ketika kami tidak bertemu selalu
membuat saya senang. Hal-hal keseharian seperti inilah yang mengisi tenaga saya
untuk tetap berada di dalam ranah HAM, meskipun banyak sekali ancaman yang
datang dari berbagai sektor. Lagipula, tidak bisa kita pungkiri bahwa 65 selalu
menjadi momok bagi bangsa ini, bukan?
Kini hampir genap setahun saya kehilangan sosok idola
saya. Kepergian perempuan hebat ini tidak mengurangi sedikitpun semangat
perjuangan yang sudah saya miliki hampir lima tahun. Tidak pernah terlintas di
pikiran saya untuk mundur, karena Eyang Sri hidup dalam diri setiap insan yang
telah mengenalnya secara pribadi.
Semangat Eyang Sri yang membara, kecintaannya terhadap
kebenaran, dan semangat perjuangannya tidak akan pernah padam dan akan terus
terpelihara dengan baik oleh setiap individu yang melawan, indvidu yang
memperjuangkan keadilan bagi seluruh korban yang telah dicampakkan dari
kehidupannya sebagai manusia.
Entah harus berapa korban lagi yang akhirnya meninggal
dunia agar negara Indonesia terketuk akal dan pikirannya untuk menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM masa lalu. Atau memang negara sengaja membiarkan seluruh
korban yang ada di Indonesia meninggal dunia agar kasus ini tidak akan pernah
diungkap? Mungkin. Namun percayalah, perjuangan ini tidak akan pernah mati
walaupun para saksi sejarah sudah terlebih dahulu mendahului. Kami tidak akan
pernah takut untuk terus menyuarakan kebenaran, menyuarakan keadilan untuk
korban walaupun nyawa yang menjadi taruhannya.
Janji dan sumpah saya kepada Eyang Sri, Aki Pendi, Pak
Bedjo, Pak Tumiso, Pak Tuba, Ibu-ibu Dialita, dan para korban peristiwa 65 di
Panti dan seluruh Indonesia untuk membuat negara ini meminta maaf dan melakukan
rehabilitasi untuk korban 65 tidak akan pernah saya ingkari. Api kemarahan saya
kepada negara Indonesia atas segala dosa yang telah dilakukan sejak tahun 1965
sampai sekarang tidak akan padam.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa suara para korban mulai
tenggelam ditelan usia. Kini giliran generasi kita untuk meneruskan estafet
kebenaran. Saya akan terus mereproduksi ingatan akan kasus-kasus pelanggaran
HAM masa lalu kepada generasi selanjutnya, agar ketika saya dan teman-teman
yang tengah memperjuangkan di masa kini telah tiada, ingatan tersebut terus ada
dan berlipat ganda, hingga pada akhirnya negara mau mengakui kejahatan yang
telah dilakukannya.
Eyang Sri pernah mengatakan bahwa hanya satu keinginannya
sebelum ia meninggal dunia: ia ingin nama baiknya dipulihkan. Hingga masa akhir
hidupnya ia terus menyuarakan kebenarannya. Semua miliknya telah terengut,
sehingga ia tidak takut untuk kehilangan apapun. Ia tidak takut oleh siapapun.
Begitu juga kami. Kami tidak akan pernah berhenti. Tidak akan pernah.
source: Ingat 65
0 komentar:
Posting Komentar