HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Orba Soeharto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Orba Soeharto. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 Desember 2019

Lebih Ekstrim dari Penumpasan Begal Sadis, Soeharto Berani Selundupkan 2000 Senjata ke Afganistan


Rabu, 25 Desember 2019 11:04
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta

Editor: Adrianus Adhi


Ilustrasi: Lebih Ekstrim dari Penumpasan Begal Sadis, Soeharto Berani Selundupkan 2000 Senjata ke Afganistan - Kolase Tribunnews.com/ Dennis Destryawan

SURYA.co.id - Langkah Soeharto dalam menindak begal sadis pada masa pemerintahannya memang cukup ekstrim

Namun, ada lagi kebijakan Soeharto yang tak kalah ekstrim dari itu
Soeharto pernah berani menyelundupkan 2000 pucuk senjata ke Afganistan yang dilaksanakan oleh Benny Moerdani

Melansir dari buku berjudul "Benny Moerdani Yang Belum Terungkap", berikut kisahnya

Hal ini berawal saat pasukan Uni Soviet akan menduduki Afganistan, sehingga membuat Amerika Serikat yang sedang perang dingin pun mulai gusar


Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto yang saat itu memang dekat dengan Amerika Serikat, lantas memutuskan untuk membantu
Soeharto mengutus Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan, Benny Moerdani untuk bertemu dengan kepala intelijen Pakistan
"Pertemuan itu membahas permintaan pejuang Afganistan dan intelijen Pakistan untuk penyediaan logistik, obat-obatan, dan persenjataan buat pejuang Afganistan" kata Marsekal Madya (Purn) Teddy Rusdy yang saat itu menemani Benny
Lalu, disepakatilah operasi bersama yang diberi nama Babut Mabur atau permadani terbang

Operasi ini untuk mengirimkan senjata-senjata sumbangan dari Uni Soviet yang diterima Indonesia saat Trikora, diserahkan kepada pejuang Afganistan

Tentu saja atas persetujuan Presiden Soeharto

Teddy Rusdy dalam buku biografinya yang berjudul "Think Ahead" menyebut senjata itu diangkut ke Jakarta dan dismpan di bandara Halim Perdanakusuma
"Waktu itu terkumpul 2000 pucuk senjata, cukup untuk dua batalion" kata Teddy
Pekerjaan berikutnya, Teddy diperintah Benny untuk menghapus nomor seri senjata-senjata itu

Baru pada Juli 1981, persiapan pengiriman mulai dilakukan
Semua senjata dimasukkan ke peti dan diberi tanda palang merah
Sebagai kamuflase, peralatan tempur ini dicampur dengan obat-obatan dan selimut

Teddy juga ditugasi Benny mengantar peti-peti tersebut dengan kargo udara, memakai Boeing 707 milik Pelita Air.


Pesawat ini diawaki kapten Arifin, Andullah, dan Danur
Seluruh aktivitas Teddy dipantau Benny dari Jakarta

Benny juga meminta Teddy terus berkomunikasi menggunakan scrambler atau peralatan komunikasi milik intelijen

Saat pesawat mendarat, intel Pakistan sudah siaga dengan membawa 20 truk 

Misi penyelundupan senjata pun sukses dan berhasil diterima oleh pejuang Afganistan

Kerahkan Pasukan ABRI Tumpas Begal Sadis

Diberitakan sebelumnya, Presiden Soeharto menerapkan langkah ekstrim untuk menumpas para pelaku kejahatan begal yang marak terjadi.

Tak tanggung-tanggung, Soeharto mengerahkan pasukan ABRI yang kala itu terdiri dari unsur TNI dan Polri.

Melansir dari Intisari dalam artikel 'Bahkan Ribuan Penjahat Ditangkapnya, Begini Mengerikannya Penumpasan Kejahatan di Zaman Orba, Mayat Begal Dibiarkan di Pinggir Jalan', hal ini berawal saat aparat keamanan sedang dibuat geram oleh maraknya aksi begal di tahun 1980an.

Para begal yang menamakan diri mereka sebagai gabungan anak liar (gali), cukup menganggu roda perekonomian negara kala itu.

Contohnya, kawasan terminal yang sudah dikuasai para gali membuat para penguasaha bus mengalami kerugian, karena banyaknya begal yang membajak bus dan truk di jalanan.


Terinspirasi dari prestasi Polda Metro, Soeharto lalu memerintahkan untuk menerjunkan tim khusus dari ABRI yang terdiri dari TNI dan Polri

Mereka bertugas untuk melaksanakan operasi penumpasan kejahatan terhadap para begal yang makin marak dan sadis.

Hingga tahun 1982, Polri di bawah pimpinan Kapolri Jenderal Awaloedin Djamin telah melakukan berbagai operasi penumpasan kejahatan.

Misalnya saja Operasi Sikat, Linggis, Operasi Pukat, Operasi Rajawali, Operasi Cerah, dan Operasi Parkit di seluruh wilayah Indonesia serta berhasil menangkap 1.946 begal.

Meski sudah banyak begal yang diringkus, operasi penumpasan kejahatan terus berlanjut seperti yang dilaksanakan oleh Komando Daerah Militer (Kodim) 0734 Yogyakarta di bawah pimpinan Kolonel Muhamad Hasbi.

Tahun 1983, Kolonel Hasbi menyatakan perang terhadap para begal.
Hal itu lantaran ulah mereka yang makin meresahkan masyarakat Yogyakarta .

Kolonel Hasbi pun menggelar Operasi Pemberantasan Keamanan (OPK) bekerja sama dengan intelijen TNI AD, TNI AU, TNI AL dan kepolisian.
Kodim Yogyakarta lalu melakukan pendataan terhadap para begal melalui operasi intelijen.

Kemudian para begal yang berhasil didata diwajibkan melapor serta diberi kartu khusus.

Setelah mendapat kartu, para begal tersebut dilarang bikin ulah lagi.
Tak hanya itu, mereka juga harus mau memberitahukan lokasi begal lainnya yang kerap melakukan kejahatan dan tidak mau melapor.

Para begal yang tidak melapor kemudian diburu oleh tim OPK Kodim untuk ditangkap dan bagi yang lari atau melawan akan langsung ditembak.


Mayat para begal yang ditembak dibiarkan tergeletak di mana saja dengan tujuan membuat jera (shock therapy) para gali lainnya.

Setiap ada mayat yang ditemukan di pinggir jalan, tepi hutan, bawah jembatan, dan lainnya, apalagi dengan luka tembak, kerap dinamai sebagai korban penembakan misterius (petrus)

Yang kemudian istilah 'petrus' itu menjadi sangat populer sekaligus menakutkan di zaman itu.

Senin, 30 September 2019

30 September 1965 | Drama G30S 1965: di Mana Mereka di Malam Jahanam Itu?


Oleh: Petrik Matanasi - 30 September 2019

Malam 30 September 1965: Sukarno di rumah Dewi; Soeharto menunggu anaknya yang sakit di RSPAD, lalu pulang ke rumahnya. tirto.id/Deadnauval

Malam 30 September 1965, Soeharto tidur di rumahnya, begitu juga para jenderal yang diculik. Sementara Sukarno di rumah istri mudanya.

Malam itu, 30 September 1965, tepat hari ini 54 tahun lalu, sang jenderal terpaksa harus berada di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Anak laki-laki bungsu kesayangannya, yang kelahirannya bersamaan dengan pulihnya karier sang jenderal, harus dirawat karena kena siraman sup panas. Bersama sang istri, sang jenderal menunggui sang putra yang dipanggil Tommy Soeharto itu.
“Tanggal 30 September 1965. Kira-kira pukul sembilan malam saya bersama istri saya berada di Rumah Sakit Gatot Subroto. Kami menengok anak kami. Tommy, yang masih berumur empat tahun dirawat di sana karena tersiram sup yang panas,” aku Soeharto pada Ramadhan K.H. dalam Soeharto Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989). Hutomo Mandala Putra alias Tomy adalah anak kesayangan.
Latief, dalam bukunya Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto terlibat G 30 S, mengaku mendatangi Soeharto di sana. Latief, yang percaya pada Soeharto sebagai atasan, bercerita soal rencana penculikan para Jenderal itu.
“Pak, malam ini kami beberapa kompi pasukan akan bergerak untuk membawa para jenderal anggota Dewan (Revolusi) ke hadapan yang mulia presiden,” kata Latief.
Meski terkejut, Soeharto tetap bersikap tenang. Usai bertemu Soeharto di RSPAD, Kolonel Latief menghadiri rapat bersama Soepardjo, Letnan Kolonel Untung, dan lainnya.

Sementara Soeharto, yang merasa tidak diberitahu Latief serta merasa tidak tahu bahaya yang menimpa Ahmad Yani, memilih pulang ke rumahnya jelang tengah malam. Esoknya, tersiar berita adanya suara tembakan di rumah-rumah korban penculikan. Para jenderal itu pun hilang dan ditemukan tak bernyawa di Lubang Buaya.

Kala itu, Soeharto menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Dengan kuasanya, dia bisa menggerakkan pasukan dengan kualifikasi raider di tubuh Angkatan Darat itu untuk bertindak. Di sekitar lapangan Gambir Monas juga sudah ada pasukan raider dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang jumlahnya berkompi-kompi.

Di Rumah Istri Muda

Kolonel Maulwi Saelan adalah saksi mata yang mengetahui di mana Sukarno berada pada 30 September 1965 sebelum dini hari. Wakil Komandan Resimen Cakrabirawa itu sedang sibuk mengawal Presiden menghadiri resepsi penutupan Musyawarah Nasional Kaum Teknisi Indonesia di Istora, Senayan. Malam itu, Untung juga ada di sana. Sebagai Komandan Batalyon II Kawal Kehormatan Cakrabirawa, Untung ikut mengawal Bung Besar di ring terluar.

Dari Istora, menurut Mangil Martowidjojo, yang kala itu Komandan Detasemen Kawal Pribadi Cakrabirawa, Bung Besar sempat pulang ke Istana Merdeka. Sementara Maulwi pulang. Setelah berganti pakaian, menurut cerita dari buku Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1965 (1999), Si Bung pergi lagi dengan diam-diam, dengan memakai mobil Chrysler hitam. Mangil juga ikut serta, jadi setelah pukul 22.00 malam hingga pagi, Mangil yang paling tahu di mana posisi Sukarno pada malam jahanam 30 September 1965.

Sukarno dan pengawalnya terlebih dahulu singgah di Hotel Indonesia untuk menjemput Ratna Sari Dewi, istri termudanya. Mereka menginap di rumah Ratna Sari Dewi, Wisma Yaso, di Jalan Gatot Subroto. Tempat itu sudah jadi Museum Satria Mandala.

Sogol, salah satu pengawal, melihat Bung Besar sudah bangun sejak pukul 05.00 subuh 1 Oktober. Maulwi pagi itu kebingungan mencari di mana Sukarno berada. Sejak subuh saluran telpon istana terputus. Bung sempat ke rumah Hartini, istrinya yang lain lagi. Setelah mendapat laporan soal raibnya petinggi Angkatan Darat, Bung Besar ke Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah dan bertemu beberapa pelaku gerakan lain. Paham atau tidaknya pihak Angkatan Udara soal G30S, pangkalan itu membuat Sukarno dan pelaku gerakan untuk sementara terlindungi.

Lubang Buaya, Penas, dan Rumah Anis

Sebagai Panglima Komando Tempur II, seharusnya Brigadir Jenderal Soepardjo berada di Kalimantan. Namun, dia belum punya pasukan lengkap untuk memimpin konfrontasi militer Dwikora di sana. Jelang 30 September, dia terbang ke Jakarta. Di malam 30 September 1965, Soepardjo sudah berada di Gedung Biro Pemetaan Nasional (Penas) di Jakarta Timur. Gedung itu, menurut Heroe Atmodjo, seperti ditulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September Pelaku, Pahlawan dan Petualang (2010), disewa pihak Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), di mana Heroe berdinas sebagai letnan kolonel penerbang.

Pihak AURI, menurut Heroe, tidak tahu menahu jika di malam 30 September gedung itu menjadi Central Komando (Cenko) I. Selain Soepardjo yang semula satu-satunya perwira yang mengenakan seragam militer di sana. Selain Latief dan Soepardjo, perwira penting dalam gerakan yang ada disitu adalah Letnan Kolonel Untung. Syam Kamaruzaman, Biro Khusus PKI, juga ada di situ. Banyak militer yang terlibat G30S tak mengenal Syam di sana.

Sebelum di tempat itu, Untung sempat berada di Lubang Buaya untuk memantau kerja pasukannya yang telah membawa para Jenderal Angkatan Darat. Lubang Buaya adalah tempat akhir bagi pasukan penculik bernama Pasopati setelah sasaran berhasil mereka ambil paksa dari rumah masing-masing.


Sementara itu Ketua CC PKI D.N. Aidit, yang dituding Orde Baru sebagai otak Gerakan 30 September 1965, dijemput juga oleh anggota komplotan dari rumahnya di Jalan Pegangsaan Barat no 4 Cikini.
“Malam itu, kira-kira pukul 21.00, Bang Amat dibawa dengan mobil oleh orang-orang yang tidak aku kenal,” aku Murad Aidit dalam Menolak Menyerah (2005).
Aidit dibawa bersama Koesno ke Wisma Angkasa di Kebayoran Baru oleh Mayor Soejono. Perintah membawa Aidit tersebut datang dari Soepardjo. Sopir mobil yang mebawa Aidit itu adalah Sersan Udara Muljono, yang merupakan pengawal Soebandrio. Mereka tak berhasil menemui Marsekal Omar Dani dan akhirnya ke Pangkalan Halim Perdana Kusumah. Aidit menginap di rumah Sersan Udara Anis Soejatno. Rumah ini, menurut Julius Pour, dipersiapkan sebagai Cenko II.
“Tanggal 1 (Oktober) pagi pukul jam 09.00 saya minta Mayor Udara Soejono, oleh karena Penas harus segera dikosongkan, maka saya minta untuk sementara rumah Dek Jatno, saya pinjam untuk kantor. Selanjutnya saya diperintahkan untuk pulang lebih dulu dan menyiapkan meja dan kursi. Dengan kendaraan saya berangkat pulang ke rumah di kompleks MBAU rumah nomor 14,” ujar Anis Soejatno dalam kesaksiannya di persidangan Letnan Kolonel Untung.
Lebih lanjut, Anis menyebut pelaku-pelaku yang dilihatnya antara lain Soepardjo, Abdul Latief, Heroe Atmodjo, Untung dan tentu saja Soejono. Ada juga orang-orang sipil yang Anis tak tahu nama-namanya. Kemungkinan adalah Aidit dan Syam. Orang-orang ini, pada 1 Oktober 1965 itu, kemudian bertemu Sukarno di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah, yang datang untuk mencari perlindungan karena adanya tembakan-tembakan senjata malam 30 September.

Keberadaan Sukarno di Halim pada 1 Oktober membuat banyak orang berpikir dirinya terlibat G30S. Bagaimanapun, Halim dengan pesawat-pesawat angkut yang ada di sana tentu lebih bisa menerbangkan Sukarno jika keadaan Jakarta memanas dan tidak aman. Tanggal 1 Oktober 1965 nyatanya menjadi titik balik bagi G30S yang makin berantakan dan akhirnya bubar.

Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Soeharto sedang berada di RSPAD sebelum peristiwa G30S.

Tirto.ID 

Kamis, 15 Agustus 2019

G30S/Militer: Bagaimana Soeharto Mendalangi Pembantaian 1965?


15 Agustus 2018

Jess Melvin
Menamatkan studi doktoral di University of Melbourne (2014). Disertasinya diterbitkan Routledge...


Meski sudah 20 tahun kediktatoran Soeharto runtuh, mitos yang menjustifikasi pendirian rezim Orde Baru (dan juga masa pemerintahan setelahnya) masih berdiri tegak.

Menurut narasi resmi negara, militer terpaksa turun tangan untuk menyelamatkan bangsa dari kudeta komunis yang gagal pada dini hari 1 Oktober 1965.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan narasumber Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa militer bertindak demi memadamkan pergolakan “spontan”—dan mengakibatkan pertumpahan darah di seantero Indonesia—yang digerakkan oleh rakyat biasa yang membenci orang-orang komunis di sekeliling mereka. Rentetan peristiwa yang digambarkan oleh internal CIA sebagai salah satu pembunuhan massal terburuk pada abad ke-20, dikenal di Indonesia sebagai G30S/PKI—sebuah istilah yang yang menyiratkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) bertanggung jawab atas kudeta gagal yang dipimpin Gerakan 30 September (G30S).

Faktanya, militerlah yang mengerahkan kudeta pada 1 Oktober 1965 tersebut. Perencanaan kudeta ini dimulai di bawah pemerintahan Demokrasi Terpimpin Sukarno. Waktu itu, tentara dan PKI tengah bersaing memperebutkan kekuasaan. Upaya Soeharto menggunakan rantai komando yang ada untuk membawa militer ke tampuk kekuasaan kini lebih bisa dijelaskan. Buku saya yang berjudul The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder menunjukkan bagaimana militer Indonesia memulai dan melakukan pembunuhan massal 1965-66.

Artikel ini berfokus pada proses kudeta militer. Persiapan Kudeta Pada 1965, di tengah ambisi kudeta, militer Indonesia menemukan sekutu utamanya: pemerintah Amerika Serikat. Setelah kegagalan Paman Sam memisahkan Sumatera dari Indonesia pada akhir 1950-an, TNI dan Washington menemukan titik temu dalam politik anti-komunisme. Pimpinan TNI yang baru diangkat menerima pelatihan dan pendanaan dari Amerika. Washington sendiri berharap TNI bisa menjadi “negara dalam negara” dan mampu menggulingkan Presiden Sukarno yang tak pernah merahasiakan simpatinya atas ideologi Marxisme.

Awalnya, para pimpinan militer bermaksud menunggu Sukarno untuk "meninggalkan gelanggang". Tapi rencana berubah dan dimajukan pada Agustus 1965 karena mereka takut Sukarno dan PKI akan menggunakan kampanye Ganyang Malaysia untuk melemahkan monopoli TNI atas angkatan bersenjata. Sebelum membahas bagaimana TNI naik ke tampuk kekuasaan, penting untuk mengetahui struktur TNI menjelang peristiwa 1 Oktober 1965. Sukarno sebagai panglima tertinggi TNI secara resmi memiliki kontrol atas angkatan bersenjata. Langsung di bawah Sukarno, Panglima Angkatan Darat (Pangad) Jenderal Ahmad Yani memegang kontrol teknis. Sejak masa revolusi nasional (1945-1949), angkatan bersenjata terorganisir menurut struktur komando teritorial. Komando internal ABRI, yang dikenal sebagai Kodam, memiliki posisi sejajar dengan pemerintah sipil sampai ke tingkat desa. Pada 1965, Ahmad Yani menguasai struktur Kodam ini. Yani juga mengendalikan sejumlah struktur komando khusus, termasuk Kostrad yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto, dan Pasukan Khusus RPKAD yang dikendalikan oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Selain itu, Ahmad Yani menjabat kepala staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI). KOTI mengoordinasikan keterlibatan militer dalam kampanye Ganyang Malaysia.

Pada Oktober 1964, Komando Mandala Siaga (Kolaga) didirikan di bawah rantai komando KOTI di Sumatera dan Kalimantan untuk memfasilitasi kampanye Ganyang Malaysia di tingkat lokal. Komandan Kolaga adalah marsekal Angkatan Udara Omar Dhani, dengan Soeharto sebagai wakil pertamanya. Omar Dhani nantinya terlibat dalam Gerakan 30 September.

Komando KOTI dan Kolaga kelak menjadi medan konflik internal dalam perebutan negara. Permainan Berbahaya Pada September 1964, sebuah undang-undang baru memberikan kuasa kepada KOTI untuk menyatakan darurat militer tanpa terlebih dahulu meminta izin dari Sukarno. Ada kemungkinan Sukarno bermaksud menggunakan KOTI dan Kolaga untuk mengantarkan kaum komunis ke puncak kekuasaan. Selain menempatkan sekutunya (Dhani) sebagai komandan Kolaga, Sukarno juga menyetujui mobilisasi 21 juta sukarelawan pada Mei 1964. Mobilisasi ini seolah-olah dilakukan untuk mengantisipasi potensi konflik dengan Malaysia, tetapi militer khawatir jika sukarelawan digunakan untuk melawan TNI. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila militer pun mengambil keuntungan dari undang-undang baru ini. Komandan Mandala I Sumatera Letnan Jenderal Ahmad Mokoginta yang anti-komunis, menggunakan Kolaga untuk mulai menjalankan latihan uji coba militer (dikenal sebagai Operasi Singgalang) sejak Maret 1965. Uji coba tersebut dilakukan untuk menguji kesiapan komando militer dalam memobilisasi warga sipil. Warga sipil yang dilatih selama periode ini di kemudian hari berfungsi sebagai pasukan kejut (shock troops) dalam serangan TNI terhadap PKI.

Permainan berbahaya ini mencapai puncaknya pada Agustus 1965, ketika Sukarno mengumumkan pembentukan "Angkatan Kelima" atau tentara rakyat. Meskipun Sukarno mengklaim angkatan ini hanya akan digunakan untuk memajukan rencananya untuk memobilisasi warga sipil dalam mendukung kampanye Ganyang Malaysia, pihak militer sangat khawatir. Jika TNI tidak lagi memonopoli kekuatan bersenjata di Indonesia, maka kemungkinan PKI merebut tampuk kekuasaan di Indonesia akan tak terhindarkan.

Militer pun tak lagi ingin menunggu Sukarno turun panggung. Sebaliknya, di saat masih menjadi kekuatan bersenjata yang paling berkuasa di Indonesia, mereka berusaha memancing konfrontasi. Para pimpinan TNI tak ingin terlihat sebagai aktor yang memulai kudeta. Sukarno dan PKI terlalu populer pada masa itu. Sebaliknya, seperti dijelaskan John Roosa, TNI berharap mampu menciptakan sebuah keadaan yang dapat dimanfaatkan sebagai "dalih" agar militer bisa membungkus tindakakan-tindakannya sebagai pertahanan diri. Tindakan Gerakan 30 September—yang menculik dan membunuh enam perwira kunci TNI, termasuk Ahmad Yani, pada dini hari 1 Oktober—adalah dalihnya. Saya berargumen bahwa tindakan-tindakan militer yang dilakukan selanjutnya mengandung unsur-unsur pra-perencanaan dan improvisasi: ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan negara pada pagi hari 1 Oktober, dia mendasarkan tindakannya pada perencanaan jangka panjang yang telah dilakukan sebelumnya oleh kepemimpinan militer di bawah Yani, dan Soeharto juga menambahkan sentuhannya sendiri.

Kudeta Militer Indonesia 1 Oktober 1965 Ketika Gerakan 30 September membunuh pimpinan militer pada 1 Oktober, mereka gagal melumpuhkan komando militer di tingkat nasional. Soeharto justru mengisi kepemimpinan yang ditinggalkan Ahmad Yani, secara aktif mengabaikan wewenang Sukarno. Soeharto juga mempertahankan posisi strategisnya sebagai Komandan Kostrad, sementara Komandan RPKAD Sarwo Edhie membuktikan dirinya sebagai salah satu deputi paling setia Soeharto.

Sedikit yang tahu bahwa Soeharto juga merebut posisi Komandan KOTI. Menariknya, tidak ada indikasi bahwa Omar Dhani, sekutu Sukarno, berusaha memobilisasi KOTI, meskipun KOTI secara resmi berada di bawah komandonya pada pagi 1 Oktober 1965. Selama ini Soeharto dikisahkan sekadar membuat pengumuman publik pada tanggal 1 Oktober, ketika ia menyatakan bahwa TNI sudah berhasil mengendalikan situasi, termasuk di “pusat” dan “daerah”. Tidak diketahui apa yang dimaksud dengan pernyataan ini. Soeharto juga tidak bisa dibuktikan telah melakukan kudeta pada 1 Oktober.

Alih-alih, bukti-bukti yang ada selama ini hanya menunjukkan bahwa ia bersikap tidak patuh pada Sukarno ketika diperintahkan turun dari posisi komandan ABRI. Kini dapat diungkapkan Soeharto bertindak lebih aktif dalam mengonsolidasikan posisinya dan bergerak secara mandiri dari Sukarno. Bukti-bukti baru berupa dokumen menunjukkan bahwa Soeharto mengirim telegram ke panglima-panglima regional pada pagi 1 Oktober, dalam posisinya sebagai komandan ABRI. Ia menyatakan bahwa kudeta yang dipimpin Gerakan 30 September telah terjadi di ibu kota.

 Perintah ini kemudian diikuti dengan instruksi kiriman Komandan Mandala I Sumatera Letjen Ahmad Mokoginta, yang menyatakan bahwa para komandan militer harus “[m]enunggu perintah/instruksi selandjutnja dari Panglatu”.

Komando-komando lanjutan ini datang pada tengah malam ketika Mokoginta mengumumkan melalui radio bahwa seluruh perintah Soeharto harus “dipatuhi”, bertentangan dengan perintah Sukarno kepada Soeharto untuk mengundurkan diri. Mokoginta pun memerintahkan “segenap anggota Angkatan Bersendjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas contra-revolusi ini dan segala bentuk penchianatan2 dan sematjamnja sampai keakar2nja.”

Dari instruksi-instruksi sejenis yang bisa diketahui, pesan inilah yang muncul paling awal. Tindakan Mokoginta mengeluarkan instruksi tersebut dalam posisinya sebagai komandan Mandala I punya nilai yang sangat penting. Kini bisa diketahui bahwa komando daerah Sumatera diaktifkan pada pagi hari 1 Oktober untuk tujuan eksplisit memfasilitasi kampanye pemusnahan oleh militer. Darurat militer juga diberlakukan di seluruh Sumatera. Sementara itu di Jakarta, Kostrad dan RPKAD digunakan untuk meluluhlantakkan Gerakan 30 September dari 1 hingga 2 Oktober.

Pada 3 Oktober, Jakarta dinyatakan dalam keadaan perang. Selama beberapa hari berikutnya, Soeharto menuntut sumpah setia dari para komandan militer di seluruh negeri. Pada saat bersamaan, pers dibungkam dan para pemimpin sipil dilumpuhkan. Pengambilalihan angkatan bersenjata dan penundukkan atas ruang-ruang sipil oleh militer memuncak pada pidato Soeharto pada hari ulang tahun TNI pada 5 Oktober di Jakarta. Tepat di saat Sukarno sulit mengambil keputusan, Soeharto secara terbuka memunculkan dirinya sebagai kingmaker tanpa pesaing. Soeharto tidak menyatakan kudeta pada 1 Oktober karena memang tak perlu melakukannya.

Rantai Komando Aksi-aksi pembunuhan mulai bergulir beberapa hari setelah militer berhasil merebut negara. Pada saat itu, fase-fase kekerasan terlihat jelas. Setelah menyatakan niatnya untuk “membasmi” Gerakan 30 September pada tengah malam 1 Oktober, TNI memerintahkan warga sipil untuk berpartisipasi dalam kampanye militer sejak 4 Oktober. TNI pun mendirikan "Ruang Yudha" (sentral koordinasi perang non-konvensional terhadap PKI) di Aceh pada 14 Oktober untuk memfasilitasi kampanye pemusnahan oleh militer. Pada setiap saat, seluruh tindakan militer dikoordinasikan melalui sistem komunikasi dua arah yang kompleks dan membentang sampai ke tingkat desa. Militer menggunakan banyak rantai komando untuk menggelar kampanye ini secara nasional. Gerakan 30 September membagi Indonesia menjadi empat wilayah: Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Militer memfokuskan fase pertama serangannya di Sumatera dan Jawa, keduanya sebagai pusat ekonomi dan penduduk, sebelum memperluas jangkauannya. Seiring militer bersiap menggelar "operasi penumpasan" terhadap kelompok komunis, pembagian kerja pun mulai dilakukan di seantero negeri.

Di Sumatera, sangat masuk akal bagi pucuk pimpinan militer untuk menggunakan KOTI, Kolaga, dan komando regional di bawah kepemimpinan Mokoginta. Dokumen internal kedutaan besar AS menunjukkan bahwa Sumatera digunakan sebagai "test case" (daerah percobaan) oleh militer karena mereka bisa menerapkan darurat militer di daerah ini. Artinya, para komandan tak hanya mampu mengendalikan angkatan bersenjata tetapi juga penduduk sipil.

Di Sumatera, pembunuhan di muka umum dimulai pada 7 Oktober dan berlanjut ke tahap pembunuhan massal secara sistematis yang dimulai pada 14 Oktober.

Di Jawa dan Bali, angkatan bersenjata mengoordinasikan serangan melalui komando Kostrad dan RPKAD. Pada dasarnya, komando-komando ini sangat lincah (mobile). Mereka dapat beroperasi tanpa koordinasi dengan Kodam setempat yang, di Jawa, misalnya, dianggap telah cacat karena bersimpati pada Gerakan 30 September. Sebenarnya, Jawa Tengah adalah satu-satunya tempat di mana komando militer lokalnya mendukung Gerakan 30 September (sekalipun Bali dan Sumatera Utara memiliki gubernur yang berafiliasi dengan PKI).

Kostrad pertama kali digunakan untuk melumpuhkan Gerakan 30 September di ibukota sebelum akhirnya memelopori serangan-serangan di Jawa Tengah sejak tanggal 18 Oktober. Pada Desember, RPKAD pindah ke Bali.

Komandan RPKAD juga ditugaskan untuk mengoordinasi sebuah jaringan nasional regu-regu pembunuh yang terdiri dari orang-orang sipil. Seperti halnya di Sumatera, militer di Kalimantan memiliki komando Mandala-nya sendiri di bawah komando KOTI dan Kolaga. Namun, meskipun komando Mandala II (di bawah Mayor Jenderal Maraden Panggabean) memiliki potensi operasional yang sama dengan Mandala I, tidak tampak ada kampanye pemusnahan militer di wilayah tersebut hingga Oktober 1967.

 Demikian pula kampanye pemusnahan militer di Indonesia Timur yang tidak dimulai hingga Desember 1965. Alasan penundaan disebabkan oleh minimnya kepentingan strategis pemerintah di daerah-daerah ini. Sumatera dan Jawa adalah pusat ekonomi dan memiliki demografi terpadat. Sementara Bali, yang dikenal sebagai pusat aktivitas PKI, menjadi prioritas serangan militer gelombang kedua. Ketika kendali militer meluas, skala pembunuhan massal pun membesar.

Pada akhir 1965, sebuah upaya untuk memusatkan kampanye penumpasan oleh militer pun dimulai. Soeharto mendirikan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 6 Desember. Kendati komando ini banyak disorot karena berperan mengoordinasi serangan militer, tapi kenyataannya keberadaan Kopkamtib tidak diperlukan dalam kampanye awal pemusnahan yang digalakkan militer.

Pembantaian terburuk di Aceh (yang mengawali episode pembunuhan massal dalam kurun waktu 1965-1966), misalnya, sudah berakhir pada saat Kopkamtib didirikan di Sumatera. Walaupun kepemimpinan militer nasional memilih untuk mengoordinasikan kudeta dan kampanye pemusnahan melalui jaringan komando yang semi-otonom dan berbasis wilayah, hal tersebut tidak mengurangi taraf sentralisasi koordinasi militer di balik genosida.

Demikian pula, cara kerja semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Genosida terhadap orang Yahudi atau Holocaust yang dilakukan Nazi di Jerman juga dikoordinasi melalui banyak rantai komando yang berbasis wilayah.

Tingkat koordinasi di tingkat lokal inilah yang memungkinkan berkembangnya pola-pola berskala nasional yang terlihat jelas dalam pembunuhan-pembunuhan selanjutnya. Tujuan utama dari kekerasan ini adalah untuk mengonsolidasikan perebutan kekuasaan negara oleh militer. Sekarang jelas bahwa Soeharto memainkan peran penting dalam koordinasi di balik kudeta militer dan kampanye penumpasan setelahnya.

Militer tidak segan-segan mengambil langkah untuk "menyelamatkan" negara dari kudeta 1 Oktober 1965. Malah, mereka secara aktif berusaha merebut kekuasaan, dengan cara memanfaatkan aksi-aksi Gerakan 30 September sebagai katalis guna menjalankan rencana jangka panjang kudeta militer. Dalam pengambilalihan kepemimpinan pada hari itu, Soeharto tak hanya merespons aksi Gerakan 30 September, tetapi juga menjalankan skenario jangka panjang dalam kepemimpinan militer (rencana kudeta).

Pembunuhan massal setelahnya digunakan untuk meneror penduduk dan menghilangkan seluruh potensi perlawanan terhadap rezim militer baru. Trauma periode ini masih menghantui Indonesia hingga sekarang.

Dua puluh tahun sejak reformasi dan 53 tahun sejak Orde Baru berkuasa, ini saat yang tepat untuk membicarakan kudeta militer Indonesia 1965 secara terbuka. Untuk meruntuhkan propaganda Orde Baru, saya mengusulkan agar peristiwa ini dinamakan kembali sebagai "G30S/Militer".


Tulisan ini diterjemahkan oleh Irma Garnesia dari "There’s now proof that Soeharto orchestrated the 1965 killings" yang dimuat di Indonesia at Melbourne pada 24 Juni 2018. Penerjemahan dan penerbitan di Tirto atas seizin penulis dan penerbit. Edisi Indonesia sudah diperiksa oleh Jess Melvin sebagai penulis.

 *) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.

Mitos G30S/PKI yang menjustifikasi pendirian rezim Orde Baru masih tegak. Padahal yang terjadi adalah G30S/Militer.

https://tirto.id/g30smiliter-bagaimana-soeharto-mendalangi-pembantaian-1965-cSAq

Sabtu, 27 Juli 2019

Tangis Ribka Tjiptaning Pecah di Tengah Sepi Peringatan Kudatuli


Reporter: Dewi Nurita - Editor: Rina Widiastuti
Sabtu, 27 Juli 2019 14:40 WIB

Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning saat ditemui Tempo di ruangannya, lantai 4 kantor DPP PDIP Diponegoro, Sabtu, 27 Juli 2019. TEMPO/Dewi Nurita
TEMPO.COJakarta - Tangis Ribka Tjiptaning pecah ketika memperingati peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang lebih dikenal Kudatuli. Berurai airmata, Ketua DPP PDIP itu berkeliling gedung DPP PDIP Diponegoro bersama para korban Kudatuli dan Satgas PDIP yang dulu bersama-sama berjuang membela Megawati Soekarnoputri melawan rezim Orde Baru.
"Dulu kita sama-sama di sini ya, memukul mundur orang-orang yang menyerang kantor kita," ujar Ribka Tjiptaning mengingat teman-temannya yang sudah berpulang, bersama Ketua Fornas 27 Juli 1996, Fahrudin di basement kantor DPP PDIP Diponegoro, Jakarta pada Sabtu, 27 Juli 2019.
Selain sedih mengingat kejadian 'Sabtu Kelabu' itu, Ribka mengaku kecewa karena banyak kader dan petinggi PDIP yang juga melupakan peringatan peristiwa bersejarah bagi PDIP itu. "Kita selalu gembar-gembor jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Gimana mau ingat perjuangan Bung Karno, kalau sejarah partai sendiri kita lupa," ujar Ribka Tjiptaning kepada Tempo di ruangannya, lantai 4 kantor DPP PDIP Diponegoro, Sabtu, 27 Juli 2019.
Tepat hari ini, 23 tahun silam, terjadi pengambilalihan paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jakarta Pusat oleh massa pendukung Soerjadi, Ketua Umum PDI versi Kongres Medan. Kerusuhan pecah. Catatan Komnas HAM, sebanyak lima orang yang tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang dalam peristiwa itu.
Hari ini, hanya Ribka sebagai perwakilan DPP PDIP yang hadir memperingati peristiwa Kudatuli di kantor DPP PDIP Diponegoro. Ribka menyebut, Megawati Soekarnoputri sebenarnya mengajak jajaran DPP nyekar di makam Bung Karno di Jawa Timur memperingati peristiwa ini. Namun, dia lebih memilih hadir di DPP memperingati peristiwa Kudatuli bersama para aktivis jalanan yang dulu membela Mega mati-matian.
"Gedung ini megah tapi kan sedih kita melihatnya. Kok semakin enggak ada teman-teman yang datang," ujar Ribka.
Menurut Ribka, banyak kader PDIP saat ini yang tidak mengenal sejarah partai sendiri. 
"Mungkin, banyak teman-teman yang baru. Tidak ikut merasakan perjuangan kami ketika itu. Jadi sedih aku ya, Kudatuli itu bukan hanya peringatan PDIP, tapi juga tonggak reformasi," ujar Ribka.
Pada 23 tahun yang lalu, ujar Ribka, Megawati didaulat rakyat melawan Soeharto yang tak tergoyahkan selama 32 tahun. Semua kekuatan tertumpah mendukung Megawati di kantor yang dikenal Diponegoro 58 itu. Mahasiswa, aktifis jalan, rakyat kecil, semua menjadi kekuatan pendukung PDI. 

"Kemenangan PDI dulu itu bukan karena kader saja, tapi karena semua kekuatan bersatu. Jadi kalau sekarang sudah jadi gedung megah, jangan jadi sombong. Pongah. Ojo dumeh," ujar Ribka.

Penulis buku "Aku Bangga jadi Anak PKI" ini kemudian berseloroh ihwal penyebab sepinya peringatan Kudatuli di kantor DPP PDIP itu kepada para Satgas PDIP. 

"Elu sih, bikin proposalnya tabur bunga, coba tabur duit, pasti rame," ujar Ribka Tjiptaning sambil tertawa.

Selasa, 16 Juli 2019

Meme Menyindir Jejak Hitam Suharto Makin Ngetren di Kalangan Anak Muda

Oleh Arzia Tivany Wargadiredja Dan Adi Renaldi
16 Juli 2019, 6:15 pm

Apakah tren meme ini dapat menangkal glorifikasi berlebihan terhadap rezim Orde Baru?

ILUSTRASI OLEH YASMIN HUTASUHUT.
Sosok Suharto bisa jadi adalah sosok paling dibenci, sekaligus (buat sebagian orang) paling dirindukan. Polarisasi ini terlihat dari meme yang menggambarkan sosoknya dalam lanskap budaya pop di dunia maya.
Sewindu lalu, mulai muncul nostalgia memuja 'kegemilangan' Orde Baru, khususnya terhadap sosok Suharto, walau agak malu-malu. Tentu kalian ingat meme "Piye kabare? Penak zamanku to?", yang bersanding dengan wajah Suharto tersenyum. Meme itu terus saja disebar oleh om-tante kita di grup WhatsApp dan Facebook. Meme yang sama juga menghiasi bagian belakang truk melintasi jalanan Pulau Jawa, Sumatra, hingga Kalimantan.
Meme tersebut kadang mewarnai beranda medsos kita saban ada informasi kalau pemerintahan di era reformasi tersandung masalah korupsi. Seakan penyebar meme-nya mau bilang, "lihat, Orde Baru dan orde sekarang enggak ada bedanya!"
Pada 2017 lalu, The Pew Research Center melansir riset yang berjudul "Globally, Broad Support for Representative and Direct Democracy". Riset tersebut melibatkan 41.953 responden di 38 negara, termasuk Indonesia, untuk memprediksi masa depan demokrasi di berbagai negara, termasuk sikap para penduduknya atas sistem politik partisipatif. Di Indonesia, lembaga riset itu mewawancara 1.000 responden di hampir semua pulau besar. Melihat kesimpulan riset ini, kelihatannya memang ada tanda-tanda kerinduan masyarakat terhadap rezim militeristik ala Orde Baru yang diasumsikan "tegas" dan kondisi politiknya "stabil". Pendukung demokrasi tentunya ketar-ketir melihat tren itu.
Dua tahun belakangan, tren itu perlahan berubah. Meme kritik terhadap Suharto dan warisan Orde Baru—yang penuh pelanggaran hak asasi manusia serta korupsi dan kroniisme—banyak melejit. Meme “Penak zamanku” disaingi meme “Kenapa kamu tanya begitu, hah? Siapa yang suruh?" yang dicuplik dari momen tanya jawab Presiden ke-2 RI itu dengan seorang siswa sekolah dasar asal Banggai, Sulawesi Tengah pada momen Hari Anak Nasional, 13 Juli 1994, di Istana Merdeka.
Siswa bernama Hamli itu dengan polosnya bertanya, "kenapa presiden di Indonesia hanya satu padahal rakyatnya banyak?"
Suharto segera merespons balik, "kenapa kamu tanya begitu? Siapa yang suruh? Karena hanya ingin tahu saja?"
Cara Suharto menjawab pertanyaan bocah soal jumlah presiden di Tanah Air itu bikin siapapun merinding (plus memeable banget).
Meme Suharto menjawab anak SD itu seringkali muncul dalam konteks obrolan satir untuk "mengancam" lawan bicara kita di medsos. Secara simbolis, meme ini menggambarkan betapa sang presiden ke-2 itu sangat mengancam sekalipun berusaha ramah. Meme kritik terhadap warisan rezim Suharto dalam versi lain juga makin mudah ditemukan di berbagai media sosial. Mulai dari Twitter, instagram, maupun laman meme seperti 1Cak.
Konteks pemakaiannya bukan lagi rindu OrBa atau memuji sosoknya. Dalam meme-meme tersebut, Suharto adalah sinonim bagi "penculikan", "penghilangan", atau bagi "terbelenggunya kebebasan berpendapat". Bentuknya pun tak hanya gambar, namun juga candaan tertulis.
Jika mengacu pada persebaran meme kritik terhadap Suharto, demografi yang menggunakannya memang beda banget. Meme 'Penak Jamanku..." populer di kalangan baby boomers ataupun generasi X, yang mengalami langsung (dan mungkin hidup nyaman) saat Orde Baru. Sebaliknya, variasi meme kritis yang menyinggung pelanggaran HAM berat Suharto, termasuk hilangnya kebebasan berpendapat dan kritik pada era tersebut, digunakan anak muda. 
Apakah ini berarti narasi yang kerap dibangun untuk menciptakan kerinduan terhadap diktator sakti ini bisa dibalik? Apakah anak muda Indonesia di masa sekarang tak punya kerinduan positif pada sosok diktator tersebut sebagaimana kakek-nenek atau om-tante mereka?
Novandy Fiardillah, 23 tahun, adalah mahasiswa yang cukup dekat dengan kultur meme. Salah satu meme favoritnya adalah potongan video Soeharto pada Hari Anak Nasional 1994. 
"Suharto dalam meme sih rata-rata pada ngomongin tindak otoriter yang dia lakukan," kata Novandy kepada VICE. Dia mengaku sudah mempelajari berbagai persoalan sosial dan politik pada rezim Orde Baru. Buat Novandy, menyebar meme kritik atas warisan Suharto cukup penting, agar pandangan anak muda berimbang terhadap meme glorifikasi sang penguasa Klan Cendana itu.
"Aku pikir meme [kritis] perlu buat terus direproduksi karena jauh sebelum kita bikin meme, orang-orang Orbais udah bikin meme duluan, sampai tukang cat pantat truk yang ngegambar Soeharto. Gilanya, gambar itu dibawa terus keliling Jalur Pantura. That's beyond internet, anjir.”
Sebagai pengepul meme, Novandy merasa meme Suharto cukup penting untuk mengedukasi pengguna Internet soal catatan hitam Orde Baru. Masalahnya, meme kritis terhadap Suharto seringkali dijadikan alat kampanye agar tidak memilih Prabowo jelang pemilu April lalu. Di masa itulah meme Suharto menurutnya jadi tak ideal buat disebar.
"Kalau kita ngomongin meme ngumbar aib Suharto biar enggak milih Prabowo, jelas banyak. Ngangkat soal pelanggaran HAM dan sebagainya. Cuma, apa rezim Jokowi juga bukan pelanggar HAM?" kata Novandy. "Kalaupun dibikin meme, jadinya dark jokes, sih. Meski pada praktiknya kita ketawain pendukung Jokowi dan Prabowo, tapi ya kan tafsiran orang mah enggak tau juga."
Feri Kusuma, selaku Deputi Bidang Strategi dan Mobilisasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), turut mengapresiasi makin banyaknya variasi meme soal jejak hitam Suharto.
Dia menilai fenomena meme bernada kritik terhadap Soeharto bisa menciptakan momentum kesadaran di generasi muda, soal perlunya penuntasan kejahatan kemanusiaan dari era sebelum 1998. "Tentu ini hal yang positif, artinya diskursus soal kejahatan Soeharto mulai diingat lagi oleh publik dan dijadikan narasi di ruang media sosial,” kata Feri kepada VICE.
Namun, seperti Noviandy, Feri pun merasa ada beberapa isu problematik dari maraknya meme kritis terhadap Suharto. Kemunculan meme Soeharto setahun terakhir cukup dipengaruhi suhu politik elektoral Pemilihan Presiden 2019 lalu. Karena yang diserang sosok Suharto, hendak dibangun asosiasi bahwa presiden ke-2 itu dan menantunya, Prabowo, amat identik.
"Jadi kritik terhadap Suharto sekaligus ingin memberikan pesan bahwa jika Prabowo terpilih jadi Presiden mirip kayak zaman Soeharto," kata Feri.
Aktivis pro-demokrasi tentu menyambut baik adanya kritik terhadap sosok Soeharto. Namun, menurut Feri Suharto tidak hanya sendirian. Orde Baru adalah pranata politik skala raksasa, yang mantan aktornya sebagian masih duduk di pemerintahan. Menurut Feri, orang-orang yang pernah menjadi bagian Orde Baru, dan kini duduk di pemerintahan, mestinya tidak lepas juga dari kritik.
"Ketika meme kritik terhadap Suharto juga ada kritik terhadap elite masa lalu yang ada di pemerintahan, itu baru namanya meme sebagai gerakan sosial yang independen dengan misi kemanusiaan dan penegakan hukum."
Jadi, bagi kalian anak-anak muda pengepul meme, ada tantangan baru tuh. Kritis sama masa lalu kelam Indonesia tentu bagus, tapi kita perlu memperbanyak meme yang menyasar tak cuma Suharto, tapi juga para tokoh Orde Baru yang masih berhasil survive di lingkar dalam kekuasaan hingga era Reformasi.
Vice.Com 

Rabu, 26 Juni 2019

Soeharto dan Dua Anak Buahnya yang Pelaku 'Makar', Untung & Latief


Oleh: Petrik Matanasi - 26 Juni 2019

Abdul Latief dan Untung. tirto.id/Fuad

Pelaku penting G30S, Abdul Latief dan Untung, adalah bekas bawahan Soeharto. Kepada keduanya, Soeharto tak bisa menolong dalam kasus makar. 

Jenderal (Kehormatan) Luhut Binsar Panjaitan telah membuktikan diri sebagai bekas atasan yang baik kepada Mayor Jenderal Soenarko, mantan Danjen Kopassus yang dituduh makar. Perkara makar bukan perkara main-main. Hukumannya bisa hukuman mati ditambah catatan buruk dalam sejarah tentunya. Tidak banyak jenderal seperti Luhut. Jenderal Soeharto pun tidak bisa berbaik hati kepada bekas bawahannya seperti Luhut. Meski kondisi antara Luhut saat ini dan Soeharto dahulu tentu berbeda.

Dulu Soeharto tak bisa berbaik hati kepada Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Abdul Latief. Tentu karena keduanya pelaku penculikan petinggi Angkatan Darat (Letnan Jenderal Ahmad Yani dan para stafnya) dan cap kepada kedua perwira menengah Angkatan Darat itu adalah "kader PKI sisa pelarian PKI Madiun". Tak mungkin ada penjaminan sebagai tahanan kota atau semacamnya. Untung harus menerima hukuman mati karena perkara G30S. Sedangkan kepada Abdul Latief, bawahannya yang lain, Soeharto tak bisa menghalaunya dari hukuman penjara selama belasan tahun. Hal terbaik untuk Latief adalah bisa terhindar dari regu tembak.

Tak Menyangkal Kedekatan, tapi Menuduh yang Bukan-Bukan

Soeharto tidak munafik soal hubungannya dengan Untung alias Kusman.    
 “Saya mengenal Untung sudah lama dan sejak menjadi komandan Resimen 15 di Solo, di mana Untung menjadi salah satu komandan kompi di Batalyon 444,” aku Soeharto dalam autobiografi Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989: 123) yang disusun Ramadhan K.H. 
Lebih lanjut kata Soeharto, Untung adalah kader dari Alimin, salah satu tokoh senior PKI. Cerita yang banyak beredar antara Soeharto, Latief, dan Untung, seperti dicatat Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah (2010: 112) adalah Soeharto hadir ketika Untung menikah di Kebumen, Jawa Tengah; begitu pun ketika anak Latief disunat. Soal Latief, Soeharto juga mengenalnya sejak zaman Revolusi.
“Soeharto kenal dengan saya karena saya bergabung dengan brigadenya,” aku Abdul Latief dalam buku Pleidoi Kol. A. Latief (2000: xxxviii-xxxix).
Waktu Serangan Umum 1 Maret 1949, Latief juga terlibat. Ketika Soeharto berjaya sebagai perwira penting di Jawa Tengah, Latief berada di Jawa Tengah pula. Dia kerap menjadi komandan batalion. Setelah G30S, nama Latief sudah cemar. Soeharto, kata Latief, pernah menyatakan bahwa Latief adalah pelarian dari pemberontakan Madiun 1948. Padahal, menurut Latief, di masa-masa pecahnya Peristiwa Madiun, dirinya tak berada di Jawa Timur dan berada di sekitar Wonosobo-Temanggung sebagai Medan Brigade IV dengan pangkat mayor.

Di malam jahanam penculikan para jenderal 30 September 1965—yang dikenal sebagai G30S—seperti diakui Soeharto dalam autobiografinya, Latief tidak jauh dari Soeharto, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD).
“Kira-kira pukul 10 malam saya sempat menyaksikan Kolonel Latief berjalan di depan zaal (ruang) tempat Tomy (Hutomo Mandala Putra, anak laki-laki bungsu kesayangan daripada Soeharto) dirawat,” aku Soeharto (hlm. 118).
Soeharto tak menjelaskan lagi apa persisnya yang dilakukan bekas anak buahnya itu. Latief sendiri mengakui dalam bukunya, sebelum jenderal-jenderal diculik dirinya melaporkan soal langkah-langkah terhadap perwira yang dianggap terlibat Dewan Jenderal. Latief melaporkannya di sekitar tempat Tomy dirawat.
“Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau,” tutur Latief dalam bukunya (hlm. 129).
Malam itu Kolonel Latief tak diapa-apakan, setidaknya tidak dihalang-halangi, oleh Soeharto. Apa yang disebut Latief itu seolah-olah menunjukkan bahwa Soeharto sebetulnya tahu soal pengamanan (yang ternyata penculikan) terhadap Letnan Jenderal Ahmad Yani dan kawan-kawan oleh pasukan penculik yang berada di bawah komando Letnan Kolonel Untung.

Soeharto berpuluh tahun berjaya sebagai presiden dan pahlawan. Sementara Latief, meski tak diberi hukuman mati, harus hidup merana di penjara dan baru bebas di hari tuanya.

Kontra-Narasi Orba

Setelah Soeharto lengser barulah muncul narasi-narasi yang menggoyahkan narasi Orde Baru soal G30S dan Soeharto. Termasuk narasi soal Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Di zaman Orde Baru, Soeharto seolah-olah jadi pahlawan nomor satu melebihi tokoh lainnya dalam serangan umum atas kota Yogyakarta itu. Sesudah bekas komandannya itu tumbang, Latief baru bisa menyerangnya. Tentu saja lewat buku Pleidoi Kol. A. Latief.

Latief mencatat dalam pleidoinya, ketika 1 Maret 1949, dia diperintahkan Soeharto—yang masih letnan kolonel—menyerang daerah Malioboro. Ketika terjebak dalam pertempuran sengit dengan tentara Belanda dalam serangan balasan, pasukan Latief terdesak dan akhirnya mundur.
“Setelah dapat keluar kota, di desa Sudagaran atau Kuncen kira-kira antara pukul 12.00 siang bertemulah saya dengan Komandan Wehrkreisse Letnan Kolonel Soeharto,” aku Latief (hlm. 95). “Waktu itu beliau sedang beristirahat menikmati makan soto babat.”

Setelah Latief melaporkan hasil serangan umum yang selama 6 jam menguasai kota Yogyakarta itu, Latief bukannya disuruh istirahat sebentar untuk bersama-sama makan soto babat, tapi malah dapat perintah baru. Soeharto memerintahkan Latief menghadang tentara Belanda yang akan bergerak ke Kuncen. Latief harus pusing karena para anak buahnya hanya tersisa 10 orang, sementara yang lain masih tersebar. Latief tampaknya tidak sakit hati kepada Soeharto. Ketika berdinas di Divisi Diponegoro, Latief pernah ditawari untuk memimpin orang-orang Madura dari daerah Situbondo, Jember, dan Bondowoso dalam Batalyon 408 di Jawa Tengah.

Ketika akan dilaksanakan Operasi Trikora Pembebasan Irian Barat, Latief sebetulnya hendak diikutkan oleh Soeharto yang jadi panglima operasi dengan pangkat mayor jenderal. Latief hendak dijadikan Komandan Brigade Infanteri Penerjun ke Irian Barat.
“Karena saya akan sekolah Seskoad dibatalkan harus sekolah dulu,” ujar Latief (hlm. xxxi). Selulus dari Seskoad, Latief menjadi komandan Brigade Infanteri (Brigif) I di Kodam Jakarta Raya. Panglima Kodam kala itu adalah Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah. Latief menyusun sendiri pasukan itu.
Di antara Latief dan Untung, hanya Untung yang kemudian ikut Soeharto. Untung memimpin pasukan raider dari Jawa Tengah. Dalam Trikora, meski tak terang-terangan mengalahkan tentara Belanda dengan telak, Angkatan Darat berjaya. Setidaknya Untung dapat Bintang Sakti bersama Mayor Leonardus Benjamin Moerdani.

Penulis: Petrik Matanasi | Editor: Ivan Aulia Ahsan 
Soeharto menuduh Latief sebagai pelarian PKI Madiun dan kader Alimin.


Senin, 04 Februari 2019

Kawan-Kawan Soeharto yang Terlibat G30S


Oleh: Petrik Matanasi - 4 Februari 2019

Letkol Untung maupun Kolonel Latief punya hubungan dekat dengan Soeharto.

Letnan Kolonel Untung, komandan pengawal Presiden Indonesia yang memimpin kudeta yang gagal melawan Presiden Sukarno pada Oktober 1965. AP Photo

Adalah fakta bahwa para pelaku penting G30S, pernah jadi anak buah daripada Soeharto di masa lalu. Para pelaku penculikan disebut-sebut berasal dari pasukan pengawal presiden Sukarno, Tjakrabirawa. Namun, pasukan penculik dari Tjakrabirawa yang dibawa Letnan Kolonel Untung adalah berasal dari Banteng Raiders.

Tak hanya Untung, Sersan Mayor Bungkus pun berasal dari Banteng Raiders Jawa Tengah. Begitu juga Pembantu Letnan Dua Djahurup dan Letnan Satu Dul Arief. Kata Bungkus kepada Ben Anderson dan Arief Djati dalam "The World of Sergeant-Major Bungkus" (yang dimuat di Jurnal Indonesia No. 78 Oktober 2004), trio Bungkus, Djahurup, dan Dul Arief ditempatkan di Keresidenan Besuki, Jawa Timur waktu revolusi melawan Belanda. Setelah dikirim ke Seram (melawan RMS) mereka bertiga yang tergabung dalam kesatuan Anjing Laut, ditempatkan di Jawa Tengah.

Waktu Soeharto jadi Panglima di Jawa Tengah, mereka sudah di sana. Bungkus dan kawan-kawan termasuk Banteng Raider yang dimasukan ke Tjadangan Umum Angkatan Darat—yang belakangan jadi Kostrad. Setelahnya, masuklah ia ke Tjakrabirawa, di bawah komando Untung. Begitu juga Djahurup dan Dul Arief.

Untung, sepengakuan Soeharto, dalam Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989:123), bukan orang yang asing baginya. ”Saya mengenal Untung sudah lama dan sejak menjadi komandan resimen 15 di Solo, di mana Untung menjadi salah satu komandan kompi Batalyon 444," ujar Soeharto.

Batalyon yang bermarkas di Kleco, Solo, tersebut dipimpin Mayor Sudigdo dan dikenal sebagai Batalyon Digdo. Untung yang kelahiran Kebumen tidak asing dengan Solo karena sekolah di Solo. Dalam biografinya, Soeharto menekankan bahwa Untung pernah dapat pendidikan politik dari tokoh PKI Alimin yang termasuk Pahlawan Nasional.

Bahkan, tulis Subandrio dalam Kesaksianku tentang G-30-S (2000: 47), Soeharto beserta Bu Tien hadir ketika Untung menikah di Kebumen. Seorang atasan hadir dalam hajatan keluarga bawahannya memang merupakan hal biasa di Indonesia. Tak hanya ke hajatan Untung, Soeharto, juga menghadiri acara khitanan anak Abdul Latief.

Seperti Untung, Latief juga bukan orang baru bagi Soeharto. Sama seperti Soeharto, Latief juga hadir dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Latief, dalam bukunya Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto terlibat G 30 S(2000:95), mengaku banyak pemuda meninggal karena pertempuran jelang siang setelah pendudukan 6 jam Jogja itu.
“Di desa Sudagaran atau Kuncen kira-kira jam 12.00 siang bertemulah saya dengan komandan Wehrkreisse Letkol Soeharto... waktu itu beliau sedang beristirahat menikmati soto babat,” tulis Latief. Soeharto bukannya menawari, malah dia menyuruhnya untuk bertempur lagi.
Setelah 1949, Latief berada di bawah komando Soeharto, termasuk ketika dikirim Sulawesi Selatan. Setelahnya, Latief bertugas di Jawa Tengah. Latief mengaku dia pernah diperintahkan Soeharto untuk memimpin batalion yang anggotanya mayoritas orang Madura yang pernah bertugas di Sulawesi. Waktu penumpasan PRRI di Sumatra, Latief termasuk perwira Diponegoro yang dikirim ke sana.

Letief mengaku dirinya pernah diminta Soeharto untuk menjadi Komandan Brigade Infanteri Para dalam Operasi Pembebasan Irian Barat: Trikora. Untuk itu, Latief mengaku pernah latihan terjun payung bersama Try Sutrisno. Setelah Trikora berlalu dan Latief juga lulus Seskoad, Latief menjadi Komandan Brigade Infanteri Jaya Sakti di Jakarta, yang baru saja dibentuk. Ketika Asian Games 1962, Latief kebagian jatah tugas keamanan di sana.

Waktu itu, Soeharto juga berada di Jakarta sebagai Panglima Kostrad dengan pangkat Mayor Jenderal. Latief tidak di bawah Soeharto kala itu, melainkan di bawah Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima KODAM. Soeharto pernah meminta kepada Umar agar Latief ditempatkan menjadi komandan satuan tugas di Kalimantan Timur, tapi Umar menolak.



Semua tahu belakangan Latief terlibat dalam G30S. Beruntungnya dia tidak dihukum mati. Hingga setelah Soeharto lengser, Latief termasuk perwira yang berani bilang Soeharto terlibat G30S, seperti judul bukunya.
“Dua hari sebelum peristiwa tanggal 1 Oktober 1965, saya beserta keluarga mendatangi rumah keluarga Bapak Jenderal Suharto di Jalan Haji Agus Salim,” aku Latief dalam bukunya (2000:277).
Latief mengaku mereka bicara soal Dewan Jenderal. Selain urusan terkait negara, Latief pernah mengajak Soeharto bertukar rumah. Latief melihat rumah Soeharto sebagai jenderal terlalu kecil. Sementara itu Latief yang pangkatnya masih kolonel dapat rumah agak besar di Jalan Jambu, Jakarta.

Di malam penculikan, Soeharto ada di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto karena anak bungsu kesayangannya, Hutomo Mandala Putra sedang dirawat setelah ketumpahan sop panas.

“Kira-kira pukul sepuluh malam saya saya sempat menyaksikan Kolonel Latief saya di depan zaal tempat Tommy dirawat,” aku Soeharto.


Selain dengan dua perwira Jawa Tengah itu, Soeharto juga kenal dengan Syam Kamaruzaman, orang yang dianggap sebagai Biro Khusus Partai Komunis Indonesia (PKI).

Harry Tjan Silalahi, dalam biografinya yang disusun J.B. Sudarmanto, Tengara Orde Baru: Kisah Harry Tjan Silalahi (2004:179), mengatakan bahwa Soeharto dan Syam berkenalan di Marx House, Pathuk, Yogyakarta. Tempat itu adalah tempat diskusi yang dikelola Sutan Syahrir dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). 

Des Alwi dalam Pak Harto: The Untold Story (2011:62) juga mengatakan bahwa Soeharto memang sering nongkrong di daerah Pathuk itu. Tidak ada yang salah jika Soeharto rajin datang diskusi di Pathuk. Namun, Soeharto bukan tipikal pemuda yang suka mendalami sebuah pemikiran. Dia lebih terlatih sebagai komandan para serdadu ketimbang pemuda pemikir macam Syahrir.

Baik Syam, Latief dan Untung tidak pernah muncul batang hidungnya sebagai orang bebas di zaman Orde Baru. Untung dieksekusi, Latief menjalani hidup sebagai tahanan politik, dan Syam tidak pernah jelas nasibnya. Meski mereka pernah berdekatan dengan Soeharto, garis sejarah pada akhirnya memisahkan mereka.

Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nuran Wibisono

Letkol Untung dieksekusi mati pada 1966.