HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Blitar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Blitar. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 23 September 2017

Perlawanan Terakhir PKI dari Ujung Jawa Blitar Selatan


23 September 2017 - 14:03 | Reza Nurrohman *




"Jawa adalah kunci!"

Itulah slogan film PKI yang sekaligus menggambarkan fakta tragis PKI yang lahir dan Mati di Jawa. Apabila PKI fokus pada daerah luar Jawa, tentu sejarah Indonesia akan lain ceritanya. Begitulah komentar akademisi John Roosa terhadap petualangan PKI dalam sejarah Indonesia.

Ketika PKI dibubarkan pada tahun 1966 sebagai buntut tragedi 1965 pengganti Aidit yang ditembak mati tidak patah arang. Pimpinan PKI yang tersisa seperti Sudisman dan Rewang memutuskan untuk mengubah strateginya.

Selama 1966, Sudisman membuat strategi baru yang didasarkan pada prinsip perjuangan bersenjata. Taktik militer gerilya yang disusun sisa-sisa PKI yang selamat memutuskan melakukan hijrah ke desa-desa dengan pusat komando Blitar Selatan untuk menjalankan strategi ala Mao dari Partai Komunis Cina yaitu strategi desa mengepung kota.

Sejarah militer mencatat inilah pertama kalinya perang antigerilya dijalankan TNI dan operasi militer pertama Presiden Suharto untuk menumpas Komunis Gaya Baru bernama Tri Sula dengan Pagar Betis.

Menurut versi pemerintah dan militer Indonesia, partai terlarang PKI baru mulai membentuk basis komunis gaya baru atau kompro (Komite Proyek Basis) di Blitar Selatan pada Oktober 1967.

Gerakan itu adalah upaya terakhir untuk membangun perlawanan saat hampir semua anggota PKI mendekam di penjara atau tergeletak tewas dalam kuburan-kuburan massal. Mereka yang selamat dari represi di Jawa kemudian berkumpul di Blitar Selatan pada 1966-67, karena daerah itu sangat terpencil dan sulit ditembus oleh militer. Ada beberapa penduduk setempat yang membantu menyediakan makanan dan tempat berteduh. 

Blitar Selatan adalah sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Blitar, yang lama dikenal sebagai daerah miskin di Jawa Timur. Sebelum 1965, Blitar Selatan adalah daerah yang terbelakang dan tidak banyak diperhatikan. Di zaman Belanda pun perkebunan besar tidak menjangkau wilayah ini, dan sepertinya sengaja dibiarkan terbengkalai. Beberapa pejabat bahkan menyebutnya sarang perampok yang sulit dan memang tidak perlu dijangkau. Banyak terjadi misteri pada daerah ini dari mulai pelarian, pemberontakan sampai kisah-kisah mistis.

Setelah pasukan Belanda pergi dan Indonesia mendapatkan kemerdekaan penuh, tetap tidak ada kekuatan politik lain yang tekun bekerja di Blitar Selatan, kecuali organisasi gerakan kiri. Salah satu organisasi yang terpenting adalah BTI yang mayoritas anggotanya adalah kaum tani miskin.

Di Blitar Selatan, organisasi itu disambut karena bertujuan meningkatkan kesejahteraan kaum tani. Bagi orang kebanyakan, PKI mempunyai daya tarik karena memang tidak ada partai lain yang berhubungan erat dengan ormas-ormas, seperti Gerwani, BTI, Lekra, dan Pemuda Rakyat, yang bekerja sampai ke pelosok-pelosok desa.

Berita tentang tragedi 1965 menyebar dengan cepat, tapi tidak ke Blitar Selatan. Daerah itu dalam kesehariannya sangat terlambat menerima berita dari kota lain, apalagi dari Jakarta yang letaknya sangat jauh.

Otomatis pelarian PKI semakin aman berkumpul di daerah ini dan melakukan perlawanan terakhirnya dengan segenap kekuatan seperti layaknya organisasi militan yang siap mati. Saat memutuskan akan menggelar operasi anti-PKI di Blitar Selatan, Angkatan Darat membawa serta sejumlah milisi sipil dari luar Blitar karena tak ada rakyat yang mau membantu.

Awalnya, operasi itu terarah khusus pada anggota PKI dan orang yang diduga berafiliasi dengan partai tersebut. Tapi lama-lama banyak orang yang tidak punya kaitan apa pun dengan kegiatan politik menjadi sasaran.

Banyak kasus pertengkaran yang kemudian berlanjut menjadi pembantaian ketika salah satu pihak mendapat legitimasi dengan mencap lawannya sebagai komunis gaya baru. Para pemimpin operasi pembersihan ini kadang menetapkan target jumlah orang yang harus mereka habisi sebagai bukti keberhasilan.

Orang Tionghoa juga menjadi sasaran karena selama ini dianggap menyokong PKI dan berhubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok.
Komunis gaya baru atau sisa PKI yang bergabung di Blitar Selatan umumnya adalah aktivis mahasiswa, buruh, petani, pemuda, dan perempuan yang lolos dari pembantaian 1965 dan masih terus dicari penguasa.

Mereka yang berhasil menghindari penangkapan atau hanya ditahan sebentar mulai lelah main kucing-kucingan dengan militer. Di kota-kota mereka harus senantiasa waspada agar tidak dikenali oleh informan militer, termasuk oleh anggota partai yang berkhianat karena disiksa dan diancam militer. Ada juga serdadu militer yang khawatir akan ditangkap, meninggalkan pasukannya, dan lari ke Blitar Selatan.

Penduduk dengan mudah menerima para pelarian dan berinteraksi karena memang mengenal sebagian sebagai mantan anggota Laskar Rakyat atau aktivis yang berkunjung ke tempat mereka. Namanya juga orang Jawa kalau sudah dekat mengingat jasa PKI pada daerah mereka sudah seperti saudara kandung sendiri.

Taktik perlawanan PKI dengan sistem organisasi yang tertutup ini dipilih untuk melindungi jaringan komite proyek jika ada salah satu anggota yang tertangkap. Orang-orang PKI tak kenal siapa komandan dan bawahan seperti teroris masa kini pakai sistem sel. Sebaliknya,pihak militer dalam terbitannya mengenai Operasi Trisula selalu menggambarkan bagan organisasi dengan jelas seolah memang ada susunan yang pasti dan berjalan efektif.

Keberhasilan PKI bersatu pada dengan rakyat Blitar sampai menyulitkan militer,keadaan tersebut dapat menimbulkan frustrasi di kalangan pasukan, sehingga dalam salah satu briefing (pemberian petunjuk singkat), Pangdam VIII/Brawijaya mengatakan bahwa rakyat di daerah operasi satuan tugas harus dianggap sebagai lawan. Dan ditegaskan lagi dalam catatan tambahan rencana operasi,
"Yang sebenarnya kita hadapi adalah daya tempur lawan termasuk rakyat seluruh Blitar Selatan yang mutlak membantu gerombolan bersenjata G-30-S/PKI dan bukan detasemen gerilya PKI saja."
Awal kontak senjata atau perang, militer maupun pers menganggap aksi-aksi ini sebagai tindak kriminal biasa. Tapi ketika aksi itu semakin meluas dan berkembang menjadi penyergapan dan pelucutan senjata di pos militer serta pabrik yang dijaga oleh militer, sikap ini pun berubah. Di pihak detasemen gerilya, aksi-aksi itu meningkatkan semangat dan juga menambah beberapa pucuk senjata, serta menjadi alasan untuk melanjutkannya. 

Walaupun PKI bermaksud melancarkan perjuangan bersenjata, kenyataannya mereka hanya menunda kematian atau penangkapan saja. Sebagian besar pemimpinnya, seperti Oloan Hutapea, tewas dibunuh sementara lainnya disekap di penjara selama belasan sampai puluhan tahun. Mereka yang dianggap 'terlibat'oleh sesama tahanan disebut 'pasukan gundul' dikerahkan untuk bekerja di proyek-proyek pembangunan pemerintah dan terus mengikuti indoktrinasi tentang kejahatan dan kekejian PKI.

Di antara 'pasukan gundul' juga terdapat penduduk yang tidak punya kaitan apa pun dengan gerakan perlawanan. Sebagian dari mereka menerima upah yang sangat kecil jumlahnya. 

Sekarang untuk mengenang perang Blitar antara PKI dan Militer maka didirikanlah Monumen Trisula sebagai lambang kemenangan atas pihak yang kalah.

Reza Nurrohman 
manusia yang terus bertumbuh. tidur dan makan adalah hal yang lebih menyenangkan sebenarnya namun berkerja merupakan kewajiban saya

Kamis, 29 September 2016

Kecamatan Bakung, Kab. Blitar (+ Sejarah Pembantaian Pasca G30S PKI)


29 September 2016



Kecamatan Bakung merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Blitar. Luas wilayah Kecamatan Bakung 7 persen dari luas Kabupaten Blitar atau seluas 111,24 Km2.

Batas-batas wilayah Kecamatan Bakung, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kademangan Kabupaten Blitar, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Wonotirto Kabupaten Blitar, sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan barat berbatasan langsung dengan Kecamatan Pucanglaban Kabupaten Tulungagung.

Kecamatan Bakung memiliki 11 desa yaitu :
Tumpakkepuh
Sidomulyo
Bululawang
Tumpakoyot
Plandirejo
Pulerejo
Ngrejo
Lorejo
Kedungbanteng
Sumberdadi
Bakung

-Sejarah Monumen Trisula & Pembantaian Terbesar Di Indonesia Setelah G30S PKI-

Paska peristiwa G30S PKI tidak hanya menyimpan misteri, tetapi ternyata menyisakan cerita yang sangat mengerikan. Pembantaian dan pembunuhan kepada anggota PKI terjadi dimana-mana di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto.

Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan “penghargaan penuh” atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia.”

Penangkapan Simpatisan PKI

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).

Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu “terbendung mayat”.

Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali.

Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah “Time” memberitakan:
 “Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius.”
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.

Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis “anti-Tionghoa” terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.

Basis PKI Blitar

Blitar Selatan adalah basis PKI. Cap itu masih melekat hingga sekarang meski PKI sudah dinyatakan sebagai partai terlarang. Ketika negara mengejar anggota serta mereka yang dianggap sebagai pendukung PKI pada tahun 1965, ribuan nyawa melayang. Dieksekusi tanpa peradilan. Sebagian dari mereka dikuburkan secara massal di sejumlah desa di Blitar Selatan, Jawa Timur. Peristiwa 1965 memang masih menyisakan beribu tanda tanya. Membongkar makam massal punya nilai penting, tidak hanya bagi mereka yang dikuburkan di dalamnya, tapi penting bagi kebenaran itu sendiri. Namun rupanya ada yang tak setuju makam dibongkar.

Markus Talam dan Sanjoyo, bekas narapidana di Pulau Buru, mengatakan, di makam Bakung inilah pertama kali terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap terlibat PKI. 
 “Di sini ini saja ada 48, disitu ada 7. Mati itu bukan semuanya ditembak. Ya ada yang dipukul, digorok, disembelih,” ujar Markus Talam.
Sementara Sanjoyo berkata: “Sekitar 25 atau 30 orang itu dalam satu lobang.”
Ini kuburan massal PKI, begitu kata warga Blitar. Kuburan ini adalah buntut dari Operasi Trisula yang digelar tahun 1966 di Blitar Selatan, ketika itu warga yang dicap PKI dikejar dan dibunuh. Lebih jauh Markus Talam berkata: 
 “Itu gencar sekali, istilahnya operasi Tumpes Kelor!!!! Jumpa kelihatannya itu orang mencurigakan langsung dibawa, termasuk saya. Tinggal yang di rumah itu cuma perempuan-perempuan. Ada orang yang bertani dibawa, direntengi sampe 10, 7, 4 itu dibunuh. Pembunuhannya ya di tempat-tempat itu aja. Yang dibunuh di sini juga ada, yang dibawa di gunung di luar desa juga ada.”
Markus Talam lolos dari pembunuhan karena kabur saat diangkut tentara dari tempat persembunyiannya di Trenggalek, menuju Markas Kodim di Blitar. Tapi selama ia melarikan diri, giliran anggota keluarganya yang jadi sasaran. Ditangkap, lantas dieksekusi.
“Saya ini nggak kurang dari 30 dik, korban. Keponakan, terus saudara-saudara sepupu, banyak! Orang-orang yang nggak tahu apa-apa itu, petani. Ya mereka itu ditembak di sini saja, yang deket sungai ya dibuang ke sungai, kalo nggak ya ditaruh begitu saja, nggak dikubur”.

Kuburan massal bagi mereka yang dicap PKI juga bisa ditemukan di Kecamatan Nglegok, Blitar Utara. Jaraknya sekitar 50 kilometer dari desa pertama. Sanjoyo adalah bekas Kepala Desa Kedawung.

Di desa ini, kata dia, ada dua kuburan massal PKI. Sementara di desa lain seperti Selorejo, Penataran, Bangsri dan Karanganyar terdapat tiga hingga lima makam. Total di Kecamatan Nglegok saja, ada puluhan kuburan massal. Sanjoyo salah seorang saksi dalam peristiwa pembantaian massal bagi mereka yang dicap PKI. Ketika Operasi Trisula digelar TNI, hampir setiap malam di Desa Tumpakoyot, Kecamatan Bakung, terdengar bunyi rentetan senjata. Setiap pagi pun ia harus mencari potongan bambu sepanjang dua meter, untuk mendorong puluhan mayat yang bergelimpangan di sungai belakang rumahnya.
“Kalau di Blitar Selatan malah lebih ngeri lagi karena cuma diceburkan di kali aja. Pada waktu peristiwa Gestapu itu airnya nggak putih lagi atau cokelat lagi tapi merah! Itu karena banyak jenazah-jenazah yang dibuang begitu saja.”
Bagi warga Blitar, makam massal yang paling terkenal, di antara ratusan yang ada, adalah Goa Tikus di Desa Lorejo. Letaknya di pegunungan kapur Blitar Selatan, yang dikenal sebagai lokasi pembuangan mayat. Goa Tikus adalah lubang selebar 2,5 meter dengan kedalaman 20 meter. Tampak puluhan tengkorak manusia menyembul di antara air berlumpur. Tulang belulang juga terserak bercampur serpihan kain.

Begitu peluit dibunyikan, Santiko dan Jumani menarik tubuh saya ke atas.    
 “Saya baru saja melihat sebuah pemandangan yang sangat mengerikan, didalam gua tikus tadi ada tumpukan tulang manusia yang sudah tak utuh lagi setinggi 2 meter. Dan tulang tulang itu bercampur dengan lumpur serpihan kain, sandal karet dan batu. Dari banyaknya tulang yang ada, sepertinya benar yang dikatakan warga, bahwa jenazah yang dibuang di gua Tikus mencapai ratusan orang.”
Bu Put, dikenal warga Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Blitar, sebagai tokoh Gerwani Jawa Timur. Gerwani adalah organisasi perempuan di bawah Partai Komunis Indonesia, PKI. Posisinya cukup tinggi, ia sempat menjabat sebagai anggota DPRD Blitar. Tahun 1965, ia lari ke Blitar Selatan.
 “Ya lari, he….he…. kenapa Bu ?. Ya takut to saya, wong orang orang pada disembelih, rumahnya dibakar harta bendanya diambilin.”
Put Mainah sudah kenyang merasakan penjara 10 tahun karena keputusannya bergabung dengan PKI. Ia tak pernah menyesal menjadi anggota PKI. Satu-satunya penyesalan adalah karena negara tak menghargai keyakinan dan jalan hidup orang lain.

Upaya pembongkaran kuburan massal PKI di Blitar bukannya tak pernah dilakukan. Pemkab Blitar beberapa kali melontarkan gagasan ini, tapi selalu ditentang. Penentang utama datang dari kelompok tentara. Sukirno seorang pensiunan Komandan Kodim di Blitar berpendapat, pembongkaran kuburan massal PKI di Blitar lebih banyak sisi negatifnya.
 “Kalau itu dilaksanakan menurut saya justru akan menimbulkan efek yang negatif. Baik korban maupun yang dikorbankan pada tahun 65-66 itu, bahkan mungkin akan mereview pada tahun 48.”
Pemerintah Kabupaten Blitar akhirnya meminta meminta Komnas HAM meneliti keberadaan kuburan massal tersebut. Kuburan dirasa perlu dibongkar, untuk membuktikan adanya pelanggaran HAM berat saat berlangsung Operasi Trisula.   “Peristiwa tahun 65 itu merupakan tidak hanya pelanggaran tidak hanya HAM, tapi lebih dalam pada perikemanusiaan itu. Tidak bisa menghilangkan nyawa orang itu seenaknya sendiri tanpa proses yang jelas. Oleh karena itu saya sangat mendukung upaya upaya itu dan mudah mudahan setelah bukti bukti kongkrit, kebenaran bisa ditegakkan.”
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969.

Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Rumor Masyarakat

Menurut warga masyarakat yaitu Bapak Talimin. Beliau mengatakan bahwa terdapat sejarah hitam di Bakung, yaitu “Dulu pernah terjadi pembunuhan-pembunuhan sadis kepada warga masyarakat yang dilakukan oleh oknum-oknum PKI”.

Maka untuk mengenang kejadian tersebut di desa Bakung didirikan Monumen yang diberi nama Monumen Trisula. Menurut pendapat beliau munomen trisula itu berhubungan dengan hal-hal yang mistis .Monumen itu dibangun bertujuan untuk mengingatkan masyarakat jaman sekarang dan generasi muda, bahwa di Blitar selatan tepatnya di desa Bakung pernah terjadi peristiwa PKI yang sering disebut G 30 S/PKI.

Monumen Tugu Trisula

Monumen Tugu Trisula dibentuk dan diresmikan pada tanggal 18 Desember 1972 oleh Deputy Kasad Bapak Letjen TNI M. Jasin di daerah Blitar Jawa Timur tepatnya di Desa Bakung Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar selatan.

Monumen Trisula dibangun untuk memperingati  dan mengenang tragedi pemberantasan PKI didaerah Blitar dimana satuan jajaran Brigif Linud 18 melaksanakan Operasi pemberantasan PKI dipimpin langsung  oleh Danbrigif Linud 18 pertama  Kolonel Inf Witarmin.

Pada tahun 1968 adalah merupakan sejarah yang sangat heroik kota Blitar tepatnya di Desa Bakung terjadi aksi penumpasan sisa-sisa gerombolan PKI yang melarikan diri ke daerah Blitar  selatan. Pasukan Brigif linud 18 yang dipimpin oleh Kolonel Inf  Witarmin bersama sama rakyat Blitar yang masih setia  terhadap Pancasila  saling bahu membahu dan bekerjasama untuk menumpas aksi pemberontakan PKI di Blitar.

Sebagai tanda peringatan aksi penumpasan ini di daerah Bakung kabupaten Blitar selatan  yang dijadikan Markas Komando operasi ini didirikan satu monumen yang diberi nama “Monumen Trisula“ monumen ini juga dijadikan suatu tempat bersejarah  dimana para prajurit yang masuk dalam jajaran Brigif linud 18  melaksanakan napak tilas dan melaksanakan tradisi pembaretan Wing Lintas Udara serta melaksanakan renungan atas jasa-jasa yang telah dilaksanakan oleh para pendahulu Brigif linud 18 dan tidak  sedikit  dari masyarakat dan mahasiswa di Wil Jawa Timur yang melaksanakan napak tilas dan renungan suci  di Monumen Trisula untuk mengenang aksi penumpasan PKI di Blitar.