29 September 2016
Kecamatan
Bakung merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Blitar. Luas wilayah Kecamatan
Bakung 7 persen dari luas Kabupaten Blitar atau seluas 111,24 Km2.
Batas-batas wilayah Kecamatan Bakung, sebelah utara
berbatasan dengan Kecamatan Kademangan Kabupaten Blitar, sebelah timur
berbatasan dengan Kecamatan Wonotirto Kabupaten Blitar, sebelah selatan
berbatasan dengan Samudra Indonesia dan barat berbatasan langsung dengan
Kecamatan Pucanglaban Kabupaten Tulungagung.
Kecamatan Bakung memiliki 11 desa yaitu :
Tumpakkepuh
Sidomulyo
Bululawang
Tumpakoyot
Plandirejo
Pulerejo
Ngrejo
Lorejo
Kedungbanteng
Sumberdadi
Bakung
-Sejarah Monumen Trisula & Pembantaian Terbesar
Di Indonesia Setelah G30S PKI-
Paska peristiwa G30S PKI tidak hanya menyimpan misteri,
tetapi ternyata menyisakan cerita yang sangat mengerikan. Pembantaian dan
pembunuhan kepada anggota PKI terjadi dimana-mana di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan
Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka
untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang
dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian
mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto.
Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11
Februari, menyatakan “penghargaan penuh” atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan
dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi
Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil
menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan
30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di
dalam urusan dalam negeri Indonesia.”
Penangkapan Simpatisan PKI
Penangkapan Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota
dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan
PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan
petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk
disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah
(bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).
Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan
persis – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara
perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga
setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang
mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok
pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU
dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat
Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu
“terbendung mayat”.
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta
anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan
ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya
perlawanan sama sekali.
Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA
menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan
pembantaian keji terhadap mereka, majalah “Time” memberitakan:
“Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius.”
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu
PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para
Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine
Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam
galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani
tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh
teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar
pemburuan-pemburuan rasialis “anti-Tionghoa” terjadi. Pekerja-pekerja dan
pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas
kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Basis PKI Blitar
Blitar Selatan adalah basis PKI. Cap itu masih melekat
hingga sekarang meski PKI sudah dinyatakan sebagai partai terlarang. Ketika
negara mengejar anggota serta mereka yang dianggap sebagai pendukung PKI pada
tahun 1965, ribuan nyawa melayang. Dieksekusi tanpa peradilan. Sebagian dari
mereka dikuburkan secara massal di sejumlah desa di Blitar Selatan, Jawa Timur.
Peristiwa 1965 memang masih menyisakan beribu tanda tanya. Membongkar makam
massal punya nilai penting, tidak hanya bagi mereka yang dikuburkan di
dalamnya, tapi penting bagi kebenaran itu sendiri. Namun rupanya ada yang tak
setuju makam dibongkar.
Markus Talam dan Sanjoyo, bekas narapidana di Pulau Buru,
mengatakan, di makam Bakung inilah pertama kali terjadi pembantaian massal
terhadap orang-orang yang dianggap terlibat PKI.
“Di sini ini saja ada 48, disitu ada 7. Mati itu bukan semuanya ditembak. Ya ada yang dipukul, digorok, disembelih,” ujar Markus Talam.
Sementara Sanjoyo berkata: “Sekitar 25 atau 30 orang itu dalam satu lobang.”
Ini kuburan massal PKI, begitu kata warga Blitar. Kuburan
ini adalah buntut dari Operasi Trisula yang digelar tahun 1966 di Blitar
Selatan, ketika itu warga yang dicap PKI dikejar dan dibunuh. Lebih jauh Markus
Talam berkata:
“Itu gencar sekali, istilahnya operasi Tumpes Kelor!!!! Jumpa kelihatannya itu orang mencurigakan langsung dibawa, termasuk saya. Tinggal yang di rumah itu cuma perempuan-perempuan. Ada orang yang bertani dibawa, direntengi sampe 10, 7, 4 itu dibunuh. Pembunuhannya ya di tempat-tempat itu aja. Yang dibunuh di sini juga ada, yang dibawa di gunung di luar desa juga ada.”
Markus Talam lolos dari pembunuhan karena kabur saat
diangkut tentara dari tempat persembunyiannya di Trenggalek, menuju Markas
Kodim di Blitar. Tapi selama ia melarikan diri, giliran anggota keluarganya
yang jadi sasaran. Ditangkap, lantas dieksekusi.
“Saya ini nggak kurang dari 30 dik, korban. Keponakan, terus saudara-saudara sepupu, banyak! Orang-orang yang nggak tahu apa-apa itu, petani. Ya mereka itu ditembak di sini saja, yang deket sungai ya dibuang ke sungai, kalo nggak ya ditaruh begitu saja, nggak dikubur”.
Kuburan massal bagi mereka yang dicap PKI juga bisa
ditemukan di Kecamatan Nglegok, Blitar Utara. Jaraknya sekitar 50 kilometer
dari desa pertama. Sanjoyo adalah bekas Kepala Desa Kedawung.
Di desa ini, kata dia, ada dua kuburan massal PKI.
Sementara di desa lain seperti Selorejo, Penataran, Bangsri dan Karanganyar
terdapat tiga hingga lima makam. Total di Kecamatan Nglegok saja, ada puluhan
kuburan massal. Sanjoyo salah seorang saksi dalam peristiwa pembantaian massal
bagi mereka yang dicap PKI. Ketika Operasi Trisula digelar TNI, hampir setiap
malam di Desa Tumpakoyot, Kecamatan Bakung, terdengar bunyi rentetan senjata.
Setiap pagi pun ia harus mencari potongan bambu sepanjang dua meter, untuk
mendorong puluhan mayat yang bergelimpangan di sungai belakang rumahnya.
“Kalau di Blitar Selatan malah lebih ngeri lagi karena cuma diceburkan di kali aja. Pada waktu peristiwa Gestapu itu airnya nggak putih lagi atau cokelat lagi tapi merah! Itu karena banyak jenazah-jenazah yang dibuang begitu saja.”
Bagi warga Blitar, makam massal yang paling terkenal, di
antara ratusan yang ada, adalah Goa Tikus di Desa Lorejo. Letaknya di
pegunungan kapur Blitar Selatan, yang dikenal sebagai lokasi pembuangan mayat.
Goa Tikus adalah lubang selebar 2,5 meter dengan kedalaman 20 meter. Tampak
puluhan tengkorak manusia menyembul di antara air berlumpur. Tulang belulang
juga terserak bercampur serpihan kain.
Begitu peluit dibunyikan, Santiko dan Jumani menarik
tubuh saya ke atas.
“Saya baru saja melihat sebuah pemandangan yang sangat mengerikan, didalam gua tikus tadi ada tumpukan tulang manusia yang sudah tak utuh lagi setinggi 2 meter. Dan tulang tulang itu bercampur dengan lumpur serpihan kain, sandal karet dan batu. Dari banyaknya tulang yang ada, sepertinya benar yang dikatakan warga, bahwa jenazah yang dibuang di gua Tikus mencapai ratusan orang.”
Bu Put, dikenal warga Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat,
Blitar, sebagai tokoh Gerwani Jawa Timur. Gerwani adalah organisasi perempuan
di bawah Partai Komunis Indonesia, PKI. Posisinya cukup tinggi, ia sempat
menjabat sebagai anggota DPRD Blitar. Tahun 1965, ia lari ke Blitar Selatan.
“Ya lari, he….he…. kenapa Bu ?. Ya takut to saya, wong orang orang pada disembelih, rumahnya dibakar harta bendanya diambilin.”
Put Mainah sudah kenyang merasakan penjara 10 tahun
karena keputusannya bergabung dengan PKI. Ia tak pernah menyesal menjadi
anggota PKI. Satu-satunya penyesalan adalah karena negara tak menghargai keyakinan
dan jalan hidup orang lain.
Upaya pembongkaran kuburan massal PKI di Blitar bukannya
tak pernah dilakukan. Pemkab Blitar beberapa kali melontarkan gagasan ini, tapi
selalu ditentang. Penentang utama datang dari kelompok tentara. Sukirno seorang
pensiunan Komandan Kodim di Blitar berpendapat, pembongkaran kuburan massal PKI
di Blitar lebih banyak sisi negatifnya.
“Kalau itu dilaksanakan menurut saya justru akan menimbulkan efek yang negatif. Baik korban maupun yang dikorbankan pada tahun 65-66 itu, bahkan mungkin akan mereview pada tahun 48.”
Pemerintah Kabupaten Blitar akhirnya meminta meminta Komnas HAM meneliti keberadaan kuburan massal tersebut. Kuburan dirasa perlu dibongkar, untuk membuktikan adanya pelanggaran HAM berat saat berlangsung Operasi Trisula. “Peristiwa tahun 65 itu merupakan tidak hanya pelanggaran tidak hanya HAM, tapi lebih dalam pada perikemanusiaan itu. Tidak bisa menghilangkan nyawa orang itu seenaknya sendiri tanpa proses yang jelas. Oleh karena itu saya sangat mendukung upaya upaya itu dan mudah mudahan setelah bukti bukti kongkrit, kebenaran bisa ditegakkan.”
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani
dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih
dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang,
termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono
Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum
mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Rumor Masyarakat
Menurut warga masyarakat yaitu Bapak Talimin. Beliau
mengatakan bahwa terdapat sejarah hitam di Bakung, yaitu “Dulu pernah terjadi
pembunuhan-pembunuhan sadis kepada warga masyarakat yang dilakukan oleh
oknum-oknum PKI”.
Maka untuk mengenang kejadian tersebut di desa Bakung
didirikan Monumen yang diberi nama Monumen Trisula. Menurut pendapat beliau
munomen trisula itu berhubungan dengan hal-hal yang mistis .Monumen itu
dibangun bertujuan untuk mengingatkan masyarakat jaman sekarang dan generasi
muda, bahwa di Blitar selatan tepatnya di desa Bakung pernah terjadi peristiwa
PKI yang sering disebut G 30 S/PKI.
Monumen Tugu
Trisula
Monumen Tugu Trisula dibentuk dan diresmikan pada tanggal
18 Desember 1972 oleh Deputy Kasad Bapak Letjen TNI M. Jasin di daerah Blitar
Jawa Timur tepatnya di Desa Bakung Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar selatan.
Monumen Trisula dibangun untuk memperingati dan
mengenang tragedi pemberantasan PKI didaerah Blitar dimana satuan jajaran
Brigif Linud 18 melaksanakan Operasi pemberantasan PKI dipimpin langsung
oleh Danbrigif Linud 18 pertama Kolonel Inf Witarmin.
Pada tahun 1968 adalah merupakan sejarah yang sangat
heroik kota Blitar tepatnya di Desa Bakung terjadi aksi penumpasan sisa-sisa
gerombolan PKI yang melarikan diri ke daerah Blitar selatan. Pasukan
Brigif linud 18 yang dipimpin oleh Kolonel Inf Witarmin bersama sama
rakyat Blitar yang masih setia terhadap Pancasila saling bahu
membahu dan bekerjasama untuk menumpas aksi pemberontakan PKI di Blitar.
Sebagai tanda peringatan aksi penumpasan ini di daerah
Bakung kabupaten Blitar selatan yang dijadikan Markas Komando operasi ini
didirikan satu monumen yang diberi nama “Monumen Trisula“ monumen ini juga
dijadikan suatu tempat bersejarah dimana para prajurit yang masuk dalam
jajaran Brigif linud 18 melaksanakan napak tilas dan melaksanakan tradisi
pembaretan Wing Lintas Udara serta melaksanakan renungan atas jasa-jasa yang
telah dilaksanakan oleh para pendahulu Brigif linud 18 dan tidak
sedikit dari masyarakat dan mahasiswa di Wil Jawa Timur yang melaksanakan
napak tilas dan renungan suci di Monumen Trisula untuk mengenang aksi
penumpasan PKI di Blitar.
0 komentar:
Posting Komentar