Jumat, 30 September 2016 | Tim Hukumonline
Sidang Mahmillub G30S
Sudisman, petinggi PKI yang pernah aktif di Politbiro, cemburu dengan perbedaan perlakuan yang ia terima. Siaran langsung Radio Republik Indonesia lantarannya. Dalam nota pembelaannya, Sudisman mengkritik mahkamah.
Selasa lalu saat ditemui Hukumonline di kediamannya di bilangan Jakarta Selatan, jurnalis senior Aristides Katoppo mencoba keras mengingat kepingan peristiwa pada masa sidang Mahkamah Militer Luar Biasa yang menyidangkan perkara Gerakan 30 September 1965.
“Saya banyak lupa memang namun peristiwa itu satu dari banyak peristiwa besar di negeri ini yang saya rekam sendiri di lapangan,” katanya.
Persidangan, kata Tides, berjalan maraton. Dari satu tokoh ke tokoh lain dalam satu rentang waktu yang hampir berdekatan. Secara keseluruhan, berdasar dari data yang tertulis di buku "Mengadili Korban" (ELSAM, 2003), Mahmillub memeriksa 17 perkara yang terkait dengan aksi Gerakan 30 September, sementara hingga 1978 Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) memeriksa sebanyak 291 perkara dan Pengadilan Negeri sebanyak 466 perkara.
Apabila dilihat dari data yang dihimpun Hukumonline dari Sekretariat Negara yang dikeluarkan 1994, Njono seorang anggota politbiro Partai Komunis Indonesia adalah orang yang pertama kali diadili Mahmillub. Itu sekitaran bulan Februari.
Lantas disusul pengadilan terhadap Letnan Kolonel Untung bin Samsuri pada Maret 1966, kemudian disusul nama-nama besar lain seperti Wirjomartono dari Biro Khusus PKI, Peris Pardede juga Sudisman Ketua Komisi Kontrol CC PKI. Soebandrio Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri, Omar Dani Menteri Panglima Udara hingga yang paling misterius Kamaruzzaman bin Achmad Mubaidah yang tenar dikenal sebagai Sjam, Anggota Biro Chusus PKI.
Persidangan yang digelar sebenarnya cukup menyedot perhatian publik, kata Tides, tapi ketegangan politik membendung animo masyarakat kala itu. Menurutnya pendaftar tamu sidang bisa mencapai ribuan orang setiap kali sidangnya, namun lantaran terbatas hanya puluhan mungkin mencapai ratusan saja yang diberikan kesempatan hadir dan mengikuti acara.
Tides tak mengingat jelas, namun ia mengatakan siaran langsung Radio Republik Indonesia menjadi salah satu saluran bagi rakyat masa itu untuk mengetahui perkembangan peradilan.
“Njono adalah tokoh partai yang pertama dihadapkan ke muka sidang kala itu,” ujar Tides mengenang.
Bila sidang para terdakwa tokoh partai komunias lain disiarkan langsung oleh RRI dari ruang sidang Mahmilub, beda dengan perkara Sudisman.
Hal ini yang menimbulkan “kecemburuan” bagi Sudisman, petinggi PKI yang pernah aktif di Politbiro, Komisi Kontrol, hingga Sekretaris partai tersebut. Sudisman yang ditangkap dan diadili belakangan dibanding yang lain menilai bahwa tidak adanya siaran langsung atas persidangan dirinya merupakan kerugian.
“Sungguh sayang bahwa sidang-sidang Mahmilub yang mengadili perkara saya ini tidak disiarkan oleh RRI seperti halnya dengan sidang-sidang Mahmilub yang lalu sejak mengadili perkara Sdr. Dr. Subandrio,” keluh Sudisman melalui pembelaannya yang bertajuk ‘Uraian Tanggung Jawab’.
Dalam pembelaan yang dibacakan pada 21 Juli 1967 di ruang sidang Mahmilub, Sudisman mengutip pernyataan Ketua Team Asistem Pembelaan Mahmilub, Mayor Suwarno bahwa dihadapkannya dirinya ke depan sidang Mahmilub adalah penting baik dari sisi nasional maupun internasional. Ia juga mengutip Mayor Udara Trenggono SH pernah menjelaskan bahwa sidang Mahmilub adalah suatu ‘fair trial’, suatu peradilan yang jujur.
“Ini semestinya berarti peradilan yang terbuka,” tuturnya.
Sudisman juga menambahkan bahwa dirinya pernah mendapat informasi saat Letkol Subari menerangkan kepada eks Brigjen Suparjo, bahwa alasan dari Jenderal Soeharto yang mengadakan Mahmilub terbuka untuk umum adalah agar rakyat dapat menilai tentang beleid Pemerintah dalam mengadili perkara-perkara yang berhubungan dengan G30S
“Dikatakannya pula, bahwa bagaimana nanti penilaian rakyat atas dirinya akan diserahkan kepada rakyat,” jelasnya lagi.
“Sesuai dengan keterangan-keterangan Sdr Mayor Suwarno SH, Sdr Mayor Udara Trenggono SH dan Sdr Letkol Subari SH tersebut di atas semestinya logis kalau seluruh persidangan Mahmilub ini disiarkan RRI,” tegasnya.
Sayangnya, lanjut Sudisman, sesuatu yang logis itu dikesampingkan oleh pemerintah. Ia menilai bahwa dengan tidak adanya siaran RRI, sidang atas dirinya bersifat terbuka, tetapi tertutup. “Bersifat umum sesuai dengan pengumuman di koran-koran yang dihasilkan oleh briefing para petugas militer kepada para wartawan yang tidak diumumkan,” kritiknyna.
“Inilah yang dinamakan serba umum tapi tidak umum, yang menurut bahasa Rakyat sederhana adalah sama dengan ‘didikte’, artinya tidak demokratis,” sergahnya lagi.
Meski begitu, Sudisman tidak mau larut dalam kesedihan atau ‘kecemburuan’ dirinya dimana sidangnya tidak disiarkan oleh RRI. Ia percaya bahwa perkara atas dirinya akan tetap tersebar dari mulut ke mulut.
“Ya, walaupun tidak disiarkan oleh RRI, saya yakin bahwa secara ‘getok tular’, secara berantai akan sampai pada mereka, sebab ‘mondblad’, suara dari mulut ke mulut, adalah lebih cepat tersiar daripada ‘staatsblad’, suara pemerintah,” pungkasnya.
Ihwal siaran langsung RRI, Edisi Khusus Majalah TEMPO 100 Tahun Yap Thiam Hien, menuliskan bahwa ide untuk menyiarkan siaran langsung lewat radio juga diusulkan oleh Yap untuk persidangan Wakil Perdana Menteri sekaigus Menteri Luar Negeri Soebandrio.
Sumber: HukumOnline
0 komentar:
Posting Komentar