Kamis, 01/09/2016 09:19 WIB
Korban Pembunuhan
1965-1966 Bedjo Untung mengatakan, para korban Tragedi 1965 di daerah
hingga kini dianggap seperti teroris. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Sejumlah korban pelanggaran hak asasi manusia pada
Tragedi 1965 terus bergerilya. Kemarin mereka menemui Gubernur Lembaga
Ketahanan Nasional Letjen (Purn) Agus Widjojo di kantornya, menyuarakan
desakan agar aparat TNI dari pusat sampai daerah menghentikan represi
terhadap korban Tragedi 1965.
“Meskipun secara riil militer sudah menanggalkan dwifungsinya, tetapi dalam praktiknya, sampai ke bawah militer masih campur tangan (di ranah sipil),” kata Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965-1966 Bedjo Untung di Gedung Lemhannas, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (31/8).
Bedjo berkata, hingga kini masih banyak anggota TNI yang bertindak represif terhadap korban Tragedi 1965. Tindakan sewenang-wenang, menurutnya, justru terjadi di daerah, baik oleh kesatuan Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Distrik Militer (Kodim), maupun Komando Rayon Militer (Koramil).
Beberapa kali, ujar Bedjo, kegiatan para korban Tragedi 1965 dibubarkan tentara. Mereka juga mengalami intimidasi, kerap dicurigai personel TNI saat menggelar pertemuan.
“Misal ketika kami wisata, lokakarya di Cianjur, dibubarkan oleh tentara. Tentara seolah tidak mau ikut campur, padahal (pembubaran) itu dirancang oleh tentara,” tuding Bedjo.
Pekan lalu pun ketika para korban 1965 dari beberapa daerah hendak menemui Dewan Pertimbangan Presiden di Kantor Wantimpres, ujar Bedjo, mereka sempat didatangi intelijen dan aparat keamanan dari Koramil serta Kepolisian.
“Di daerah, kami masih dianggap semacam teroris. Biarlah kami para korban hidup damai tenang, menikmati masa tua meskipun dalam keterbatasan dan penuh represi. Kami berhak juga hidup secara layak, tidak lagi dikejar-kejar. Kami bukan penjahat," kata Bedjo.
Korban 1965, ujar Bedjo, juga warga negara Indonesia yang perlu dijamin kebebasan mereka dalam berkumpul, berserikat, dan berbicara.
“ABRI jangan ikut campur menentukan kebijakan politik. Ini urusan sipil. Hentikan represi terhadap korban '65 di daerah,” tuntut Bedjo.
Lemhannas sebagai lembaga think tank pemerintah yang menyiapkan pemimpin negara, didesak Bedjo untuk mendorong reformasi di tubuh institusi militer Indonesia itu.
“Saya minta kepada Pak Agus supaya (represi) ini tidak terjadi lagi, supaya menginstruksikan ke Kodam, Kodim, Koramil, tidak lagi melakukan represi,” kata Bedjo.
Selain mendesak Lemhannas agar menghentikan tindakan represif TNI, para
korban Tragedi 1965 juga menyampaikan beberapa pernyataan sikap. Salah
satunya mendorong pemerintah segera menyelesaikan pelanggaran hak asasi
manusia Tragedi 1965 secara berkeadilan dan bermartabat.
Mereka juga mendesak agar rekomendasi Simposium Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan Kesejarahan ditindaklanjuti untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional. Hingga saat ini hasil rekomendasi itu telah diserahkan ke Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, namun hasil pembahasannya di tingkat Kemkopolhukam belum diserahkan kepada Presiden.
Agus Widjojo adalah Ketua Panitia Pengarah Simposium Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan Kesejarahan yang digelar di Jakarta pada 18-19 April lalu.
Korban juga meminta pemerintah menindaklanjuti temuan Komnas HAM dan
Komnas Perempuan terkait kasus 1965, dan mempertimbangkan rekomendasi
keputusan Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan
Periode 1965 di Den Haag, Belanda, yang telah dibacakan pada 20 Juli.
Kepada para korban Tragedi 1965, kata Bedjo, Agus meminta mereka berbesar hati dan melupakan masa lalu.
“Tapi saya bilang, kita boleh memaafkan masa lalu, tapi tidak boleh melupakan,” ujar Bedjo.
Agus Widjojo sendiri tidak bersedia berucap apapun terkait persoalan itu usai bertemu para korban 1965.
Para korban 1965, setelah menemui Wantimpres dan Gubernur Lemhannas, juga berencana bertemu Menkopolhukam Wiranto dan Presiden Jokowi untuk menyampaikan aspirasi terkait proses penyelesaian Tragedi 1965.
Catatan redaksi: Terdapat perubahan pada alinea 10 yang sebelumnya berbunyi "lembaga think tank TNI". (agk)
“Meskipun secara riil militer sudah menanggalkan dwifungsinya, tetapi dalam praktiknya, sampai ke bawah militer masih campur tangan (di ranah sipil),” kata Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965-1966 Bedjo Untung di Gedung Lemhannas, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (31/8).
Bedjo berkata, hingga kini masih banyak anggota TNI yang bertindak represif terhadap korban Tragedi 1965. Tindakan sewenang-wenang, menurutnya, justru terjadi di daerah, baik oleh kesatuan Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Distrik Militer (Kodim), maupun Komando Rayon Militer (Koramil).
Beberapa kali, ujar Bedjo, kegiatan para korban Tragedi 1965 dibubarkan tentara. Mereka juga mengalami intimidasi, kerap dicurigai personel TNI saat menggelar pertemuan.
“Misal ketika kami wisata, lokakarya di Cianjur, dibubarkan oleh tentara. Tentara seolah tidak mau ikut campur, padahal (pembubaran) itu dirancang oleh tentara,” tuding Bedjo.
Pekan lalu pun ketika para korban 1965 dari beberapa daerah hendak menemui Dewan Pertimbangan Presiden di Kantor Wantimpres, ujar Bedjo, mereka sempat didatangi intelijen dan aparat keamanan dari Koramil serta Kepolisian.
“Di daerah, kami masih dianggap semacam teroris. Biarlah kami para korban hidup damai tenang, menikmati masa tua meskipun dalam keterbatasan dan penuh represi. Kami berhak juga hidup secara layak, tidak lagi dikejar-kejar. Kami bukan penjahat," kata Bedjo.
Korban 1965, ujar Bedjo, juga warga negara Indonesia yang perlu dijamin kebebasan mereka dalam berkumpul, berserikat, dan berbicara.
“ABRI jangan ikut campur menentukan kebijakan politik. Ini urusan sipil. Hentikan represi terhadap korban '65 di daerah,” tuntut Bedjo.
Lemhannas sebagai lembaga think tank pemerintah yang menyiapkan pemimpin negara, didesak Bedjo untuk mendorong reformasi di tubuh institusi militer Indonesia itu.
“Saya minta kepada Pak Agus supaya (represi) ini tidak terjadi lagi, supaya menginstruksikan ke Kodam, Kodim, Koramil, tidak lagi melakukan represi,” kata Bedjo.
|
Mereka juga mendesak agar rekomendasi Simposium Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan Kesejarahan ditindaklanjuti untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional. Hingga saat ini hasil rekomendasi itu telah diserahkan ke Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, namun hasil pembahasannya di tingkat Kemkopolhukam belum diserahkan kepada Presiden.
Agus Widjojo adalah Ketua Panitia Pengarah Simposium Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan Kesejarahan yang digelar di Jakarta pada 18-19 April lalu.
|
Kepada para korban Tragedi 1965, kata Bedjo, Agus meminta mereka berbesar hati dan melupakan masa lalu.
“Tapi saya bilang, kita boleh memaafkan masa lalu, tapi tidak boleh melupakan,” ujar Bedjo.
Agus Widjojo sendiri tidak bersedia berucap apapun terkait persoalan itu usai bertemu para korban 1965.
Para korban 1965, setelah menemui Wantimpres dan Gubernur Lemhannas, juga berencana bertemu Menkopolhukam Wiranto dan Presiden Jokowi untuk menyampaikan aspirasi terkait proses penyelesaian Tragedi 1965.
Catatan redaksi: Terdapat perubahan pada alinea 10 yang sebelumnya berbunyi "lembaga think tank TNI". (agk)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160901091959-20-155292/korban-tragedi-1965-desak-tentara-hentikan-intimidasi/
0 komentar:
Posting Komentar