Yovinus Guntur , Surabaya
- 2016-09-30
Dua bekas tahanan politik menceritakan kisah mereka
ditahan di ‘Pulau Buangan’ karena tuduhan terlibat PKI.
Gregorius Suharsoyo Gunito
duduk di antara lukisan di rumahnya di Sidoarjo, Jawa Timur, 28 September 2016.
Yovinus Guntur/BeritaBenar
Gregorius Suharsoyo Gunito (80) sibuk memilih lukisan
yang tersimpan di samping rumahnya. Satu persatu, lukisan dibawa ke teras untuk
dibersihkan. Ada 10 lukisan berbentuk sketsa yang punya kenangan tersendiri,
karena dibuat di Pulau Buru, Maluku.
Greg adalah seorang tahanan politik yang dikirim ke pulau
itu. Dia dibuang, pada 16 Agustus 1969 dari Nusakambangan. Sebelumnya ia
ditahan di Koblen, Surabaya, Jawa Timur, selama 3 tahun.
“Saya berada di Pulau Buru sembilan tahun, sebelum kembali ke Pulau Jawa,” ujar Greg kepada BeritaBenar, Rabu, 28 September 2016.
Ia dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI)
melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Greg yang guru teater memang menjadi
aktivis Lekra, tapi tidak tercatat sebagai anggota PKI.
Ia dibawa ke Pulau Buru bersama 500 orang lain tanpa ada
putusan pengadilan. Di sana, Greg tinggal di unit 3 bersama Pramoedya Ananta
Toer.
Pembuangan mereka yang dituduh PKI setelah partai itu
dinyatakan terlarang, menyusul tragedi 30 September 1965 – dimana tujuh
jenderal dibunuh, dan berakhirnya kepemimpinan Presiden Sukarno.
Berbagai laporan menyebutkan dalam operasi “ganyang” PKI,
ratusan ribu orang tewas. Tapi, pemerintah tak mengakui ada korban tewas dalam
jumlah banyak serta tidak mau meminta maaf.
Garap lahan dan
melukis
Selama di Pulau Buru, rutinitas Greg menggarap lahan
untuk ladang dan sawah. Di malam hari, dia membuat sketsa dengan alat-alat yang
sempat dibawanya.
Seluruh sketsa Greg menggambarkan tentang keindahan Pulau
Buru.
“Saya melukis Pulau Buru, termasuk kedatangan misionaris di sana. Saya ingin menceritakan Pulau Buru adalah tempat yang tenang,” ungkap pria kelahiran Madiun, 10 Februari 1936 ini.
Menurut Greg, mereka yang dibuang ke Pulau Buru
dikategorikan sebagai golongan B yaitu para aktivis pro-PKI dan ormasnya.
“Untuk tapol 65 ada tiga golongan yakni A,B, dan C. Mereka yang golongan A disidang di Jakarta dan dijatuhi hukuman mati, seperti DN. Aidit,” jelas Greg.
Sedangkan golongan C, mereka yang dianggap simpatisan, tak terbukti punya kartu anggota dan “dilepaskan setelah menjalani pemeriksaan oleh aparat,” tambahnya.
Niat luruskan
sejarah
Greg yang kini tinggal di Sidoarjo mengaku, masih ada
suara sumbang dari sebagian masyarakat tentang keterlibatannya dalam
“organisasi terlarang”. Namun hal ini tidak menyurutkan niatnya untuk
meluruskan sejarah.
“Setiap refleksi kemerdekaan di kampung, saya selalu memberikan semangat pada kaum muda akan pentingnya Pancasila dan persatuan, serta meluruskan sejarah yang selama ini tak benar,” tutur Greg, yang menghabiskan hari tuanya dengan tetap melukis.
Menurutnya, banyak orang dituduh PKI dan ormasnya tanpa
lewat proses peradilan. Persoalan ini seharusnya diketahui masyarakat dan
pemerintah bersedia mengakui kesalahan masa lalu.
Oei Hiem Hwie memperlihatkan
koran Trompet Masjarakat di Perpustakaan Medayu Agung Surabaya, 30
September 2016. (Yovinus Guntur/BeritaBenar)
Wartawan dituduh
PKI
Pengalaman pernah ditahan dengan tuduhan terlibat PKI
juga dialami Oei Hiem Hwie, pemilik Perpustakaan Medayu Agung Surabaya.
Wartawan Trompet Masjarakat yang bermotto
“Membawa Suara Kaum Ketjil Bebas Dari Segala Pengaruh” itu bertugas di bidang
sosial politik pada 1960-an.
Peristiwa 30 September 1965 membuat Trompet
Masjarakat ditutup. Oei ditangkap. Foto-foto, koran, buku, dirampas untuk
dibakar. Untungnya, beberapa dokumen sensitif diamankan di atas plafon rumahnya
di Malang.
Ia ditahan tanpa proses persidangan. Dia ditahan di Batu,
Malang, Kalisosok dan Koblen, Surabaya, sebelum dibuang ke Buru pada 1970.
Di sana, ia bersahabat baik dengan Pramoedya. Bahkan,
Pram sempat menitipkan ketikan karyanya kepada Oei untuk dibawa ke Pulau Jawa.
“Saya dibebaskan tahun 1978 dan berhasil membawa ketikan karya Pram. Ketika ia dibebaskan, saya hendak memberikan naskah itu, tapi ia menolak dan menyuruh saya menyimpannya,” ujar Oei.
Oei tiba di Pulau Jawa bersama 4.288 eks Tapol. Ia diberi
surat pembebasan “pengembalian ke masyarakat” dan mendapat KTP bertanda ET atau
Eks Tapol. Status ET baru dihapus setelah KTP Oei menjadi seumur hidup.
Ditanya soal perlakuan diskriminasi yang dialami, Oei
hanya tersenyum.
“Kalau diskriminasi tidak perlu diceritakan. Anda pasti taulah,” cetusnya.
Sulitnya
rekonsiliasi
Koordinator Ikatan Orang Hilang Indonesia Jawa Timur,
Dandik Katjasungkana, mengatakan rekonsiliasi dan rehabilitasi seperti
direkomendasikan dalam Simposium Nasional Tragedi 1965 yang digelar April lalu,
sulit terwujud.
Salah satunya, menurutnya, karena belum dicabutnya Tap
MPRS XXV/1966 yang melarang aktivitas PKI dan perkembangan ideologi komunisme
dan marxisme di Indonesia.
Selain itu, “sampai sekarang tidak ada tanda-tanda dari pemerintah melakukan rekomendasi simposium,” ujarnya seraya menambahkan diskriminasi akan tetap dialami para Korban ‘65.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo berharap masyarakat tak lagi
melakukan tindakan diskriminasi terhadap mereka yang dituduh terlibat PKI
karena itu bagian masa lalu bangsa.
Disisi lain, ia meminta tidak ada penggunaan lambang PKI
di Jawa Timur dan Indonesia karena hal itu bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Saat ini, ada 30-an Korban ‘65 yang aktif dalam pertemuan
non-formal di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Mereka adalah aktivis PKI,
Lekra, Gerwani hingga yang ditahan tanpa persidangan.
Bagi Greg, Oei dan ribuan mereka yang dituduh terlibat
PKI tanpa melalui pengadilan, tinggal di Pulau Buru adalah perjalanan hidup
yang tak akan terlupa.
0 komentar:
Posting Komentar