Reporter: Petrik Matanasi | 30 September, 2016
Gedung-gedung yang tadinya milik organisasi-organisasi onderbouw PKI diambil alih.
Setelah G30S 1965, kantor PKI beserta gedung-gedung milik lembaga-lembaga yang terkait dengan PKI diambil alih. Gedung-gedung itu sudah berganti bentuk, dan juga pemilik sekarang.
Awal Juni 2016, Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen menyebut-nyebut soal ihwal kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia. Kivlan juga menyebut PKI yang bangkit dari kubur ini dipimpin seseorang bernama Wahyu Setiaji. Gedung yang dulu jadi kantor CC PKI disebut sebagai markasnya. Letaknya di Jalan Kramat V.
Soal gedung di Kramat itu, memang banyak warga sekitar kampung itu yang percaya dulu bangunan ini adalah kantor CC PKI. Namun kini mereka tidak melihat aktivitas di tempat yang sudah jadi angker itu. Kantor itu pernah diserbu massa setelah Gerakan 30 September 1965, seperti gedung-gedung PKI yang lain. PKI dan onderbouw-onderbouwnya di bulan Oktober itu ibarat penyihir yang harus segera dimusnahkan dan tidak boleh muncul lagi.
“Pada 8 Oktober 1965, beberapa ribu Pemuda Ansor (pemuda partai Nahdlatul Ulama) membakar habis kantor pusat PKI di Jalan Kramat,” tulis Victor M Fic dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi (2005). Bekas Kantor besar CC PKI ini terletak di Jalan Kramat V Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Saat ini lahan itu dimiliki Hotel Acacia, PT Catur Krida Dana Utama.
Tempat itu tadinya akan dijadikan restoran, namun tak pernah terlaksana. Masyarakat sudah kadung menganggapnya angker.
Tak hanya kantor atau sekretariat PKI saja yang bernasib malang setelah 30 September 1965. Banyak bekas kantor organisasi yang punya afiliasi dengan PKI, yang dicap onderbouw PKI, juga bernasib sama. Tak hanya diobrak-abrik, tanahnya pun berganti pemilik. “Semua diserobot dan diduduki sampai sekarang,” ujar Martin Aleida, novelis dan mantan wartawan Harian Rakyat.
Selain terhadap kantor PKI, kantor Pemuda Rakjat (PR) juga diserang. PR adalah organisasi kepemudaan yang di masa revolusi bernama Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Banyak percaya semua Pemuda Rakjat otomatis adalah komunis dan siap jadi tukang pukul PKI. Apalagi ribuan dari 3 juta anggotanya sudah mendapat pelatihan militer, termasuk pelatihan di kawasan Lubang Buaya.
Kantor Pemuda Rakjat terletak di Tanah Abang III No 2A, Jakarta. Menurut Martin Aleida, lokasi persisnya di pojok jalan sebelah timur. Lokasi itu saat ini sudah menjadi Mess Perwira Menengah (Pamen) Komando Daerah Militer VI Mulawarman.
“Dalam serangan 8 Oktober (1965) ke kantor PR di Jalan Tanah Abang III, Soe Hok Gie turut menggabungkan diri dengan massa PN yang mengendarai pick up terbuka dan mengobrak-abrik seluruh peralatan yang berada di kantor,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa Dalam Pusaran Politik(2003). Tak hanya diserbu secara fisik disertai penghancuran, organisasi ini diserbu gosip.
“Pavilyun Kantor Pusat Pimpinan Pemuda Rakjat di Jalan Tanah Abang III Jakarta adalah sarang pelacuran,” tuduh Bung Tomo berapi-api dalam Sesudah Madiun dan Gestapu, Lantas Apa? (1966).
Bukan hanya PR, organisasi wanita onderbouw PKI bernama Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pun selama Orde Baru dicap mesum. Organisasi kewanitaan ini dituduh, bersama PR, melakukan ritual seks sambil menyiksa para jenderal di Lubang Buaya. Organisasi ini juga dicap pengumpul pelacur.
Gerwani juga dikaitkan dengan dengan pelacur-pelacur sekitar Kramat Tunggak, Tanjung Priok. “Ternyata yang melayani tamu-tamu di rumah pelacuran Tanjung Priok adalah anggota-anggota Gerwani,” ujar Bung Tomo. Padahal organisasi ini beranggotakan perempuan yang hebat-hebat. Salah satunya adalah Salawati Daud yang di tahun 1950an ikut serta membujuk para pemberontak di Sulawesi Selatan dan Maluku, agar pergolakan daerah tidak memakan korban.
Menurut Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan (2011), kantor Gerwani terletak di Jalan Matraman Nomor 51, Jakarta. Letaknya di seberang jalan Toko Buku Gramedia Matraman. Alamat itu sekarang menjadi Rumah Makan Padang Sederhana. Martin Aleida membenarkan jika areal rumah makan itu dulunya Kantor Gerwani.
Bicara soal tempat kerjanya dulu, Harian Rakyat, Martin masih tentu juga mengingat di mana lokasinya. “Semula di Pintu Besar Selatan 83, tapi akhir 1964 pindah ke Pintu Air III, kantornya sudah jadi gedung bertingkat.” Surat kabar ini dianggap sebagai corong PKI. Motto surat kabar ini adalah: "Untuk rakyat hanya ada satu harian, Harian Rakyat!" Tentu saja sejarah Harian Rakyat kini tak berjejak di sana.
Organisasi yang jelas harus dihabisi Orde Baru selain PR adalah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Sebagai partai komunis, PKI tentu harus punya pendukung di kelompok buruh. SOBSI termasuk yang dianggap onderbouw penting PKI juga. Dalam Neraka Rezim Soeharto: Tempat-tempat Penyiksaan Orde Baru (2016) yang disusun Margiyono, Kurniawan Tri Yunanto, dan Yulianti, tercatat: sejak 1955, Kantor Dewan Nasional SOBSI berkantor di Jalan Kramat V No. 14, 16, dan 18. Tak jauh dari kantor PKI.
Dulunya sebelum dipakai oleh SOBSI, rumah-rumah itu adalah bekas asrama serdadu KNIL. Rumah nomor 14 itu “memiliki tiga bangunan yang dipakai sebagai klinik SOBSI, ruang makan, dan dapur. Lantai pertama rumah no 16 dan 18 dipakai sebagai kantor administrasi, sedangkan lantai dua kamar bagi tamu yang menginap. Kini sebagian rumah itu sudah berubah menjadi mesjid dan tempat tinggal. Rumah nomor 16 dan 18 dipakai oleh tentara sebagai markas unit Pelaksana Khusus Kopkamtib... Di ujung jalan sebelah kiri itu ada gedung bekas kantor percetakan Pembaruan milik PKI, yang dipakai untuk asrama tentara.”
Setelah G30S digagalkan, SOBSI juga jadi sasaran. “Di Jakarta massa PII dan Pemuda Pancasila menghancurkan gedung SOBSI,” tulis Abdul Qadir Djaelani dalam Strategi Perjuangan Politik Penerasi Muda Islam Indonesia (1994). Dalam sebuah serbuan ke sebuah gudang milik SOBSI, seperti ditulis Kangseng Gan dalam Teror Kudeta G30S (1965), “ditemukan 3 truk beras dan 1 truk minjak goreng.”
Saat ini bekas markas SOBSI sudah beralih fungsi. Di Jalan Kramat V nomor 14 tersebut berdiri Mushalla Al Hikmah. Tak dari situ, di Jalan Kramat V nomor 18A, saat ini telah menjadi Komisariat Partai Katolik Jakarta dan juga menjadi Sekretariat Pengurus Pusat dan Perwakilan DKI Jakarta dari Yayasan Kasimo.
Sebagai lembaga kebudayaan yang dekat dengan PKI, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), pun kena rampas. Menurut Salim Said dalam buku GESTAPU 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto, Markas Lekra Jalan Cidurian 19, Cikini, Jakarta Pusat adalah rumah milik Oey Hay Djoen, bersama istrinya Jane Luyke. Rumah mereka kemudian diambil-alih tentara. Rumah Oey tak jauh dari pondokan Letkol Untung ketika bertugas di Cakrabirawa. Saat ini di bekas gedung tersebut ada Gedung Tri Dharma Widya.
Lembaga-lembaga pendidikan yang terkait dengan PKI tentu jadi sasaran juga. Menurut Daniel Dhakidae dalam Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru (2003), lembaga-lembaga itu antara lain Akademi Ilmu Politik Bacharudin, Akademi Technik Ir. Anwari, Akademi Djurnalistik Dr. Rivai, Akademi Sastra Multatuli, Akademi Ilmu Ekonomi Dr. Ratulangi, Akademi Ilmu Sedjarah Ronggowarsito, Universitas Rakyat Indonesia, Universitas Res Publica, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Sekolah Pertanian Egom, dan lainnya yang ditutup Brigadir Jenderal Dr. Sjarif Thajeb, berdasar Surat Keputusan Menteri PTIP No.01/dar tahun 1965.
Tak hanya dilakukan penutupan, tapi juga pengambilalihan disertai penyerbuan. Nasibnya mirip kantor PKI, SOBSI, atau PR. Menurut Benny G. Setiono, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham juga mengalami penyerangan. Bekas Akademi Ilmu Sosial itu kini tak ada lagi. Menurut Trikoyo Ramidjo, mantan wartawan Harian Rakjat, saat ini di tempat itu telah berdiri Mesjid Baiturahman beserta yayasannya. Tak jauh dari mesjid terdapat gedung Koperasi Angkatan Darat. Sementara itu, Universitas Res Publica menjadi Universitas Trisakti.
Terkait peristiwa G30S, Lubang Buaya tentu yang paling sering disebut, karena di situlah pembunuhan para perwira terjadi. Daerah ini dulu juga disebut masyarakat sebagai tempat jin buang anak. Sepi. Sebelum malam 30 September 1965, kawasan ini menjadi kamp pelatihan Sukarelawan Dwikora. Tempat ini tak jauh dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah.
Mayor Udara Soejono bahkan memberi pelatihan di sisi lain daerah Lubang Buaya juga. Stigma saat itu santer menyebut Angkatan Udara terlibat dalam gerakan ini. Saat ini, tempat itu sudah menjadi Monumen Pancasila Sakti, di mana ketujuh perwira Angkatan Darat itu, enam perwira tinggi dan satu perwira pertama, berdiri dengan gagah. Tangan Ahmad Yani menunjuk ke depan. Hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober, setelah 1965, sering dirayakan di tempat ini.
Soal gedung di Kramat itu, memang banyak warga sekitar kampung itu yang percaya dulu bangunan ini adalah kantor CC PKI. Namun kini mereka tidak melihat aktivitas di tempat yang sudah jadi angker itu. Kantor itu pernah diserbu massa setelah Gerakan 30 September 1965, seperti gedung-gedung PKI yang lain. PKI dan onderbouw-onderbouwnya di bulan Oktober itu ibarat penyihir yang harus segera dimusnahkan dan tidak boleh muncul lagi.
“Pada 8 Oktober 1965, beberapa ribu Pemuda Ansor (pemuda partai Nahdlatul Ulama) membakar habis kantor pusat PKI di Jalan Kramat,” tulis Victor M Fic dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi (2005). Bekas Kantor besar CC PKI ini terletak di Jalan Kramat V Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Saat ini lahan itu dimiliki Hotel Acacia, PT Catur Krida Dana Utama.
Tempat itu tadinya akan dijadikan restoran, namun tak pernah terlaksana. Masyarakat sudah kadung menganggapnya angker.
Tak hanya kantor atau sekretariat PKI saja yang bernasib malang setelah 30 September 1965. Banyak bekas kantor organisasi yang punya afiliasi dengan PKI, yang dicap onderbouw PKI, juga bernasib sama. Tak hanya diobrak-abrik, tanahnya pun berganti pemilik. “Semua diserobot dan diduduki sampai sekarang,” ujar Martin Aleida, novelis dan mantan wartawan Harian Rakyat.
Selain terhadap kantor PKI, kantor Pemuda Rakjat (PR) juga diserang. PR adalah organisasi kepemudaan yang di masa revolusi bernama Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Banyak percaya semua Pemuda Rakjat otomatis adalah komunis dan siap jadi tukang pukul PKI. Apalagi ribuan dari 3 juta anggotanya sudah mendapat pelatihan militer, termasuk pelatihan di kawasan Lubang Buaya.
Kantor Pemuda Rakjat terletak di Tanah Abang III No 2A, Jakarta. Menurut Martin Aleida, lokasi persisnya di pojok jalan sebelah timur. Lokasi itu saat ini sudah menjadi Mess Perwira Menengah (Pamen) Komando Daerah Militer VI Mulawarman.
“Dalam serangan 8 Oktober (1965) ke kantor PR di Jalan Tanah Abang III, Soe Hok Gie turut menggabungkan diri dengan massa PN yang mengendarai pick up terbuka dan mengobrak-abrik seluruh peralatan yang berada di kantor,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa Dalam Pusaran Politik(2003). Tak hanya diserbu secara fisik disertai penghancuran, organisasi ini diserbu gosip.
“Pavilyun Kantor Pusat Pimpinan Pemuda Rakjat di Jalan Tanah Abang III Jakarta adalah sarang pelacuran,” tuduh Bung Tomo berapi-api dalam Sesudah Madiun dan Gestapu, Lantas Apa? (1966).
Bukan hanya PR, organisasi wanita onderbouw PKI bernama Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pun selama Orde Baru dicap mesum. Organisasi kewanitaan ini dituduh, bersama PR, melakukan ritual seks sambil menyiksa para jenderal di Lubang Buaya. Organisasi ini juga dicap pengumpul pelacur.
Gerwani juga dikaitkan dengan dengan pelacur-pelacur sekitar Kramat Tunggak, Tanjung Priok. “Ternyata yang melayani tamu-tamu di rumah pelacuran Tanjung Priok adalah anggota-anggota Gerwani,” ujar Bung Tomo. Padahal organisasi ini beranggotakan perempuan yang hebat-hebat. Salah satunya adalah Salawati Daud yang di tahun 1950an ikut serta membujuk para pemberontak di Sulawesi Selatan dan Maluku, agar pergolakan daerah tidak memakan korban.
Menurut Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan (2011), kantor Gerwani terletak di Jalan Matraman Nomor 51, Jakarta. Letaknya di seberang jalan Toko Buku Gramedia Matraman. Alamat itu sekarang menjadi Rumah Makan Padang Sederhana. Martin Aleida membenarkan jika areal rumah makan itu dulunya Kantor Gerwani.
Bicara soal tempat kerjanya dulu, Harian Rakyat, Martin masih tentu juga mengingat di mana lokasinya. “Semula di Pintu Besar Selatan 83, tapi akhir 1964 pindah ke Pintu Air III, kantornya sudah jadi gedung bertingkat.” Surat kabar ini dianggap sebagai corong PKI. Motto surat kabar ini adalah: "Untuk rakyat hanya ada satu harian, Harian Rakyat!" Tentu saja sejarah Harian Rakyat kini tak berjejak di sana.
Organisasi yang jelas harus dihabisi Orde Baru selain PR adalah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Sebagai partai komunis, PKI tentu harus punya pendukung di kelompok buruh. SOBSI termasuk yang dianggap onderbouw penting PKI juga. Dalam Neraka Rezim Soeharto: Tempat-tempat Penyiksaan Orde Baru (2016) yang disusun Margiyono, Kurniawan Tri Yunanto, dan Yulianti, tercatat: sejak 1955, Kantor Dewan Nasional SOBSI berkantor di Jalan Kramat V No. 14, 16, dan 18. Tak jauh dari kantor PKI.
Dulunya sebelum dipakai oleh SOBSI, rumah-rumah itu adalah bekas asrama serdadu KNIL. Rumah nomor 14 itu “memiliki tiga bangunan yang dipakai sebagai klinik SOBSI, ruang makan, dan dapur. Lantai pertama rumah no 16 dan 18 dipakai sebagai kantor administrasi, sedangkan lantai dua kamar bagi tamu yang menginap. Kini sebagian rumah itu sudah berubah menjadi mesjid dan tempat tinggal. Rumah nomor 16 dan 18 dipakai oleh tentara sebagai markas unit Pelaksana Khusus Kopkamtib... Di ujung jalan sebelah kiri itu ada gedung bekas kantor percetakan Pembaruan milik PKI, yang dipakai untuk asrama tentara.”
Setelah G30S digagalkan, SOBSI juga jadi sasaran. “Di Jakarta massa PII dan Pemuda Pancasila menghancurkan gedung SOBSI,” tulis Abdul Qadir Djaelani dalam Strategi Perjuangan Politik Penerasi Muda Islam Indonesia (1994). Dalam sebuah serbuan ke sebuah gudang milik SOBSI, seperti ditulis Kangseng Gan dalam Teror Kudeta G30S (1965), “ditemukan 3 truk beras dan 1 truk minjak goreng.”
Saat ini bekas markas SOBSI sudah beralih fungsi. Di Jalan Kramat V nomor 14 tersebut berdiri Mushalla Al Hikmah. Tak dari situ, di Jalan Kramat V nomor 18A, saat ini telah menjadi Komisariat Partai Katolik Jakarta dan juga menjadi Sekretariat Pengurus Pusat dan Perwakilan DKI Jakarta dari Yayasan Kasimo.
Sebagai lembaga kebudayaan yang dekat dengan PKI, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), pun kena rampas. Menurut Salim Said dalam buku GESTAPU 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto, Markas Lekra Jalan Cidurian 19, Cikini, Jakarta Pusat adalah rumah milik Oey Hay Djoen, bersama istrinya Jane Luyke. Rumah mereka kemudian diambil-alih tentara. Rumah Oey tak jauh dari pondokan Letkol Untung ketika bertugas di Cakrabirawa. Saat ini di bekas gedung tersebut ada Gedung Tri Dharma Widya.
Lembaga-lembaga pendidikan yang terkait dengan PKI tentu jadi sasaran juga. Menurut Daniel Dhakidae dalam Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru (2003), lembaga-lembaga itu antara lain Akademi Ilmu Politik Bacharudin, Akademi Technik Ir. Anwari, Akademi Djurnalistik Dr. Rivai, Akademi Sastra Multatuli, Akademi Ilmu Ekonomi Dr. Ratulangi, Akademi Ilmu Sedjarah Ronggowarsito, Universitas Rakyat Indonesia, Universitas Res Publica, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Sekolah Pertanian Egom, dan lainnya yang ditutup Brigadir Jenderal Dr. Sjarif Thajeb, berdasar Surat Keputusan Menteri PTIP No.01/dar tahun 1965.
Tak hanya dilakukan penutupan, tapi juga pengambilalihan disertai penyerbuan. Nasibnya mirip kantor PKI, SOBSI, atau PR. Menurut Benny G. Setiono, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham juga mengalami penyerangan. Bekas Akademi Ilmu Sosial itu kini tak ada lagi. Menurut Trikoyo Ramidjo, mantan wartawan Harian Rakjat, saat ini di tempat itu telah berdiri Mesjid Baiturahman beserta yayasannya. Tak jauh dari mesjid terdapat gedung Koperasi Angkatan Darat. Sementara itu, Universitas Res Publica menjadi Universitas Trisakti.
Terkait peristiwa G30S, Lubang Buaya tentu yang paling sering disebut, karena di situlah pembunuhan para perwira terjadi. Daerah ini dulu juga disebut masyarakat sebagai tempat jin buang anak. Sepi. Sebelum malam 30 September 1965, kawasan ini menjadi kamp pelatihan Sukarelawan Dwikora. Tempat ini tak jauh dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah.
Mayor Udara Soejono bahkan memberi pelatihan di sisi lain daerah Lubang Buaya juga. Stigma saat itu santer menyebut Angkatan Udara terlibat dalam gerakan ini. Saat ini, tempat itu sudah menjadi Monumen Pancasila Sakti, di mana ketujuh perwira Angkatan Darat itu, enam perwira tinggi dan satu perwira pertama, berdiri dengan gagah. Tangan Ahmad Yani menunjuk ke depan. Hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober, setelah 1965, sering dirayakan di tempat ini.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar