Iqra Anugrah
ADAKAH suatu teori Marxis mengenai moral? Perlukah
seorang Kiri berbicara mengenai moralitas? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan
sejumlah pokok bahasan yang menjadi bahan diskusi dan debat yang intens di
berbagai lingkaran-lingkaran intelektual.
Setidaknya ada dua sangkaan mengenai posisi moralitas dan
dalam korpus pemikiran Marxis dan implikasinya. Yang pertama adalah sangkaan
konservatif, yang menganggap bahwa 1) tidak ada ruang mengenai pembahasan
moralitas dalam korpus Marxisme atau 2) prinsip utama moral politik Kiri adalah
sebentuk Machiavellianisme yang vulgar, yang menghalalkan segala cara demi
tercapainya tujuan politiknya. Implikasinya, menurut pembacaan yang juga khas
bernuansa Perang Dingin ini, adalah bahwa ujung dari penerapan Marxisme dalam politik
adalah rezim-rezim Stalinis dengan segala macam permasalahan dan dosanya.
Yang kedua adalah sangkaan progresif, yang berargumen bahwa
karena Marxisme adalah sains, maka tidak ada tempat untuk ‘urusan moral.’
Pembacaan seperti ini beresiko membuat Marxisme menjadi sebentuk pemikiran yang
sifatnya ‘mengawang-ngawang’ dan menutup kesempatan baginya untuk melakukan
upaya teoretisasi atas problem moralitas – sebuah upaya yang dilakukan dengan
baik oleh tradisi pemikiran dan kekuatan politik lain, termasuk oleh kubu-kubu
Kanan.
Dua sangkaan tersebut disatukan oleh asumsi yang sama: tidak
ada tempat bagi pembahasan mengenai persoalan moralitas dalam Marxisme. Asumsi
inilah yang kemudian diproblematisir oleh sejumlah intelektual Marxis seperti
E.P. Thompson dan, di kemudian hari, Perry Anderson. Dalam tulisan kali ini,
saya tidak akan mengajukan suatu pemaparan teoretik mengenai persoalan
moralitas dalam Marxisme, melainkan sekedar memantik perbincangan dan
perdebatan yang lebih luas mengenai hal tersebut.
Sebelum masuk dalam pembahasan yang lebih lanjut, ada satu
pertanyaan besar yang harus kita jawab: Mengapa kaum Kiri perlu peduli dan
berbicara mengenai persoalan-persoalan moral dan etika? Bukankah dengan
demikian itu membuat kita tidak terbedakan dengan kaum idealis-borjuis dan
Kanan dengan segala macam variasinya? Setidaknya, kita bisa memberi satu
jawaban atas pertanyaan tersebut dari segi aksiologis dan praksisnya: bahwa
persoalan-persoalan moral dan etika merupakan persoalan-persoalan yang dihadapi
oleh kaum Kiri dan massa rakyat dalam kesehariannya, baik dalam kerja-kerja
politik maupun dinamika kehidupan sehari-hari. Karenanya, adalah penting untuk
melakukan upaya abstraksi atas prinsip-prinsip moral yang dipakai dalam laku
keseharian tersebut. Ketika kelompok-kelompok Kanan semakin naik daun dan
selubung-selubung ideologis yang dipakai mereka – mulai dari varian
kapitalisme-neoliberal hingga fundamentalisme keagamaan – semakin diperkuat
dengan justifikasi
‘moral’ yang juga ‘ilmiah.’
Dalam sejarahnya, ada sejumlah prinsip-prinsip moral yang
menjadi kaidah kerja-kerja lapangan untuk riset
ilmiah dan pembangunan gerakan dalam sejarah gerakan Kiri di
berbagai tempat. Tidak hanya itu, ada sejumlah prinsip moral yang dapat dan
perlu menjadi pedoman dalam berbagai bidang kehidupan lain. Sudisman dalam Uraian
Tanggung Jawab–nya
yang terkenal itu mencoba merumuskan prinsip-prinsip tersebut, antara lain: 1)
Bersikap jujur, 2) bersatu, 3) berdisiplin, 4) bersetia-kawan, dan 5)
berkorban.
Perlu diingat bahwa pengertian moral bagi Sudisman adalah:
‘norma-norma atau ketentuan-ketentuan yang mengatur kebebasan aktivitas
seseorang sesuai dengan kedudukan kelasnya.’ Frase terakhir menjadi sangat
penting: sesuai dengan kedudukan kelasnya. Artinya, moralitas Kiri – atau,
dalam bahasa Sudisman, moralitas Komunis – tetaplah bertumpu pada sains Marxis.
Inilah yang membedakannya dengan teori-teori moral yang lain.
Jikalau saya boleh menambahkan, dan sedikit memodifikasi,
moral Komunis ala Sudisman, maka saya akan mengajukan tiga prinsip tambahan,
yaitu bersikap ilmiah, demokratik, dan kontekstual. Pertama-tama
seorang Kiri haruslah seseorang yang bersikap ilmiah, terbuka, dan mau belajar.
Ia bukanlah sekedar seorang foot
soldier yang menelan begitu saja, memamah biak materi-materi
dalam kursus-kursus politik, melainkan seorang kader yang mampu mengasah daya
analitisnya dan memperluas cakrawala pengetahuannya.
Seorang Kiri haruslah juga bersikap demokratik, terbuka
kepada pendapat kawan-kawannya yang lain, kepada perdebatan-perdebatan baik
dalam forum-forum yang resmi maupun perbincangan-perbicangan informal, dan
kepada keputusan mayoritas dalam praktik-praktik keorganisasian. Perlu diingat
bahwa sikap demokratik tidak sama dengan sikap anti-hierarkhis dan anti-disiplin.
Sebaliknya, ada keselerasan antara sikap demokratik dengan pengaturan
organisasi yang disiplin, rapih, dan tertib. Seorang Kiri tidak merayakan
bentuk-bentuk perkumpulan ahierarkhi dan nir-organisasi yang tampak bebas tapi
sesungguhnya kuasi-demokratik karena tidak adanya prosedur, pembagian kerja,
dan proses evaluasi tanggung jawab yang jelas.
Seorang Kiri juga haruslah kontekstual; ia musti memahami
bagaimana ‘metode dakwah’ dan ‘strategi komunikasi massa’ yang tepat.
Bahwasanya Marxisme itu benar bagi seorang Kiri mungkin merupakan satu
kesimpulan yang sudah jelas baginya, yang didapat melalui proses penelusuran
ilmiah yang tidak singkat.
Tetapi, bagaimana menyampaikan ‘kabar baik’ tersebut
kepada massa rakyat, yang meskipun memiliki potensi ilmiah dan revolusioner,
juga terkungkung oleh keterbatasan yang dihadapinya sekarang, terutama dalam
hal penghidupan sehari-harinya? Di sinilah, retorika penyampaian dan laku
keseharian yang kontekstual menjadi penting. Adalah penting bagi seorang Kiri
untuk menyelami realitas sosial massa, membangun relasi yang dialogis antara
dirinya dengan rakyat pekerja, melakukan proses pembelajaran dan
pengorganisasian secara bersama-sama sembari sadar atas bias-bias kelas dan
kekurangan masing-masing, untuk kemudian merumuskan dan melakukan
tindakan-tindakan politik secara bersama-sama.
Tiba-tiba saya teringat Gramsci. Beberapa gagasannya yang
tersebar luas dengan jitu menyasar persoalan-persoalan yang saya bahas di atas.
Sebagai seorang revolusioner yang terlibat langsung dalam perjuangan politik
bersama kelas pekerja di Italia, Gramsci tidak pernah mengesampingkan
kerja-kerja intelektual, yang menurutnya juga tidak kalah penting dengan
kerja-kerja organisasional-lapangan. Gramsci juga tidak mengelakkan pentingnya
membangun kedisiplinan dan militansi sekaligus kemampuan
analitis yang kuat di antara para kader gerakan rakyat, sebagaimana ditulis
dalam salah satu artikelnya yang terkemuka, Workers’
democracy. Bahwa
untuk mempersiapkan diri melakukan ofensif terhadap kuasa kapital dan melampaui
logika kedaulatan negara, maka kelas pekerja dan gerakan-gerakan rakyat harus
melatih diri untuk mendisiplinkan dirinya, mempertebal militansinya, serta membangun
solidaritas dan aksi-aksi kolektif, untuk kemudian melakukan aksi historis
tersebut. Kedisiplinan dan militansi Marxis beda dengan kedisiplinan borjuis
yang robotik, kering, dan karenanya cenderung otoriter – seakan-akan kita hanya
menjadi sekrup dalam tatanan masyarakat kapitalis. Sebaliknya, kedisiplinan
revolusioner tumbuh secara organik dan bersifat sukarela, yang berasal dari
kesadaran bahwa rakyat pekerja perlu menyelaraskan upaya-upaya kolektifnya
sebagai prasyarat bagi penerapan demokrasi yang sedalam-dalamnya dan
seluas-luasnya di seluruh aspek kehidupan bermasyarakat.
Prinsip-prinsip inilah yang harusnya timbul dalam perilaku
hidup kita sehari-hari, bukan hanya dalam kerja-kerja keorganisasian, tetapi
juga dalam laku keseharian. Perlu diingat bahwa kapitalisme adalah musuh yang
sangat terorganisir, massif, dan bekerja secara elusif. Kita tidak bisa
melawannya hanya dengan pretensi Bohemian, ultra-demokratis, dan pseudo-modern.
Yang ada, sikap ‘perlawanan’ semacam itu hanya membuat orang-orang Kiri menjadi
segerombolan pseudo-radikal, tak ubahnya seperti ABG labil yang hobi
kebut-kebutan motor di jalan. Seorang Kiri haruslah jujur, ilmiah, dan adil
dalam pikirannya. Seorang Kiri haruslah berbuat sopan dan beradab dengan sesama
manusia dan alam. Seorang Kiri haruslah menyatakan oposisi yang jelas terhadap
musuh rakyat dan sebaliknya, bersahabat dan mengasihi rakyat.
Dalam laku
keseharian, seorang Kiri berarti musti menjadi tetangga yang baik, warga yang
baik, dan organizer yang
baik. Seorang Kiri tidak berpretensi bohemian – ia sadar bahwa massa rakyat
menjalani hidup yang teratur dan berguna dan hal-hal yang bermanfaat dari gaya
hidup semacam itu yang perlu ditiru dalam laku kesehariannya. Seorang Kiri juga
tidak berpretensi teknokratis – ia sadar bahwa transformasi sosial mensyaratkan
hubungan yang organik dan dialogis antara dia dan massa rakyat dan karenanya ia
perlu menyelami dan menyadari seperti apa realita sosial massa sehari-harinya.
Seorang Kiri haruslah menjadi pendengar yang baik dan empatik terhadap
penderitaan-penderitaan yang dialami oleh rakyat pekerja setiap harinya – ia
mencoba memperkecil jarak dan bias kelas dalam interaksi tersebut.
Ada sebagian hal yang bersifat preskriptif dalam pemaparan
ini yang mungkin terdengar remeh-temeh, tapi ingat, persis strategi inilah yang
dipakai oleh kaum Kanan dengan segala macam variannya. Kita boleh saja
mencemooh para ‘operator lapangan’ kelompok-kelompok keagamaan yang konservatif
dan fundamentalis di sudut-sudut perumahan serta program-program pemberdayaan
neoliberal di kampung-kampung, tetapi pada kenyataan mereka dapat secara
efektif melakukan strategi yang sifatnya ‘remeh-temeh’ tersebut dan akhirnya
mendulang dukungan.
Ada satu fragmen kecil dalam sejarah gerakan Kiri yang
terdengar sederhana tetapi memiliki implikasi yang penting. Ceritanya jauh di
Afrika Selatan sana, di masa apartheid. Ceritanya, seorang Nelson Mandela –
masih menjadi pengacara muda pada waktu itu – sedang meniti karir sebagai
seorang pegawai di firma hukum di Johannesburg. Di suatu siang, ketika ia
sedang berbincang-bincang dengan Nat Bregman, seorang aktivis Komunis berkulit
putih yang juga rekannya di firma hukum, tiba-tiba Bregman menawarkan sebagian
makan siangnya untuk Mandela, diiringi
dengan ucapan yang tidak pernah dilupakan oleh Mandela:
‘Nelson, pegang
rotinya, dan potonglah…Itulah filosofi Partai Komunis – kita berbagi apa yang
kita punya.’
Mandela sungguh terkesan atas sikap Bregman dan tidak pernah
lupa atas solidaritas dan kesetiakawanannya – akhlak
baiknya. Dan sisanya kita tahu adalah sejarah: Mandela
terinspirasi untuk terlibat dan memimpin perjuangan pembebasan nasional melawan
apartheid di Afrika Selatan. Sampai akhir hayat mereka, Mandela dan Bregman
menjaga jalinan perjuangan dan persahabatan.
Kita berbagi apa
yang kita punya – mungkin ini semacam versi lain dari moral
Komunis-nya Sudisman.
Apabila kita belum bisa bersepakat apakah kita perlu
eksposisi teoretik Marxis atas moralitas, setidaknya kita perlu bersepakat
mengenai bagaimana akhlak yang
ideal bagi kader-kader gerakan rakyat dalam kerja-kerja organisasi maupun laku
keseharian. Propaganda Orde Baru mengampanyekan bahwa orang-orang Kiri
merupakan gerombolan yang haus kekuasaan, menghalalkan segala cara, dan
karenanya najis
laknatullah.
Tapi dari sejarah kita tahu, mana yang haus
kekuasaan dan menghalalkan segala cara, dan mana yang bersetia kepada cita-cita
politik emansipasi dan pembebasan rakyat pekerja dari ketertindasan kelas.
Siapa yang bersetia kepada ‘jalan sunyi emansipasi’ itu?
Singkat kata, mereka adalah orang-orang yang bersikap jujur, ilmiah, dan
terbuka. Mereka juga berdisiplin, bersolidaritas, dan rela berkorban. Mereka
adalah demokrat dalam artiannya yang paling radikal. Mereka terbiasa dengan
perbedaan pendapat dan mau memahami realitas sosial yang ingin diubahnya.
Mereka juga mau mendengarkan dan berempati kepada penderitaan massa.
Mereka adalah orang yang berpegang pada moralitas Kiri – moral Komunis.***
Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik
di Northern Illinois University. Beredar di twitland dengan id @libloc
Sumber: Indoprogress.Com
0 komentar:
Posting Komentar