Kamis, 15 September 2016
09:30
TERASING: Tumiso dan para tapol Pulau Buru berperahu menuju tempat
pertunjukan orkes dangdut. Foto kiri, Tumiso sekarang. Dia tinggal di rumah
jompo eks tapol di Kramat, Jakarta. DOK TUMISO
Penggemar karya-karya Pramoedya Ananta Toer layak
berterima kasih kepada Tumiso. Tanpa dia, dunia sastra Indonesia belum tentu
bisa menikmati novel-novel masterpiece Pram di Pulau Buru.
FOLLY AKBAR, Jakarta
Tanggal 2 Oktober 1979 adalah hari yang membahagiakan
bagi Tumiso. Hari itu, bersama para tahanan politik lainnya di Pulau Buru, dia
menghirup udara bebas. Kapal Gunung Jati yang biasa mengangkut jemaah haji
menjadi angkutan yang mengantarkannya kembali ke tanah Jawa. Selama 10 tahun
(1969–1979) dia diasingkan di pulau terpencil di Maluku tersebut.
Saat bebas itu, jika teman-temannya membawa pulang
berbagai barang pribadi, tidak demikian halnya dengan Tumiso. Dia hanya
mencangking dua setel pakaian dan sebotol minyak kayu putih.
Yang banyak, karungnya diisi tumpukan naskah novel-novel
sahabatnya, Pramoedya Ananta Toer. Mulai Tetralogi Pulau Buru; Bumi Manusia,
Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca; hingga novel Arus Balik, Arok
Dedes, Ensiklopedi Citrawi Indonesia, dan Mata Pusaran.
Begitu kapal meninggalkan dermaga Pulau Buru, hati Tumiso
sangat lega. Pasalnya, dia hampir pasti bisa menyelamatkan karya-karya besar
Pram tersebut. Namun, fakta berikutnya berkata lain. Begitu tiba di pelabuhan
Surabaya, Tumiso dan 41 temannya langsung dibawa ke Akademi Militer (Akmil) di
Magelang. Pramoedya termasuk di dalamnya.
’’Yang lain bebas, tapi 42 tahanan Pulau Buru yang keras kepala tidak dibebaskan,’’ kata Tumiso saat ditemui di panti jompo eks tapol (tahanan politik) di Kramat, Jakarta, Rabu (7/9).
Nah, drama baru dimulai ketika para tapol itu tiba di
Akmil Magelang. Semua barang bawaan tapol diperiksa satu per satu. Tentu saja,
Tumiso sangat khawatir naskah-naskah karya Pram yang dibawanya akan dirampas
bila ketahuan. Maka, saat itulah sandiwara untuk mengelabui aparat pun dia
lakukan.
Sebelum pengecekan dilakukan, Tumiso berpura-pura sakit.
’’Saya jatuh dan pura-pura semaput (pingsan, Red), lalu dibawa ke rumah sakit,’’ kenang pria yang kini berusia 77 tahun tersebut.
Ide itu, rupanya, ampuh. Sebab, perjalanan dengan kapal
dari Pulau Buru memang melelahkan. Tentara yang memeriksa pun maklum. Dia
langsung ditandu dan dibawa ke rumah sakit bersama barang-barang bawaannya.
Tentu saja, dokter yang memeriksanya bingung karena tidak menemukan penyakit di
tubuh Tumiso. Untung, dokter itu masih kerabat Tumiso.
Begitu kondisi memungkinkan, Tumiso kembali berakting.
Dia ingin bertemu dengan teman-temannya yang sudah diinapkan di asrama Akmil.
Nah, untuk memuluskan skenarionya, dia meminta kepada dokter agar dibawa ke
asrama.
’’Tapi, saya pura-pura masih sakit sehingga saya pun dibawa ke asrama dengan ditandu,’’ ujarnya, lantas terkekeh. Alhasil, dia berhasil masuk Akmil tanpa pemeriksaan barang-barang.
Dua bulan kemudian, tepatnya 18 Desember 1979, hari
kebebasan itu benar-benar diperoleh 42 tapol tersebut. Hal itu tak lepas dari
desakan dunia internasional yang mengetahui adanya tahanan Pulau Buru yang
belum bebas dan dimasukkan di asrama militer.
Namun, kekhawatiran Tumiso belum selesai. Pasalnya, saat
upacara pembebasan di Semarang, tentara bersiap memeriksa barang bawaan para
tapol. Saat itu, tentara mulai curiga dengan bawaan Tumiso.
Lagi-lagi Tumiso beruntung. Sampai upacara selesai, tidak
ada tentara yang berinisiatif memeriksa karung pria asal Samarinda yang dibesarkan
di Surabaya itu.
Setelah upacara pembebasan, Pram sempat menanyakan
kondisi kesehatan Tumiso. ’’Seng (panggilan Tumiso di Pulau Buru, Red), sakit
apa?’’ tanya Pram seperti ditirukan Tumiso.
’’Aku gak sakit,’’ jawab Tumiso.
’’Jangan macem-macem,’’ tutur Pram lagi.
’’Kalau aku sehat, buku ini dirampas,’’ jawab Tumiso, lantas tertawa.
’’Bangsat kamu. Saat diperiksa, aku saja sudah ngeri,’’ lanjut Pram.
Sekitar empat bulan kemudian, Tumiso menyerahkan
naskah-naskah karya Pram di Pulau Buru ke Penerbit Hasta Mitra. Penerbit
tersebut didirikan eks tahanan Pulau Buru, yaitu Hasjim Rachman, Joesoef Isak,
dan Pram sendiri.
***
Pertemuan Tumiso dengan Pram di Pulau Buru bukan
pertemuan kali pertama. Keduanya dipertemukan oleh kesamaan ideologi sebagai
pendukung garis politik Soekarno yang menolak Nekolim (Neo Kolonialisme dan
Imprealisme). Kongres serikat pekerja film berhaluan kiri, Sarbufi (Sarikat
Buruh Film Indonesia), pada 1962 di Surabaya-lah yang mempertemukan
keduanya.
Sebagai mahasiswa, Tumiso menerjunkan diri ke Resimen
Mahasurya. Kelompok mahasiswa semimiliter itu sewaktu-waktu diturunkan untuk
mendukung garis politik Soekarno. Sialnya, saat rezim berganti, Resimen
Mahasurya ikut terdampak.
’’Saya ditangkap tentara yang melatih saya pada 1965,’’ jelasnya.
Sempat ditawan di Rumah Tahanan Militer Koblen Surabaya
dan Pulau Nusakambangan selama empat tahun, Tumiso dipindah ke Pulau Buru pada
2 Agustus 1969. Meski sama-sama berada di unit tiga, pada awal-awal kedatangan
(di Pulau Buru), dia belum bisa bertemu Pram. Sebab, Pram yang dari Jakarta
mendapat tempat yang berbeda dengan Tumiso yang datang dari Surabaya.
Barulah pada akhir 1969 dia bisa bertemu dengan sosok
yang diidolakannya itu.
’’Kami sama-sama dipekerjakan di pertanian,’’ kata ayah satu anak tersebut.
Sejak saat itu,
hubungan Tumiso dengan Pram semakin akrab.
Pada awal pengasingannya di Pulau Buru, kata Tumiso, Pram
tidak menulis. Sebab, seluruh tapol dikerahkan untuk berproduksi.
’’Teman-teman suka bertanya, Pak Pram gak nulis? Pram pun menjawab gak ada waktu, beku, macet, blank,’’ ungkap Tumiso mengingat saat-saat itu.
Baru pada 1972, ada izin dari Kejaksaan Agung yang
memperbolehkan Pram untuk menulis.
Sebagai pengagum banyak tokoh hebat, Pram memacu diri
dengan banyak membaca buku. Semata-mata untuk mengimbangi tokoh yang
dikaguminya. Dalam proses itulah, Pram menemukan sosok Tirto Adhi Soerjo yang
tidak banyak diekspos.
Karena itu, dalam Tetralogi Pulau Buru, Pram menjadikan
sosok Tirto Adhi Soerjo sebagai lakon utama. Dalam novel Bumi Manusia, tokoh
itu bernama Minke, pribumi yang berpendidikan Eropa.
’’Annelies, Nyai Ontosoroh, dan lainnya itu imajinasi Pram. Hebat kan. Dia mampu menggambarkan situasi pada zamannya,’’ terang Tumiso.
Sempurnanya Tetralogi Pulau Buru, lanjut dia, tidak lepas
dari banyaknya masukan yang diterima Pram. Sebab, setiap menulis, Pram selalu
membuat rangkap enam.
Naskah-naskah itu lalu diberikan kepada Tumiso, Suprapto,
Oey Hay Djoen, dan dua teman tapol lainnya. Hal itu ditujukan untuk memberikan
kesempatan kepada teman-teman Pram untuk memberikan masukan. Selain itu,
rangkap enam tersebut dimaksudkan sebagai cadangan apabila ada naskah yang
disita aparat.
Tumiso mencontohkan, masukan Suprapto yang ahli hukum
kepada Pram soal bagaimana Minke dan Nyai Ontosoroh melawan di pengadilan.
’’Tidak ada hukum atau kebiasaan pada zaman itu yang digambarkan melampaui zamannya atau mundur ke belakang,’’ tuturnya.
Beberapa masukan Tumiso juga diakomodasi Pram. Misalnya,
soal aksi petani tebu bernama Trunodongso di Sidoarjo yang melakukan protes
seorang diri. Sebelumnya, Pram menggambarkan Trunodongso melakukan unjuk rasa
secara beramai-ramai.
’’Saya bilang zaman itu belum begitu, orang masih takut Belanda. Kita gambarkan Trunodongso sebagai sosok yang berani,’’ ungkapnya.
Mendapat kepercayaan besar dari Pram membuat Tumiso
tersanjung. Sejak saat itu dia berjanji menyelamatkan naskah-naskah karya Pram
agar kelak bisa dibaca masyarakat luas. Sebab, dia tahu, karya Pram sangat baik
dan layak dikonsumsi banyak orang.
Karena itu, Tumiso benar-benar merawat dengan baik
naskah-naskah tersebut. Dia pun tidak berani meminjamkan naskah itu kepada
sembarang orang.
’’Saya dianggap sok ketat. Katanya, Tumiso diberi kepercayaan gitu saja sombong,’’ katanya menirukan omongan miring teman-temannya di Pulau Buru.
Meski begitu, ada pula yang dia pinjami. Itu pun dengan
catatan. Yakni, harus menceritakan ke orang lain.
’’Kalau kelak naskah itu gak terbit, tetap ada cerita tentang Pram di penjara,’’ terangnya.
Tumiso bersyukur, pelitnya dia dalam meminjamkan naskah
Pram itu berbuah manis. Sebab, naskah-naskah karya sastra fenomenal tersebut
akhirnya bisa terbit dan dibaca masyarakat luas. Bahkan diterjemahkan dalam
berbagai bahasa asing.
Walaupun apa yang dilakukannya bermanfaat dan memberikan
sumbangsih besar bagi kesusastraan dunia, Tumiso tetap merendah. Menurut dia,
apa yang dilakukannya adalah hal biasa.
Kendati begitu, Tumiso mengaku risi jika ada orang yang
mengaku-ngaku sebagai penyelamat naskah-naskah karya Pram. Karena itu, dia
akhirnya mau membuka suara dalam sebuah forum Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat,
yang berafiliasi kekiri-kirian).
’’Saya yang menyelamatkan, Yang lain omong kosong,’’ ujarnya.
Tak terima, beberapa orang lalu menuntut bukti dari Tumiso. ’’Buku yang diterbitkan Hasta Mitra itu dari saya. Ada surat serah terimanya yang diakui Hasjim Rachman, Joesoef Isak, dan Pram. Tidak ada yang bantah, semua diam,’’ kenangnya.
Pada usianya yang sudah sepuh, fisik Tumiso sebenarnya
tergolong masih kuat. Di panti jompo, dia tidak hanya bertugas memasak, tapi
juga membereskan kebersihan panti.
’’Saya merasa berguna. Saya ingin terus melakukan sesuatu,’’ tandasnya. (*/c5/ari)
0 komentar:
Posting Komentar