Kamis, 29/09/2016 12:57 WIB
Manismar, pengurus inti Gerwani Sumatera Barat, ditahan aparat bersama bayinya pasca-G30S. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
Bukittinggi, CNN Indonesia
--
Jumat itu, 1 Oktober 1965, keramaian terlihat di
rumah Manismar, pengurus inti Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)
Sumatera Barat. Mereka mempersiapkan pengukuhan pimpinan Gerwani Cabang
Solok.
Perempuan tani datang membawa dua buah kelapa ke rumah Manismar. Hasil bumi lain pun disumbangkan untuk tambahan konsumsi acara tersebut.
Usai pengukuhan Dewan Pimpinan Gerwani Solok, Konferensi Cabang pun dirancang digelar menjelang Kongres Nasional Gerwani di Jakarta pada akhir tahun itu.
Di Gerwani Solok, Manismar menjabat Sekretaris Seksi Pembelaan Hak-hak Wanita dan Anak. Ia membawa mandat dari daerah untuk menggerakkan roda organisasi di tingkat cabang dan ranting kala Solok mengalami kekosongan kepemimpinan.
Kesibukan Manismar hari itu tak terganggu dengan kabar dari Jakarta yang menyebut para jenderal dan perwira Angkatan Darat dibunuh di Lubang Buaya.
Manismar tak berpikir macam-macam. Ia yakin persoalan di Jakarta tak akan berimbas ke daerah. Terpisah 1.200 kilometer lebih dari Jakarta, Manismar dan anggota Gerwani Solok lainnya beraktivitas seperti biasa.
Manismar baru menyadari situasi makin gawat ketika ada peraturan baru di daerahnya.
Peringatan bernada ancaman diumumkan. Isinya: setiap orang yang terlibat Partai Komunis Indonesia dan organisasi yang berlindung di bawahnya, diminta melaporkan diri ke kantor polisi dalam tempo 3 x 24 jam. Jika tidak, keselamatan nyawa dan harta tak dijamin.
Perburuan terhadap pengikut PKI dan pendukung Sukarno dimulai. PKI
dituding sebagai dalang Gerakan 30 September yang menewaskan tujuh
perwira AD.
“Kami buta akan situasi itu,” kata Manismar kepada CNNIndonesia.com di kediamannya, Bukittinggi, Sumatera Barat, Selasa (19/9).
Ia kini berusia 82 tahun. Namun ingatannya kuat, dengan sorot mata tajam.
Manismar, dan banyak orang di lingkungannya, kala itu tak paham apa yang terjadi. Mereka rela melaporkan diri karena khawatir keselamatan terancam.
Setiap hari, pagi hingga sore, orang-orang pergi melaporkan diri ke kantor polisi. Buku tulis kecil yang dibawa untuk melapor sampai habis dijual di Pasar Kota Solok.
“Ada orang yang tidak terlibat, tapi karena takut nyawa dan hartanya tidak terjamin, dia ikut mendaftar (melaporkan diri). Pada hari ketiga, pagi harinya dia dipesankan untuk bawa tikar dan bantal,” kata Manismar.
Mereka yang mendapat pesan ini, ujar Manismar, lantas “diambil.” Artinya, mereka hilang, atau tepatnya dihilangkan.
Manismar tak ikut melaporkan diri. Dia memilih pulang kampung ke
Bukittinggi. Saat itu dia telah memiliki seorang putri dari
pernikahannya dengan seorang pegawai jawatan penerangan yang juga
pengurus PKI Solok.
Di Bukittinggi, Manismar hendak menitipkan putrinya, Len Dwipa, kepada sang ibu. Setelah itu, dia berniat kembali ke Solok. Sebab, ada satu aturan yang dipegang kader Gerwani kala itu.
“Jangan tinggalkan daerah. Itu namanya tidak bertanggung jawab. Masak kita lari, sementara anggota kita ditangkap,” kata Manismar.
Namun Manismar ternyata tak berhasil menemui ibunya. Ia pun membawa Len sang putri ke mana-mana dalam dekapan.
Sambil menggendong bayi, Manismar akhirnya melaporkan diri ke kantor polisi. Saat itu ia berusia 31 tahun, dan memilih untuk berpasrah.
Seorang polisi yang bertugas lantas meminta Manismar ikut melaporkan suaminya.
“Bu, bapaknya anak ini suruhlah melapor, supaya terjamin nyawanya,” kata polisi itu.
Manismar mengaku tak tahu keberadaan sang suami karena sedang dinas ke luar kota.
Polisi tetap memburu suami Manismar, dan mendapatkannya.
Setelah beberapa hari di Bukit Tinggi, Manismar diambil Kepolisian Solok. Komandan resor setempat menyatakan telah mendapat keterangan mengenai dia.
Manismar ditahan bersama si buah hati.
Dalam tahanan, Manismar bertemu kawannya. Sang kawan berpesan kepada Manismar: iyakan saja semua pertanyaan polisi jika menghadapi pemeriksaan. Membantah pertanyaan berarti siap disiksa.
“Kalau sudah di pengadilan nanti, baru bicara yang sebenarnya. Yang penting kita hidup dulu,” ujar Manismar, mengingat baik pesan itu.
Meski begitu, ada banyak tahanan yang menjawab tidak tahu, hingga bersumpah. Jawaban itu tak diterima interogator. Alhasil, tuli didapat para tawanan yang bergeming. Telinga mereka remuk dipukuli.
“Walaupun Alquran satu masjid dikasihkan, mereka (interogator) enggak akan percaya. Pokoknya (jawabnya mesti) saya tahu. Jadi paksaan itu terasa sekali,” kata Manismar.
Tiba giliran Manismar diperiksa. Dia dituduh mengetahui rencana
pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya, memperoleh informasi akan ada
kudeta, menggelar rapat gelap untuk mengambil alih kekuasaan di daerah,
bahkan membentuk struktur pemerintahan Dewan Revolusi.
Semua diiyakan Manismar meski itu tak benar.
“Kalau kamu jujur, kamu selamat. Kalau tidak jujur, tengok kawan-kawanmu itu!” ujar interogator.
Salah satu yang tak selamat adalah suami Manismar.
“Begini-begini (kejang), sudah kena pukul laki-laki itu, kayak ayam sudah dipotong. Kepalanya dipukuli. Saya enggak kuat menengok. Ternyata bapak anak ini,” kata Manismar sambil menunjuk sang putri, Len Dwipa, yang kini berusia 51 tahun.
Len yang duduk di samping Manismar terisak-isak mendengarkan kisah ibunya.
Seluruh anggota Gerwani saat itu ikut diburu karena organisasi mereka
dekat dengan PKI. Sejumlah pejabat tinggi Gerwani pun merangkap anggota
PKI.
Maka ketika PKI disebut sebagai pembunuh jenderal-jenderal Angkatan Darat, Gerwani kena getahnya. Dari pusat ke daerah, organisasi itu dibinasakan beserta para kadernya.
Kedekatan Gerwani dengan PKI terlihat menjelang 1965, seiring dengan keterlibatan Gerwani yang makin intens di perpolitikan negeri.
Gerwani mendukung pembebasan Irian Barat, reforma agraria, dan konfrontasi Malaysia yang dikomandoi Sukarno.
Pada perayaan ulang tahun Gerwani ke-15 di Gelora Bung Karno yang jatuh pada 4 Juni 1965 misalnya, Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit ikut hadir.
Gerwani bahkan berencana bergabung dengan PKI pada kongres mereka yang dijadwalkan berlangsung Desember 1965. Namun tiga bulan menjelang Kongres, meletus G30S yang dalam sekejap mengakhiri riwayat PKI maupun Gerwani.
Manismar yang pernah pergi ke Tiongkok, dituduh aparat sebagai kader PKI. Ia juga dianggap tahu soal rencana kudeta.
“Yang memberatkan saya karena pernah ke luar negeri. Katanya, ‘Kan kader PKI itu (ke Tiongkok)’. Saya terima saja,” ucap Manismar.
Sang suami yang ia sebut telah disiksa bak ayam dipotong, menurut Manismar akhirnya dihilangkan paksa dan tak tahu lagi di mana rimbanya.
Manismar ingat, satu malam saat suaminya diambil, Len terus-menerus menangis meski tak sedang sakit. Esoknya, seorang polisi mengatakan, “Bapak anak ini (Len) sudah diangkat semalam.”
Saat itu, kata Manismar, ia berusaha tegar meski sesungguhnya tak kuat menahan sedih. Semua yang hidup, ujarnya, pasti mati.
Manismar tak habis pikir dengan tindakan aparat yang mengambil nyawa orang tanpa diadili lebih dulu.
“Itu seperti membunuh binatang yang lewat saja. Kan baru tuduhan, kenapa harus mengakhiri nyawa? Itu saya tidak senang. Apakah perbuatan mereka setimpal untuk dibunuh,” kata Manismar dengan nada tinggi.
Sampai sekarang Manismar tak terima dengan perlakuan keji tersebut.
“Memang berjuang itu ada risiko, tapi cara yang macam ini saya tidak merelakan,” katanya.
Manismar saat itu merasa sangat menderita. Ketika hujan turun tengah malam, saat kawan-kawannya tertidur, dia sering menangis sendirian meratapi nasib harus membesarkan anak tanpa suami, dengan kondisi sulit seperti itu.
“Pernah saya itu murtad di dalam (penjara), tidak sembahyang, waktu suami saya hilang. Sebab setelah sembahyang, air mata bercucuran, nangis terus, (terpikir) bagaimana suami saya,” kata Manismar.
Len juga menderita dalam penjara. Dia terserang asma lantaran tidur di tempat penyimpanan senjata yang tak beratap.
“Dijemur tiga hari tiga malam,” kata Manismar.
Dia minta anaknya diperiksa ke dokter. Permintaan yang sama disampaikan ayah Len sebelum diambil.
“Bapaknya bilang ke penjaga, ‘Pak, kalau saya mau dibunuh pun enggak apa, tapi tengok anak saya dibegitukan di luar, saya enggak mampu. Saya mohon supaya dipindahkan anak saya’,” kata Manismar, menirukan ucapan suaminya.
Manismar dan anaknya kemudian dipindah ke kamp konsentrasi di Simpang Rumbio. Di sana berkumpul tahanan kelas ringan. Sementara mereka yang akan dibunuh berada di penjara.
Tapi, justru di kamp itu Manismar mengalami siksaan lebih hebat.
“Di situ dua polisi menangani saya sampai gigi ini patah waktu anak saya sedang menyusu. Mulut sudah berdarah-darah kena pukul,” kata Manismar.
Dia dihajar karena dituduh akan melarikan diri dari Solok ke Bukittinggi.
“Lebih berharga nyawa seekor ayam daripada kamu, begitu katanya. Dia todongkan pistol ke perut saya. Diantuk-antukkan kepala saya. Patah gigi dua,” ujar Manismar.
Penyiksaan baru berhenti ketika bayinya menangis histeris.
Usai diinterogasi, Manismar dilarang berinteraksi dengan penghuni asrama lain. Siapa saja yang menegurnya, bakal kena siksa. Ia bahkan tak boleh memangku anaknya.
Manismar ditahan selama 12 tahun, berpindah-pindah dari Bukittinggi,
Padang, Solok, dan Simpang Rumbio. Dia baru bisa merasakan udara bebas
saat pembebasan massal tahun 1977.
Manismar tak pernah membayangkan bakal mengalami nasib tragis seperti itu, sekalipun hanya dalam mimpi.
“Kejadian 1965 itu kayak mimpi di siang bolong. Apa yang terjadi, batin saya tak terima,” kata dia.
Meski begitu, Manismar tak kecil hati. Ia mengatakan, situasi membuat hidupnya harus seperti itu.
Intan di lumpur, ujar Manismar, akan tetap bercahaya. Ia yakin, satu saat kebenaran akan terkuak.
“Orang Minang bilang, jikalau tiba di mata jangan dipicingkan, tiba di perut jangan dikempiskan. Walaupun anak kandung sendiri, kalau bersalah harus dihukum. Itu yang saya kehendaki,” ujar Manismar.
Sewindu sebelum 1965, tahun 1957, Manismar juga pernah ditahan. Kali itu oleh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) –gerakan menentang pemerintah pusat yang dinilai menganaktirikan pembangunan di daerah.
Manismar kala itu ditahan selama satu tahun –dengan alasan penahanan yang sama sekali berbeda dengan masa panjang pemenjarannya yang dimulai pada 1965.
“Dulu saya ditahan oleh kontrarevolusi yang mengkhianati revolusi Agustus 1945. Tapi waktu 1965 saya yang dituduh mengkhianati revolusi. Jadi berbeda seperti siang dan malam,” kata dia.
Manismar, 30 Agustus 1957, ikut ambil bagian dari ribuan perempuan yang menggelar demonstrasi menentang Dewan Banteng, cikal bakal PRRI. Kala itu ia masih 23 tahun.
Sebelumnya, Manismar sempat rapat Dewan Banteng yang dihadiri banyak organisasi. Dalam pertemuan itu, Dewan Banteng menyatakan melawan pemerintah di Jakarta karena ketimbangan antara pusat dan daerah.
Perwakilan organisasi yang hadir pada pertemuan itu lantas diminta ikut meneken kesepakatan. Manismar, sebagai wakil Gerwani, memilih keluar dari forum dan tak ikut mendukung aksi Dewan Banteng.
“Membubuhkan tanda tangan berarti Gerwani mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerwani bisa cacat di mata pemerintah, karena itu kan menentang pemerintahan yang sah,” kata Manismar.
Gerwani kemudian mengambil sikap berseberangan dengan Dewan Banteng, dan menggerakkan unjuk rasa menuntut pemulihan hubungan Sumatera Tengah (sebelum bernama Sumatera Barat) dengan pemerintah pusat.
Gerwani menegaskan berdiri di belakang pemerintahan yang sah di bawah
Presiden Sukarno, dan mendesak pembebasan tahanan Dewan Banteng.
“Saya memimpin demonstrasi anti-Dewan Banteng. Dua ribu manusia. Saya mampu mengumpulkan mereka,” ujar Manismar.
Demonstrasi itu akhirnya dibubarkan dan enam orang pemimpin demonstran ditangkap, termasuk Manismar.
Ia dibebaskan September 1968, dan kembali aktif di Gerwani, organisasi yang digelutinya sejak 1953.
Koran Harian Rakyat, 1 Januari 1958, menulis penghormatan kepada Manismar dan kawan-kawannya atas sikap mereka menentang Dewan Banteng, embrio PRRI.
"Kami menyampaikan salut dan rasa solidaritet yang dalam kepada saudari: Manismar, Nadiar, Halimah, dan Sanibar," tulis koran itu sebagaimana dikutip Reni Nuryanti dalam bukunya Perempuan Berselimut Konflik: Perempuan Minangkabau di Masa Dewan Banteng dan PRRI.
Di sisi lain, pemberontakan PRRI berujung pada pembubaran Partai Masyumi yang berbasis Islam pada 1960. Partai ini dibubarkan Presiden Sukarno karena tokoh-tokohnya dicurigai terlibat PRRI.
Kondisi tersebut mempertajam ketegangan kelompok Islam dan PKI serta organisasi massa lain yang dekat dengannya, termasuk Gerwani.
Perempuan tani datang membawa dua buah kelapa ke rumah Manismar. Hasil bumi lain pun disumbangkan untuk tambahan konsumsi acara tersebut.
Usai pengukuhan Dewan Pimpinan Gerwani Solok, Konferensi Cabang pun dirancang digelar menjelang Kongres Nasional Gerwani di Jakarta pada akhir tahun itu.
Di Gerwani Solok, Manismar menjabat Sekretaris Seksi Pembelaan Hak-hak Wanita dan Anak. Ia membawa mandat dari daerah untuk menggerakkan roda organisasi di tingkat cabang dan ranting kala Solok mengalami kekosongan kepemimpinan.
Kesibukan Manismar hari itu tak terganggu dengan kabar dari Jakarta yang menyebut para jenderal dan perwira Angkatan Darat dibunuh di Lubang Buaya.
Manismar tak berpikir macam-macam. Ia yakin persoalan di Jakarta tak akan berimbas ke daerah. Terpisah 1.200 kilometer lebih dari Jakarta, Manismar dan anggota Gerwani Solok lainnya beraktivitas seperti biasa.
Manismar baru menyadari situasi makin gawat ketika ada peraturan baru di daerahnya.
Peringatan bernada ancaman diumumkan. Isinya: setiap orang yang terlibat Partai Komunis Indonesia dan organisasi yang berlindung di bawahnya, diminta melaporkan diri ke kantor polisi dalam tempo 3 x 24 jam. Jika tidak, keselamatan nyawa dan harta tak dijamin.
|
“Kami buta akan situasi itu,” kata Manismar kepada CNNIndonesia.com di kediamannya, Bukittinggi, Sumatera Barat, Selasa (19/9).
Ia kini berusia 82 tahun. Namun ingatannya kuat, dengan sorot mata tajam.
Manismar, dan banyak orang di lingkungannya, kala itu tak paham apa yang terjadi. Mereka rela melaporkan diri karena khawatir keselamatan terancam.
Setiap hari, pagi hingga sore, orang-orang pergi melaporkan diri ke kantor polisi. Buku tulis kecil yang dibawa untuk melapor sampai habis dijual di Pasar Kota Solok.
“Ada orang yang tidak terlibat, tapi karena takut nyawa dan hartanya tidak terjamin, dia ikut mendaftar (melaporkan diri). Pada hari ketiga, pagi harinya dia dipesankan untuk bawa tikar dan bantal,” kata Manismar.
Mereka yang mendapat pesan ini, ujar Manismar, lantas “diambil.” Artinya, mereka hilang, atau tepatnya dihilangkan.
|
Di Bukittinggi, Manismar hendak menitipkan putrinya, Len Dwipa, kepada sang ibu. Setelah itu, dia berniat kembali ke Solok. Sebab, ada satu aturan yang dipegang kader Gerwani kala itu.
“Jangan tinggalkan daerah. Itu namanya tidak bertanggung jawab. Masak kita lari, sementara anggota kita ditangkap,” kata Manismar.
Namun Manismar ternyata tak berhasil menemui ibunya. Ia pun membawa Len sang putri ke mana-mana dalam dekapan.
Sambil menggendong bayi, Manismar akhirnya melaporkan diri ke kantor polisi. Saat itu ia berusia 31 tahun, dan memilih untuk berpasrah.
Seorang polisi yang bertugas lantas meminta Manismar ikut melaporkan suaminya.
“Bu, bapaknya anak ini suruhlah melapor, supaya terjamin nyawanya,” kata polisi itu.
Manismar mengaku tak tahu keberadaan sang suami karena sedang dinas ke luar kota.
Polisi tetap memburu suami Manismar, dan mendapatkannya.
Setelah beberapa hari di Bukit Tinggi, Manismar diambil Kepolisian Solok. Komandan resor setempat menyatakan telah mendapat keterangan mengenai dia.
Manismar ditahan bersama si buah hati.
Dalam tahanan, Manismar bertemu kawannya. Sang kawan berpesan kepada Manismar: iyakan saja semua pertanyaan polisi jika menghadapi pemeriksaan. Membantah pertanyaan berarti siap disiksa.
“Kalau sudah di pengadilan nanti, baru bicara yang sebenarnya. Yang penting kita hidup dulu,” ujar Manismar, mengingat baik pesan itu.
Meski begitu, ada banyak tahanan yang menjawab tidak tahu, hingga bersumpah. Jawaban itu tak diterima interogator. Alhasil, tuli didapat para tawanan yang bergeming. Telinga mereka remuk dipukuli.
“Walaupun Alquran satu masjid dikasihkan, mereka (interogator) enggak akan percaya. Pokoknya (jawabnya mesti) saya tahu. Jadi paksaan itu terasa sekali,” kata Manismar.
Manismar,
pengurus inti Gerwani Sumatera Barat, dituduh menggelar rapat gelap
untuk merebut kekuasaan di daerah. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
|
Semua diiyakan Manismar meski itu tak benar.
“Kalau kamu jujur, kamu selamat. Kalau tidak jujur, tengok kawan-kawanmu itu!” ujar interogator.
Salah satu yang tak selamat adalah suami Manismar.
“Begini-begini (kejang), sudah kena pukul laki-laki itu, kayak ayam sudah dipotong. Kepalanya dipukuli. Saya enggak kuat menengok. Ternyata bapak anak ini,” kata Manismar sambil menunjuk sang putri, Len Dwipa, yang kini berusia 51 tahun.
Len yang duduk di samping Manismar terisak-isak mendengarkan kisah ibunya.
Manismar bersama putrinya, Len Dwipa. Manismar dulu ditahan bersama Len yang masih bayi. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
|
Maka ketika PKI disebut sebagai pembunuh jenderal-jenderal Angkatan Darat, Gerwani kena getahnya. Dari pusat ke daerah, organisasi itu dibinasakan beserta para kadernya.
Kedekatan Gerwani dengan PKI terlihat menjelang 1965, seiring dengan keterlibatan Gerwani yang makin intens di perpolitikan negeri.
Gerwani mendukung pembebasan Irian Barat, reforma agraria, dan konfrontasi Malaysia yang dikomandoi Sukarno.
Pada perayaan ulang tahun Gerwani ke-15 di Gelora Bung Karno yang jatuh pada 4 Juni 1965 misalnya, Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit ikut hadir.
Gerwani bahkan berencana bergabung dengan PKI pada kongres mereka yang dijadwalkan berlangsung Desember 1965. Namun tiga bulan menjelang Kongres, meletus G30S yang dalam sekejap mengakhiri riwayat PKI maupun Gerwani.
|
Ketua PKI DN Aidit berdiri di hadapan massa Gerwani di Jakarta. (Dok. Perpustakaan Nasional)
|
“Yang memberatkan saya karena pernah ke luar negeri. Katanya, ‘Kan kader PKI itu (ke Tiongkok)’. Saya terima saja,” ucap Manismar.
Sang suami yang ia sebut telah disiksa bak ayam dipotong, menurut Manismar akhirnya dihilangkan paksa dan tak tahu lagi di mana rimbanya.
Manismar ingat, satu malam saat suaminya diambil, Len terus-menerus menangis meski tak sedang sakit. Esoknya, seorang polisi mengatakan, “Bapak anak ini (Len) sudah diangkat semalam.”
Saat itu, kata Manismar, ia berusaha tegar meski sesungguhnya tak kuat menahan sedih. Semua yang hidup, ujarnya, pasti mati.
Manismar tak habis pikir dengan tindakan aparat yang mengambil nyawa orang tanpa diadili lebih dulu.
“Itu seperti membunuh binatang yang lewat saja. Kan baru tuduhan, kenapa harus mengakhiri nyawa? Itu saya tidak senang. Apakah perbuatan mereka setimpal untuk dibunuh,” kata Manismar dengan nada tinggi.
Sampai sekarang Manismar tak terima dengan perlakuan keji tersebut.
“Memang berjuang itu ada risiko, tapi cara yang macam ini saya tidak merelakan,” katanya.
Manismar saat itu merasa sangat menderita. Ketika hujan turun tengah malam, saat kawan-kawannya tertidur, dia sering menangis sendirian meratapi nasib harus membesarkan anak tanpa suami, dengan kondisi sulit seperti itu.
“Pernah saya itu murtad di dalam (penjara), tidak sembahyang, waktu suami saya hilang. Sebab setelah sembahyang, air mata bercucuran, nangis terus, (terpikir) bagaimana suami saya,” kata Manismar.
Len juga menderita dalam penjara. Dia terserang asma lantaran tidur di tempat penyimpanan senjata yang tak beratap.
“Dijemur tiga hari tiga malam,” kata Manismar.
Dia minta anaknya diperiksa ke dokter. Permintaan yang sama disampaikan ayah Len sebelum diambil.
“Bapaknya bilang ke penjaga, ‘Pak, kalau saya mau dibunuh pun enggak apa, tapi tengok anak saya dibegitukan di luar, saya enggak mampu. Saya mohon supaya dipindahkan anak saya’,” kata Manismar, menirukan ucapan suaminya.
Manismar dan anaknya kemudian dipindah ke kamp konsentrasi di Simpang Rumbio. Di sana berkumpul tahanan kelas ringan. Sementara mereka yang akan dibunuh berada di penjara.
Tapi, justru di kamp itu Manismar mengalami siksaan lebih hebat.
“Di situ dua polisi menangani saya sampai gigi ini patah waktu anak saya sedang menyusu. Mulut sudah berdarah-darah kena pukul,” kata Manismar.
Dia dihajar karena dituduh akan melarikan diri dari Solok ke Bukittinggi.
“Lebih berharga nyawa seekor ayam daripada kamu, begitu katanya. Dia todongkan pistol ke perut saya. Diantuk-antukkan kepala saya. Patah gigi dua,” ujar Manismar.
Penyiksaan baru berhenti ketika bayinya menangis histeris.
Usai diinterogasi, Manismar dilarang berinteraksi dengan penghuni asrama lain. Siapa saja yang menegurnya, bakal kena siksa. Ia bahkan tak boleh memangku anaknya.
|
Manismar tak pernah membayangkan bakal mengalami nasib tragis seperti itu, sekalipun hanya dalam mimpi.
“Kejadian 1965 itu kayak mimpi di siang bolong. Apa yang terjadi, batin saya tak terima,” kata dia.
Meski begitu, Manismar tak kecil hati. Ia mengatakan, situasi membuat hidupnya harus seperti itu.
Intan di lumpur, ujar Manismar, akan tetap bercahaya. Ia yakin, satu saat kebenaran akan terkuak.
“Orang Minang bilang, jikalau tiba di mata jangan dipicingkan, tiba di perut jangan dikempiskan. Walaupun anak kandung sendiri, kalau bersalah harus dihukum. Itu yang saya kehendaki,” ujar Manismar.
Sewindu sebelum 1965, tahun 1957, Manismar juga pernah ditahan. Kali itu oleh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) –gerakan menentang pemerintah pusat yang dinilai menganaktirikan pembangunan di daerah.
Manismar kala itu ditahan selama satu tahun –dengan alasan penahanan yang sama sekali berbeda dengan masa panjang pemenjarannya yang dimulai pada 1965.
“Dulu saya ditahan oleh kontrarevolusi yang mengkhianati revolusi Agustus 1945. Tapi waktu 1965 saya yang dituduh mengkhianati revolusi. Jadi berbeda seperti siang dan malam,” kata dia.
Manismar, 30 Agustus 1957, ikut ambil bagian dari ribuan perempuan yang menggelar demonstrasi menentang Dewan Banteng, cikal bakal PRRI. Kala itu ia masih 23 tahun.
Sebelumnya, Manismar sempat rapat Dewan Banteng yang dihadiri banyak organisasi. Dalam pertemuan itu, Dewan Banteng menyatakan melawan pemerintah di Jakarta karena ketimbangan antara pusat dan daerah.
Perwakilan organisasi yang hadir pada pertemuan itu lantas diminta ikut meneken kesepakatan. Manismar, sebagai wakil Gerwani, memilih keluar dari forum dan tak ikut mendukung aksi Dewan Banteng.
“Membubuhkan tanda tangan berarti Gerwani mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerwani bisa cacat di mata pemerintah, karena itu kan menentang pemerintahan yang sah,” kata Manismar.
Gerwani kemudian mengambil sikap berseberangan dengan Dewan Banteng, dan menggerakkan unjuk rasa menuntut pemulihan hubungan Sumatera Tengah (sebelum bernama Sumatera Barat) dengan pemerintah pusat.
|
“Saya memimpin demonstrasi anti-Dewan Banteng. Dua ribu manusia. Saya mampu mengumpulkan mereka,” ujar Manismar.
Demonstrasi itu akhirnya dibubarkan dan enam orang pemimpin demonstran ditangkap, termasuk Manismar.
Ia dibebaskan September 1968, dan kembali aktif di Gerwani, organisasi yang digelutinya sejak 1953.
Koran Harian Rakyat, 1 Januari 1958, menulis penghormatan kepada Manismar dan kawan-kawannya atas sikap mereka menentang Dewan Banteng, embrio PRRI.
"Kami menyampaikan salut dan rasa solidaritet yang dalam kepada saudari: Manismar, Nadiar, Halimah, dan Sanibar," tulis koran itu sebagaimana dikutip Reni Nuryanti dalam bukunya Perempuan Berselimut Konflik: Perempuan Minangkabau di Masa Dewan Banteng dan PRRI.
Di sisi lain, pemberontakan PRRI berujung pada pembubaran Partai Masyumi yang berbasis Islam pada 1960. Partai ini dibubarkan Presiden Sukarno karena tokoh-tokohnya dicurigai terlibat PRRI.
Kondisi tersebut mempertajam ketegangan kelompok Islam dan PKI serta organisasi massa lain yang dekat dengannya, termasuk Gerwani.
|
Para aktivis Gerwani. (Dok. Istimewa)
|
Hingga kini Manismar masih berjuang bersama para korban Tragedi 1965, menuntut negara memulihkan nama baik mereka.
“Kembalikanlah nama baik kami. Kami orang baik-baik. Tuduhan begini-begini itu batin saya enggak menerima karena enggak sesuai dengan perbuatan saya,” kata dia.
Sepanjang kisahnya, tak sekalipun mata Manismar berkaca-kaca apalagi menangis. Suaranya pun jelas dan tegas.
Penyiksaan selama bertahun-tahun tak membuatnya takluk. (pmg/agk)
“Kembalikanlah nama baik kami. Kami orang baik-baik. Tuduhan begini-begini itu batin saya enggak menerima karena enggak sesuai dengan perbuatan saya,” kata dia.
Sepanjang kisahnya, tak sekalipun mata Manismar berkaca-kaca apalagi menangis. Suaranya pun jelas dan tegas.
Penyiksaan selama bertahun-tahun tak membuatnya takluk. (pmg/agk)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160928231847-20-161948/kiamat-gerwani-diburu-dibinasakan-dari-pusat-hingga-daerah/
0 komentar:
Posting Komentar