8 September 2016 | Siti Rubaidah
“Ada tembok-tembok tebal yang tak bisa ditembus, sehingga kita tak berhasil mengungkapkannya secara utuh.” – Munir Said Talib.
SuaraKita.org – 12 Tahun kematian Munir Said Thalib sudah berlalu. Selama itu pula kabut tebal masih menyelimuti pembunuhan aktifis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang lebih dikenal dengan sebutan Cak Munir. Pemerintah belum melaksanakan kewajibannya membuka dan mengumumkan secara resmi laporan penyelidikan tim pencari fakta kasus Munir.
Upaya mengingatkan pemerintah agar segera menuntaskan kasus Munir terus dilakukan, yakni dengan menggandeng semua pihak terutama agar masyarakat tetap merawat ingatan dan menolak lupa kasus Munir. Dalam hal ini, Suciwati, istri almarhum Munir berada di barisan terdepan meminta tanggung jawab negara mengusut tuntas kasus Munir.
“Kasus pidananya, sampai hari ini tidak ada yang menindak lanjuti baik pemerintah maupun kepolisian. Boleh dibilang stuck (macet dan tidak bergerak). Bahkan pelaku pidananya mendapatkan pembebasan bersyarat dari Kemenkumham,” kata Suciwati prihatin.
Meskipun usaha pengungkapan pelaku telah dilakukan oleh TPF (Tim Pencari Fakta) pembunuhan Munir yang dibentuk di era Presiden SBY pada 2005 lalu, namun temuan pentingnya tidak pernah dipublikasikan. Presiden tidak berani mengumumkan hasil temuan TPF, padahal Keputusan Presiden (Keppres) telah memerintahkannya membuka hasil temuan ke publik.
Kini, di era pemerintahan Jokowi harapan penuntasan kasus Munir juga terus digaungkan. Sayangnya, pemerintahan Jokowi pun tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menuntaskan kasus Munir, padahal banyak orang di pusaran kekuasaan Jokowi yang merupakan sahabat dekat Munir.
Lewat OMAH MUNIR, Suciwati dan sahabat-sahabat Munir memperingati 12 tahun pembunuhan Munir dalam acara “Malam Menyimak Munir, Pekan Merawat Ingatan” (4-11 September 2016) dengan menggelar berbagai aksi nyata: tuntutan aksi, nonton film, diskusi, membuat karya grafis, video, dan pernyataan di sosial media dengan hastag #MerawatIngatan #12TahunMunir. Acara yang awalnya akan digelar di 12 kota (Jakarta, Malang, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Medan, Bali, Papua, Ambon, Makasar, Bandung dan Lombok) ternyata direspon cukup baik oleh kota lainnya. Kini ada 23 kota yang resmi tergabung, bersama menggemakan suara Munir.
Mengapa sinema – gambar hidup yang dipilih dalam peringatan 12 tahun Munir? Salah satunya karena gambar hidup selalu bisa berfungsi seperti mercusuar ingatan. Sinema memproyeksikan kerja-kerja kemanusiaan dan mengingatkan kita bahwa kerja-kerja kemanusiaan belum selesai.
Dalam film ‘Cerita tentang Cak Munir’ karya Hariwi (2014), Suciwati menyampaikan kebanggaannya, “Munir sangat care dan peduli kepada orang lain apalagi terhadap keluarganya. Hidupnya untuk menolong orang. Kalau tidak menolong orang, dia malah sakit.”
Menyoal Keberanian, Cak Munir sudah tidak diragukan lagi. Dan kesan itulah yang ditangkap dan disampaikan oleh banyak orang yang ditemui Hariwi Sang Sutradara film Cerita tentang Cak Munir. Sebagai seorang sutradara muda, Hariwi menyatakan bahwa dirinya adalah generasi yang terpisah dengan masa Munir hidup. Kegelisahannya mencari tahu sosok Munir sebagai bahan cerita film membuatnya melakukan banyak interview dan membaca buku.
Cerita tentang Cak Munir adalah film dokumenter biografi yang merangkum kesaksian orang-orang terdekat Munir Said Thalib. Munir Said Thalib adalah aktivis Hak Asasi Manusia kelahiran Malang, 8 Desember 1965. Selama hidupnya ia telah mengadvokasi banyak kasus perburuhan dan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat.
“Semua yang tertindas dia bela tanpa kecuali tidak memandang ras, gender, bahasa, suku/etnis. Kata kuncinya adalah ‘tertindas’,” tegas Suciwati.
Untuk mendapatkan gambaran persepsi masyarakat tentang sosok Munir dan upaya merawat ingatan 12 tahun Munir, Tim SuaraKita.org melakukan wawancara secara terpisah dengan seorang seniman gay bernama Salman.
“Munir seorang yang melakukan sesuatu tanpa pretensi, jujur dan idealis. Karena kalau setiap kasus kejahatan (apapun bentuknya) dilupakan, atau mencoba dilupakan, atau sengaja membuat orang lupa. Apalagi pembungkaman terhadap kebenaran terus dilakukan, maka penindasan orang-orang baik akan selalu terjadi. Dan kejahatan selalu jadi pemenangnya,” seloroh Salman.
Bagi Salman, Munir patut disebut pejuang, siapa saja yang sudah berani menyuarakan kebenaran untuk membela dan memperjuangkan Hak Asasi Manusia, sekecil apapun dia layak disebut pejuang pembela Hak Asasi Manusia.
Sumber: SuaraKita.Org
0 komentar:
Posting Komentar