Sicilia
Sirhandinatha | Sep 29, 2016
Sebenarnya apa yang saya ketahui tentang peristiwa 65? Saya adalah produk kelahiran 80-an yang bersekolah di masa 90-an.
Politik tanah dalam pelaksanaan reformasi agraria disebut
sebagai latar belakang sejarah terjadinya peristiwa 1965. (Sumber: Wikimedia
Commons/ Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures CC
BY-SA 3.0)
Narasi tentang peristiwa 1965 yang saya tahu terutama
bersumber dari buku-buku sejarah terbitan pemerintah yang sedang berkuasa, dan
film “sejarah” yang menarasikan peristiwa 65 dengan stigma yang tak jauh dari
pengkhianat negara, penyiksaan dan pembunuhan perwira angkatan darat, dan
stigma-stigma lain yang semakna dengan kekejian dan kejahatan luar biasa.
Menarasikan peristiwa 65 dari sudut pandang lain? Narasi
apa yang kira-kira saya punya?
Narasi Masa Silam
Narasi yang saya ketahui tentang 65 mungkin hampir sama
seperti generasi lain yang lahir di tahun 80-an. Sebuah narasi tentang
pembunuhan tujuh orang perwira angkatan darat pada suatu malam di bulan
September oleh sebuah organ bernama Partai Komunis Indonesia (PKI). Nama PKI
sendiri kemudian identik dengan segala sesuatu berbau keburukan (dan juga
kengerian) di negeri ini.
Seluruh narasi tentang komunisme diceritakan dalam
bahasa anyir penuh darah dan penuh kebencian, tentang pembunuhan, tentang
penyiksaan dan segala kekejian yang mereka. Stigma ini menjadi sangat kuat dan
populer. Disangkutpautkan dengan PKI dan komunisme adalah sesuatu yang sangat
dihindari di negeri ini.
Narasi awal yang saya ketahui tentang peristiwa 65 ini
mulai berubah sejak pemerintah yang berkuasa setelah peristiwa 65 tumbang pada
medio 98. Setelah masa itu narasi-narasi lain tentang apa yang sebenarnya
terjadi pada September 65 mulai samar terdengar. Makin lama makin menguat
seiring berjalannya waktu. PKI sebagai organ yang dituduh melakukan
pengkhianatan bukan lagi dipandang sebagai penjahat keji tanpa belas
kemanusiaan Muncul narasi lain yang memposisikan PKI bukan lagi sebagai pelaku,
tetapi juga korban. Suara-suara yang terkubur sekian lama mulai muncul ke
permukaan.
Narasi tentang Tanah yang Dijanjikan
Ada dua narasi lain yang sebenarnya sudah sering saya
dengar semenjak saya kecil, yang diceritakan oleh Mbah Kakung dan diperkuat
oleh Mbah Putri, kakek nenek saya dari pihak ibu, tentang apa yang terjadi pada
1965. Narasi ini tidak begitu menarik perhatian saya sebelumnya mungkin karena
saya terlalu terpaku pada narasi-narasi awal yang telah dipropagandakan dalam
tiap jenjang pendidikan yang saya ikuti.
Saya selalu menyimak narasi dari Mbah
Kakung sambil lalu, tanpa benar-benar memperhatikan. Sampai akhirnya saya
menemukan benang merah antara narasi Mbah Kakung dengan narasi-narasi baru di
luar narasi resmi pemerintah.
Saya membagi narasi Mbah Kakung menjadi dua babak, Narasi
Pra-65, dan Narasi Pasca-65. Narasi Pra-65, bercerita tentang para petani
yang tergabung dalam BTI (Barisan Tani Indonesia, organisasi underbouw PKI)
tentang langkah mereka dan rencana pembagian tanah (land reform/reformasi
agraria) sesuai dengan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang disahkan
oleh pemerintah pada 1960.
Pada awalnya, reformasi agraria ini hanya ditujukan
pada tanah-tanah yang dikuasai oleh negara. Banyak petani penggarap yang
tertarik bergabung dengan BTI karena iming-iming akan mendapat tanah yang bisa
mereka garap sendiri berdasarkan reformasi agraria ini.
Menurut cerita Mbah
Putri, para petani yang tergabung dalam BTI ini berkumpul dalam interval waktu
tertentu, tak jarang mereka membawa hasil lahan masing-masing untuk
dikumpulkan, kemudian dibagi rata antar sesama anggota.
Pelaksanaan land reform dinilai berjalan
lamban, maka PKI dan BTI kemudian mengorganisir program-program gerakan petani
untuk melaksanakan UUPA.
Jika pada awalnya land reform hanya menyasar
tanah yang dikuasai negara, perkembangannya juga menyasar tanah-tanah pribadi
milik perseorangan.
Pemilik tanah dan perkebunan tentu saja berusaha
mempertahankan tanah milik mereka. PKI dan BTI kemudian menjalankan aksi
sepihak untuk mengambil alih tanah-tanah berdasarkan amanat UUPA. Mbah Kakung
termasuk pemilik tanah yang mengalami intimidasi untuk menyerahkan lahannya
untuk reformasi agraria ini.
Aksi sepihak PKI dan BTI ini tentu saja menuai
perlawanan dari pemilik tanah. Di desa tempat Mbah Kakung tinggal, perselisihan
antara pemilik tanah dan BTI hanya sebatas saling mengintimidasi dari kedua
belah pihak.
Di tempat lain, perselisihan ini berkembang menjadi konflik
terbuka yang menumpahkan darah. Pemilik tanah dan perkebunan serta kyai pemilik
pesantren (yang umumnya juga menguasai tanah) pada satu pihak, dengan PKI dan
BTI pada pihak lainnya. Korban yang jatuh tidak sedikit, terutama dari pemilik
tanah dan kyai-kyai pemilik pesantren (di beberapa tempat beserta santrinya
pula).
Pada narasi versi pemerintah, sering kali pembunuhan kyai dan santri ini
diceritakan sebagai justifikasi bahwa PKI adalah ateis, makhluk tidak beragama yang
akan membantai setiap pemeluk agama. Padahal akar permasalahannya hanya pada
konflik atas penguasaan tanah yang menjadi sumber penghidupan sebagian besar
masyarakat saat itu.
Narasi tentang Orang-Orang yang Hilang
Malam 30 September 1965 menjadi titik balik kehidupan
bagi sebagian orang. PKI, sebagai partai yang berkuasa saat itu dituduh
terlibat dalam pembunuhan tujuh petinggi angkatan darat di Jakarta. Dan
melakukan makar terhadap republik ini. Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini,
semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan
simpatisan PKI, anggota serikat buruh, serikat petani dan organ-organ lain di
bawah PKI dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan
diinterogasi. Peristiwa pasca-65 ini sampai sekarang masih menjadi perdebatan,
apakah negara terlibat dalam aksi ini, atau tidak.
Satu hal yang saya tangkap dari penggalan-penggalan
narasi saat Mbah Kakung masih hidup, menceritakan kengeriannya saat harus
mengantar orang-orang yang dituduh terlibat dalam peristiwa 65 ke suatu tempat
yang akan menjadi kuburan mereka. Singkatnya, Mbah Kakung adalah sedikit di
antara penduduk desa yang bisa mengemudikan truk-truk pengangkut barang yang
nantinya akan digunakan untuk mengangkut orang.
Maka Mbah Kakung diminta untuk melakukan satu tugas
“sederhana”, membawa para tahanan dari tempat mereka ditahan, menuju tempat
eksekusi. Tidak ada alasan untuk menolak tugas ini, kecuali jika ingin dituduh
terlibat juga. Tahanan dijaga ketat, dikerudungi kepalanya, tidak jarang mereka
menangis meraung-raung saat sampai di tempat eksekusi.
Pemandangan dari kawasan
wana wisata Coban Rondo, Malang ke arah Kota Batu dan Gunung Arjuno. Di
hutan-hutan sekitar Coban Rondo dan kaki Gunung Arjuno itu menurut nenek saya
adalah tempat pemakaman massal mereka yang dituduh terlibat peristiwa 65.
(Sumber: Pribadi)
Menurut Mbah Putri, Mbah Kakung tidak pernah tahu di mana
orang-orang yang dituduh terlibat Peristiwa 65 itu dieksekusi dan lalu
dikuburkan. Karena Mbah Kakung hanya mengantar mereka sampai ke pinggir hutan,
kemudian orang-orang ini dibawa masuk oleh penjaganya jauh ke dalam hutan, dan
tak pernah kembali. Tidak pernah benar-benar terbukti apakah mereka simpatisan
PKI. Banyak di antara mereka yang terciduk hanya karena berada di tempat yang
salah, di waktu yang salah.
Narasi untuk
Masa Depan
Saya dan Anda yang hidup di masa ini tidak akan pernah
tahu apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu. Bukti yang ada terutama hanya
berdasarkan kesaksian semata, yang Anda maupun saya tidak tahu sejauh mana
kebenarannya.
Yang jelas semua peristiwa ini menghasilkan rasa sakit
yang sama di kedua belah pihak. Mereka yang keluarganya dibunuh PKI atau pun
mereka yang dituduh PKI dan dibunuh.
Cerita ini hanya akan menjadi cerita jika tidak ada
kesempatan seimbang yang diberikan kepada kedua belah pihak untuk sama-sama
berkisah.
Tanpa keseimbangan, yang terjadi hanyalah narasi pemenang
melawan narasi yang dikalahkan, kemudian muncul dendam, yang diwariskan secara
turun-temurun. Warisan dendam ini haruskah terus dipelihara? Sampai kapan?
Source: Ingat 65
0 komentar:
Posting Komentar