oleh Raksa Santana | 07 September 2016
Penyelesaian tragedi kemanusiaan 1965 belum menemui titik cerah. Secercah
cahaya sempat timbul tatkala Simposium 1965 diselenggarakan. Akan tetapi segera
buyar, setelah segelintir orang menolak secara besar-besaran. Berbagai razia
dan pemberangusan segala hal berbau kiri terjadi. Simposium tandingan digelar.
Meski tidak semua orang paham apa yang mereka bicarakan—bisa dilihat dari
berbagai teori ajaib soal marxisme selama perhelatan simposium
tandingan.
Belum terlalu lama simposium berlalu, datang hasil dari IPT 1965.
Walaupun tidak mengikat secara hukum, rekomendasi IPT 1965 cukup bisa
dipegang, lantaran telah melalui penelusuran bukti-bukti, yang diolah oleh
tujuh hakim internasional. Hasilnya: Indonesia terbukti bersalah. Sayangnya,
proses panjang tersebut hanya dianggap angin lalu oleh pemerintah Indonesia.
Salah satu alasannya adalah karena bangsa ini (merasa) tidak bisa didikte
asing. Alasan yang tidak terlalu masuk akal, mengingat IPT 1965 adalah upaya
dari warga Indonesia—sekalipun terjadi di Den Haag, Belanda.
Seperti halnya bocah yang tak mau ketahuan bersalah, pemerintah terus saja
mencari alasan. Salah satu yang kerap terucap adalah pemerintah ingin
mengupayakan mekanisme yang lebih hati-hati, demi mempertahankan kondisi
sosial-politik agar tetap stabil. Namun mekanisme yang dimaksud tidak pernah
jelas juntrungannya. Sementara pada saat yang bersamaan, penolakan segelintir
kalangan—terhadap rencana permintaan maaf negara dan berbagai acara yang mereka
anggap berbau kiri—terus saja terjadi dalam bentuk-bentuk yang berpotensi
mengarah ke kekerasan.
Tentunya ini adalah suatu hal yang ironis. Hampir dua dekade Reformasi
berlalu, namun ruang khalayak kita masih saja sesak oleh narasi sejarah versi
Orde Baru. Pengakuan negara, sebagai salah satu cara yang paling mempan untuk
memberi ruang bagi narasi baru, juga tidak kunjung datang. Alhasil, sejumlah
kalangan mengupayakan jalan lain, yakni dengan mengedarkan informasi di ruang
khalayak. Tujuannya agar wacana rekonsiliasi dan pengungkapan fakta sejarah
bisa makin didengar oleh pemerintah. Berbagai cara ditempuh, salah satunya
melalui medium film.
Berfilm, Bersejarah
Medium film terbilang cukup aktif mengedarkan alternatif sejarah 1965
melalui berbagai ruang putar—dari layar alternatif hingga bioskop.
Menurut data yang dihimpun secara mandiri oleh kawan-kawan Cinema Poetica,
setelah 1998, kurang lebih ada empat puluh film yang mengangkat tentang
peristiwa 1965. Film-film tersebut umumnya berisikan wacana yang berlawanan
dengan sejarah versi Orde Baru. Mereka menuturkan bahwa PKI bukan dalang
peristiwa 30 September, dan kejahatan kemanusiaan yang sebenarnya adalah genosida
yang dilakukan terhadap simpatisan PKI.
Namun, tidak seperti yang sebagian orang pikir, film-film ini sama sekali
bukan bermaksud untuk mengembalikan kejayaan PKI—yang sudah hilang ditelan
zaman. Para pembuat filmnya pun tidak memiliki afiliasi ke kelompok politik
tertentu. Masa iya Joshua Oppenheimer itu antek komunis yang ingin PKI kembali
berdiri? Mengada-ada sekali rasanya. Mereka hanya menyuarakan kebiadaban rezim
Orde Baru. Atau dengan kata lain, film-film itu tidak berkata PKI itu maha
benar. Film-film itu hanya berkata bahwa rezim Orde Baru kelewat salah.
Soal konten, tampak pula bahwa film-film 1965 menyodorkan sejumlah argumen
dan data yang kuat. Ada yang mencari kuburan masal, seperti film Mass
Grave (Lexy Rambadeta, 2001) dan Rante Mas (BW Purbanegara,
2006); ada pula yang menemui para penjagal, seperti film Act of
Killing (Joshua Oppenheimer, 2012) dan Look of Silence (Joshua
Oppenheimer, 2014). Bukti-bukti terkait pembantaian simpatisan PKI dihadirkan
secara visual, lengkap dengan penuturan langsung dari narasumber yang filmmaker-nya
pilih. Alhasil, sekalipun hanya sebuah film, rasanya tetap sulit untuk
membantah bukti-bukti yang film tampilkan. Terlebih lagi ada berbagai penuturan
dari tokoh ternama, seperti Gus Dur misalnya, yang mengamini kekeliruan Orde
Baru.
Ada juga film-film lain, yang mengangkat berbagai testimoni para penyintas
dan ekstapol. Misalnya Tongkat di Atas Batu (Afrizal Malna,
2004), yang berisikan pertemuan Sitor Situmorang dan Pramoedya Ananta
Toer. Pikiran Orang Indonesia (Danial Indra Kusuma, 2008),
yang berisikan testimoni dari Pramoedya Ananta Toer dan Hasjim Rachman, serta
pertemuan Joesoef Isak dengan berbagai tokoh, semisal Goenawan Mohamad, Asvi
Warman Adam, Bonar Tigor Naipospos, dan Max Lane. Tjidurian 19 (Lasya
F Susatyo & M. Abduh Azis, 2009), yang mengisahkan tentang
tempat kumpul para seniman Lekra. Hingga yang terbaru, ada Buru
Tanah Air Beta (Rahung Nasution, 2016), yang mendokumentasikan napak
tilas Hersri Setiawan ke Pulau Buru, tempat dia dan kawan-kawan Lekra lainnya
mengalami kerja paksa pada 1968-1979.
Yang tak kalah menarik, kalangan pelajar juga tidak ketinggalan dalam
menyuarakan isu 65. Para pelajar, dari ekskul Sinematografi SMA Rembang (Pak
Dirman Film), menciptakan dua film, yakni Izinkan Saya Menikahinya (Raeza
Raenaldy Sutrimo, 2016) dan Kami hanya Menjalankan Perintah,
Jenderal! (Ilman Nafai, 2016) . Izinkan Saya Menikahinya adalah
film fiksi, yang bercerita tentang seorang tentara yang dilarang menikahi
seorang wanita keturunan tapol. Sementara Kami hanya Menjalankan
Perintah, Jenderal! adalah dokumenter yang menampilkan tiga bekas
pasukan tentara Cakrabirawa. Sayangnya, meskipun kedua film tersebut menyabet
penghargaan dari Festival Film Purbalingga, pihak sekolah justru menonaktifkan
Pak Dirman Film.
Mungkin dari nama-nama film dan sutradara yang tercantum di atas terasa
kurang begitu terkenal. Jangkauannya pun terbatas di ruang-ruang alternatif.
Walaupun begitu, pembuat film tentang 1965 nyatanya tak hanya ada di
ruang-ruang side-stream saja. Ada juga film-film tentang 65
yang digarap oleh sutradara yang namanya sudah akrab di telinga banyak orang.
Sebut saja misalnya Surat dari Praha (2016) garapan Angga
Dwimas Sasongko. Film yang dipilih untuk dikirim ke Oscar ini berkisah tentang
eksil yang tidak bisa kembali ke Indonesia. Selain itu, sedikit lebih ke
belakang, beberapa sineas ternama lain juga pernah menyinggung peristiwa 65,
seperti Ifa Isfansyah dalam Sang Penari (2011), Riri Riza
dalam Gie (2005), hingga Garin Nugroho dalam Puisi
Tak Terkuburkan (2000).
Itu adalah sedikit dari sejumlah karya film setelah Reformasi, yang
berusaha merapikan sejarah kita yang berantakan. Maka dari itu, rasanya tidak
bisa lagi kita berpegang pada film propaganda Penumpasan Pengkhianatan
G30S/PKI, karya Arifin C. Noer. Sejarah kita sudah berkembang, dan
perkembangan itu tercermin dari film-film yang bebas dari kepentingan rezim.
Tentu, menawarkan sejarah melalui film, dan memperjuangkannya lewat ruang
khalayak, sulitnya bukan main. Walaupun, boleh dibilang itu adalah jalan
terbaik, karena pada dasarnya, mengubah sejarah memang sebuah upaya yang wajib
dikerjakan secara bersama-sama.
Dari penuturan ini, mungkin akan muncul balasan yang mengungkit dosa-dosa
Orde Lama, maupun kisah-kisah pemberontakan PKI, semisal peristiwa Madiun
1948. Ada pula yang mungkin mengatakan bahwa seniman dan penulis pada masa
Demokrasi Terpimpin juga mengalami penindasan. Tapi apakah suatu
penindasan bisa mengimpas penindasan yang lain? Rasanya tidak. Yang kita punya
hanyalah hukum.
Dan hukum itu harus segera ditegakkan lewat cara-cara yang mulia.
Bersamaan dengan itu, masyarakat bisa terus mempelajari kembali sejarah,
dan rutin membuka diskusi secara sehat. Kebenaran yang paling benar memang
tidak mungkin kita hasilkan. Namun dialog, yang bebas dari kekangan dan
kekerasan, adalah cara yang paling mampu mendekati sebuah kebenaran.
Daftar
Referensi:
Putra, Lutfy Mairizal. 2016. Pelaksana Simposium Tandingan Minta Rekomendasi Digabung dengan Simposium Tandingan.
Putra, Lutfy Mairizal. 2016. Pelaksana Simposium Tandingan Minta Rekomendasi Digabung dengan Simposium Tandingan.
Erdianto,
Kristian. 2016. Peristiwa 1965,
IPT, dan Respons Pemerintah.
Patnistik,
Egidius. 2016. Salah Kaprah
soal Pengadilan Rakyat 1965.
Kuwado,
Fabian Januarius. 2016. Alasan Politis, Kendala Pemerintah belum Putuskan
Penyelesaian Peristiwa 1965.
Nugroho,
Eko Fajar. 2016. Film Berjudul
‘Izinkan Saya Menikahinya’ Raih Penghargaan FFP 2016.
Sumber: Jurnal Ruang
0 komentar:
Posting Komentar