Selasa, 27/09/2016 06:55 WIB
Undang-undang yang Multitafsir dinilai bisa jadi pemicu pelanggaran HAM. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Koalisi masyarakat sipil Indonesia mencatat ada 72
kasus pelanggaran hak berkumpul dan berekspresi yang terjadi di
Indonesia sepanjang tahun 2015 hingga Agustus 2016. Pelanggaran tersebut
dipicu oleh banyaknya peraturan di Indonesia yang justru malah
memangkas hak dan kebebasan masyarakat.
"Yang lebih parah adalah kebijakan yang multitafsir," kata Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers, Asep Komarudin di kawasan Cikini, Jakarta Pusat kemarin.
"Yang lebih parah adalah kebijakan yang multitafsir," kata Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers, Asep Komarudin di kawasan Cikini, Jakarta Pusat kemarin.
Koalisi ini terdiri dari lima lembaga swadaya masyarakat yakni CIVICUS,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Institute For Criminal Justice Reform
(ICJR), Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), dan Aliansi Nasional
Reformasi KUHP.
Sedikitnya, menurut Asep, ada empat peraturan yang mendorong pelanggaran HAM seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-undang tentang Organisasi Masyarakat, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi tentang blocking atau penanganan konten negatif, Qanun (Perda) Aceh tentang Hukum Jinayat, dan Peraturan Kapolri dan Kapolda Papua tentang penyampaian pendapat di muka umum.
Kelompok yang paling rentan menjadi target salah tafsir terhadap undang-undang ini diantaranya adalah kelompok lesbian gay bisex dan transgender (LGBT), mereka yang dianggap terlibat dalam isu-isu marxisme, dan perkumpulan masyarakat Papua.
"Di Papua ini rentan, kasus Mei kemarin ada 1.700 aktivis yang ditangkap, alasannya karena dianggap berbahaya bagi kedaulatan negara, padahal ini belum juga terbukti," kata Asep.
Lebih lanjut, Asep menjelaskan, sejak 2004 hingga 2016 lebih dari 20 kegiatan unjuk rasa di Papua dibubarkan secara paksa. Mayoritas pembubaran tersebut diikuti penangkapan serta perlakuan kekerasan. Hak serupa juga terjadi untuk masyarakat minoritas seperti LGBT.
"Kaum LGBT ini rentan menjadi target operasi pembubaran, padahal mereka cuma berkumpul di salon tapi mereka ditangkap Satpol PP karena banyaknya multitafsir undang-undang," katanya.
Oleh karena itu Asep menilai perlu segera dihentikannya pembatasan atas kebebasan berekspresi sekaligus mengubah seluruh regulasi terkait dengan pembatasan hak kebebasan berekspresi dan berkumpul.
Lebih jauh, Asep juga mendesak agar pemerintah segera mencabut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) karena dianggap tidak sejalan dengan konstitusi. (sur/obs)
Sedikitnya, menurut Asep, ada empat peraturan yang mendorong pelanggaran HAM seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-undang tentang Organisasi Masyarakat, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi tentang blocking atau penanganan konten negatif, Qanun (Perda) Aceh tentang Hukum Jinayat, dan Peraturan Kapolri dan Kapolda Papua tentang penyampaian pendapat di muka umum.
Kelompok yang paling rentan menjadi target salah tafsir terhadap undang-undang ini diantaranya adalah kelompok lesbian gay bisex dan transgender (LGBT), mereka yang dianggap terlibat dalam isu-isu marxisme, dan perkumpulan masyarakat Papua.
"Di Papua ini rentan, kasus Mei kemarin ada 1.700 aktivis yang ditangkap, alasannya karena dianggap berbahaya bagi kedaulatan negara, padahal ini belum juga terbukti," kata Asep.
Lebih lanjut, Asep menjelaskan, sejak 2004 hingga 2016 lebih dari 20 kegiatan unjuk rasa di Papua dibubarkan secara paksa. Mayoritas pembubaran tersebut diikuti penangkapan serta perlakuan kekerasan. Hak serupa juga terjadi untuk masyarakat minoritas seperti LGBT.
"Kaum LGBT ini rentan menjadi target operasi pembubaran, padahal mereka cuma berkumpul di salon tapi mereka ditangkap Satpol PP karena banyaknya multitafsir undang-undang," katanya.
Oleh karena itu Asep menilai perlu segera dihentikannya pembatasan atas kebebasan berekspresi sekaligus mengubah seluruh regulasi terkait dengan pembatasan hak kebebasan berekspresi dan berkumpul.
Lebih jauh, Asep juga mendesak agar pemerintah segera mencabut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) karena dianggap tidak sejalan dengan konstitusi. (sur/obs)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160927065530-20-161344/koalisi-sipil-undang-undang-multitafsir-picu-pelanggaran-ham/
0 komentar:
Posting Komentar