Jumat, 30/09/2016 10:01 WIB
Ketua PKI DN Aidit berpidato di hadapan massa Gerwani di Jakarta tahun 1962. (Dok. Perpustakaan Nasional)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Gedung Istora Gelora Bung Karno di Senayan, Jakarta,
dipadati massa, 4 Juni 1965. Sekitar 16 ribu orang memenuhi bangunan,
dan ribuan lainnya berkerumun di luar gedung. Mereka menggelar rapat
umum memperingati ulang tahun Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang
ke-15.
Perayaan dihadiri oleh Presiden Sukarno dan Ketua Partai Komunis Indonesia, Dipa Nusantara Aidit. Dalam rapat itu, Aidit memberikan kata sambutan, mengulas ide sosialisme yang dibawa Gerwani.
“Bung Karno tak pernah mengajarkan, dalam menempuh sosialisme Indonesia, dengan jalan oportunisme dan reformisme. Bung Karno selalu mengajarkan konfrontasi dengan nekolim, feodalisme dan kapitalisme,” bunyi petikan pidato Aidit dari koran Harian Rakjat 9 Juni 1965.
Bukan cuma sekali itu Aidit memberikan pesan atau nasihat kepada Gerwani. Tiga bulan sebelumnya, Maret 1965 ketika keanggotaan Gerwani tembus satu juta orang, Aidit memberikan apresiasi.
Dia menyebut Gerwani tak lagi berjalan seperti keong. Aidir juga menyerukan kepada kaum perempuan untuk belajar teori revolusioner Marxisme.
Sejak 1954 hingga 1965, beberapa kali Aidit menyatakan dukungan ataupun kritik terhadap gerakan Gerwani. Hubungan PKI dengan Gerwani dekat, meski tak ada pertalian struktural.
Puncak hubungan keduanya ialah 1965. Pimpinan Gerwani berencana bergabung dengan PKI. Penggabungan itu akan diputuskan dalam Kongres IV Gerwani pada Desember 1965.
Namun tiga bulan menjelang kongres, malam 30 September hingga 1 Oktober 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh perwira Angkatan Darat di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Menyusul petaka yang dilakukan oleh Gerakan 30 September itu, Gerwani
difitnah sebagai pelaku penyiksaan. Mereka disebut memutilasi kelamin
para jenderal dan melakukan aksi barbar yang asusila di Lubang Buaya.
Para kader Gerwani lantas diburu dan ditangkap. Selama di penjara, mereka disiksa. Pada Maret 1966, pemerintah Orde Baru mengumumkan PKI –yang dituding mendalangi G30S– sebagai organisasi terlarang, termasuk Gerwani yang dianggap underbouw partai berlambang palu dan arit itu.
Sejarah Panjang
Gerwani merupakan organisasi perempuan terbesar di Indonesia. Pada 1965, jumlah anggotanya mencapai 1,5 juta hingga 1,7 juta orang. Gerwani menjadi organisasi besar lewat sejarah panjang yang tak sederhana.
Cikal bakal Gerwani dimulai dari Gerakan Wanita Sedar atau Gerwis yang didirikan pada 4 Juni 1950. Ada enam organisasi perempuan dari berbagai daerah yang berfusi dengan Gerwis, misalnya Rukun Putri Indonesia dari Semarang dan Isteri Sedar dari Bandung.
Organisasi ini didirikan atas prakarsa SK Trimurti, pejuang kemerdekaan 1945. Trimurti mendirikan Gerwis bersama beberapa pejuang perempuan lain, baik mereka yang berperan di masa perjuangan 1945 maupun dalam melawan agresi militer Belanda.
Anggota-anggota yang bergabung dengan Gerwis memiliki kesadaran politik. Gerwis berdiri atas dasar pemahaman perempuan memiliki kepentingan dalam perjuangan antipenjajahan melawan imperialis dan kapitalis.
Susunan pengurus pertama Gerwis berdasarkan kesepakatan dalam kongres di Semarang pada 3-6 Juni 1950 ialah Ketua Tris Metty, Ketua II Umi Sardjono, dan Ketua III SK Trimurti, dan Sekretaris Sri Koesnapsiyah.
Sejak berdirinya Gerwis, perempuan berpaham komunis mewarnai organisasi.
“Banyak eks digulis bersama pejuang kemerdekaan bergabung dengan Gerwis,” kata Sri Sulistyawati, mantan anggota Gerwani, awal September, kepada CNNINdonesia.com.
Eks digulis merujuk pada orang-orang yang pernah dipenjara di Boven-Digul, yakni tempat pembuangan orang-orang PKI akibat aksi melawan Belanda pada 1926.
Trimurti sebagai pendiri Gerwis menegaskan organisasinya independen meski banyak anggotanya yang berafiliasi dengan beberapa partai.
“Gerwis itu anggotanya militan sekali dan makin lama makin banyak. Lantas organisasi partai banyak yang menguasai Gerakan Wanita Sedar itu. Itu kan ide saya (pendirian Gerwis). Walau anggota Gerwis terdiri dari beberapa partai, kita boleh saja. Mau masuk PNI atau masuk PKI, terserah,” kata Trimurti seperti dikutip dari buku Gerwani Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan yang ditulis Amurwani Dwi Lestariningsih.
Pada Kongres I yang berlangsung Desember 1951, muncul upaya dari beberapa anggota Gerwis yang berpaham komunis untuk menancapkan pengaruh PKI ke tubuh organisasi.
Saat pemilihan ketua, Umi Sardjono dan SK Trimurti memenangi suara terbanyak. Namun karena PKI tak setuju, susunan menjadi Suwarti Suharto sebagai ketua, dengan wakil Umi Sardjono dan Trimurti.
Dalam kongres juga disepakati Gerwis berubah nama menjadi Gerwani dan mengubah platform menjadi organisasi massa.
Trimurti yang tak menyetujui usulan itu meninggalkan ruangan pertemuan. Usulan perubahan nama pun ditunda dalam Kongres II pada 1954.
Pada Kongres II, Trimurti sudah tidak masuk dalam susunan kepengurusan. Dia menjabat sebagai anggota pleno yang terdiri dari 35 anggota biasa lainnya.
Kongres menyepakati perubahan nama dari Gerwis menjadi Gerwani. Sejak saat itu, organisasi berorientasi pada penggalangan massa seluas-luasnya. Digalakkanlah beragam program dan isu Gerwani yang menyentuh kehidupan sehari-hari untuk menarik minat masyarakat.
Isu rumah tangga dan perkawinan yang dibawa Gerwani misalnya berhasil menjaring massa. Menurut catatan Amurwani dari penelusuran di koran Harian Rakjat pada April 1955, jumlah anggota Gerwani mencapai 400 ribu orang. Jumlah itu meningkat terus, hingga pada Desember 1957 ketika Gerwani menggelar Kongres IIII menjadi 663.740 orang.
Gerwani juga giat menyebarkan wacana antipoligami, pendidikan, sekaligus melancarkan aksi reforma agraria di berbagai daerah bersama Buruh Tani Indonesia.
Aktivis Gerwani pun banyak yang tampil dalam forum internasional sebagai pembicara andal. Mereka berbagi ide politik dan perjuangan lewat media internal seperti Api Kartini, Berita Gerwani, dan koran Harian Rakyat.
Perayaan dihadiri oleh Presiden Sukarno dan Ketua Partai Komunis Indonesia, Dipa Nusantara Aidit. Dalam rapat itu, Aidit memberikan kata sambutan, mengulas ide sosialisme yang dibawa Gerwani.
“Bung Karno tak pernah mengajarkan, dalam menempuh sosialisme Indonesia, dengan jalan oportunisme dan reformisme. Bung Karno selalu mengajarkan konfrontasi dengan nekolim, feodalisme dan kapitalisme,” bunyi petikan pidato Aidit dari koran Harian Rakjat 9 Juni 1965.
Bukan cuma sekali itu Aidit memberikan pesan atau nasihat kepada Gerwani. Tiga bulan sebelumnya, Maret 1965 ketika keanggotaan Gerwani tembus satu juta orang, Aidit memberikan apresiasi.
Dia menyebut Gerwani tak lagi berjalan seperti keong. Aidir juga menyerukan kepada kaum perempuan untuk belajar teori revolusioner Marxisme.
Sejak 1954 hingga 1965, beberapa kali Aidit menyatakan dukungan ataupun kritik terhadap gerakan Gerwani. Hubungan PKI dengan Gerwani dekat, meski tak ada pertalian struktural.
Puncak hubungan keduanya ialah 1965. Pimpinan Gerwani berencana bergabung dengan PKI. Penggabungan itu akan diputuskan dalam Kongres IV Gerwani pada Desember 1965.
Namun tiga bulan menjelang kongres, malam 30 September hingga 1 Oktober 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh perwira Angkatan Darat di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
|
Para kader Gerwani lantas diburu dan ditangkap. Selama di penjara, mereka disiksa. Pada Maret 1966, pemerintah Orde Baru mengumumkan PKI –yang dituding mendalangi G30S– sebagai organisasi terlarang, termasuk Gerwani yang dianggap underbouw partai berlambang palu dan arit itu.
Sejarah Panjang
Gerwani merupakan organisasi perempuan terbesar di Indonesia. Pada 1965, jumlah anggotanya mencapai 1,5 juta hingga 1,7 juta orang. Gerwani menjadi organisasi besar lewat sejarah panjang yang tak sederhana.
Cikal bakal Gerwani dimulai dari Gerakan Wanita Sedar atau Gerwis yang didirikan pada 4 Juni 1950. Ada enam organisasi perempuan dari berbagai daerah yang berfusi dengan Gerwis, misalnya Rukun Putri Indonesia dari Semarang dan Isteri Sedar dari Bandung.
Organisasi ini didirikan atas prakarsa SK Trimurti, pejuang kemerdekaan 1945. Trimurti mendirikan Gerwis bersama beberapa pejuang perempuan lain, baik mereka yang berperan di masa perjuangan 1945 maupun dalam melawan agresi militer Belanda.
Anggota-anggota yang bergabung dengan Gerwis memiliki kesadaran politik. Gerwis berdiri atas dasar pemahaman perempuan memiliki kepentingan dalam perjuangan antipenjajahan melawan imperialis dan kapitalis.
Susunan pengurus pertama Gerwis berdasarkan kesepakatan dalam kongres di Semarang pada 3-6 Juni 1950 ialah Ketua Tris Metty, Ketua II Umi Sardjono, dan Ketua III SK Trimurti, dan Sekretaris Sri Koesnapsiyah.
SK Trimurti, pendiri Gerwis, cikal bakal Gerwani. (Kedaulatan Rakyat via Wikimedia Commons)
|
“Banyak eks digulis bersama pejuang kemerdekaan bergabung dengan Gerwis,” kata Sri Sulistyawati, mantan anggota Gerwani, awal September, kepada CNNINdonesia.com.
Eks digulis merujuk pada orang-orang yang pernah dipenjara di Boven-Digul, yakni tempat pembuangan orang-orang PKI akibat aksi melawan Belanda pada 1926.
Trimurti sebagai pendiri Gerwis menegaskan organisasinya independen meski banyak anggotanya yang berafiliasi dengan beberapa partai.
“Gerwis itu anggotanya militan sekali dan makin lama makin banyak. Lantas organisasi partai banyak yang menguasai Gerakan Wanita Sedar itu. Itu kan ide saya (pendirian Gerwis). Walau anggota Gerwis terdiri dari beberapa partai, kita boleh saja. Mau masuk PNI atau masuk PKI, terserah,” kata Trimurti seperti dikutip dari buku Gerwani Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan yang ditulis Amurwani Dwi Lestariningsih.
Pada Kongres I yang berlangsung Desember 1951, muncul upaya dari beberapa anggota Gerwis yang berpaham komunis untuk menancapkan pengaruh PKI ke tubuh organisasi.
Saat pemilihan ketua, Umi Sardjono dan SK Trimurti memenangi suara terbanyak. Namun karena PKI tak setuju, susunan menjadi Suwarti Suharto sebagai ketua, dengan wakil Umi Sardjono dan Trimurti.
Dalam kongres juga disepakati Gerwis berubah nama menjadi Gerwani dan mengubah platform menjadi organisasi massa.
Trimurti yang tak menyetujui usulan itu meninggalkan ruangan pertemuan. Usulan perubahan nama pun ditunda dalam Kongres II pada 1954.
Pada Kongres II, Trimurti sudah tidak masuk dalam susunan kepengurusan. Dia menjabat sebagai anggota pleno yang terdiri dari 35 anggota biasa lainnya.
Kongres menyepakati perubahan nama dari Gerwis menjadi Gerwani. Sejak saat itu, organisasi berorientasi pada penggalangan massa seluas-luasnya. Digalakkanlah beragam program dan isu Gerwani yang menyentuh kehidupan sehari-hari untuk menarik minat masyarakat.
Isu rumah tangga dan perkawinan yang dibawa Gerwani misalnya berhasil menjaring massa. Menurut catatan Amurwani dari penelusuran di koran Harian Rakjat pada April 1955, jumlah anggota Gerwani mencapai 400 ribu orang. Jumlah itu meningkat terus, hingga pada Desember 1957 ketika Gerwani menggelar Kongres IIII menjadi 663.740 orang.
Gerwani juga giat menyebarkan wacana antipoligami, pendidikan, sekaligus melancarkan aksi reforma agraria di berbagai daerah bersama Buruh Tani Indonesia.
Aktivis Gerwani pun banyak yang tampil dalam forum internasional sebagai pembicara andal. Mereka berbagi ide politik dan perjuangan lewat media internal seperti Api Kartini, Berita Gerwani, dan koran Harian Rakyat.
Aktivis
Gerwani, Mawarni Pardede, berbicara dalam satu konferensi internasional
di Jerman. (German Federal Archives via Wikimedia Commons
CC-BY-SA-3.0-DE)
|
Kegiatan Gerwani yang menyentuh dunia politik itulah yang membedakannya dengan organisasi perempuan lain pada masa itu.
“Sebelumnya saya kan masuk Nasyiatul Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah. Di sana tidak membicarakan politik dan soal kekerasan terhadap perempuan. Bicara agama saja. Kalau hanya diajarkan salat dan mengaji kan sudah mengerti,” kata Manismar, mantan Sekretaris Seksi Pembelaan Hak-hak Wanita dan Anak Gerwani Sumatera Barat, kepada CNNIndonesia.com, Selasa (19/9).
Namun, peneliti Universitet van Amsterdam Saskia E. Wieringa mengatakan Gerwani tak konsisten dalam mengusung isu antipoligami ketika berhadapan dengan Sukarno yang saat itu menikahi Hartini, istri keduanya.
“Mereka menganggap Sukarno istimewa,” kata Saskia kepada CNNIndonesia.com.
Saskia meneliti sejarah Gerwani dan menerbitkannya dalam buku berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual Pascakejatuhan PKI.
“Sebelumnya saya kan masuk Nasyiatul Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah. Di sana tidak membicarakan politik dan soal kekerasan terhadap perempuan. Bicara agama saja. Kalau hanya diajarkan salat dan mengaji kan sudah mengerti,” kata Manismar, mantan Sekretaris Seksi Pembelaan Hak-hak Wanita dan Anak Gerwani Sumatera Barat, kepada CNNIndonesia.com, Selasa (19/9).
Namun, peneliti Universitet van Amsterdam Saskia E. Wieringa mengatakan Gerwani tak konsisten dalam mengusung isu antipoligami ketika berhadapan dengan Sukarno yang saat itu menikahi Hartini, istri keduanya.
“Mereka menganggap Sukarno istimewa,” kata Saskia kepada CNNIndonesia.com.
Saskia meneliti sejarah Gerwani dan menerbitkannya dalam buku berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual Pascakejatuhan PKI.
|
Sukarno
bersama para aktivis perempuan. (Collectie Stichting Nationaal Museum
van Wereldculturen via Wikimedia Commons CC-BY-SA-3.0)
|
Dominasi Sayap Kiri
Pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno menetapkan Demokrasi Terpimpin. Artinya, keputusan berpusat pada presiden. Atas langkah politik Sukarno itu, PKI berada belakangnya, memicu ketegegangan dengan partai-partai lain yang berseberangan dengan kebijakan Presiden.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Sukarno gencar berkampanye antiimperialisme yang diwujudkan dengan kebijakan mendukung pembebasan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia.
Saat itu kampanye pembebasan Irian Barat disebut menyedot 75 persen anggaran negara. Akibatnya, pembengkakan anggaran negara membuat perekonomian goncang, ditambah masalah jumlah penduduk dan turunnya produksi pertanian.
Harga-harga kebutuhan pokok naik drastis dan tak terjangkau masyarakat. Hal ini lantas diprotes oleh Gerwani, yang lantas mengirim delegasi bertemu Sukarno pada September 1958.
Maret 1959, sesaat sebelum lebaran, Gerwani kembali bertemu pemerintah membahas kesusahan masyarakat akibat kondisi ekonomi.
Presiden Sukarno mulai memberikan perhatian ketika demonstrasi mencapai puncaknya pada Januari 1960.
Meski protes atas keadaan ekonomi, Gerwani justru makin menunjukkan keperpihakannya kepada Sukarno. Ini terlihat pada kongres keempat mereka yang berlangsung Desember 1961.
Kongres menghasilkan resolusi mendukung perjuangan pembebasan Irian Barat dan pelaksanaan pembagian tanah.
Namun, hasil kongres membuat terjebak dalam urusan politik. Mereka mendahulukan persoalan politik dan meninggalkan persoalan kenaikan harga dan ekonomi.
Gerwani secara terbuka menyatakan dukungan atas konfrontasi terhadap Malaysia dan aksi-aksi anti Amerika. Situasi politik saat itu panas, karena serangan anti-Amerika membuat kelompok sayap kanan melakukan perlawanan.
Dalam kondisi tegang itu, Gerwani memutuskan bergabung dengan PKI yang akan diketok palu pada kongres kelima, Desember 1965. Keputusan itu sesuai keinginan Sukarno bahwa setiap organisasi masyarakat diminta berafiliasi dengan partai.
“Para kader Gerwani menganggap PKI sebagai partai yang bisa diandalkan dalam menjamin emansipasi dan kesetaraan hak bagi perempuan, ” kata Saskia.
Keputusan ini menimbulkan pertentangan di internal Gerwani. Namun, kelompok sayap feminis yang menentang ide ini kalah suara dengan para wanita komunis atau wankom yang berafiliasi dengan PKI.
Perubahan ini membuat pendiri Gerwani, Trimurti, memilih hengkang pada awal 1965.
“Trimurti menganggap PKI terlalu keras dan memilih mundur,” kata Saskia. Sikap mundur Trimurti juga didorong pilihan suaminya, Sayuti Melik, yang berada di pihak antikomunis.
Para kader Gerwani tak sepenuhnya paham dengan apa yang terjadi. Banyak kerumitan politik yang tidak dipahami para kader.
"Terjadi perjuangan internal partai yang hanya diketahui orang-orang atas. Para kader setingkat saya tidak tahu apapun,” kata Sekretaris Dewan Pimpinan Pusat Gerwani, Sulami, dalam buku Saskia.
Terseretnya Gerwani dalam arus politik saat itu menjadi awal mula kehancuran organisasi. Gerwani yang diidentikkan dengan PKI, kemudian dengan mudah dihancurkan lewat berbagai propaganda dan fitnah yang memancing kemarahan masyarakat atas mereka, sekaligus ‘melegitimasi’ aksi perburuan atas para kadernya.
Salah langkah politik berujung fatal. Api Gerwani yang perkasa sekejap padam, bersama banjir darah di Indonesia pasca-G30S.
(yul/agk)
Pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno menetapkan Demokrasi Terpimpin. Artinya, keputusan berpusat pada presiden. Atas langkah politik Sukarno itu, PKI berada belakangnya, memicu ketegegangan dengan partai-partai lain yang berseberangan dengan kebijakan Presiden.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Sukarno gencar berkampanye antiimperialisme yang diwujudkan dengan kebijakan mendukung pembebasan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia.
Saat itu kampanye pembebasan Irian Barat disebut menyedot 75 persen anggaran negara. Akibatnya, pembengkakan anggaran negara membuat perekonomian goncang, ditambah masalah jumlah penduduk dan turunnya produksi pertanian.
Harga-harga kebutuhan pokok naik drastis dan tak terjangkau masyarakat. Hal ini lantas diprotes oleh Gerwani, yang lantas mengirim delegasi bertemu Sukarno pada September 1958.
Maret 1959, sesaat sebelum lebaran, Gerwani kembali bertemu pemerintah membahas kesusahan masyarakat akibat kondisi ekonomi.
Presiden Sukarno mulai memberikan perhatian ketika demonstrasi mencapai puncaknya pada Januari 1960.
Meski protes atas keadaan ekonomi, Gerwani justru makin menunjukkan keperpihakannya kepada Sukarno. Ini terlihat pada kongres keempat mereka yang berlangsung Desember 1961.
Kongres menghasilkan resolusi mendukung perjuangan pembebasan Irian Barat dan pelaksanaan pembagian tanah.
Namun, hasil kongres membuat terjebak dalam urusan politik. Mereka mendahulukan persoalan politik dan meninggalkan persoalan kenaikan harga dan ekonomi.
Gerwani secara terbuka menyatakan dukungan atas konfrontasi terhadap Malaysia dan aksi-aksi anti Amerika. Situasi politik saat itu panas, karena serangan anti-Amerika membuat kelompok sayap kanan melakukan perlawanan.
Dalam kondisi tegang itu, Gerwani memutuskan bergabung dengan PKI yang akan diketok palu pada kongres kelima, Desember 1965. Keputusan itu sesuai keinginan Sukarno bahwa setiap organisasi masyarakat diminta berafiliasi dengan partai.
“Para kader Gerwani menganggap PKI sebagai partai yang bisa diandalkan dalam menjamin emansipasi dan kesetaraan hak bagi perempuan, ” kata Saskia.
Keputusan ini menimbulkan pertentangan di internal Gerwani. Namun, kelompok sayap feminis yang menentang ide ini kalah suara dengan para wanita komunis atau wankom yang berafiliasi dengan PKI.
Perubahan ini membuat pendiri Gerwani, Trimurti, memilih hengkang pada awal 1965.
“Trimurti menganggap PKI terlalu keras dan memilih mundur,” kata Saskia. Sikap mundur Trimurti juga didorong pilihan suaminya, Sayuti Melik, yang berada di pihak antikomunis.
|
"Terjadi perjuangan internal partai yang hanya diketahui orang-orang atas. Para kader setingkat saya tidak tahu apapun,” kata Sekretaris Dewan Pimpinan Pusat Gerwani, Sulami, dalam buku Saskia.
Terseretnya Gerwani dalam arus politik saat itu menjadi awal mula kehancuran organisasi. Gerwani yang diidentikkan dengan PKI, kemudian dengan mudah dihancurkan lewat berbagai propaganda dan fitnah yang memancing kemarahan masyarakat atas mereka, sekaligus ‘melegitimasi’ aksi perburuan atas para kadernya.
Salah langkah politik berujung fatal. Api Gerwani yang perkasa sekejap padam, bersama banjir darah di Indonesia pasca-G30S.
|
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160930070733-20-162250/gerwani-pki-dan-kemelut-politik-di-belakang-sukarno/
0 komentar:
Posting Komentar