HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Sabtu, 31 Maret 2018

Sejarah Indonesia | Kisah Kelam Pembantaian di Tepi Sungai Bengawan Solo

Oleh: Iswara N Raditya - 31 Maret 2018


Ilustrasi Putri HB I yang Membantai Orang Tionghoa. tirto.id/Fiz

Sekitar seratus orang Tionghoa tewas dalam penyerbuan yang dipimpin oleh Raden Ayu Yudakusuma pada 1825.
“Tanpa mempedulikan jerit dan tangisan para perempuan dan anak-anak Tionghoa, seluruh anggota masyarakat yang terdapat di Ngawi, habis dibantai. Tubuh-tubuh yang telah terpotong-potong dibiarkan bergelimpangan di muka pintu, jalanan, dan rumah-rumah yang penuh lumuran darah.” 

Begitulah Benny G. Setiono melalui buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) meriwayatkan tragedi pembantaian etnis keturunan Cina yang terjadi di Ngawi pada 23 September 1825 (hlm. 173).

Pagi pada hari Jumat sebelum tragedi terjadi, datang ratusan prajurit berkuda ke Ngawi, menuju pemukiman orang-orang Tionghoa di daerah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur tersebut. Tanpa basa-basi, pasukan kavaleri itu langsung membantai setiap orang peranakan Cina yang mereka temui.
Pemimpin pasukan berkuda itu adalah seorang perempuan, bernama Raden Ayu Yudakusuma. Ia salah satu anak Pangeran Mangkubumi atau yang sejak 1755 mendeklarasikan diri sebagai pemimpin Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I (1755 -1792). 


Nenek Panglima Diponegoro

Raden Ayu Yudakusuma adalah putri Hamengkubuwana I dari salah satu selirnya. Ibundanya yang diperistri sultan, Raden Ayu Srenggoro, merupakan putri Adipati Natayuda III yang pernah menjabat sebagai Bupati Kedu.

Sejak mulai bertakhta sebagai raja pertama Yogyakarta, perkawinan menjadi satu dari sekian cara yang dilakukan Hamengkubuwana I untuk mempertahankan sekaligus meluaskan pengaruhnya. Maka, sang sultan pun menikahkan putra-putrinya dengan para penguasa lokal yang tersebar di berbagai wilayah.

Raden Ayu Yudakusuma salah satunya. Ia dikawinkan dengan Raden Tumenggung Wirasari, Bupati Ngawi. Sesuai isi Perjanjian Giyanti yang diteken pada 13 Februari 1755, Ngawi—yang semula milik Kasunanan Surakarta—termasuk wilayah bekas Mataram yang diberikan kepada Pangeran Mangkubumi atau Hamengkubuwana I.
Pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa yang terjadi pada 23 September 1825 itu ternyata masih ada kaitannya dengan Perang Jawa melawan Belanda yang dipimpin Pangeran Diponegoro. 

Antara Raden Ayu Yudakusuma dan Pangeran Diponegoro masih terbilang kerabat dekat. Diponegoro adalah salah satu putra Hamengkubuwana III. Sultan yang dua kali berkuasa (1810-1811 dan 1812-1814) ini merupakan anak Hamengkubuwana II yang tidak lain adalah kakak Raden Ayu Yudakusuma. Dengan demikian, Raden Ayu Yudakusuma masih terhitung nenek Pangeran Diponegoro meskipun sebenarnya mereka berusia sepantaran.
Raden Ayu Yudakusuma diperkirakan lahir tahun 1787, sementara Diponegoro pada 1785. Hubungan nenek-cucu antara Raden Ayu Yudakusuma dan Diponegoro dimungkinkan karena Hamengkubuwana I—yang wafat pada 1792—memiliki banyak istri. Raden Ayu Srenggoro, ibunda Raden Ayu Yudakusuma, diperkirakan lahir pada 1752.

Ketika Perang Jawa mulai meletus sejak 1825, Raden Ayu Yudakusuma turut membantu perjuangan cucunya, Diponegoro, melawan Belanda, sebagai komandan pasukan wanita. Peter Carey dalam The British in Java 1811-1816: A Javanese Account (1992) menyebut Raden Ayu Yudakusuma sebagai “perempuan yang sangat cerdas dengan kecerdikan yang benar-benar jantan” (hlm. 30).
Carey juga menulis bahwa Raden Ayu Yudakusuma, secara pribadi, adalah orang yang bertanggung jawab atas pembantaian terhadap komunitas Tionghoa dalam jumlah yang cukup besar, di Ngawi, dekat Sungai Sala (Bengawan Solo), pada 23 September 1825 itu.


Retaknya Harmonisasi Pribumi-Cina

Dalam bukunya yang lain, Orang Jawa & Masyarakat Cina 1775-1825 (1985), Peter Carey menyebut bahwa sebelum penyerbuan itu terjadi, antara orang-orang peranakan Cina dan warga lokal di Ngawi sebenarnya terjalin relasi yang cukup harmonis. Dua golongan ini saling membantu. Tidak jarang Raden Ayu Yudakusuma meminta bantuan kepada warga keturunan Tionghoa. Istri Bupati Ngawi ini bahkan pernah meminjam uang kepada saudagar Cina di wilayah itu (hlm. 84).

Namun, kemesraan tersebut mulai retak karena ulah sejumlah oknum orang Tionghoa yang oleh Belanda dipercaya sebagai petugas pemungut pajak, atau petugas yang berjaga di jalan-jalan utama, jembatan, bandar dagang atau pelabuhan di dermaga maupun di sungai-sungai, hingga di pasar-pasar.
Tak hanya Belanda, para pejabat lokal, termasuk raja, juga merangkul kaum Tionghoa untuk tugas serupa. Menurut Benny Setiono, para pejabat lokal itu sering berutang uang kepada orang-orang Cina kaya yang ada di wilayahnya (hlm. 175). Tanah-tanah milik kerajaan banyak yang disewakan kepada orang Tionghoa yang kemudian menggarapnya dengan baik. 

Peter Carey menyebut, sebagian orang Tionghoa itu justru bertindak seenaknya karena memperoleh “jabatan” dari pemerintah (Belanda) dan merasa dibutuhkan oleh pejabat pribumi. Inilah yang menjadi salah satu pemicu kebencian rakyat lokal terhadap mereka (hlm. 242).

Jabatan petugas pemungut pajak pun menjadi lahan basah yang menggiurkan sehingga semakin banyak orang Tionghoa yang mengajukan penawaran untuk mendapatkan izin memungut pajak. Para raja atau pejabat-pejabat pribumi maupun Belanda, terutama di daerah, memanfaatkan situasi ini dengan menaikkan uang sebagai persyaratan bagi orang-orang Tionghoa yang mengajukan penawaran.

Akibatnya, seperti dipaparkan Benny Setiono (hlm. 176), para bandar pajak mencari jalan untuk memungut pajak yang sebesar-besarnya dengan cara yang lebih kejam kepada penduduk. Bahkan, pungutan yang lebih tinggi diterapkan kepada sesama orang Tionghoa yang terkadang harus membayar sampai tiga kali lebih banyak daripada yang harus dibayar orang Jawa.

Oknum bandar pajak dari kalangan Tionghoa ini bertindak sewenang-wenang tanpa rasa takut, karena mereka mendapatkan perlindungan hukum dari raja, sultan, pejabat lokal, juga pemerintah Belanda. Kedudukan mereka baru dapat diganti jika memperoleh persetujuan dari kompeni.
Dalam beberapa kasus di sejumlah daerah, termasuk di Ngawi, situasi semakin memanas setelah bandar-bandar pajak yang orang Tionghoa itu membentuk pasukan pengawal khusus dan bertindak selayaknya pejabat yang mahakuasa. 

Kebencian penduduk lokal pun memuncak, seperti yang digambarkan oleh A.R.T. Kemasang dalam disertasinya bertajuk “The 1740 Chinese Massacres In Java: How Dutch Colonialism a Problem Minority in Its Effort to Thwart Indonesia’s Domestic Bourgeoisie” (1988) berikut ini:

“[…] belum pernah terjadi sebelumnya, mereka yang berasal dari berbagai ‘kebangsaan’ merasa mempunyai persamaan, yaitu menghadapi musuh bersama: orang-orang Tionghoa, yang seperti biasa dianggap ‘eksklusif’. Satu-satunya ras yang tidak muncul di jalan bersama-sama mereka, termasuk para majikan mereka (yaitu) orang-orang Belanda” (hlm. 1-2).

Pembantaian di Tepi Bengawan Solo

Hingga akhirnya, tanggal 23 September 1825, Raden Ayu Yudakusuma menggerakkan pasukan berkuda ke area permukiman warga keturunan Tionghoa yang terletak tidak jauh dari aliran sungai Bengawan Solo. Di sisi lain, Bupati Ngawi, suami Raden Ayu Yudakusuma, tidak mampu bertindak tegas karena sedang terbaring sakit-sakitan.

Ngawi, tulis Nurhadiantomo dalam Hukum Reintegrasi Sosial: Konflik-konflik Sosial Pri-Non pri dan Hukum Keadilan Sosial (2004), saat itu menjadi menjadi pos perdagangan yang sangat penting, dihuni oleh banyak etnis Tionghoa yang terdiri dari bandar beras, pedagang kecil, kuli, tukang, dan lain-lain (hlm. 152).
Untuk menghadapi serbuan pasukan kavaleri pimpinan Raden Ayu Yudakusuma, orang-orang Tionghoa setempat sudah berusaha membangun pertahanan, akan tetapi serangan yang mereka hadapi ternyata terlalu sukar untuk ditangkal. 

Hanya saja, para serdadu Jawa itu tidak pandang bulu dalam menjalankan tugasnya. Setiap orang keturunan Cina, tidak peduli siapa dan apa profesinya, termasuk wanita dan anak-anak, yang mereka temukan pasti dihabisi, tanpa terkecuali.

Infografik putri sultan HB I


Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia (1996) menuliskan bahwa sekitar seratus orang Tionghoa tewas dalam aksi pembantaian di Ngawi itu (hlm. 359). Sementara yang bisa lolos kemudian menyelamatkan diri ke daerah-daerah pesisir pantai utara Jawa yang mereka anggap relatif lebih aman, atau ke kota-kota di mana terdapat pasukan Belanda yang diharapkan dapat memberikan perlindungan.

Tragedi berdarah di Ngawi tersebut menjadi salah satu peristiwa pilu dalam perjalanan sejarah Indonesia, khususnya sejarah Jawa, dalam hubungannya dengan orang-orang keturunan Tionghoa. Peristiwa ini juga memicu sejumlah kejadian serupa di daerah lain, atau yang kerap disebut dengan istilah geger pecinan.
Terlebih lagi, retaknya hubungan antara warga lokal dengan kaum Tionghoa di Ngawi itu berbarengan dengan meletusnya Perang Jawa. Moch. Sa'dun dalam Pri dan Nonpri: Mencari Format Baru Pembauran (1999) bahkan menyebut, perang Diponegoro bukan hanya terbatas sebagai perlawanan terhadap Belanda, tapi juga peluang yang tidak disia-siakan orang Jawa guna melampiaskan kebencian kepada kaum peranakan Cina (hlm. 61).

Meskipun sering mengalami perlakuan yang tidak mengenakkan, namun orang-orang keturunan Tionghoa di Jawa, dan di wilayah-wilayah Nusantara lainnya, tetap menjalin relasi positif dengan kaum bumiputra. Relasi macam itu bahkan terjadi selama Perang Jawa, atau tidak seberapa lama usai terjadinya peristiwa pembantaian di Ngawi.

Benny Setiono (hlm. 174) mengungkapkan, banyak orang Tionghoa yang ikut berjuang bersama pasukan Diponegoro, terutama dalam menyediakan uang, perak, senjata, candu, dan lain-lain untuk keperluan perang. Bahkan, tidak sedikit para pemuda keturunan Cina yang turut bertempur melawan Belanda, misalnya dalam pertempuran di Lasem yang dipimpin ipar Diponegoro, Raden Tumenggung Sasradilaga, pada 1827-1828.
Barangkali tidak terhitung kejadian-kejadian miris terkait konflik antara “pribumi” dengan warga keturunan, khususnya peranakan Tionghoa. Namun, sekali lagi, setiap kali ada masa “surut”, pasti akan datang masa “pasang”. Relasi pasang-surut itu mewarnai hampir setiap babak perjalanan sejarah Indonesia, terjalin abadi melintasi zaman dan generasi, bahkan hingga saat ini.


Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Sumber: Tirto.Id 

'Sekeping Kenangan', Melawan Lupa Tragedi 65

Sabtu 31 Maret 2018 - 08:36

JRX saat tampil di acara 'Sekeping Kenangan', Kamis, 29 Maret 2018 (kanalbali/IST)
DENPASAR -- Suasana Taman Baca Kesiman di jalan Sedap Malam, sedikit berbeda dari biasanya. Ratusan penonton, mayoritas generasi milineal sangat antusias mengikuti setiap adegan yang ditampilkan dalam film dokumenter berjudul "Sekeping Kenangan". Antusias penonton sangat terasa, bahkan mereka tak beranjak hingga acara tuntas.

"Sekeping Kenangan" adalah sebuah film dokumenter mengenai lagu-lagu para tahanan yang dibui secara paksa akibat rentetan peristiwa kekerasan 65-66 di pulau dewata. Mereka dimasukan ke penjara tanpa adanya pengadilan yang layak.
"Film Sekeping Kenangan ini adalah runutan dari upaya Komunitas Taman 65 menyelamatkan lagu-lagu ciptaan para Tapol," ujar Ngurah Termana selaku koordinator acara pada Kamis, 29 Maret 2018 malam.
Mereka dikenal dengan istilah Tapol (Tahanan Politik). Berdendang adalah salah satu cara para Tapol menghibur diri akibat didera berbagai siksaan fisik maupun mental ketika berada dalam terali besi. Selain itu, bersenandung membuat mereka bisa kuat menghadapi rasa rindu yang menyayat terhadap orang-orang tercinta di luar sana.
Film "Sekeping Kenangan" ini adalah buah karya Hadhi Kusuma dari Komunistas Taman 65. Film ini digarap rentang tahun 2012 hingga 2015. Komunitas Taman 65 sendiri, memang punya konsen terhadap penyelamatan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh para Tapol 65 di Penjara. Lagu-lagu yang berhasil dikumpul kemudian direkam menjadi sekepingan CD, dan sejarah dari terciptanya lagu-lagu itu juga dibukukan. Karya Buku-CD ini mereka namai "Prison Songs".
Bagi komunitas taman 65, lagu-lagu yang terlahir di penjara ini bukanlah semata lagu pelipur lara, namun juga menyimpan data sejarah, karena lagu-lagu ini terkait dengan pengalaman para Tapol di masa lalu saat berada di dalam penjara. "Kisah pengalaman orang yang dipenjarakan secara paksa ini penting disiarkan untuk membangun empati publik, sehingga diharapkan publik mendukung upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu di negeri ini," jelasnya.
Ngurah Termana menambahkan, bahwa tujuan dari digelarnya pemutaran film dan pentas musik ini untuk memompa kepedulian khalayak terhadap persoalan HAM masa lalu di negeri ini yang sampai saat ini penyelesaiannya masih tersendat-sendat.
Event ini juga dimeriahkan dengan pementasan musik oleh musisi-musisi yang peduli terhadap persoalan kekerasan masa lalu ini. Mereka mendendangkan lagu-lagu yang sering dilantunkan oleh para tahanan pada waktu itu. Musisi yang tampil adalah JRX dari Superman Is Dead (SID), Guna Warma, Dadang SH Pranoto, Made Mawut, Rara Sekar, dan Man Angga. Sedangkan seniman Video Mapping yang ikut beraksi adalah JNS.
Menurut musisi JRX event ini penting diadakan agar anak muda tidak hitam putih memandang sejarah sebab sejarah pemenang tak sepenuhnya benar. Sedangkan Made Mawut menyatakan acara ini layak diselenggarakan agar masyarakat mengetahui bahwa ada warga negara yang mengalami ketidakadilan di masa lalu, diharapkan publik berpihak kepada korban.
Beberapa eks Tapol yang ikut hadir dalam acara ini sangat mengapresiasi event ini. Menurut Pak Natar salah seorang eks Tapol 65, event ini membuatnya begitu lega karena dia tidak menyangka audiens yang hadir begitu banyak. Pak Natar berharap semoga hal ini penanda positif bahwa masyarakat tidak alergi lagi terhadap mereka. (kanalbali/RLS)

Sumber: Kumparan.Com 

Jumat, 30 Maret 2018

Sejarah Para Pemenang

imam prihadiyoko | 30 Maret 2018

Salah satu idiom politik yang cukup sering didengar adalah, sejarah dibuat oleh para pemenang. Namun pemenang yang tidak menuliskan kisah kesejarahannya, tidak akan dikenang sebagai pemenang.


Soekarno
Sejarah mungkin penuh kebohongan yang ditulis oleh para pemenang untuk mengagung-agungkan kisah kepahlawanannya. Mereka ingin kisahnya disertakan dalam catatan sejarah, dan menjadi ingatan kolektif bagi masyarakat.
Namun, para pahlawan sejati, dan sejatinya pahlawan adalah memberikan kesejahteraan pada massa pendukungnya. Memberikan perlindungan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial, seperti amanat pembukaan konstitusi Indonesia.
Tanpa bermaksud untuk mengorek-ngorek luka lama, ataupun membuat luka baru, halaman ini didedikasikan pada Presiden Soekarno. Salah satu pendiri negeri ini. Tokoh nasional yang pernah menjadi guru di sekolah Muhammadiyah di Bengkulu, bahkan ia pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu.
Namun pada suatu pagi, tanpa memberitahunya lebih dulu, Bung Karno ditemui oleh Hassan Din, Ketua Muhammadiyah Bengkulu saat itu. Waktu itu ia mengajak Bung Karno untuk menjadi guru di sekolah rendah agama milik Muhammadiyah.
“Ketika di Ende, Bung memiliki hubungan akrab dengan salah satu organisasi Islam di Bandung, Persatuan Islam, dan kami dengar Bung sepaham dengan pandangan Ahmad Hassan, guru yang terpelajar itu. Apakah Bung bersedia membantu kami menjadi seorang guru?”
“Kuanggap permintaan ini sebagai satu kehormatan,” jawab Bung Karno.
“Tapi … ingat ….. jangan bicara soal politik.”
“Pasti tidak,” Bung Karno tersenyum setuju. “Kecuali hanya akan kusebut bahwa Nabi Muhammad selalu mengajarkan kecintaan terhadap tanah air,” ujar Bung Karno menambahkan dalam dialog dengan Hassan Din ini, tercantum dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, halaman 168.
Kedekatannya dengan organisasi keagamaan Islam, Muhammadiyah tentu menjadi modal politik bagi penerusnya, untuk juga peduli pada organisasi keagamaan, namun tetap dalam bingkai kecintaan pada tanah air.
***
Manusia bisa menentukan sejarah. Namun, tetap saja manusia tidak bisa seenaknya membuat sejarah. Sejarah, sebagai ingatan kolektif, tentu terasa jamak jika dibuat oleh para pemenang. Penulis-penulis sejarah versi para pemenang politik, terus menjejalkan sejarah versinya pada publik, agar publik percaya kehebatannya sebagai penguasa.
Ini menyebabkan ruang-ruang sejarah sering diisi dengan kebohongan dan rekayasa. Sekarang, dengan kemajuan teknologi informasi, mereka mencoba merebut ruang-ruang publik dan mengisinya dengan kabar bohong (hoax) yang terus diproduksi, dan diharapkan bisa mereproduksi dirinya lagi melalui jejaring sosial yang masif.
Dengan cara itu, mereka berharap bisa menjadi cara yang efektif untuk membangun imagi ingatan kolektif tentang kisah kesuksesan dan keperkasaan sang penguasa.
Sekitar satu dasawarsa lalu, berhentinya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, seperti mencairkan kebekuan. Bergulirnya gerakan reformasi, telah memecahkan berbagai macam bentuk hegemoni yang sudah dibangun pemerintahan Orde Baru. Termasuk di dalamnya adalah membuka dan menata ulang teks-teks sejarah.
Sejarah mungkin merupakan benda mati, namun teks yang dituliskan di dalamnya, tak lekang oleh jaman, dan terus dibaca oleh para politisi, penulis sejarah dan disosialisasikan pada generasi berikutnya.
Salah satu lelehan dari air yang beku itu adalah pengungkapan tentang pidato-pidato Presiden Soekarno yang disampaikannya pada tahun 1965. Diantara pidato yang disampaikan Soekarno dalam tahun itu, pidato paling diingat adalah pidato yang disampaikan pada tanggal 30 September 1965 malam, sebelum meletus peristiwa yang kemudian dikenal sebagai G30S. Selain itu, pidato pertanggungjawabannya yang ditolak MPRS berjudul Nawaksara, tahun 1967, juga masih sering menjadi perbincangan hingga saat ini.
Pada tahun 2001, penulis menghadiri banyak seminar, diskusi yang diselengarakan beragam kelompok dan organisasi berkaitan dengan peringatan 100 tahun Bung Karno. Di seminar itu, banyak dikeluarkan buku, makalah, foto, dan rekaman dari pidato-pidato Bung Karno. Seolah-olah Bung Karno hadir lagi.
Menilik rekaman pidato-pidato Bung Karno yang sebagian dijual dalam bentuk rekaman dengan pita kaset itu, tampak diminati mereka yang berusia muda. Paling tidak, mereka tidak pernah mendengarkan langsung pidato itu selama Soekarno hidup.
Anak-anak muda itu mungkin mendengar kisar yang disampaikan orangtuanya, guru, senior atau dalam seminar dan diskusi yang pernah mereka ikuti.
Dalam salah satu buku yang dijual itu, penulis menghadiri salah satu peluncuran buku yang dikeluarkan untuk memperingati 100 tahun Bung Karno yang berjudul Revolusi Belum Selesai, terbiatan Mesiass. Buku yang diberi kata pengantar oleh peneliti LIPI Asvi Warman Adam ini, pada peluncurannya dibagikan gratis pada peserta yang hadir.
Penerbitnya mengungkapkan, paling tidak pada kurun waktu 1965-1967, ada 103 pidato Soekarno yang disampaikan dalam berbagai kesempatan. Membaca pidato, tentu akan berbeda jika mendengarkan langsung, dan melihat ekspresi Soekarno di atas panggung. Tapi gaya bicara yang teas, sesekali mengalun seperti gelombang bahkan bersajak, bernas, dan kaya isinya, masih bisa diikuti.
Dengan semangat dan keinginan untuk melihat kekuatan yang masih bisa dilihat dari pidato-pidato itulah, tulisan di halaman Soekarno di MJNEWS ini dibuat dalam bentuk tulisan berseri. Semoga bisa memberikan pencerahan demi bangsa Indonesia yang berkemajuan.
–tulisan pertama, bersambung–
Sumber: MissJuneNews.Com 

Dokumenter 'Sekeping Kenangan': Menyanyikan Tembang Sejarah Penyintas 1965


Anton Muhajir, Denpasar - 2018-03-30

Suasana nonton film dokumenter ‘Sekeping Kenangan’ di Denpasar, Bali, 29 Maret 2018. [Anton Muhajir/BeritaBenar]

Sekitar 500 warga memenuhi lapangan Taman Baca Kesiman di Denpasar Timur, Bali, Kamis malam, 29 Maret 2018. Lesehan di rumput, sebagian besar pemuda itu menyimak film dokumenter tentang penyintas tragedi 1965, ‘Sekeping Kenangan’.

Selama sekitar 50 menit film dokumenter karya sutradara muda, Hadhi Kusuma tersebut mengisahkan perekaman lagu-lagu penyintas tragedi politik 1965. Tak hanya pembuatan album berisi lagu-lagu penyintas yang berjudul Prison Songs, film juga menceritakan sisi lain sejarah kekerasan kala itu.

Usai pemutaran film, tiga nara sumber film berdiskusi dengan penonton. Jenawi, Badra, dan Natar adalah mantan narapidana politik (Napol) yang pernah mendekam di Penjara Pekambingan, Denpasar.

Mereka dipenjara, tanpa pernah diadili,  atas tuduhan sebagai anggota Partai Komunitas Indonesia (PKI). Secara bergantian, ketiganya menuturkan kisah yang pernah dialami kepada penonton, sebagian besar kelahiran 1980an dan 1990-an.

Malam itu juga ada enam musisi yang menyanyi album Prison Songs, kompilasi lagu-lagu karya para penyintas 1965.

Ingatan berkurang

‘Sekeping Kenangan’ adalah dokumenter produksi Komunitas Taman 65, tempat anak-anak muda Denpasar, yang memberi perhatian pada rekonsiliasi dan sejarah kekerasan 1965.

Sebelumnya, mereka telah membuat album lagu dan buku ‘Prison Songs, Nyanyian yang Dibungkam’.

Film, album lagu dan buku menjadi bagian keseluruhan proses merekam ulang lagu-lagu para tahanan politik 1965.

Proses ini bermula pada 2012 ketika para pemuda berumur antara 20-an – 30-an tahun awalnya sering berkumpul di Taman 65 dan berdiskusi berbagai hal, termasuk tentang tragedi 1965.

Setelah melihat tayangan dokumenter proses berkarya ‘Kill the DJ’, seorang musisi rap berbahasa Jawa dari Yogyakarta, muncul ide membuat rekaman lagu-lagu penyintas 1965.
“Kenapa kami tidak membuat rekaman seperti itu juga,” kenang I Made Surya Candra, musisi blues salah satu penggagas kompilasi, yang diiyakan rekan-rekannya.
Mereka mengidentifikasi nama-nama penyintas yang masih hidup dan pernah dipenjara.

Pendamping penyintas 1965 yang juga anggota Taman 65, lalu mempertemukan mereka dengan mantan tapol yang masih hidup. Proses berlanjut dengan pengumpulan lagu.

Menurut mereka, upaya itu tidak mudah. Selain ingatan yang sudah berkurang karena trauma dan berusia lanjut, para penyintas tidak mudah percaya begitu saja pada orang baru.
“Tidak semua penyintas punya memori yang sama tentang sebuah lagu atau peristiwa sehingga kami harus satu per satu mengumpulkannya,” kata Gde Putra, relawan Komunitas Taman 65.

Mencocokkan nada

Umur penyintas yang rata-rata di atas 70 tahun, membuat tim pengumpul lagu bekerja lebih keras.

Ketika mewawancarai Bu Pasek, seorang penyintas, misalnya, mereka harus tanya keras-keras di telinganya dan berulang-ulang karena pendengaran yang sudah terganggu.

Selain keterbatasan indera nara sumber, tantangan lain adalah ingatan yang tak terlalu kuat lagi.

Ketika disuruh menyanyi dengan memainkan alat musik, misalnya gitar, tangan mereka bahkan gemetar karena sudah lama tidak bermain musik.
“Untuk satu judul lagu, nadanya bisa berbeda meskipun lirik lagunya sama. Karena itu kami harus mencocokkan nadanya,” ujar Made Candra, yang lebih akrab dipanggil Made Mawut.
Berbekal lirik dalam tulisan tangan disertai partitur, Made Mawut mengaransemen ulang lagu-lagu tersebut.

Dia menyanyikannya bersama penyintas baik secara terpisah maupun bersama sampai kemudian mendapatkan nada yang tepat.

Dari keseluruhan proses pengumpulan lagu-lagu itu, mereka mendapatkan enam lagu kenangan para penyintas yaitu Sekeping Kenangan, Di Kala Sepi Mendamba, Si Buyung, Tini dan Yanti, Latini, dan Dekon.

Lagu-lagu itu bercerita tentang pengalaman penyintas selama dipenjara.
Misalnya, lagu Si Buyung yang bercerita tentang kelahiran anak kelima saat ayahnya dipenjara.

Kau hadir duhai Buyung dalam derita/Tangismu, ayah tiada mendengarnya/Hanya diiring derai air mata suci bunda/Kau songsong hidup ini penuh luka. 
Demikian sebagian lirik lagu karya R. Amirudin Tjitraprawira, salah satu Tapol saat itu.

Lagu Dekon, misalnya, merupakan singkatan dari pidato Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963, Deklarasi Ekonomi. Lirik lagu dalam bahasa Bali yang dibuat Ketut Putu ini sarat kritik terhadap koruptor.

Arti sebagian lirik lagu adalah: bersatu agar teguh, rakyat buruh tani/musuh kita masih merajalela, tikus-tikus ekonomi/ jangan percaya penghasut berbaju gagah/mari sekarang laki-perempuan, kecil-besar, tua-muda bersatu agar teguh/mengikuti nasakom menjadi inti.

Made Mawut lalu mengajak musisi muda, seperti Jerinx dan Dadang, untuk menyanyi ulang lagu-lagu tersebut. Dia menyesuaikan karakter lirik dan nada dengan penyanyi yang diajak.

Salah satu adegan film dokumenter ‘Sekeping Kenangan’ yang diputar di Denpasar, Bali, 29 Maret 2018. (Anton Muhajir/BeritaBenar)

Jembatan sejarah

Bagi pegiat Komunitas Taman 65, upaya menghidupkan lagu-lagu penyintas tak semata tentang lagu, tapi juga mengenalkan sejarah kekerasan tragedi 1965, yang diperkirakan menewaskan ratusan ribu orang di Bali, kepada anak-anak muda Pulau Dewata.
“Dengan mengajak musisi sebagai simbol budaya pop, kami ingin mengenalkan sejarah lain kepada kaum muda,” kata Putra.
Menurutnya, sejarah yang diceritakan dalam Prison Songs dan ‘Sekeping Kenangan’, adalah hal-hal personal dan manusiawi, seperti kerinduan pada kekasih, suasana dalam penjara, sampai doa untuk anak.
“Upaya semacam ini penting untuk meluruskan sejarah,” pungkasnya.

Kamis, 29 Maret 2018

Perspektif Dunia 2018 - Bagian I

Kamis, 29 Maret 2018

Berikut adalah bagian pertama dari dokumen Perspektif Politik Dunia 2018 IMT.


Sepuluh Tahun Setelah Krisis
Sepuluh tahun telah berlalu sejak krisis finansial 2008. Peristiwa ini adalah salah satu momen menentukan dalam sejarah dunia yang menandai perubahan fundamental, seperti 1914 (Perang Dunia Pertama), 1917 (Revolusi Oktober), 1929 (Keruntuhan Wall Street) dan 1939-45 (Perang Dunia Kedua). Oleh karenanya kita perlu mengkaji perimbangan selama satu dekade terakhir.
Krisis 2008 secara kualitatif berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Ini bukanlah krisis siklikal yang normal, tetapi merefleksikan krisis organik kapitalisme. Satu dekade sejak keruntuhan 2008, kaum borjuasi masih kesulitan keluar dari krisis yang telah menghancurkan kesetimbangan sistem kapitalis. Sampai pada tingkatan yang sangat terbatas kita bisa berbicara mengenai pemulihan, ini hanya bersifat parsial. Pada kenyataannya pemulihan yang ada adalah pemulihan ekonomi terlemah dalam sejarah. Bahkan pada 1930an ada pemulihan besar. Dan konsekuensi tertentu mengalir dari fakta ini
Sepuluh tahun yang lalu, kita memprediksikan bahwa semua usaha kaum borjuasi untuk memulihkan kesetimbangan ekonomi akan merusak kesetimbangan politik dan sosial. Proposisi ini telah terkonfirmasi oleh peristiwa-peristiwa dalam skala dunia. Di seluruh dunia, usaha pemerintah untuk menerapkan kebijakan pengetatan dengan tujuan menggerakkan ekonomi (dan mereka tidak berhasil) telah mempersiapkan ledakan-ledakan sosial dengan karakter yang tanpa preseden.
“Ekonomi yang terkonsentrasikan”
Lenin mengatakan bahwa politik adalah ekonomi yang terkonsentrasikan. Pada analisa terakhir semua krisis ini adalah ekspresi kebuntuan kapitalisme yang sudah tidak mampu lagi mengembangkan kekuatan produksi seperti sebelumnya. Ini tidak berarti, tentu saja, kalau tidak akan ada lagi perkembangan kekuatan produksi.
Marx, Lenin, atau Trotsky tidak pernah mengatakan bahwa ada limit absolut yang membatasi perkembangan kekuatan produksi di bawah kapitalisme. Ini adalah fenomena yang relatif, bukan absolut. Akan selalu ada perkembangan, seperti di Tiongkok selama periode terakhir ini. Tetapi dalam skala dunia hari tidak ada perkembangan kekuatan produksi yang sebanding dengan periode paruh kedua abad ke-20 setelah Perang Dunia Kedua.
Marxisme menjelaskan bahwa rahasia kelanggengan dari setiap sistem ekonomi adalah kemampuannya untuk mencapai penggunaan waktu kerja yang paling efektif. Salah satu elemen terpenting dalam perkembangan kapitalisme adalah persis pertumbuhan produktivitas kerja. Selama 200 tahun kapitalisme telah meningkatkan produktivitas kekuatan kerja manusia sampai ke tingkatan yang tak pernah terbayangkan di masa lalu. Tetapi pertumbuhan ini sekarang telah mencapai limitnya.
Studi mengenai produktivitas kerja yang dilakukan oleh “Centre for Economic and Policy Research” pada September 2015 menemukan bahwa, dari 2007 sampai 2012, produktivitas global tumbuh 0.5% per tahun; ini separuh dari tingkat pertumbuhan pada periode 1996-2006. Namun pada periode 2012-14, pertumbuhan ini telah mandeg sepenuhnya, yakni nol persen. Di negeri-negeri seperti Brasil dan Meksiko laju pertumbuhannya bahkan negatif. Seperti yang dinyatakan oleh laporan ini: “Ini adalah salah satu fenomena yang paling mengejutkan, dan jelas penting, yang mempengaruhi perekonomian dunia.”
Angka-angka ini adalah indikasi jelas kalau kapitalisme sekarang menemui dirinya dalam krisis sistemik. Pertumbuhan produktivitas kerja yang melambat – dan dalam kasus tertentu bahkan jatuh – adalah gejala mencolok dari kebuntuan kapitalisme, yang sudah tidak mampu lagi meraih keberhasilan-keberhasilan menakjubkan seperti dulu.
Biang keroknya adalah tingkat investasi yang secara historis rendah: formasi kapital bruto di Uni Eropa dan Amerika Serikat telah jatuh ke bawah 20 persen PDB untuk pertama kalinya sejak 1960an, sementara konsumsi kapital dan depresiasi meningkat. Di wilayah bekas jajahan, boom harga bahan mentah mendorong peningkatan investasi untuk sementara, tetapi ini telah jatuh lagi selama beberapa tahun terakhir.
Kegagalan untuk berinvestasi dalam produksi bukanlah karena tidak ada uang. Sebaliknya, korporasi-korporasi raksasa berenang dalam kolam uang. Adam Davidson menulis di koran The New York Times pada Januari 2016: “Perusahaan-perusahaan Amerika hari ini memiliki 1,9 triliun dolar AS dalam bentuk tunai, yang tidak mereka gunakan ... hal seperti ini tidak ada paralelnya dalam sejarah ekonomi.” Sang penulis artikel menganggap ini “misteri” tetapi yang sebenarnya ditunjukkan oleh fakta ini adalah bahwa dalam kondisi perekonomian dunia hari ini kapitalis tidak memiliki medan investasi yang menguntungkan.” (Why Are Corporations Hoarding Trillions? New York Times, January 20, 2016)
Data paling mutakhir dari US Federal Reserve menunjukkan “aset likuid perusahaan non-finansial, yang termasuk uang tunai, deposit asing, pasar uang dan saham reksa dana ... mencapai rekor 2,4 triliun dolar AS pada kuartal ketiga 2017.”
Kapitalisme sungguh secara harfiah tenggelam dalam kekayaan yang berkelimpahan. Ini seperti tukang sihir yang telah melepaskan kekuatan yang tidak bisa dia kendalikan. Kekuatan produksi memiliki potensi memproduksi massa komoditas yang tidak bisa diserap oleh pasar.
Ketidakmampuan untuk menggunakan secara produktif nilai lebih yang teramat besar ini, yang diperas dari keringat dan darah buruh, menunjukkan bahwa kapitalisme sudah tidak bisa berfungsi. Overproduksi terrefleksikan dalam krisis umum perekonomian dunia, yang ada dalam keadaan yang sangat rapuh. Kredit murah sudah tidak bisa lagi mendorong investasi. Apa gunanya melakukan investasi untuk menciptakan kekuatan produksi baru ketika tidak ada pasar untuk kapasitas produksi yang sudah ada?
Pemulihan baru?
Setiap hari media pers memproklamirkan pemulihan ekonomi. Dalam kasus terbaik, ada kenaikan kecil PDB dalam konteks umum stagnasi jangka panjang. Bagi kaum Marxis ini tidak mengejutkan; bahkan dalam periode kemunduran sistem kapitalisme terus bergerak dalam siklus dan setelah periode panjang kemunduran atau stagnasi kita dapat mengharapkan sebuah pemulihan kecil. Akan tetapi pemulihan ini sangatlah lemah dan tidak substansial, dan tidak akan bertahan lama.
Kendati kebijakan moneter yang sangatlah longgar, pertumbuhan masih terbatas. Federal Reserve mempertahankan suku bunga hanya sedikit di atas nol persen sejak musim gugur 2008 sampai pada awal 2017. Bank Sentral Eropa juga menurunkan suku bunga mereka sampai hampir nol persen.
Gelembung real estate kita temui dalam pasar perumahan di Inggris, Kanada, Tiongkok dan Skandinavia. Pasar Saham tidak hanya telah pulih ke level 2007, tetapi bahkan telah melampauinya. Nilai Dow Jones telah meningkat sebesar 36 persen. Rasio harga terhadap pendapatan (yakni harga yang dibayar oleh investor untuk $1 pendapatan atau profit perusahaan) telah mencapai puncak tertinggi ketiga dalam sejarah (yang sebelumnya pada 1929 sebelum Keruntuhan Finans 1929 dan pada 2000 sebelum pecahnya gelembung dotcom 2001). Semua ini mengindikasikan, bukan pemulihan yang sehat, tetapi sebuah krisisbaru sedang dipersiapkan. Ini juga memiliki efek mentransfer sejumlah besar uang ke kelas kapitalis yang nilai asetnya telah meningkat dengan influks kredit baru.
Limit Kredit
Alasan utama kebuntuan hari ini adalah, pada dekade-dekade sebelum 2008, kapitalisme tidak hanya telah mencapai limitnya tetapi jauh melampaui limit “alaminya”. Ekspansi kredit dan hutang yang tanpa preseden ini memungkinkan kapitalisme untuk mendobrak batas-batas pasar dan overproduksi. Ada ekspansi perdagangan dunia yang besar dan intensifikasi pembagian tenaga kerja dalam skala internasional.
Marx menjelaskan bahwa salah satu cara kapitalisme melampaui limit pasar dan menanggulangi kecenderungan tingkatan laba untuk jatuh adalah dengan ekspansi kredit dan perdagangan dunia (globalisasi), yang secara parsial, dan untuk beberapa waktu, memberinya cara untuk menanggulangi kontradiksi kunci lainnya: batasan negara-bangsa. Tetapi kedua solusi ini efeknya terbatas dan sekarang telah menjadi kebalikannya.
Sepanjang sejarah, tingkat hutang AS (pemerintah dan swasta) biasanya berkisar 100-180% PDB. Namun pada akhir 1980an, total hutang ini mencapai 200%, dan terus meningkat sampai 2008, mencapai puncaknya sekitar 300%. Jepang, Inggris, Spanyol, Prancis, Italia dan Korea Selatan semua memiliki tingkat hutang di atas 300%. Hutang dunia sekarang telah mencapai 217 triliun dolar, atau 327% PDB dunia, tertinggi dalam sejarah.
Marx mengatakan dalam “Manifesto Komunis” bahwa kaum borjuasi menyelesaikan krisis hari ini hanya dengan cara membuka jalan untuk krisis yang lebih besar di masa depan. Apa yang telah mereka capai selama sepuluh tahun terakhir dengan semua penderitaan dan pengetatan? Tujuan mereka adalah mengurangi defisit dan gunung hutang yang menumpuk dari periode sebelumnya.
Satu-satunya hal yang mereka lakukan adalah gali lubang tutup lubang, yakni memindahkan hutang dari bank-bank swasta ke anggaran pemerintah. Bank-bank hampir bangkrut dan mereka hanya diselamatkan oleh intervensi negara, yang menyelamatkan mereka dengan memberi mereka bertriliun-triliun dolar dari anggaran publik. Masalahnya negara hanya bisa mendapat uang lewat pembayar pajak.
Pertanyaan utamanya oleh karena itu: siapa yang membayar? Semua orang tahu kalau orang kaya tidak membayar banyak pajak. Mereka punya ribuan cara untuk menghindar pajak. Kelas buruhlah yang harus membayar, kelas menengah yang harus membayar, kaum pengangguran yang harus membayar, yang sakit yang harus membayar, sekolah yang harus membayar. Semua orang harus membayar kecuali kaum kaya, yang telah menjadi bahkan semakin kaya selama periode “pengetatan” ini.
Apakah ini telah menyelesaikan satu hal pun? Tujuh dari sepuluh ekonomi terbesar di dunia sekarang anggaran tahunannya defisit di atas 3% PDB, dan hanya Jerman yang memiliki defisit di bawah 2%. Hutang meningkat di mana-mana. Tidak ada jalan keluar dari krisis, kecuali dengan menghapus hutang ini. Tetapi, bagaimana caranya menghapus hutang pemerintah? Di bawah kapitalisme, seluruh hutang dibebankan di atas pundak lapisan rakyat pekerja yang paling miskin dan lemah.
Skenario yang kita saksikan secara internasional sungguh tidak ada presedennya. Dan kita hanya berbicara mengenai negeri-negeri kapitalis maju. Situasi di negeri-negeri yang disebut Dunia Ketiga jauh berbeda. Di sini kita saksikan kesengsaraan yang tak tertanggungkan, penderitaan yang tak terbayangkan, kelaparan dan degradasi yang menimpa miliaran rakyat.
Ancaman Proteksionisme
 Selama puluhan tahun, perdagangan dunia tumbuh jauh lebih pesat daripada produksi, dan menjadi tenaga pendorong pertumbuhan ekonomi dunia. Akan tetapi, selama periode terakhir, pertumbuhan perdagangan dunia telah melambat, sampai ke level yang lebih rendah daripada PDB. Perdagangan dunia mencapai puncaknya pada 2008, dan lagi pada 2011, yang mencapai 61% PDB. Hari ini perdagangan dunia menurun sampai ke 58%.
WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) telah menyatakan kekhawatirannya kalau pemerintah-pemerintah nasional dapat tergoda untuk menjaga pasar mereka sendiri dengan kebijakan-kebijakan proteksionis, dan ini pada gilirannya dapat mempengaruhi secara negatif pertumbuhan perdagangan. Trump mengkonfirmasikan kekhawatiran ini ketika dia menyeruduk masuk ke panggung politik. Kebijakan “America First” (Amerika Pertama) yang diluncurkan Trump merefleksikan krisis global. Dia ingin “membuat Amerika hebat lagi” dengan mengorbankan negeri-negeri lain. Dalam kata lain, dia ingin menggunakan otot Amerika untuk merebut pangsa pasar dunia yang lebih besar.
 Selama beberapa tahun terakhir, kelas kapitalis AS kesulitan mencapai perjanjian perdagangan dengan Eropa, Amerika, dan Asia. Hal pertama yang dilakukan oleh Trump adalah merobek perjanjian TPP (Trans Pacifif Partnership atau Kesepakatan Trans Pasifik) dan TTIP (Transatlantic Trade and Investment Partnership atau Kesepakatan Perdagangan dan Investasi Transatlantik). Dia juga mengancam membatalkan NAFTA (North American Free Trade Agreement, Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara) kalau dia tidak bisa mendapatkan kesepakatan dimana Meksiko dan Kanada mengorbankan kepentingan mereka demi AS. Dia juga mengancam akan melumpuhkan WTO dengan memblokir penggantian hakim-hakim pengadilan WTO.
Tiongkok memiliki surplus perdagangan yang besar dengan AS, mencapai rekor 275,81 miliar dolar pada 2017. Inilah salah satu alasan utama Trump mengeluh mengenai Tiongkok yang katanya merusak ekonomi AS. Selama kampanye pilpres, Trump menuduh Tiongkok “menjarah Amerika”, mencuri pekerjaan AS, dsb. Sejak pilpres, dia terpaksa melunakkan bahasanya, karena dia ingin Tiongkok menekan Korea Utara. Tetapi tujuan ini tidak tercapai dan kontradiksi antara AS dan Tiongkok masih belum selesai. Di sini kita sudah saksikan cetak biru untuk perang dagang antara AS dan Tiongkok.
Trump bukan satu-satunya orang yang meluncurkan kebijakan proteksionis. Sejak permulaan krisis negeri-negeri kapitalis maju telah mengimplementasikan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan surplus perdagangannya. Ini sebagian dicapai lewat sejumlah kebijakan proteksionis. AS (di bawah Obama) menjadi pemimpin dunia dalam proteksionisme, tetapi juga Inggris, Spanyol, Jerman dan Prancis menjadi lebih proteksionis daripada Tiongkok.
Kita harus ingat kalau proteksionismelah yang mengubah keruntuhan 1929 menjadi Depresi Hebat 1930an. Bila proteksionisme merajalela, ini dapat meruntuhkan fondasi rapuh perdagangan dunia, dengan konsekuensi-konsekuensi serius.

Amerika Serikat – Krisis Tanpa Preseden
NOT MY PRESIDENT02Melemahnya AS secara relatif sejak Perang Dunia Kedua ditunjukkan oleh fakta bahwa pada 1945 lebih dari 50% PDB dunia diproduksi di AS, dan sekarang angka ini telah menurun menjadi 20%. Ketika kita berbicara mengenai melemahnya imperialisme AS secara relatif, kita tidak boleh membesar-besarkan proses ini. Pelemahan secara relatif berarti AS telah melemah dan tidak bisa lagi memainkan peran yang sama seperti dulu kala, seperti yang bisa kita lihat dalam krisis Suriah. Namun AS masih merupakan kekuatan adidaya dunia yang dominan dan hari ini tidak ada satupun negeri yang bisa menggantikannya, seperti ketika AS menggantikan Inggris di masa lalu.
Pelemahan secara relatif ini mempengaruhi kemampuan AS untuk mendominasi dunia secara ekonomi, politik dan diplomatik, dan juga kemampuannya untuk memberi kaum buruh Amerika taraf kehidupan yang baik, yang hari ini lebih buruk dibandingkan masa lalu ketika AS memiliki kestabilan internal. Realitas ini sekarang sedang merasuki kesadaran massa AS.
Mimpi Amerika sudah mati. Ia telah digantikan dengan mimpi buruk Amerika. Mimpi ini telah usai dan tidak akan kembali lagi. Perubahan dalam kesadaran rakyat di Amerika terungkap secara unik selama pilpres November 2016. Selama seratus tahun, kestabilan kapitalisme Amerika bersandar pada dua partai: Demokrat dan Republiken. Kedua partai ini bergantian berkuasa setiap saat.
Ada kekecewaan besar dan keinginan yang berkobar-kobar atas perubahan. Kita telah saksikan ini ketika rakyat memberi suara pada Obama, yang secara demagogi menjanjikan perubahan. Jutaan rakyat yang biasanya tidak ikut pemilu beramai-ramai mengantre untuk memberikan suara mereka untuk Presiden Hitam Amerika pertama. Mereka lakukan ini dua kali, tetapi pada akhirnya tidak ada perubahan. Oleh karenanya ada mood kemarahan, kekecewaan dan frustrasi yang tumbuh, terutama di antara lapisan yang paling miskin.
Mood ini secara jelas terekspresikan lewat kampanye Bernie Sanders. Awalnya tidak ada yang kenal siapa itu Bernie Sanders, sementara semua orang kenal Hillary Clinton. Namun ketika Bernie berbicara mengenai revolusi politik melawan kelas milyader, seruan ini mengena dengan banyak orang, terutama kaum muda. Pertemuan-pertemuan massa dengan puluhan ribu orang digelar untuk mendukung Bernie Sanders. Setidaknya satu survei mengatakan kalau Sanders bertarung melawan Trump di pilpres, dia akan menang. Tetapi dia disabotase oleh mesin partai Demokrat. Lebih parah lagi, dia menerima ini, yang menyebabkan demoralisasi di antara pendukungnya.
Kelas penguasa lebih memilih seorang yang bisa mereka kendalikan, seperti Hillary Clinton. Mereka tidak menginginkan Trump karena dia adalah seorang pembangkang dengan penyakit egomania dan oleh karenanya sulit dikendalikan. Hillary Clinton adalah kacung kapitalis besar. Trump mewakili kelas yang sama tetapi dia punya pendapatnya sendiri mengenai bagaimana pemerintah harus dijalankan. Selama kampanye pemilu dia secara demagogi menarik simpati buruh. Untuk pertama kalinya, seorang kandidat presiden berbicara mengenai kelas buruh, seperti yang juga dilakukan Sanders. Ini tidak pernah terjadi. Bahkan kebanyakan kaum liberal sayap-kiri dan pemimpin serikat buruh selalu berbicara mengenai “kelas menengah”.
Penguasa yang ada melakukan segalanya untuk menghentikan Trump. Tetapi mereka gagal. Kelas penguasa menentang penyeludup yang demagogis ini. Kaum Demokrat menentangnya, dan juga mayoritas kaum Republiken. Semua media menentangnya. Dia bahkan berhasil mengasingkan Fox News (medianya kaum Republiken) untuk beberapa waktu. Media jelas adalah instrumen kuat di tangan kelas penguasa, dan kendati demikian dia menang.
Kemenangan Trump adalah gempa politik. Bagaimana bisa kita menjelaskan ini? Trump adalah seorang reaksioner, tetapi dia juga adalah seorang demagog yang handal, yang mengarahkan seruannya ke kaum pengangguran miskin yang terasingkan dan kaum buruh di wilayah RustBelt (daerah industri di Amerika bagian Barat Tengah yang sejak 1980an mengalami deindustrialisasi), menjanjikan mereka pekerjaan, mengecam tatanan yang ada dan para politisi elite di Washington. Dengan cara ini dia bersentuhan dengan mood kemarahan dan kekecewaan massa.
Bernie Sanders menyentuh mood yang sama. Tetapi dia disabotase oleh mesin Partai Demokrat. Dan ketika Sanders akhirnya menyerah dan menyerukan dukungan untuk Hillary Clinton, banyak yang lalu melihat Trump sebagai pilihan “yang terbaik dari yang terburuk,” dan dia lantas memenangkan pilpres. Banyak pendukung Sanders yang entah abstain dari pemilu atau berpikir, “Bila kita tidak dapat memberi suara kita untuk Sanders, kita akan memilih Trump.”
Kampanye Trump ditandai oleh mobilisasi lapisan pemilih yang sebelumnya tidak aktif, dan menerima jumlah suara absolut yang lebih banyak daripada kandidat-kandidat Republiken lainnya dalam sejarah, walaupun dia memenangkan persentase yang lebih rendah dibandingkan kandidat Republiken Mitt Romney pada 2012. Akan tetapi, kemenangannya juga mengekspose watak tidak-demokratik dari sistem ElectoralCollega AS, dimana Trump menang walaupun jumlah suaranya tiga juga lebih sedikit dibandingkan Clinton.
Mayoritas borjuasi tidak senang dengan perubahan situasi yang tak terduga ini. Tetapi mereka juga tidak khawatir awalnya. Mereka memiliki seribu satu cara untuk mengendalikan politisi yang sulit. Awalnya mereka mencoba menenangkan diri mereka sendiri dengan gagasan kalau apa yang dikatakan Trump selama kampanye hanyalah propaganda, dan dia akan bersikap rasional segera setelah dia memasuki Gedung Putih (dalam kata lain, dia akan tunduk pada perintah kelas penguasa). Tetapi mereka keliru. Sang Presiden di Gedung Putih ini ternyata sulit dikendalikan.
Kaum Demokrat punya penjelasan sederhana mengapa Trump menang: mereka salahkan Rusia, sementara Hillary Clinton juga menyalahkan Sanders. Semua ini hanya membuktikan kalau Partai Demokratik sampai saat ini masih belum memahami mengapa Trump menang. Mereka mengorganisir sebuah kampanye yang mengklaim bahwa Rusialah yang bertanggung jawab atas peretasan komputer yang menentukan hasil pilpres.
Tuduhan mengenai keterlibatan Rusia dalam meretas dokumen mungkin saja benar dan juga mungkin saja tidak. Tetapi banyak negeri, dan terutama AS, yang terus meretas, menyadap telepon dan mengintervensi masalah internal negeri-negeri lain, termasuk “sekutu” mereka seperti yang dipelajari oleh Merkel [Kanselir Jerman Angela Merkel teleponnya disadap oleh Amerika Serikat – Editor]. Tuduhan kalau Rusia menentukan suara jutaan warga AS adalah teramat kekanak-kanakan.
Yang tidak ada presedennya adalah fakta kalau hari ini Presiden AS berkonfrontasi secara publik dengan FBI dan seluruh instansi intelijen Amerika. Instansi  rahasia seharusnya rahasia, dan mereka adalah jantung dari aparatus negara borjuis. Ketika instansi-instansi ini berbenturan secara publik dengan presiden, secara terbuka membangkang dan ingin menendangnya keluar dari kepresidenan, hal seperti ini tidak pernah terdengar. Dan di tengah hingar bingar ini, semua orang lupa isi email-email yang diretas ini. Dan tidak ada yang ingin bertanya apakah isi email ini benar atau tidak.
Pada kenyataannya, tuduhan-tuduhan yang terkandung dalam materi-materi yang diterbitkan oleh Wikileaks sungguh benar adanya. Di antaranya email tersebut membuktikan bahwa aparatus Partai Demokratik menggunakan trik-trik kotor untuk menghalangi Bernie Sanders dan memenangkan Hillary Clinton. Ini jelas adalah intervensi paling blak-blakan dalam pemilu AS. Tetapi di tengah hingar bingar mengenai “intervensi Rusia”, semua ini dengan enaknya dilupakan.
Revolusi tidak dimulai di bawah; mereka dimulai di atas dengan perpecahan di antara kelas penguasa. Di sini kita saksikan perpecahan terbuka dalam pemerintah. Ini bukan krisis politik yang normal. Ini adalah krisis dalam rejim. Badan-badan intelijen – yakni pasukan elite kelas penguasa – tidak suka terlihat mengintervensi politik, walaupun ini mereka lakukan setiap saat dengan diam-diam. Oleh karenanya sungguh sangat luar biasa ketika hari ini mesin dan intrik FBI dipampang begitu terbuka di hadapan rakyat jelata Amerika Serikat.
Situasi politik hari ini di Amerika tidak ada presedennya dalam sejarah. Presiden terpilih berbenturan langsung dengan mayoritas pemerintah, dengan media, dengan FBI, dengan CIA, dan semua badan intelijen lainnya, yang sedang coba digunakan oleh kelas penguasa untuk menyingkirkan Trump atau memaksanya tunduk.

Perubahan Kesadaran
Banyak kaum Kiri di Eropa yang telah menelan bulat-bulat pandangan bahwa rakyat Amerika adalah reaksioner, sayap kanan, dan tidak akan pernah mendukung sosialisme. Ini sama sekali tidak benar. Ada survei yang diambil sebelum kampanye Sanders, yang bertanya ke anak-anak muda di bawah umur 30 tahun, “Apakah kamu akan memberi suara untuk seorang Presiden sosialis?” dan 69% menjawab iya.
Survei yang sama mengajukan pertanyaan yang sama pada rakyat Amerika berumur 65 tahun ke atas, dan “hanya” 34 persen menjawab iya. Hasil ini bahkan lebih luar biasa. Setelah 100 tahun propaganda keji yang menghitamkan sosialisme dan komunisme, hasil survei ini menunjukkan perubahan kesadaran yang tajam.
Perubahan kesadaran ini tidak terbatas hanya pada lapisan bawah. Dengan cara yang unik, reaksioner dan terdistorsi, kemenangan Donald Trump mencerminkan kemarahan jutaan rakyat kelas pekerja dan yang lainnya terhadap tatanan dan sistem yang ada. Tentu saja massa hanya belajar lewat pengalaman. Dan pengalaman akan menunjukkan – dan banyak sudah mulai menunjukkan – bahwa apa yang dikatakan oleh Trump adalah konyol. Di periode selanjutnya gerakan-gerakan yang lebih besar sedang dipersiapkan.
Pada kenyataannya ini sudah dimulai. Segera setelah terpilihnya Trump, demonstrasi-demonstrasi besar meledak di setiap kota. Demonstrasi Perempuan (Women’s March) adalah protes terbesar dalam sejarah Amerika Serikat, yang terjadi pada hari pelantikannya. Dan ini hanya permulaan saja.
Alasan mengapa kelas penguasa membenci Trump adalah karena dia menghantarkan pukulan besar pada konsensus yang sudah rapuh antara kaum Demokrat dan kaum Republiken. Pelemahan konsensus inidapat mengarah ke konsekuensi-konsekuensi yang berbahaya, seperti kita saksikan dengan penutupan pemerintah baru-baru ini. Runtuhnya politik tengah mencerminkan semakin besarnya jurang dan polarisasi tajam antar kelas dalam masyarakat AS. Ini memiliki implikasi yang paling serius untuk masa depan.
Obama dan kaum Demokrat adalah pihak yang bertanggung jawab atas kemenangan Donald Trump. Tetapi Trump sendiri sedang memperdalam proses radikalisasi sosial dan politik, yang akan mempersiapkan ayunan ke kiri yang bahkan lebih besar. Survei paling mutakhir menunjukkan rekor 61% rakyat Amerika menentang Partai Demokrat dan Republiken, dan berpendapat bahwa sebuah partai besar yang baru dibutuhkan. Survei ini menunjukkan bagaimana rakyat Amerika mengecam sistem dua-partai yang ada. Di antara kaum muda, angkanya mencapai 71%. Polarisasi ke kiri dan ke kanan ini telah mendorong lonjakan tiba-tiba kelompok DSA (Democratic Socialist America; Sosialis Demokratik Amerika), sebuah kelompok kiri yang secara historis ada di pinggiran Partai Demokrat.
Sebelum kampanye Sanders, DSA memiliki sekitar 6000 anggota, yang kebanyakan adalah orang-orang berumur, yang dipenuhi dengan cara pandang reformis. Tetapi sejak terpilihnya Trump, keanggotaan DSA melejit melebihi 30 ribu, kebanyakan kamu muda yang mencari sebuah organisasi sosialis. DSA muncul di wilayah-wilayah baru dimana sebelumnya mereka tidak punya basis, dan sedang membangun basis di banyak kampus di seluruh penjuru AS. Sekarang ada debat internal dalam DSA untuk pecah sepenuhnya dengan Demokrat. Ada selapisan anggota yang bergerak ke gagasan-gagasan radikal dan sangat terbuka dengan gagasan Marxisme revolusioner. Masa depan organisasi ini masih belum jelas, tetapi bila DSA pecah dari Demokrat dan mengadopsi posisi kelas yang mandiri, maka organisasi ini punya potensi untuk memainkan peran penting dalam pembentukan partai sosialis massa di AS.

Kanada dan Quebec
Kanada tidak terhantam keras krisis 2008 seperti banyak negara lainnya, karena gelembung perumahannya lebih kecil dan perekonomiannya ditopang oleh ekspor sumber daya alam ke Tiongkok yang sedang booming. Oleh karenanya Kanada tidak menerapkan kebijakan pengetatan sekeras negeri-negeri OECD (kapitalis maju) lainnya. Akan tetapi faktor-faktor yang menyebabkan kestabilan sekarang telah berbalik. Kredit murah telah mendorong pertumbuhan hutang dan ledakan dalam biaya perumahan. Hutang rumah tangga sekarang telah mencapai 171% dari pendapatan pertahun, dan terus meningkat. Tiongkok tidak bisa lagi mendorong harga minyak dan tambang seperti dulu, sementara ancaman proteksionis Trump untuk keluar dari NAFTA mengancam ekspor Kanada. Pelemahan ekonomi global yang baru akan mempertajam semua kontradiksi ini.
Quebec telah menyaksikan sebuah periode perjuangan kelas yang intens, dimulai dengan pemogokan mahasiswa pada 2012. Sayangnya, karena kombinasi ultra-kiri-isme dari selapisan kepemimpinan gerakan mahasiswa, dan kapitulasi oportunis dari kepemimpinan serikat buruh, gerakan ini telah menurun. Namun lapisan muda dan buruh yang aktif sedang mencari jawaban atas kebuntuan ini.
Nasionalisme Quebec sedang dalam krisis. Parti Quebecois (PQ; partai nasionalis di Quebec) telah bergerak ke kanan dan mengadopsi nasionalisme yang rasis. Selama memerintah, PQ telah menerapkan kebijakan pengetatan berulang kali dalam 40 tahun terakhir, dan ini menjelaskan mengapa kaum muda melihat PQ sebagai bagian dari tatanan lama. Partai QuebecSolidaire (QS; sebuah partai kiri nasionalis) dapat menyalurkan kemarahan rakyat, tetapi kepemimpinannya yang borjuis kecil selalu bingung dan membuat banyak kesalahan. Biasanya ketika QS fokus pada isu-isu kelas buruh mereka meraih dukungan, tetapi ketika mereka fokus pada masalah kemerdekaan mereka dilihat sama seperti PQ.
Tidak ada antusiasme untuk referendum kemerdekaan yang baru di antara kaum buruh dan muda yang sadar kelas. Walaupun kita tidak boleh menihilkan kemungkinan kegeraman kelas massa mengekspresikan dirinya lewat gerakan kemerdekaan nasional, untuk jangka pendek ke depan perspektif ini kecil kemungkinannya.

Tiongkok
Perekonomian Tiongkok telah mengalami perkembangan kekuatan produksi yang luar biasa besar dalam 40 tahun terakhir. Ini adalah salah satu faktor utama yang menopang perekonomian dunia selama 20-30 tahun terakhir dan mencegahnya runtuh. Tetapi ini telah mencapai batasannya. Pertumbuhan Tiongkok telah melambat secara drastis dan sekarang kurang dari 7%. Ini sangat rendah untuk standar Tiongkok.
Ada banyak kontradiksi yang kompleks dalam perekonomian Tiongkok. Manufaktur Tiongkok sangat tergantung pada ekspor. Untuk menjaga laju pertumbuhan Tiongkok harus mengekspor. Bila Eropa dan Amerika tidak mengkonsumsi seperti dulu, Tiongkok tidak dapat memproduksi seperti dulu karena mereka membutuhkan pasar asing untuk menyerap surplus produk mereka. Dan bila Tiongkok tidak berproduksi, maka negara-negara lain seperti Brasil, Argentina dan Australia tidak dapat mengekspor bahan mentah mereka. Maka globalisasi memanifestasikan dirinya sebagai krisis global sistem kapitalis.
Setelah krisis finansial global, penguasa Tiongkok khawatir. Dari estimasi mereka, mereka harus mempertahankan pertumbuhan tahunan 8% untuk mencegah akumulasi kekecewaan massa yang dapat mengancam kekuasaan mereka. Mereka meluncurkan kebijakan Keynesian dan meluncurkan rencana investasi infrastruktur publik baru yang tidak ada presedennya. Mereka gunakan sistem perbankan milik negara untuk meluncurkan kebijakan pelonggaran moneter terbesar dalam sejarah, dengan menawarkan hutang murah. Tetapi ini menciptakan kontradiksi-kontradiksi baru yang mengancam kestabilan Tiongkok dan seluruh dunia di masa depan.
Sebagai konsekuensi dari kebijakan ini, hutang pemerintah Tiongkok meningkat dua kali lipat, mencapai 46,2% PDB, walaupun ini masih relatif lebih rendah dibandingkan AS. Akan tetapi total hutang (hutang negara, bank, bisnis dan rumah tangga) telah tumbuh secara eksponensial dan berisiko kehilangan kendali. Dalam jumlah absolut, total hutang Tiongkok melejit dari 6 triliun dolar AS pada 2008 ke 28 triliun dolar pada akhir 2016. Sebagai persentase GDP, total hutang meningkat dari 140% ke hampir 260% pada periode yang sama. Dan angka resmi ini jelas tidak memberikan gambaran yang lengkap.
Sangatlah mungkin total hutang Tiongkok lebih dekat ke 300% GDP, dan estimasi ini tidak mengikutsertakan sektor perbankan gelap yang tidak teregulasi, yang diperkirakan bernilai 30-80% PDB. Bank Dunia di laporannya pada Oktober 2017 mengenai perekonomian Asia Timur dan Pasifik secara khusus melaporkan kalau perbankan gelap ini adalah salah satu ancaman terbesar terhadap kemakmuran wilayah ini.
Perekonomian Tiongkok jelas diselamatkan dalam jangka pendek oleh keputusan pemerintah untuk membuka pintu hutang, tetapi ini telah menghasilkan perekonomian yang tergantung pada pinjaman dan terancam oleh gelembung aset yang besar. Ujian yang sesungguhnya akan datang ketika Beijing mencoba mengurangi ketergantungan hutang ini. Ini dapat memercikkan keruntuhan finansial, yang ditakuti oleh para ekonom borjuis dapat menghantam perekonomian dunia. Tahun lalu, IMF mengeluarkan peringatan mengenai keengganan Beijing untuk menghentikan laju pertumbuhan hutang yang sudah mencapai level berbahaya.
Pada saat ini keruntuhan sistem finansial Tiongkok tampaknya tidak akan terjadi. Tetapi keruntuhan 2008 juga pada saat itu tampaknya tidak akan terjadi, sebelum ini benar-benar terjadi. Karena sektor pemerintahan yang kuat, pemerintahan Tiongkok punya kendali yang lebih besar terhadap peminjam dan pemberi pinjaman dibandingkan ekonomi pasar lazimnya. Pemerintah dapat memerintah bank milik negara untuk terus memberi pinjaman pada perusahaan-perusahaan yang merugi atau ke pemberi pinjaman kecil yang mengandalkan kredit jangka pendek untuk likuiditasnya. Pada akhir Desember 2017, Tiongkok memiliki cadangan mata uang asing sebesar $3.14 triliun yang dapat digunakannya untuk “keperluan darurat”, tetapi ini pun tidak akan menyelamatkan mereka selamanya.
Ini memungkinkan Tiongkok untuk menunda masalah ini lebih lama. Tetapi menunda masalah tidak berarti menyelesaikannya. Sebaliknya, semakin lama masalah ini ditunda, semakin meledak-ledak dan besar krisis yang akan datang. Cepat atau lambat, krisis ini akan tiba. Perlambatan ekonomi telah menyebabkan peningkatan besar dalam tingkat pengangguran, yang disembunyikan oleh statistik pemerintah, yang tidak mencakup jutaan buruh migran yang datang dari daerah pedesaan karena mereka tidak bisa mendapat pekerjaan. Ini akan mempengaruhi situasi politik dan sosial.
Kita tidak bisa memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi di Tiongkok. Di dalam sebuah negara yang totaliter, berita disensor dengan ketat. Tetapi pemogokan dan demonstrasi meluas. Jumlah “insiden” ini meningkat dua kali lipat antara 2011 dan 2015, dan ini hanya puncak gunung es saja. Rejim ini berhasil menghentikan gelombang pemogokan dengan menekan perusahaan-perusahaan yang tidak membayar gaji tepat waktu dan menghukum kasus-kasus korupsi sebagai pencitraan bahwa mereka ada “di sisi buruh”.
Di bawah permukaan yang tenang ada kegeraman besar yang sedang terakumulasi. Ketidakadilan membuat massa semakin geram; tindakan sewenang-wenang birokrasi yang mencuri tanah kaum tani, perusakan lingkungan hidup, dimana Beijing dan kota-kota lainnya diselimuti oleh kabut beracun, dan di atas segalanya ketimpangan yang memuakkan, yang secara terbuka mengejek klaim kalau Tiongkok adalah sebuah negara sosialis.
Kaum buruh Tiongkok dapat menoleransi semua ini selama mereka merasa kalau hidup mereka menjadi lebih baik. Tetapi sekarang ini sudah tidak lagi demikian. Nasib Tiongkok tergantung pada masa depan pasar dunia. Tiongkok tumbuh dari partisipasinya dalam pasar dunia, tetapi semua kontradiksi kini telah berbalik menghantam mereka. Ada situasi yang eksplosif yang dapat meledak kapanpun tanpa peringatan.

Relasi Dunia
Konflik dengan Korea Utara dengan jelas mengekspos keterbatasan dari kekuatan imperialisme AS. Trump mengancam akan menghancurkan Korea Utara, tetapi ancamannya tidak memiliki efek terhadap Pyongyang, selain meningkatkan hingar bingar dan mendorong Korut untuk meningkatkan tes nuklir dan roket yang terbang di atas Jepang. Kim Jong-un mengklaim kalau sekarang roketnya dapat mencapai AS.
AS mempertimbangkan membangun basis misil di Korea Selatan, yang ditentang keras oleh Tiongkok. Trump terpaksa menjilat ludahnya sendiri dan mencari dukungan dari Tiongkok untuk menekan Korut. Tiongkok, pada kenyataannya, telah memberi tekanan halus ke rejim Korut untuk mendorongnya ke arah yang diinginkannya, untuk mengekangnya guna mencegah konflik terbuka dan berbahaya dengan AS. Ini jauh dari apa yang diinginkan Trump. Tetapi tujuan utama Tiongkok adalah mencegah runtuhnya rejim Korut.
Semua ini mengekspos ketidakmampuan AS untuk melindungi sekutu-sekutunya. Duterte, “penguasa tangan besi” Filipina mengatakan bahwa AS banyak bicara tetapi tidak bisa melakukan apapun. Dia menarik kesimpulannya sendiri dan sekarang mendorong Filipina ke orbit Tiongkok. Korea Selatan sekarang lebih dekat dengan Tiongkok secara diplomatik, terutama karena permusuhan historisnya dengan Jepang.
Thailand yang sebelumnya adalah sekutu terdekat AS telah mengumumkan kalau mereka akan membeli kapal selam dari Tiongkok, yang berarti kerja sama dengan Tiongkok. Rencana pembelian ini terhenti sementara karena tekanan dari AS, tetapi tampaknya akan terus berjalan. Kudeta 2014 di Thailand dikecam oleh AS, tetapi dipuji oleh Tiongkok. Vietnam dan Malaysia juga telah membangun hubungan ekonomi yang lebih erat dengan Tiongkok, walaupun relasi antara Tiongkok dan Vietnam dirumitkan oleh sengketa wilayah, terutama terkait dengan klaim Tiongkok atas Laut Cina Selatan.
Tiongkok dan Amerika sedang bersaing memperebutkan pasar dan pengaruh. Banyak negara yang partner dagang nomor satunya adalah Tiongkok. Tiongkok punya saham di dua pertiga dari 50 pelabuhan terpenting di dunia. Proyek “One Belt One Road”nya adalah proyek diplomatik dan finansial terbesar sejak Rencana Marshall [Rencana Marshall adalah proyek infrastruktur dan stimulus besar yang diluncurkan AS di Eropa pasca Perang Dunia II].
Ketegangan antara kedua kekuatan ini paling tajam dalam masalah Laut Cina Selatan, dimana kelas penguasa Tiongkok telah mengembangkan Doktrin Monroe-nya sendiri [Doktrin Monroe adalah kebijakan imperialis AS untuk mendominasi Amerika Latin], yang berarti mereka harus punya kendali atas halaman belakang mereka sendiri. Proyek “pembangunan pulau” Tiongkok yang provokatif ditentang oleh Washington, yang telah mengirim kapal-kapal perang untuk menekankan apa yang mereka sebut “kebebasan laut”.
Sebelum Perang Dunia Kedua, ketegangan antara AS dan Tiongkok seperti hari ini sudah pasti akan mengarah ke peperangan. Tetapi Tiongkok yang bersenjata nuklir sudah bukan lagi negeri semi-kolonial yang lemah, dan tidak ada kemungkinan AS dapat menyerang dan menjajah Tiongkok hari ini.
Sumber: Militan Indonesia