Oleh: Dwi Dikmansyah | Mar
16, 2018
Keluarga korban kekejaman
PKI dari Jawa Timur mendatangi kantor Komnas HAM, Jl. Latuhahari No. 4B Menteng
Jakarta Pusat, Rabu (14/3/2018). Mereka menolak SKKPH yang diajukan YPKP 65.
SIAGAINDONESIA.COM Rombongan keluarga korban Partai
Komunis Indonesia (PKI) dari Jawa Timur sekitar 40 orang ngeluruk ke
kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jl. Latuhahari No. 4B
Menteng Jakarta Pusat, Rabu (14/3/2018).
Mereka terdiri dari Yayasan Pusat Kajian Komunitas
Indonesia (YPKKI), Yayasan Masyarakat Peduli Sejarah (YMPS), dan Komunitas
Keluarga Korban Keganasan PKI (KKKKPKI) Tahun 1948 dan 1965.
Kedatangan massa ini terkait dengan Surat Keterangan
Korban Pelanggaran HAM (SKKPH) yang pernah diajukan oleh Yayasan Penelitian
Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP 65) pada eks PKI yang tertuang pada surat
Nomor 010118 tertanggal 13 Januari 2018. Surat tersebut meminta Komisioner
Komnas HAM yang baru periode 2017-2022 melanjutkan pengungkapan pelanggaran HAM
terhadap anggota dan simpatisan PKI yang dibunuh sepanjang 1965-1966 lalu.
Surat itu telah diberikan Komnas HAM kepada para eksil
Pulau Buru yang dituduh simpatisan PKI agar menjadi syarat bagi korban untuk
memperoleh pelayanan medis atau psikososial dari Lembaga Perlindungan dan Saksi
(LPSK). Sebagai informasi, Pulau Buru yang masuk wilayah Maluku adalah tempat
pengasingan 12.000 orang-orang yang dianggap sebagai simpatisan dan anggota
PKI.
Komisioner periode sebelumnya telah menerbitkan
rekomendasi hasil Tim Penyelidik pro yustisia peristiwa 1965-1966 yang belum
ditindaklanjuti Kejaksaan Agung. Di samping itu, komisioner sebelumnya juga
telah berupaya mendorong pemerintah mengungkap pelanggaran HAM 1965-1966
melalui Simposium 1965 pada 2016 lalu.
Sebaliknya, keluarga korban PKI beranggapan jika SKKPH
menjadi tanda-tanda kebangkitan PKI. Salah satu kebangkitan itu, terwujudnya
permohonan SKKPH kepada Komnas HAM. Â Dengan membentangkan spanduk, massa
menyuarakan aspirasinya. Menurut mereka, PKI adalah pelaku kudeta yang gagal,
dan bukan korban seperti yang dikesankan selama ini.
Korban keganasan PKI berharap Komnas HAM berlaku adil
terhadap hukum karena PKI sudah memberontak beberapa kali dan menimbulkan
korban ribuan dari TNI, polisi dan para kiai. Mereka sedang bangkit dengan
memutar balikkan fakta dan menuduh rakyat Indonesia sebagai pelaku. Di kantor
Komnas HAM, massa sempat kecewa karena tidak ditemui komisioner Komnas HAM.
Sehingga untuk meluapkan emosi, mereka membakar spanduk bergambar palu arit.
Namun tidak sedikit pihak menganggap aksi keluarga korban
PKI di kantor Komnas HAM ditunggangi kepentingan. Kedatangan mereka jauh-jauh
dari Jawa Timur karena pesanan dan dibiayai sejumlah pihak untuk kepentingan
Pilkada serentak 2018. Sayangnya, anggapan itu tidak benar.
Laporan intelijen yang diterima siagaindonesia.com,
aksi penolakan keluarga korban PKI murni berangkat dari hati nurani. Mereka
datang dari berbagai seperti Madiun, Nganjuk, Magetan, Ponorogo, Pacitan,
Trenggalek, dan Ngawi. Untuk berangkat ke Jakarta, anak-anak dari keluarga
korban PKI harus mondar-mandir untuk patungan mengumpulkan biaya akomodasi ke
Jakarta.
Salah satu keluarga korban kekejaman PKI R. Soenaryo
mengungkapkan, pihaknya datang ke Komnas HAM karena tuntutan nurani. Dia ingin
meluruskan agar generasi penerus bangsa tidak tertipu oleh pembelotan sejarah.
Menurutnya, kejadian peristiwa kekejaman PKI tahun 1948 sampai 1965 bisa
dilacak dengan jelas.
"Garis keturunan si korban dan korban masih ada di daerah-daerah sekitar Nganjuk, Jawa Timur", ungkapnya.
Naryo sedikit mengisahkan, bahwa kakeknya Sastro
Sumarsono sempat menjadi korban kekejaman PKI. Tahun 1948, Sastro adalah
seorang mantri polisi praja. Dia diculik oleh gerakan PKI. Setelah lama
menghilang, sang kakek kembali pulang.
Sepulangnya ke rumah dan berkumpul dengan keluarga,
termasuk dengan dirinya yang ketika itu masih duduk di bangku kelas 1 SMP,
Sastro menceritakan kalau dirinya diculik hingga mengalami penyiksaan bersama
pamong praja lainnya di Dungus, Madiun.
Di sana mereka akan dibantai. Sumur-sumur pembantaian
sudah disiapkan. Sadisnya, korban dibantai dengan cara digergaji.
“Dibantainya tidak dengan golok tapi digergaji,†kata Naryo mengisahkan cerita kakeknya.
Para pamong praja yang akan dibantai itu, lanjut Naryo
mengisahkan, didudukkan di kursi dengan tubuh diikat hingga tak mampu bergerak.
Satu persatu dari mereka lalu disiksa secara bergiliran hingga tewas lalu
dimasukkan ke dalam lubang sumur yang sudah disiapkan.
Sastro urutan nomor 3. Ketika pamong praja yang duduk di
kursi nomor 2 dieksekusi oleh PKI, terdengarlah suara tembakan yang diletupkan
tentara Siliwangi. Seketika para jagal PKI kabur meninggalkan tawanannya.
“Alhamdulillah Allah SWT menyelamatkan kakek saya, dengan mendatangkan pasukan Siliwangi. Ikatan ditubuh kakek dan teman-temannya dilepaskan oleh tentara Siliwangi. Hingga kakek bisa pulang dan berkumpul bersama keluarga,” kisahnya.
Naryo berharap pemutarbalikan fakta sejarah bahwa PKI dan
keluarganya adalah korban harus dihentikan. Sebab pemahaman ini sangat
membahayakan generasi muda dan menjadi bingung.
“Yang harus tegas adalah pemerintah menindak keras dan Komnas HAM harus bersifat seimbang,” pungkasnya.
Karena itu keluarga korban PKI juga mempertanyakan
mengapa Komnas HAM selalu berpihak pada PKI, bukan kepada keluarga korban PKI.
Sebab ada fakta PKI pada 6 Februari diterima Komnas HAM di depan Komisi HAM
Internasional PBB. Nahm jika tuntutan SKKPH dikabulkan Komnas HAM, maka akan
ada pemutarbalikkan sejarah. Dan ini sangat berbahaya bagi generasi muda.
Dalam hal ini Komnas HAM harus menggali testimoni.
Sehingga negara dan pihak lain yang berwenang dapat meluruskan sejarah kelam
PKI dan korban-korbannya. Jangan sampai permintaan mencabut TAP MPRS XXV Tahun
1966 terjadi. Itu sudah produk hukum, sesuatu yang final. Sebab, cuma dengan
itu, paham komunisme tidak akan berkembang luas di Indonesia.
Dari Revolusi ke
Revisionis
SKKPH untuk eks PKI, diakui atau tidak, telah menjadi
bukti nyata kebangkitan paham komunis. Hal itu ditegaskan Arukat Djaswadi,
Koordinator Keluarga Korban Kekejaman PKI 1948 dan 1965 yang mengatakan
kebangkitan PKI bukanlah mengada-ada. Menurut Djaswadi, mereka yang ditengarai
PKI belum lama ini mengaku sebagai korban. Lalu timbul pertanyaan, siapa
pelaku?
Baginya PKI tetaplah sebagai pelaku, sebab sudah terang
keluarganya adalah korban. Semestinya kenyataan ini tidak diputarbalikkan. Dia
lantas mempersilahkan siapapun untuk ke Madiun, Magetan, Kanigoro, agar dapat
menyaksikan sendiri kenyataan sebenarnya yang terjadi, ribuan orang dibunuh
PKI.
Aksi YPKKI, YMPS, dan KKKKPKI adalah murni ingin
mempertahankan empat pilar kebangsaan, yaitu Ideologi Pancasila, UUD 1945,
Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Sehingga perlu adanya sikap kewaspadaan
nasional menghadapi setiap ancaman ideologis dan teritorial bangsa dan negara.
Karena itu pihaknya juga mempertanyakan keberpihakan
Komnas HAM dalam masalah tersebut. Jika SKKPH betul diberikan, berarti Komnas
HAM berpihak pada PKI.
”Kita harapkan Komnas HAM untuk bertindak adil menegakkan hukum”, tegasnya.
Djaswadi menambahkan, kebangkitan PKI saat ini telah
dilakukan dengan cara metamorfosis, yaitu melakukan perubahan strategi
perjuangan dari pola revolusi model RRC ke pola baru revisionis.
Dibeberkannya, kebangkitan kembali PKI itu antara lain
terwujud dengan melakukan propaganda, provokasi, dan pembentukan opini publik
bahwa PKI bukanlah pelaku, melainkan korban kebiadaban G 30 S PKI Tahun 1965.
"Mereka telah membentuk kelompok Paguyuban Korban Orde Baru (PAKORBA) yang dipimpin Sulami (meninggal) tokoh Gerwani dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPKROB) pimpinan Semaun Utomo, dan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65 (YPKP 65), yang dipimpin Bedjo Untung serta sayap-sayap komunis lainnya,” paparnya panjang lebar.
Para eks PKI selama ini telah berjuang dengan mengajukan
berbagai tuntutan secara politik dan hukum yang dinilai membatasi ruang gerak
mereka, antara lain dengan cara; menuntut pencabutan TAP MPRS No. 25 Tahun 1966
dalam Sidang MPR tahun 2003 yang saat itu dipelopori oleh Fraksi PDIP dengan
Ketua Fraksi Permadi SH; melakukan gugatan class action di PN Jakarta
Pusat tahun 2004 untuk  menuntut Presiden SBY dan presiden-presiden
sebelumnya  memberikan ganti rugi kepada orang-orang PKI dengan besaran
per orang antara Rp 975 juta hingga Rp 2,5 miliar.
Gugatan ini ditolak oleh PN Jakarta Pusat; mendorong
lahirnya RUU KKR yang kemudian menjadi UU KKR No.27 tahun 2004. UU ini mereka
nilai  sebagai pintu masuk kebangkitan kembali PKI setelah jalur hukum
dan politik gagal dengan harapan PKI bisa bergandeng tangan  dengan
partai-partai lain yang sepaham; membaca dan menelaah UU KKR itu, beberapa LSM
Jawa Timur melakukan Judicial Review (JR) ke MK agar  UU KKR itu
dibatalkan. Pada saat yang sama eks PKI juga melakukan tuntutan perubahan
pasal-pasal yang berpihak pada pelaku, bukan korban. MK memutuskan membatalkan
UU tersebut karena dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Karena itu sikap keluarga korban PKI sudah jelas, mereka
menolak kebangkitan PKI dalam segala bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk
adanya wacana permohonan SKKPH dari eks PKI kepada Komnas HAM. Pasalnya, hal
ini nantinya akan dipakai sebagai peluang kuat dan dalih bahwa PKI bukanlah
pelaku, tapi korban tragedi 1965.
Juga, menegaskan dengan sungguh-sungguh bahwa korban
kebiadaban PKI tahun 1948 dan 1965 adalah umat Islam yang menjunjung tinggi
empat pilar bangsa dan negara. Karena itu sejarah PKI perlu dipahami secara
utuh. Pemahaman sejarah yang dibaca sepotong-sepotong fragmen, sementara
sebagian fragmen telah dipenggal dan ditutup-tutupi, akan melahirkan pemahaman
menyimpang.
Sejarah pemberontakan PKI, jangan bilang PKI tidak
bersalah. Sebab peristiwa Madiun 1948 itu ulah biadab PKI. Dan betapa
pahitnya omongan Aidit yang bilang ulama itu tanpa kerjaan, kitabnya yang
banyak, yang bisa buat bendung kali Ciliwung tidak berguna, Indonesia tak butuh
ulama.
Dalam pandangan sejarah kontemporer yang tidak benar, PKI
hanya dianggap membuat manuver hanya tahun 1965. Itu pun juga tidak sepenuhnya
diakui, sebab peristiwa berdarah itu dianggap hanya manuver TNI Angkatan
Darat. Kemudian dibuat kesimpulan bahwa PKI tidak pernah melakukan petualangan
politik. Mereka dianggap sebagai korban konspirasi dari TNI AD dan ormas Islam
anti PKI seperti NU dan lain-lain.
Pemberontakan PKI pertama kali dilakukan tahun 1926,
kemudian dilanjutkan dengan pemberontakan Madiun 1948 dan dilanjutkan kembali
pada tahun 1965 adalah suatu kesatuan sejarah yang saling terkait. Para
pelakunya saling berhubungan. Tujuan utamanya adalah bagaimana meng-komunis-kan
Indonesia dengan mengorbankan para ulama dan aparat negara.
Pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan PKI beserta
Pesindo dan organ kiri lainnya menelan ribuan korban baik dari kalangan santri,
para ulama, pemimpin tarekat, yang dibantai secara keji. Selain itu berbagai
aset mereka seperti masjid, pesantren dan madrasah dibakar. Demikian juga
kalangan aparat negara baik para birokrat, aparat keamanan, polisi dan TNI
banyak yang mereka bantai saat mereka menguasai Madiun dan sekitarnya yang
meliputi kawasan strategis Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Anehnya, PKI menuduh pembantaian yang mereka lakukan itu
hanya sebagai manuver Hatta. Padahal jelas-jelas Bung Karno sendiri yang
berkuasa saat itu bersama Hatta mengatakan pada rakyat bahwa pemberontakan PKI
di Madiun yang dipimpin Muso dan Amir Syarifuddin itu sebuah kudeta untuk
menikam republik dari belakang, karena itu harus dihancurkan.
Dalam hal ini, massa dari keluarga korban PKI mendukung
sikap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak memberikan permintaan maaf
dan kompensasi apapun berupa SKKPH kepada para pelaku tragedi dan simpatisan
PKI.nv
Sumber: Siaga Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar