28 Maret 2018
Pengantar: Budiawan
Dari artikel ini, saya baru tahu kalau rektor ke-2 UGM, yaitu Prof. Ir. Herman Yohannes, ternyata bukan hanya diberhentikan dari jabatannya sebagai rektor pada awal 1966 karena oleh militer dianggap tidak tegas terhadap civitas akademika yang dianggap berhaluan kiri, tetapi juga sempat ditahan selama tiga bulan. Tetapi namanya kelihatannya kemudian direhabilitasi oleh pemerintah Orde Baru, karena kemudian selama dua periode beliau diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) (1968 - 1978), bahkan beliau ditetapkan sebagai pahlawan nasional, Di Jogja namanya dipakai untuk menamai jalan yang membentang dari perempatan depan Mal Galeria hingga SPBU Sagan.
Pengganti Prof. Herman Yohannes, yaitu drg. M. Nazir Alwi, rupanya bisa bersikap tegas terhadap civitas akademika (dosen, mahasiswa, mungkin juga pegawai) yang dianggap berhaluan kiri. Buktinya, lebih dari 3000 dosen dan mahasiswa UGM "hilang", entah ditapolkan atau mungkin dibunuh. Ini menurut hasil penelitian Dr. Abdul Wahid, yang menyebutnya "genosida intelektual". Berkat "ketegasan" drg. M. Nazir Alwi itulah UGM kemudian memperoleh penghargaan dari RPKAD. Tetapi beberapa waktu yang lalu ketika isu tragedi 65-66 dalam kaitannya dengan isu rekonsiliasi nasional diangkat ke permukaan, tertutama dengan adanya IPT '65 di Den Haag, sikap pimpinan UGM menjadi "masygul", atau tidak ingin hal itu dibicarakan kembali.
Saya kira, selama episode gelap dan kelam masa lalu itu ditutup-tutupi, semakin masa lalu itu tak akan pernah terselesaikan, semakin masa lalu itu sulit menjadi sejarah, dalam arti "what is no longer". Masa lalu bisa kita sebut telah menjadi sejarah, itu kalau kita membicarakannya kembali di masa kini sudah tidak ada muatan emosinya sama sekali. "ironis"-nya, untuk mencapai hal itu justeru masa lalu itu harus kita selesaikan, dengan cara dibicarakan secara terbuka, diakui bahwa itu adalah sebuah kesalahan, dan kemudian menjadi pengetahuan bersama.
***
©Gilang/BAL
Pada rentang waktu 1965-1966, terjadi pembantaian massal
di seluruh wilayah Indonesia terhadap para terduga komunis. Semua orang yang
berafiliasi ataupun diduga memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia
(PKI) ditangkap dan dibunuh. Mereka yang tertangkap namun tidak dibunuh harus
menjalani tahanan, kerja paksa, dan diskriminasi untuk waktu yang lama, bahkan
hingga saat ini.
Majelis Hakim International People Tribunal (Pengadilan Rakyat
Internasional) 1965 menyatakan pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas 10 kejahatan kemanusiaan berat pada kurun
1965-1966. Setelah mempertimbangkan berbagai bukti di pengadilan, putusan
dibacakan oleh Majelis Hakim, Zak Yacoob, pada 20 Juli 2015. Pemerintah
Indonesia dinyatakan sebagai pelaku yang bertanggung jawab dan harus meminta
maaf.
Dampak perisritiwa ‘65 tidak hanya membenturkan masalah ideologi
dan politik, namun pendidikan juga terkena dampaknya. UGM sebagai salah satu
perguruan tinggi di Indonesia terkena dampak yang cukup besar. Dengan
dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) No. 01/dar 1965 oleh Menteri Perguruan
Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP), semua organ yang diduga terafiliasi dengan
PKI dilarang untuk beroperasi dan anggotanya diadili. Lembaga yang dilarang
mencakup organ mahasiswa seperti Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI)
dan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PERHIMI). Anggota CGMI dan PERHIMI yang
menjabat posisi-posisi penting di Dewan Mahasiswa (DEMA) dan Komisariat Dewan
Mahasiswa (KODEMA) UGM juga mengalami dampak dari peristiwa ’65 berupa proses
penyaringan dan pemecatan.
Berdasarkan penelusuran di arsip UGM, ditemukan beberapa
SK yang berkaitan dengan pemecatan, penangkapan, dan penyingkiran dosen dan
mahasiswa yang dianggap terlibat G30S. Prof. Herman Johannes, Rektor UGM pada
1961 hingga 1966, meneken surat-surat tersebut. Melalui SK Rektor No. 15 tahun
1965, UGM menonaktifkan sementara beberapa mahasiswa anggota KODEMA fakultas
yang diduga berafiliasi dan menjadi anggota CGMI dan PERHIMI.
Keluarnya SK tersebut merupakan tindak lanjut dari
instruksi Menteri PTIP No. 02/Dar/1965 tentang pembekuan organisasi mahasiswa
CGMI dan PERHIMI. UGM pada masa-masa genting pasca tragedi ‘65, tepatnya pada
awal tahun 1966, pernah menerima kedatangan komandan Resimen Pasukan Komando
Angkatan Darat (RPKAD) saat itu, Sarwo Edhie Wibowo. Letnan Jenderal TNI ini
mendatangi UGM dan berbicara di depan mahasiswa mengenai peranan Resimen
Mahakarta (sekarang Resimen Mahasiswa) terhadap pemberantasan G30S. Fakta ini
didapatkan dari catatan buku tamu yang berisi daftar kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan pihak kampus periode 1960-an yang tersimpan di arsip UGM.
Muhayati, mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM tahun 1961
mengatakan bahwa para korban merupakan anggota-anggota organisasi yang dianggap underbow PKI oleh pemerintah masa
itu. Menurut mahasiswa yang saat itu menjadi korban pemenjaraan tanpa
pengadilan, organisasi-organisasi yang dianggap underbow PKI meliputi Gerakan Wanita Indonesia, CGMI,
Serikat Buruh Indonesia, Lembaga Kebudayaan Rakyat, Himpunan Sarjana Indonesia,
hingga Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia dan Buruh Tani Indonesia.
Terkait organ-organ yang dianggap underbow PKI, Muhayati yang pada
masa itu merupakan bendahara KODEMA Fakultas Kedokteran mengaku banyak
teman-temanya yang anggota CGMI tertangkap. Ia mengatakan, beberapa mahasiswa yang
tertangkap bukanlah anggota PKI.
“Hanya ideologi mereka yang sama dengan gerakan kiri, karena mereka membela rakyat kecil,” ungkapnya.
Prof. Dr. Ichlasul Amal, guru besar Ilmu Politik UGM
menceritakan bahwa keadaan UGM pada saat pasca G30S cukup mencekam. Ia
menerangkan bahwa kondisi kampus saat itu terbelah dua secara politis antara
kubu pro-Soekarno dan anti-Soekarno. Guru Besar FISIPOL UGM ini mengemukakan
bagaimana sengitnya pertempuran kedua kubu sehingga membuat suasana kampus
menjadi semakin tidak kondusif. Menurutnya, tidak jarang pula terjadi insiden
bentrokan antara sesama mahasiswa baik itu yang pro maupun anti Soekarno.
Amal juga mengungkapkan dalam situasi politik yang panas,
UGM sendiri tidak tegas dalam menentukan sikap.
“Membantu tidak, anti juga tidak,” jelasnya.
Amal menambahkan bahwa sikap Herman yang tidak tegas pada
tahun 1966 ini yang kemudian menjadi penyebab demo mahasiswa dengan skala yang
besar. Mahasiswa menginginkan ketegasan UGM dalam bersikap. Amal juga
mengatakan pada akhirnya Herman turun dari jabatan rektor, tidak cukup hanya
turun, Herman dipenjara selama tiga bulan.
Paham-paham kiri, seperti yang diakui Ichlasul Amal,
sangat mendominasi UGM pada masa itu. Ia mengatakan jumlah mahasiswa dan dosen
yang simpatik terhadap ideologi kiri pun mencapai jumlah yang signifikan di
lingkungan UGM. Hal ini menurutnya menyebabkan banyak yang terkena penyaringan
ideologis kampus. Salah satu dosen yang turut hilang yaitu dosen Sosiatri.
“Padahal dia termasuk dosen yang baik dalam penelitian,” jelas Amal.
Lebih jauh lagi, di salah satu sudut Museum UGM terdapat
satu piagam penghargaan bertanggalkan 19 Desember 1965, yang diberikan oleh
RPKAD kepada UGM sebagai institusi. Dalam piagam itu secara eksplisit tertulis
bahwa RPKAD menyampaikan rasa terima kasih kepada UGM yang telah memberikan
bantuan-bantuan bentuk apapun dalam rangka penumpasan Gestapu/PKI di Jawa
Tengah. Piagam penghargaan ini seakan menegaskan peran UGM dalam membantu upaya
pembersihan orang-orang yang dianggap sebagai biang keladi “kup”.
Menurut data yang diperoleh dari Dr. Abdul Wahid, dosen
Sejarah UGM, jumlah dosen dan mahasiswa yang dinonaktifkan oleh UGM jauh lebih
banyak dibandingkan kampus lain. Menurut data tersebut, di UGM jumlah warga
kampus yang terkena “jaring tangkapan” pemerintah mencapai 3.121 orang dan
menempatkannya di urutan pertama. Dalam data tersebut “jaring tangkapan” UGM
terlihat jauh lebih banyak dibandingkan dengan Universitas Padjadjaran yang
menempati posisi kedua, dengan total 252 orang dan IKIP Bandung di urutan
ketiga dengan jumlah 80 orang.
Sesuai dengan SK yang dikeluarkan terkait pemecatan
mahasiswa, Muhayati menceritakan bahwa setelah itu mahasiswa tidak dapat
melanjutkan masa studi perkuliahannya.
“Tidak mungkin saya kuliah lagi, tidak akan diterima,” tuturnya. Muhayati menambahkan bahwa pengumuman pemecatan dirinya didapat dari rekan satu fakultasnya yang mendapati nama Muhayati ada di papan pengumuman. Sebelum melihat papan pengumuman, Muhayati telah mengetahui bahwa dirinya akan diberhentikan.
Abdul Wahid mengistilahkan peristiwa di dunia akademik UGM
pasca G30S/PKI sebagai Genosida Intelektual. Ia menyinyalir hilangnya satu
generasi intelektual, produk dari periode tahun 1950-an, termasuk mereka yang
menjadi eksil. Padahal, menurutnya banyak dari mereka yang mendapat beasiswa
dari Soekarno untuk belajar di luar negeri, seperti Tiongkok dan beberapa
negara di Eropa.
Dilansir dari BBC, beberapa mahasiswa Indonesia yang dikirim
ke luar negeri untuk melanjutkan studi di masa pemerintahan Soekarno enggan
untuk kembali ke tanah air. Peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde
baru disinyalir menjadi penyebabnya. Misalnya Ronny Surjomartono, ia adalah mahasiswa UGM
pada tahun 1963 sebelum akhirnya ia dikirim ke Ceko untuk melanjutkan studi di
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Praha. Ia enggan kembali ke tanah air karena
kebijakan pemerintah Soeharto yang memenjarakan para teduga komunis dan
kelompok pendukung Soekarno. Ia kemudian menetap di luar negeri sebagai eksil.
Dalam penelitian yang dilakukan Willy Afarius Arema,
mahasiswa sejarah angkatan 2014, kondisi politik kampus setelah ‘65 ditandai
dengan dibentuknya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Organisasi-organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Indonesia, Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia dan beberapa organisasi mahasiswa lainnya tergabung
dalam KAMI. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia tidak diketahui pastinya
apakah bergabung atau tidak. “Tetapi kemungkinan separuhnya bergabung, mereka
semacam pengurus untuk mengisi DEMA yang dulunya diisi CGMI,” jelasnya.
Menurut Willy, untuk menjaga marwahnya dalam panggung
keilmuan, UGM turut melakukan perubahan komitmen. UGM yang sebelumnya merupakan
kampus sosialis berubah menjadi kampus kerakyatan merupakan suatu kewajaran
karena harus mengikuti arus utama. Sebagai salah satu bukti perubahan itu
adalah digantinya rektor pada kala itu Prof. Herman Johanes menjadi drg. Nazir
Alwi. “Tidak mungkin UGM tetap berkomitmen berideologi kiri ketika pemerintah
berhaluan lain,” ujar Willy.
Willy memaparkan, dalam suatu kesempatan menjelang
peringatan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1966 Rektor UGM drg. Nazir Alwi
berpidato. Isi pidato tersebut mengatakan bahwa UGM harus menjadi cermin
kecermelangan Orde Baru. Sehingga Willy menafsirkan bahwa sebenarnya ide dari
Nazir Alwi ini merupakan kepanjangan dari para penguasa Orde Baru nantinya.
Willy juga mengimbuhkan adanya slogan Orde Baru berisi koreksi total atas
segala kesalahan Orde Lama. Salah satu tandanya yaitu dengan rencana akan
kembali bekerjasama dengan instansi manapun. Sebagaimana pemerintah Orde Baru
kemudian kembali membuka hubungan dengan Amerika Serikat.
Upaya-upaya terus dilakukan berbagai pihak untuk membantu
menyelesaikan masalah ‘65. Dilansir dari BBC, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) mengharapkan Presiden Joko Widodo dapat mengambil inisiatif untuk meminta
maaf atau menyatakan penyesalan kepada korban pelanggaran HAM pasca ‘65.
Terkait upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM, Presiden Jokowi mengambil
langkah penyelesaian yang dicantumkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional.
“Kita tidak memiliki pilihan, (kasus dugaan pelanggaran HAM berat pasca 1965) itu harus diselesaikan. Karena itu menyangkut korban, menyangkut sejarah, menyangkut hak-hak orang,” ungkap Nur Kholis selaku Ketua Komnas HAM.
Pihak UGM sendiri sampai saat ini masih tidak jelas dalam
menentukan sikapnya perihal keterlibatan kampus dengan peristiwa G30S.
“Bukan kapasitas kami [UGM] untuk melakukan penelusuran,” tutur Dwikorita saat diwawancara the Jakarta Post 2015 lalu. Dwikorita saat itu, menginginkan UGM untuk fokus pada pengembangan ilmiah dan tidak ingin terjebak pada permasalahan yang berhubungan dengan sejarah kelam UGM.
Muhayati mengungkapkan kekecewaannya tentang stigma
masyarakat yang terbentuk pasca tragedi ‘65 telah menciptakan momok tersendiri.
Di samping kekecewaannya, Ia berharap agar generasi muda sekarang memikirkan
cara menyatukan dan membangun bangsa Indonesia. Karena menurutnya, ketika ilmu
dan kemanusiaan tidak dihargai, akibatnya perpecahan tidak dapat dihindari.
Penulis : Anggriani Mahdianingsih, Fahmi Sirma, Maheswara
Nusantoro
Editor : Ahmad Fauzi
Editor : Ahmad Fauzi
Sumber: BalairungPress
0 komentar:
Posting Komentar