JUMAT, 11 Maret 1966. Telepon di kediaman Mayjen TNI Ibrahim Adjie berdering siang itu. Begitu diangkat oleh Pangdam III Siliwangi tersebut, terdengar suara Letjen TNI Maraden Panggabean, deputi KASAD, di seberang sana. Dia memberi kabar bahwa Presiden Sukarno telah diamankan dari Jakarta ke Bogor, menyusul terganggunya sidang kabinet di Istana Negara karena kehadiran pasukan liar.
Sekira jam 15.00, giliran Komandan Resimen Tjakrabirawa Brigjen TNI Moh. Sabur yang menelepon Adjie. Dia menyampaikan pesan dari Presien Sukarno agar Adjie menghadap ke Istana Bogor hari itu juga.
“Dengan mengendarai jip, Bapak langsung berangkat dari Bandung untuk menghadap Bung Karno,” kenang Kikie Adjie, salah satu putra Ibrahim Adjie.
Sampai di Istana Bogor jam 17.30, Adjie langsung menemui Sukarno yang baru selesai makan bersama tiga Wakil Perdana Menteri: Chairul Saleh, J. Leimena dan Soebandrio. Hadir pula di ruang makan tersebut Brigjen TNI M. Jusuf, Brigjen TNI Amir Machmud dan Mayjen TNI Basuki Rachmat.
“Saya duduk di sebelah kanan Bung Karno, Leimena di sebelah kirinya. Di hadapan Bung Karno di deretan dari kiri ke kanan duduk Chairul Saleh, Basuki Rachmat, Amir Machmud, Yusuf, sedangkan Soebandrio duduk di bagian lain di sebelah kiri Leimena,” ujar Ibrahim Adjie dalam Pikiran Rakyat, 7 Oktober 1989.
Bung Karno lantas membacakan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dan meminta Chairul untuk mengikutinya. Begitu selesai, Si Bung menengok ke arah Adjie sambal berujar: “Nah, begitulah Djie … Perjuangan itu selalu tak ada hentinya, perjuangan itu lama. Tak ada hentinya.”
Bubarkan PKI
Begitu mendapatkan mandat dari Presiden Sukarno pada 11 Maret 1966, Letjen TNI Soeharto esok harinya membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia). Pembubaran tersebut disambut antusias oleh mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia).
“Jakarta diliputi oleh suasana pesta kemenangan, layaknya saat rakyat London merayakan kemenangan atas kekejaman Nazi Hitler,” ujar Yozar Anwar, aktivis KAMI, dalam Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa.
Situasi sebaliknya terjadi di Bogor. Menurut AKBP Mangil Martowidjojo, komandan Detasemen Kawal Pribadi Resimen Tjakrabirawa, Presiden Sukarno yang baru saja terbangun dari tidur siangnya, terkejut kala mendengar PKI sudah dibubarkan.
“Bapak sangat marah ketika beliau mendengar Jenderal Soeharto membubarkan PKI serta menafsirkan surat tugasnya secara keliru,” ungkap Mangil seperti dikutip Julius Pour dalam G30S: Pelaku, Pahlawan dan Petualang.
Soeharto dianggap telah memanfaatkan surat perintah tugas untuk membuat keputusan politik. Kendati pada 2 Oktober 1965, Bung Karno berkata kepada Ibrahim Adjie bahwa dirinya marah akan tindakan PKI dan akan “mempergunakan kata-kata yang keras” terhadap para tokohnya, namun membubarkan PKI tidaklah ada dalam pikirannya.
“Kita tidak bisa menghukum suatu partai secara keseluruhan karena kesalahan beberapa orang,” kata Sukarno seperti dikutip sejarawan Asvi Warman Adam dalam Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? Tragedi Bapak Bangsa Tragedi Indonesia.
Surat Perintah Susulan
Sehari sesudah Supersemar tersebar, pada 13 Maret 1966 Sukarno mengeluarkan surat perintah susulan, berupa Penetapan Presiden yang berisi perintah: “… untuk kembali kepada pelaksanaan Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi/ Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi dengan arti, melaksanakan secara teknis saja dan tidak mengambil dan melaksanakan keputusan di luar bidang teknis.”
Menurut Julius Pour, surat ini disampaikan oleh Wapedam II J. Leimena langsung kepada Letjen TNI Soeharto di Markas Komando Kostrad dilengkapi pesan lisan yang kembali menegaskan: “…Jangan sekali-kali mengambil keputusan di luar bidang teknis militer.”
Bagaimana reaksi Soeharto sendiri? Alih-alih menyadari kekeliruannya dan meminta maaf, dia malah seolah menantang Sukarno.
“Sampaikan kepada Bapak Presiden, semua tindakan yang saya lakukan merupakan tanggung jawab saya sendiri,” jawabnya.
Soeharto bersikeras bahwa pembubaran PKI dasarnya jelas yakni perintah Presiden Sukarno dalam Supersemar:”… untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, demi tetap terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan.”
Namun, berbeda dengan Julius Pour yang menyebut pertemuan itu terjadi di Mako Kostrad, Ibrahim Adjie mengatakan pertemuan itu justru terjadi di kediaman Soeharto di Jalan Cendana. Adjie masih ingat bagaimana pada 13 Maret 1966 tersebut, Soeharto memanggilnya ke Cendana.
“Ketika sampai di sana ternyata sudah ada Leimena, sedangkan Soeharto sendiri sedang terbaring karena sakit tenggorokan,” kenang Adjie.
Begitu keluar dari ruangan Soeharto, Leimena sempat menyatakan kepada Adjie bahwa Bung Karno marah kepada Soeharto karena telah berani-beraninya membubarkan PKI yang sebetulnya merupakan wewenang sang presiden.
“Kenapa harus marah? Siapa yang membubarkan PKI?” tanya Adjie
“Ya, Jenderal Soeharto,” jawab Leimena.
“Lha bagaimana? Betul Soeharto yang membubarkan PKI tapi kan dia melakukannya berdasarkan Surat Perintah Sebelas Maret,” tukas Adjie.
Dalam kesempatan tersebut, Leimena tak pernah mengatakan apapun mengenai surat perintah susulan kepada Adjie. Sang panglima hanya ingat, Leimena mengangguk-anggukan kepalanya saat mendengar dirinya menyatakan pendapatnya soal Supersemar.
0 komentar:
Posting Komentar