Martin Sitompul
Ilustrasi: Gungun Gunadi/Historia
Setelah menerima Surat Perintah 11 Maret, Letnan Jenderal Soeharto langsung bikin kejutan. Dalam Surat Keputusan Presiden No.1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966, Soeharto atas nama Presiden Sukarno mengeluarkan perintah pertamanya: membubarkan PKI. RRI sejak siarannya yang pertama mengudara pukul 06.00 pagi memberitakan keputusan ini seharian penuh.
“Pada hari itu juga timbul ketegangan yang luar biasa. Setelah mendengar siaran radio tersebut, Presiden Soekarno tampaknya marah dan telah memanggil semua Waperdam (wakil perdana menteri) ke Bogor,” ujar Maraden Panggabean dalam memoarnya Berjuang dan Mengabdi.
Di Istana Bogor, semua waperdam hadir: Soebandrio, Johanes Leimena, dan Chairul Saleh. Turut serta pula A.M. Hanafi, Duta Besar Indonesia untuk Kuba yang merupakan orang kepercayaan Sukarno. Menurut Hanafi, tindakan Soeharto membubarkan PKI dinilai lancang oleh Sukarno. Bagi Sukarno, pembubaran partai politik adalah hak prerogatif presiden dan bukan melalui pemegang Mandat Supersemar. Dalam amatan Hanafi, Sukarno tampak gelisah dan mengkhawatirkan aksi sepihak selanjutnya yang akan dilancarkan Soeharto.
“Soeharto bukan Wakil Presiden, dan saya tidak uzur. Saya tidak takut membubarka PKI kalau memang PKI yang memberontak, tapi harus jelas dulu apa itu GESTOK, yang jelas baru Aidit yang keblinger,” demikian perkataan Sukarno sebagaimana dikisahkan Hanafi dalam A.M. Hanafi Menggugat: Kudeta Jend. Soeharto dari Gestapu ke Supersemar.
Sementara itu, di paviliun Istana yang lain, kesibukan terjadi. Soebandrio dan Chairul Saleh sedang mempersiapkan Surat Perintah Presiden tertanggal 13 Maret 1966. Surat yang panjanganya hanya separagraf itu berisi tiga pokok penting: mengingatkan Soeharto bahwa Surat Perintah 11 Maret hanya bersifat teknis administratif bukan politik; Soeharto tidak diperkenankan bertindak melampaui bidang dan tanggungjawabnya dalam pemulihan keamanan; Soeharto sebagai pengemban Surat Perintah 11 Maret, diminta pertanggungjawabannya dengan menghadap Presiden Sukarno
Sukarno kemudian mengutus Leimena ke Jakarta mengantarkan Surat Perintah tersebut kepada Soeharto. Sementara di Istana Bogor, Surat Perintah 13 Maret itu digandakan sebanyak lima ribu lembar dengan mesin stencil Gestetner. Sebagian akan dibawa oleh anggota Tjakrabirawa yang terpercaya ke Jakarta. Menteri Penerangan Mayor Jenderal Achmadi bertanggung jawab mengenai penyebarannya. Hanafi sendiri, menurut pengakuannya, mengambil beberapa eksemplar untuk dibagi-bagikan kepada pemuda-pemuda Partindo supaya disebarkan.
Soeharto Menolak Perintah
Deru helikopter mendekati Istana Bogor pukul 22.55 malam, 13 Maret 1966. Leimena kembali untuk melapor kepada Sukarno disertai dengan Komandan KKO, Mayjen Hartono. Dengan nada pelan Leimena menuturkan isi perjumpaannya dengan Soeharto.
“Surat perintah sudah saya sampaikan kepada Letnan Jenderal Soeharto… di tangannya sendiri,” ujar Leimena. Leimena menerangkan respon Soeharto terkait Surat Perintah susulan Bung Karno yang diperantarainya. Soeharto hanya membalas dengan dingin dan secukupnya.
Kata Soeharto, “Sampaikan kepada Presiden, semua tindakan yang saya lakukan adalah atas tanggung jawab sendiri.” Soeharto juga mengatakan bahwa dirinya berhalangan menghadap ke Bogor sehubungan dengan diadakannya sidang lengkap Panglima Angkatan Bersenjata di Istana Merdeka esok hari.
“Jenderal Hartono diam saja. Presiden pun diam dan kami pun terdiam semuanya. Oom Jo – panggilan Leimena – menunduk melihat ke lantai,” kenang Hanafi. “Masing-masing dengan perasaan terharu ditimpa tragedi yang sama.”
Jurnalis senior Kompas Julius Pour mencatat dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang, Soeharto mengakui dirinya sengaja menolak permintaan Bung Karno. Alasannya, dalam Surat Perintah 11 Maret yang dia terima tercantum kalimat, “untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, demi tetap terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan.” Dengan bermodal Supersemar, sudah cukup bagi Soeharto jalan terus melanjutkan manuvernya. Di pihak lain, Presiden Sukarno menanti dengan harap-harap cemas agar kekuasaannya tidak dipreteli.
Dimana Surat Itu?
Maraden Panggabean yang di era rezim Soeharto menjabat Panglima ABRI, dalam memoarnya mengakui pengutusan Leimena menjumpai Soeharto untuk mengoreksi Surat Perintah 11 Maret. Menurut Maraden misi Leimena ini gagal, berhubung Soeharto tidak dapat meninggalkan kamar karena sakit. Leimena akhirnya hanya membicarakannya melalui Brigjen Soetjipto, salah seorang staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI).
Soebandrio dalam memoarnya Yang Saya Alami Peristiwa G30S: Sebelum, saat Meletus, dan Sesudahnya yang diterbitkan setelah rezim Soeharto tumbang membenarkan pengakuan Hanafi. Surat Perintah 13 Maret dikeluarkan setelah ada indikasi Soeharto menyeleweng dari amanat Surat Perintah 11 Maret. Soebandrio menyebutkan sekira pukul 21.00, Bung Karno mengirimkan surat kepada Soeharto yang menegaskan tugasnya hanya bersifat teknis untuk mengamankan ibukota.
“Surat Perintah hanya untuk mengamankan Jakarta, bukan untuk membubarkan PKI. Kok malah main tangkap,” kata Leimena kepada Soeharto sebagaimana dikutip Soebandrio dalam memoarnya.
Namun sama halnya seperti Supersemar, Surat Perintah 13 Maret tak pernah terendus keberadaan otentiknya. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, meski bersandar kepada kesaksian tunggal dan tidak ada bukti tertulisnya, Surat Perintah 13 Maret cukup masuk akal mengingat konteks sejarahnya bahwa Soeharto bertindak diluar wewenangnya.
“Bahwa Sukarno marah dan memanggil Soeharto ke Bogor ada informasi itu,” kata Asvi kepada Historia. “Tapi kenyataannya surat itu tidak pernah sampai ke tangan pers dan disiarkan. Kita juga tidak tahu apa surat pencabutan Supersemar itu betul-betul ada.”
Asvi mengatakan, kini Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sudah memasukkan Supersemar dalam Daftar Pencarian Arsip. Maka Surat Perintah 13 Maret bisa saja masuk agenda pencarian. Namun Asvi meragukan perihal Surat Perintah 13 Maret benar-benar ada.
Sumber: Historia.Id
0 komentar:
Posting Komentar