HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Documentary. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Documentary. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Februari 2020

PKI Cirebon Brontak

Februari 24, 2020


Pemberontakan PKI Cirebon jarang diekspos ke permukaan, padahal pemberontakan PKI di Cirebon adalah pemberontakan tertua selepas diproklamasikannya Kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa pemberontakan tersebut terjadi pada 12 Februari 1946.

PKI Cirebon brontak ketika negara sedang dirundung ketidak pastian, menyerahnya Jepang pada sekutu membuat kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 dibayang-bayangi ketidak pastian, karena diam-diam sekutu menyerahkan kekuasaan Indonesia pada Belanda.

Ketika Tentara Nasional Indonesia (dahulu TRI) sedang mempersiapkan perlawanan pada Belanda, pada saat itu pula PKI cabang Cirebon justru mengadakan pemberontakan, bahkan pemberontakan tersebut berhasil menguasai Kota Cirebon, sementara Tentara Republik dibuat tak berdaya oleh tentara merah kaum komunis.

PKI Cirebon sebetulnya baru didirikan pada 7 November 1945, sedangkan yang menjadi ketua dan wakilnya adalah Mohamad Joesoef dan Suprapto. Ini artinya pendirian PKI Cabang Cirebon baru dilakukan selepas 3 Bulan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Meskipun begitu, PKI Cabang Cirebon ini rupanya agresif, sebab pemberontakan yang mereka lakukan hanya berselang 3 bulan selepas partai itu membuka cabangnya di Cirebon (7 November 1945-12 Februari 1946).

Pemberontakan PKI di Cirebon didalangi langsung oleh pemimpinnya. Dalam memuluskan aksinya, Mohamad Joesoef dan Suprapto mendatangkan Laskar (tentara) Merah PKI dari Jawa Tengah, tujuan utamanya adalah melakukan kudeta lokal di Cirebon.

Para Laskar Merah PKI tiba di Stasiun Kereta Api Cirebon pada 9 Februari 1946 dengan bersenjata lengkap, selanjutnya setelah dikordinir maka pada 12 Februari 1946 laskar merah PKI menginap di Hotel Ribrink, sekarang hotel tersebut berganti nama menjadi Grand Hotel, berlokasi persis sebelah utara alun-alun Kejaksan. Sesampinya di hotel, mereka menjadikannya sebagai markas pemberontakan.

Pada mulanya, ketika laskar merah PKI baru saja tiba di stasiun, seisi kota Cirebon heboh sebab laskar merah secara terang-terangan menengteng senjata, sehingga kedatangan para milisi PKI tersebut mengagetkan pihak keamaanan republik. 

Letda D Sudarsono selaku Polisi Tentara Cirebon yang mendapat info kedatangan orang-orang bersenjata ke cirebon mendatangi stasiun menemui seorang bintara jaga untuk memastikan kebenaran kabar, namun baru saja sampai di stasiun, Letda D Sedarsono disambut dengan tembakan, Ia dikepung, senjatanya dirampas kemudian ditawan.

Selanjutnya, dalam upaya PKI menguasai pemerintahan, kekuatan bersenjata (TNI-POLRI) di Cirebon dilucuti, tentara ditangkap dan dijadikan tawanan. Kala itu kondisi kota mencekam, seluruh kota dikuasai oleh Laskar Merah. Bahkan tindakan laskar merah semakin brutal, merampok dan menguasai gedung-gedung fital.

Menghadapi ancaman serius yang dilancarkan PKI dengan lascar merahnya, Panglima II/Sunan Gunung Jati, Kolonel Zainal Asikin yang lolos dari penangkapan segera mengambil tindakan. Ia mengirim utusan untuk berunding dengan Mohamad Joesoef di Hotel Ribink. Dalam perundingan tersebut pihak PKI mulanya berjanji akan menyerahkan senjata hasil rampasan esok harinya, tetapi janji tersebut rupanya tidak ditepati.

Karena perundingan gagal, Panglima Divisi II meminta bantuan pasukan dari Komandan Resimen Cikampek untuk dikirim ke Cirebon, maka dikirimlah 600 prajurit Banteng Taruna dipimpin Mayor Banuhadi. Akhirnya pada tanggal 13 Februari  1946 dilakukan penyerbuan yang pertama oleh pasukan gabungan dari TRI (Polisi Tentara Indonesia), yang mana tujuannya merebut Hotel Ribink yang kala itu dijadikan markas PKI. 

Penyerbuan pertama gagal, karena persenjataan di pihak TRI dan kawan-kawan kurang. Sedangkan senjata musuh lengkap.

Pada 14 Februari 1946, dilakukan penyerbuan yang kedua, oprasi dipimpin langsung oleh Komandan Resimen Cikampek, Kolonel Moefreini Moekmin. Hasilnya, mereka berhasil melumpuhkan PKI , sehingga pasukan PKI menyerah. Pimpinan pemberontak, Mohamad Joesoef dan Suprapto berhasil ditangkap, kemudian diajukan ke pengadilan tentara.


Meskipun kisah pemberontakan PKI Cirebon ini diakhiri dengan dijebloskanya pimpinan PKI Cirebon, yaitu Mohamad Joesoef dan Suprapto ke pangadilan, namun sejauh ini belum ada kisah lanjutan mengenai nasib keduanya serta nasib para pengikutnya. Mengingat pada masa itu selain menghadapi PKI, negara juga sedang mempersiapkan diri menghadapi agresi militer Belanda. 

Minggu, 16 Februari 2020

Tugu-Tugu Palu Arit di Indonesia


Oleh Andri Setiawan


Tugu-tugu palu arit pernah menjulang di beberapa daerah di Indonesia. Simbol kekuatan PKI pada masanya.

Tugu palu arit di Cililitan, Jakarta. (Repro Harian Rakjat, 27 Mei 1965).

Sebuah tugu di Madiun tengah menjadi sorotan. Tugu yang berada di interchange menuju gerbang tol Madiun itu disebut mirip simbol palu arit. Isu ini viral setelah Roy Suryo melalui akun twitter-nya mengunggah kicauan mengenai tugu ini.
“Tweeps, Patung yg terletak di pinggir Jalan Tol Madiun ini lagi kontroversi, banyak pihak yg menginginkan Patung ini dibongkar karena mengingatkan Trauma masa lalu di daerah tersebut sekitar tahun 1948 silam. Bagaimana pendapat anda? Benarkah Patung ini mirip2 simbol2 tertentu?” tulis Roy Suryo disertai foto tugu tersebut.
Unggahan tersebut kemudian ditanggapi oleh politikus Partai Gerindra Fadli Zon. “Kesan ‘Palu Arit’ tak bisa dinafikan. Apakah ada kesengajaan?” cuitnya.
PT Jasamarga Ngawi Kertosono Kediri (JNK), sebagai pengelola tol, menyebut bahwa bentuk tugu tersebut dibuat berdasarkan logo JNK.
“Dilihat dari sisi sudut tertentu, tugu ikonik membentuk huruf J, N, K. Tugu menjulang vertikal dari arah barat ke timur membentuk huruf J,” sebut Dwi Winarsa, Direktur Utama PT JNK, dikutip kompas.com.
Kemudian, jelas Dwi, lengkung yang melingkar akan membentuk huruf N jika dilihat dari atas. Dan dari Simpang Susun Madiun ke arah timur akan membentuk huruf K.

Sementara itu, mengutip detik.com, Kepala Bakesbangpol Kabupaten Madiun Sigit Budiarto menyebut selama ini warga Madiun tidak pernah menyoroti tugu tersebut.
“Saya tiap hari lewat tugu itu ya biasa saja,” ungkapnya.
Namun, sekelompok orang bersama Center of Indonesia Community Studies (CICS) mendesak agar tugu tersebut dibongkar.

Saat Partai Komunis Indonesia (PKI) berjaya pada paruh pertama dekade 1960-an, pernah berdiri tugu-tugu palu arit yang berukuran besar.
Namun, pasca peristiwa 1965, tugu-tugu ini dihancurkan bersamaan dengan pelarangan segala hal yang berhubungan dengan PKI.

Surat kabar Harian Rakjat, memuat beberapa foto tugu yang tampaknya dibangun dalam rangka menyambut ulang tahun ke-45 PKI pada 23 Mei 1965. Berikut ini beberapa tugu yang termuat di Harian Rakjat periode Mei-Juni 1965.

Tugu Palu Arit di Cililitan

Tugu palu arit di Cililitan, Jakarta. (Harian Rakjat, 27 Mei 1965).

Harian Rakjat menulis, “Begitu kita memasuki Kota Djakarta dari arah selatan, kita akan disambut oleh tugu raksasa yang menjulang tinggi yang di puncaknya palu arit besar berdiri teguh. Bandingkan orang yang berdiri di bawah dengan tinggi tugu itu. Tugu ini terdapat di perapatan jalan Cililitan.”

Penyair Taufik Ismail menyebut keberadaan tugu itu dalam Himpunan Tulisan 1960-2008.
“Di Cililitan, yang sempat saya saksikan, PKI mendirikan sebuah tugu berwarna putih, di atasnya lambang palu arit berwarna emas kemilau ditimpa sinar matahari,” tulisnya.

Tugu Palu Arit di Palembang

Tugu palu arit di Palembang. (Harian Rakjat, 9 Juni 1965).

Di Palembang, PKI membangun dua tugu besar. Tugu pertama berbentuk palu dan arit terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Palembang, Sumatera Selatan.

Sedangkan tugu kedua berada di depan Masjid Agung Palembang. Tugu ini tidak menonjolkan palu arit sebagai obyek utama, melainkan seorang laki-laki tengah memutar stir. Di belakang tampak Jembatan Ampera.

Tugu Banting Stir di Palembang. (Repro Harian Rakjat, 8 Juni 1965).

Tugu Palu Arit di Surabaya

Tugu palu arit di Surabaya. (Harian Rakjat 10 Juni 1965).

​Tugu palu arit di Surabaya ini sekaligus menjadi podium rapat umum ulang tahun ke-45 PKI di Surabaya. Dalam foto ini disebutkan bahwa Wakil Ketua II CC PKI Njoto tengah berpidato dalam rapat umum tersebut.

Tugu Palu Arit di Losari

Tugu palu arit di Losari. (Harian Rakjat, 5 Juni 1965).

Tugu ini berada di Losari, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Disebutkan bahwa tugu ini juga menjadi jalur estafet panji-panji PKI dari Denpasar.

Tugu Palu Arit di Medan

Tugu palu arit di Medan. (Repro Harian Rakjat 23 Juni 1965).

Tugu palu arit ini disebut berada di Medan. Harian Rakjat menulis, “15.000 massa dengan penuh perhatian mendengarkan pidato Ketua Delegasi PB Vietnam Le Duc Tho dan Sudisman anggota Politbiro/Kepala Sekretariat CC PKI dalam rapat raksasa ultah ke-45 PKI di alun-alun Merdeka Medan tgl 30/5.”

Minggu, 09 Februari 2020

Ketika Indonesia Mendirikan CONEFO dan GANEFO Untuk Menandingi PBB dan Olimpiade

Penulis: Erik Hariansah - Minggu, 09 Februari 2020


Pada 7 Januari 1965, Presiden Sukarno mendeklarasikan Republik Indonesia keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan ini sebenarnya tidak pernah diterima secara resmi oleh PBB dan belum ada presedennya sejak organisasi internasional ini berdiri.

Keputusan Sukarno membuat Sekretaris Jenderal PBB yang saat itu dijabat oleh U Thant kebingungan. Ia perlu membongkar peraturan organisasi untuk menjawab dua pertanyaan pokok, yaitu apakah keputusan tersebut sah? Dan bagaimana sikap yang harus diambil PBB?

Butuh waktu dua bulan bagi U Thant untuk meresponnya. Dalam Piagam PBB menyatakan bahwa Majelis Umum memang diberi kewenangan untuk mengeluarkan negara anggota yang tidak patuh pada aturan. Namun tak ada keterangan jelas bagaimana sikap resmi PBB jika sebuah negara ingin keluar secara sukarela.

Setelah berkonsultasi dengan delegasi PBB dan staf resminya sendiri, U Thant akhirnya menyimpulkan bahwa tidak ada yang bisa dilakukannya untuk mencegah sebuah negara yang ingin keluar dari organisasi PBB.

Mengapa Indonesia keluar dari PBB?

Semua bermula ketika Federasi Malaya yang dikenal dengan nama Persekutuan Tanah Melayu, ingin menggabungkan Borneo Utara, Sarawak, dan Singapura menjadi satu negara baru. Indonesia sudah mencurigainya sebagai intrik untuk memecah belah Asia Tenggara sejak 1961. Namun segala kecaman tak membuahkan hasil.

Justru pada September 1963 Malaysia lahir di bawah restu Inggris. Sukarno menilai pembentukan Malaysia adalah proyek kolonialisme Barat yang akan mengancam eksistensi Indonesia yang baru merdeka. Ia melabeli Malaysia sebagai boneka bentukan Inggris.

Inggris dianggap akan menggunakan negara baru di Semenanjung Malaya untuk mengetatkan kontrol dan kekuasaan. Dengan kata lain, mereka hendak melanjutkan kolonialisme gaya baru.

Saat suasana masih panas gara-gara konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia, muncul rencana Malaysia akan dimasukkan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Hal itu membuat Sukarno tambah geram. Pada tahun 1964, ia mengancam Indonesia akan keluar dari PBB jika rencana tersebut benar-benar diwujudkan.

Pada awal tahun 1965, Malaysia benar-benar diangkat sebagai anggota tidak tetap DK PBB, Sukarno hilang kesabaran. Indonesia kemudian keluar dari keanggotaan PBB. Pada 20 Januari 1965 atau dua minggu usai deklarasi keluar dari PBB, Soebandrio mengirimkan surat resmi yang berisi pengunduran diri Indonesia dari PBB.

Indonesia mendirikan CONEFO

Setelah keluar dari PBB, Indonesia kemudian mendirikan Conferensi Negara-Negara Berkembang atau Conference of The New Emerging Forces (CONEFO) pada tanggal 7 Januari 1965. Organisasi ini merupakan gagasan Presiden Sukarno yang dianggap sebagai tandingan terhadap PBB.

Penyelenggaraan CONEFO. Foto: boombastis.com

CONEFO merupakan bentuk kekuatan blok baru yang beranggotakan negara-negara berkembang untuk menyaingi dua kekuatan blok sebelumnya, yaitu Blok Uni Soviet dan Blok Amerika Serikat.

Adapun negara-negara yang menjadi anggota CONEFO di antaranya Indonesia sebagai pendiri, Republik Rakyat Tiongkok, Korea Utara, dan Vietnam Utara. Selain negara-negara anggota, CONEFO juga memiliki negara-negara pengamat, di antaranya Uni Soviet, Kuba, Yugoslavia, dan Republik Arab Bersatu.

Untuk keperluan penyelenggaraan konferensi antara anggota-anggota CONEFO, dibangun suatu kompleks gedung di dekat Gelora Senayan yang mendapat bantuan antara lain dari Republik Rakyat Tiongkok.

Konferensi tersebut belum sempat diselenggarakan hingga CONEFO dibubarkan oleh Presiden Suharto pada tanggal 11 Agustus 1966. Sementara kompleks gedung yang telah dipersiapkan sebelumnya dialih fungsikan dan dipergunakan sebagai Gedung DPR/MPR.

Pembangunan Gedung DPR-MPR. Awalnya gedung ini dipersiapkan untuk CONEFO. Foto: liputan6.com


Indonesia menyelenggarakan GANEFO

Selain mendirikan CONEFO, Indonesia juga pernah menyelenggarakan Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang atau Games of the New Emerging Forces (GANEFO), ini adalah suatu ajang olahraga yang didirikan oleh Soekarno pada akhir tahun 1962 sebagai tandingan Olimpiade.

GANEFO menegaskan bahwa politik tidak bisa dipisahkan dengan olahraga, hal ini bertentangan dengan doktrin Komite Olimpiade Internasional (KOI) yang memisahkan antara politik dan olahraga.

Indonesia mendirikan GANEFO setelah kecaman KOI yang bermuatan politis, di mana pada saat itu, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Pada perhelatan akbar olahraga negara-negara Asia itu, Indonesia tidak mengundang Israel dan Taiwan dengan alasan simpati terhadap Tiongkok dan negara-negara Arab.

Aksi ini diprotes KOI karena Israel dan Taiwan merupakan anggota resmi KOI. Akhirnya KOI menangguhkan keanggotaan Indonesia, dan Indonesia diskors untuk mengikuti Olimpiade Musim Panas 1964 di Tokyo. Ini pertama kalinya KOI menangguhkan keanggotaan suatu negara.

Pembukaan GANEFO di GBK. Foto: historia.id

Tidak kehilangan akal, Indonesia kemudian menyelenggarakan GANEFO sebagai ajang olahraga tandingan terhadap Olimpiade. GANEFO sempat beberapa kali diselenggarakan dan diikuti oleh ribuan atlet dari puluhan negara.

GANEFO I diadakan di Jakarta pada tanggal 10-22 November 1963. Adapun jumlah peserta yang berpartisipasi pada GANEFO pertama yaitu sekitar 2.700 atlet dari 51 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Latin. Pada GANEFO I, Tiongkok menduduki peringkat pertama dengan 65 medali emas, disusul Uni Soviet, Indonesia, Republik Arab Bersatu, dan Korea Utara.

Setelah sukses dengan pelaksanaan GANEFO I, kemudian direncanakan lagi untuk penyelenggaraan yang kedua kalinya. Awalnya GANEFO II akan diadakan di Kairo, Republik Arab Bersatu pada 1967. Namun karena pertimbangan politik, akhirnya dipindahkan ke Phnom Penh, Kamboja dan pelaksanaannya dimajukan pada tanggal 25 November-6 Desember 1966.

Adapun jumlah peserta yang berpartisipasi pada GANEFO II yaitu sekitar 2.000 atlet dari 17 negara. Pada GANEFO II, Tiongkok menduduki peringkat pertama dengan 108 medali emas, disusul Korea Utara pada peringkat kedua, dan Kamboja pada peringkat ketiga.

Sementara itu, untuk pelaksanaan yang ketiga kalinya. Awalnya GANEFO III direncanakan diadakan di Beijing, Tiongkok. Namun Beijing membatalkan niatnya dan diserahkan ke Pyongyang, Korea Utara. Tetapi GANEFO III tidak pernah diadakan dan akhirnya GANEFO bubar.

Selasa, 31 Desember 2019

Makam Plumbon Jadi Situs Memori CIPDH-UNESCO


Oleh Andri Setiawan

Makam korban pembunuhan massal 1965 di Plumbon, Semarang, masuk dalam situs memori CIPDH-UNESCO terkait pelanggaran HAM berat. Nisan makam korban pembunuhan massal 1965 di Plumbon, Semarang. (Dok. Yunantyo Adi Setiawan).

Pada 1980-an, sebuah makam dengan tumpukan batu di hutan Plumbon, Semarang hanyalah sebuah tempat bagi orang-orang yang mencari peruntungan nomor togel. Sesekali ada orang berziarah, namun tak dikenal siapa mereka.

Pasca Reformasi, tepatnya pada 2000, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65) yang diketuai Sulami, mantan Sekretaris Jenderal Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), sempat mengidentifikasi keberadaan makam yang diduga berisi kerangka korban-korban pembunuhan massal 1965 tersebut.

Namun, tak ada kelanjutan dari indentifikasi kala itu, hingga pada 2014, sekelompok aktivis yang membentuk Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) mulai membuka memori masa silam dari makam di tengah hutan jati itu.

PMS-HAM memerlukan waktu 7,5 bulan untuk melakukan penelitian mengenai identitas para korban serta melakukan pendekatan kepada masyarakat dan pemerintah.
 “Jadi kami mencari kolega korban, keluarga korban, kemudian minta izin dari RT, RW, lurah, camat sampai walikota, Polsek, Polres, Polda, Koramil, sampai Kodam, dan kami tembuskan juga ke Mabes TNI,” ujar Yunantyo Adi Setiawan, Koordinator PMS-HAM kepada historia.id.
PMS-HAM kemudian berhasil mengidentifikasi delapan nama dari 24 korban yang diperkirakan dikubur di makam tersebut. Mereka adalah Moetiah, Soesatjo, Darsono, Sachroni, Joesoef, Soekandar, Doelkhamid, dan Soerono.

Moetiah adalah guru TK Melati dan anggota Gerwani di Patebon, Kendal. Soesatjo adalah patih yang merangkap pengurus PKI Kendal. Joesoef adalah carik di Desa Margorejo dan anggota PKI di Cepiring. Soerono adalah anggota PKI dari Kedungsuren. Sachroni adalah anggota PKI dari Mangkang.
Sedangkan, Darsono, Soekandar, dan Doelkhamid, merupakan anggota Pemuda Rakyat.

Yunantyo menyebut kedelapan korban dan belasan lainnya dibunuh tanpa proses hukum yang jelas.
 “Tidak ada pengadilannya. Baru dicurigai tapi sudah dibunuh. Jadi, sebagai upaya kemanusiaan kita waktu itu, rekonsiliasi dalam bentuk memanusiakan makam mereka,” terangnya.
Awalnya PMS-HAM hendak melakukan penggalian terhadap makam tersebut. Namun, karena Komnas HAM tidak merespons permohonan izin yang diajukan, maka dipilih opsi pemasangan nisan.

PMS-HAM juga berkaca dari peristiwa di Wonosobo pada 2000. Kala itu YPKP65 melakukan ekskavasi kuburan massal di Hutan Kaliwiro, Wonosobo. Ketika hendak dimakamkan ulang di daerah Kaloran pada 2001, terjadi penolakan dari Forum Ukhuwah Islamiyah Kaloran (FUIK). Beberapa kerangka bahkan dibakar.

Maka untuk pemasangan nisan makam Plumbon, PMS-HAM melakukan dialog dengan Pemuda Pancasila dan Front Pembela Islam (FPI) terlebih dahulu.
“Kita hanya bicara kemanusiaan saja, tidak bicara konflik masa lalu,” terangnya.
Doa lintas agama pada acara pemasangan nisan makam korban pembunuhan massal 1965 di Plumbon, Semarang, 1 Juni 2015. (Dok. Yunantyo Adi Setiawan).

Pada 1 Juni 2015, acara pemasangan nisan dilangsungkan bersamaan dengan Hari Lahir Pancasila. Dengan mengundang warga, tokoh lintas agama, serta berbagai elemen masyarakat dan ormas, acara dapat berjalan dengan lancar. PMS-HAM juga melibatkan pemerintah daerah, pimpinan Perhutani Kendal selaku pemilik lahan hutan, serta pihak kepolisian dan TNI. Akhirnya, sebuah batu nisan dari marmer bertuliskan delapan nama korban pembunuhan berhasil didirikan.
“Intinya waktu itu kita resmikan dengan doa bersama lintas agama bersama warga bahwa tempat itu mulai 1 Juni 2015 menjadi tempat terbuka sebagai upaya kemanusiaan terhadap korban itu,” jelas Yunantyo.
Nisan ini menjadi monumen pertama korban pembunuhan masal 1965 yang didirikan secara resmi atas izin pemerintah. Acara ini juga sekaligus menjadi peristiwa rekonsiliasi kultural bagi korban, masyarakat dan pemerintah.

Pada 1 Mei 2019, Yunantyo mendapat surel dari The International Center for the Promotion of Human Rights (CIPDH) yang berada dibawah United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), yang meminta materi terkait makam Plumbon tersebut. CIPDH-UNESCO kemudian menetapkan makam itu sebagai situs memori terkait pelanggaran HAM berat.

CIPDH-UNESCO didirikan pada 2007 di Buenos Aires, Argentina, untuk meningkatkan kesetaraan dan nondiskriminasi melalui program-program yang mempromosikan kesetaraan gender, keberagaman dan antarbudaya. CIPDH-UNESCO mengandalkan potensi pendidikan warisan budaya dan sejarah sebagai elemen penting dalam membangun identitas kolektif.

Selain itu, CIPDH-UNESCO juga memprioritaskan pendidikan HAM sebagai pendorong untuk mempromosikan budaya koeksistensi demokratis dan akses yang setara terhadap HAM. Untuk itu, CIPDH-UNESCO berupaya memvisualisasikan situs-situs terkait dengan memori pelanggaran HAM berat di seluruh dunia sebagai bagian dari warisan budaya kolektif komunitas dalam bentuk peta interaktif.

Proyek ini juga bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang bagaimana masyarakat berurusan dengan masa lalu mereka, kebijakan publik apa yang diberlakukan untuk menjaga memori dan untuk mengumumkannya, serta kesepakatan dan konsensus apa yang memungkinkan ingatan ini dikenal.

Proyek ini mendata berbagai warisan meliputi arsip, warisan budaya tak benda, monumen, museum dan situs dengan tema perbudakan, genosida dan atau kejahatan massal, konflik bersenjata, dan persekusi politik.
Makam Plumbon masuk dalam kategori situs persekusi politik bersama kuburan massal Priaranza del Bierzo di Spanyol dan Space for Memory and for the Promotion and Defense of Human Rights (Former ESMA) di Argentina.

Selain makam Plumbon, CIPDH-UNESCO juga memasukan Aksi Kamisan dalam peta mereka. Aksi dengan pakaian dan payung hitam di depan Istana Negara itu masuk dalam kategori warisan budaya tak benda dengan tema persekusi politik.

Selasa, 10 Desember 2019

Merekam cerita para penyintas tragedi 1965 di NTT, jurnalis BBC Indonesia raih penghargaan


10 Desember 2019

Melki Bureni, salah satu penyintas tragedi 1965 di Nusa Tenggara Timur.
"Tulisan ini menceritakan bagaimana orang-orang yang dituduh PKI sepanjang hidupnya diperlakukan dengan buruk bukan hanya oleh negara tapi juga masyarakat di sekitarnya,"
Demikian kata ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan ketika mengumumkan nama-nama pemenang penghargaan liputan hak asasi manusia di Jakarta Selasa (10/12).

Jurnalis BBC Indonesia Callistasia Wijaya dan Dwiki Marta meraih juara pertama dalam penghargaan untuk liputan tentang hak asasi manusia tersebut.

Keduanya mengangkat cerita mengenai penyintas tragedi 1965 di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Di provinsi ini, setidaknya 800 orang yang dituduh anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) - partai yang dilarang pemerintah Indonesia- tewas karena dibunuh, seperti tercantum dalam laporan peneliti James Fox yang dikutip dalam buku "Keluar dari Ekstremisme".

Jurnalis BBC Callistasia mengatakan cerita para penyintas ini diangkat berdasarkan hasil penelitian LSM Jaringan Indonesia Timur, JPIT.

Callistasia dan Dwiki bersama para aktivis Jaringan Perempuan Indonesia Timur dan penyintas tragedi 1965 di NTT.

Dengan bantuan JPIT serta warga setempat- dan setelah mendapatkan beberapa penolakan— ia dan video jurnalis Dwiki Marta berhasil menemukan penyintas dan orang yang terlibat dalam eksekusi orang-orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI kala itu.
"Banyak dari mereka sudah meninggal, sudah sakit parah, atau tidak mau bicara," kata Callistasia.
Callistasia dan Dwiki juga sempat mengunjungi kuburan massal, tempat di mana puluhan korban tewas dikubur.
"Semoga karya kami bisa menjadi pengingat atas tragedi yang terjadi di NTT pada periode tahun 1965 dan merekam curahan hati para penyintas yang selama 50 tahun lebih belum didengar suaranya. Saya juga berharap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dapat diselesaikan dan setiap penyintas bisa dipulihkan hak-haknya," kata Callistasia.
Dwiki menambahkan, "Perhargaan tertinggi saya persembahkan untuk para narasumber kami. Kisah-kisah dari para oma dan opa itu begitu kuat dan emosional karena kisah-kisah kelam tersebut sudah dipendam begitu lama."
Penganugerahan penghargaan untuk jurnalis merupakan bagian dari serangkaian kegiatan untuk memperingati hari HAM.

Penganugerahan penghargaan untuk jurnalis ini merupakan bagian dari serangkaian kegiatan untuk memperingati hari hak asasi manusia yang jatuh pada 10 Desember 2019.

Dalam rangkaian peringatan hari hak asasi manusia ini diselenggarakan pula seminar "HAM, Kemerdekaan Pers, Perlindungan dan Keselamatan Jurnalis di Indonesia".

Dalam diskusi ini dibahas kendala yang dihadapi wartawan dalam meliput persoalan kelompok minoritas di Indonesia.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga menyoroti sebagian media yang dinilai kurang berpihak pada minoritas.

Penghargaan ini diadakan oleh AJI Indonesia, Internews dan Kedutaan Belanda di Jakarta.

Selain kedua jurnalis BBC Indonesia, jurnalis Tirto.id, Irwan Syambudi dan Abdul Jalil dari Solopos.com berhasil memenangi juara kedua dan ketiga.

Apa Itu Hak Asasi Manusia?


Kompas.com - 10/12/2019, 13:49 WIB.
Penulis : Dani Prabowo
Editor : Kristian Erdianto

10 Desember, Hari Hak Asasi Manusia(Shutterstock)

JAKARTA, KOMPAS.com – Dua pidato Presiden Joko Widodo sempat dikritik sejumlah elemen masyarakat sipil karena sama sekali tak menyentuh persoalan hak asasi manusia ( HAM).

Pidato Jokowi soal Visi Indonesia pada 14 Juli 2019 dan saat pelantikan pada 20 Oktober 2019 lalu dinilai bertolak belakang jika dibandingkan saat periode pertama kepemimpinannya. Ketika itu, di dalam dokumen visi misi yang disebut sebagai Nawa Cita, Jokowi berjanji untuk memprioritaskan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM secara berkeadilan.

Meski hingga pada akhir periode pertama pemerintahannya, sejumlah kasus yang dijanjikan untuk diselesaikan seperti kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965, tak kunjung rampung.

 Bahkan kini, publik ragu Jokowi akan menyelesaikan persoalan HAM yang dijanjikan pada periode kedua kepemimpinannya. Hal itu terafirmasi melalui riset yang dilakukan antara Litbang Kompas dan Komnas HAM.

 Salah satu risetnya untuk mengetahui keyakinan masyarakat apakah kasus penculikan aktivis 1997-1998 dapat selesai atau tidak. Hasilnya, 51,7 persen menilai Jokowi tak mampu menyelesaikan kasus itu.

 Sedangkan 34,5 persen meyakini Jokowi mampu dan 13,8 persen menganggap sangat tidak mampu.
"Maka, tergantung Presiden mau atau tidak selesaikan sesuai harapan publik," kata komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat merilis hasil riset di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/12/2019)
Bicara mengenai HAM, sebenarnya apa itu HAM?

Di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disebutkan salah satu tujuan pembentukan PBB adalah untuk mengembangkan hubungan persahabatan di antara bangsa-bangsa berdasarkan pada penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri dan untuk mengambil langkah-langkah lain yang sesuai untuk memperkuat perdamaian universal.

Selain itu, untuk mencapai kerja sama internasional dan menyelesaikan masalah-masalah internasional yang bersifat ekonomi, sosial, budaya, atau kemanusiaan, dan selalu mempromosikan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan mendasar bagi semua orang tanpa perbedaan dalam hal ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama.

Sementara di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) disebutkan bahwa HAM adalah suatu pengakuan atas martabat dan hak yang tidak dapat dicabut oleh siapa pun yang mencakup tentang kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia.

Hak setiap orang juga dilindungi melalui seperangkat peraturan hukum, untuk menghindari segala bentuk pemberontakan sebagai usaha terakhir menentang kezaliman dan penjajahan demi menegakkan hak.

Adapun di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik disebutkan bahwa setiap negara menjamin hak atau kebebasan setiap orang. Bila hak atau kebebasan itu dilanggar, maka negara wajib menjamin setiap upaya pemulihan yang efektif, sekalipun pelanggaran itu dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi.

Di Indonesia, persoalan HAM diatur di dalam sejumlah peraturan mulai dari UUD 1945, Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998, dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Di dalam UU 26/1999 dinyatakan, HAM merupakan hak dasar secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun.

Diperingati Tiap 10 Desember, Ini Sejarah Hari HAM Internasional


Kompas.com - 10/12/2019, 13:30 WIB
Penulis : Vina Fadhrotul Mukaromah
Editor : Sari Hardiyanto

10 Desember, Hari Hak Asasi Manusia(Shutterstock)

KOMPAS.com - Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional diperingati setiap 10 Desember. Melansir laman United Nations, tahun ini, tema yang diangkat adalah Youth Standing Up for Human Rights atau Pemuda Membela Hak Asasi Manusia.


Dengan tema tersebut, peringatan HAM tahun ini salah satunya bertujuan untuk merayakan potensi pemuda sebagai agen perubahan konstruktif, menguatkan suara pemuda, dan melibatkan mereka dalam jangkauan yang lebih luas untuk mempromosikan perlindungan atas hak- hak asasi manusia.

Kampanye ini dipimpin oleh Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) dan didesain untuk mendorong serta menunjukkan bagaimana kaum muda di seluruh dunia membela hak-hak dalam melawan rasisme, ujaran kebencian, perundungan, diskriminasi, dan perubahan cuaca.

Pemuda dipilih sebagai tokoh utama dalam peringatan tahun ini karena alasan-alasan berikut: Partisipasi pemuda sangat penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan untuk semua Pemuda memainkan peranan penting dalam perubahan yang positif Memberdayakan pemuda untuk mengenal lebih dan mengklaim hak-hak mereka dan menghasilkan manfaat secara global

Sejarah Hari HAM Hari HAM dirayakan oleh masyarakat internasional setiap tahunnya pada tanggal 10 Desember.

Peringatan ini adalah untuk mengenang hari diadopsinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948.

Dokumen deklarasi ini terdiri atas bagian Pembukaan dan 30 Pasal yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Melansir laman OHCHR, peringatan ini secara resmi dimulai dari tahun 1950, setelah Majelis Umum meloloskan resolusi 423 dan mengundang seluruh negara ataupun organisasi yang tertarik untuk mengadopsi 10 Desember sebagai Hari HAM tiap tahunnya.

Ketika Majelis Umum mengadopsi dekrarasi ini, 48 negara mendukung dan 8 negara abstain. Deklarasi ini kemudian dinyatakan sebagai standar umum pencapaian bagi semua bangsa.

Setiap individu dan masyarakat harus berjuang dengan langkah-langkah progresif, nasional, dan internasional, untuk memperoleh pengakuan dan ketaatan yang universal dan efektif.

Meskipun Deklarasi ini tidak mengikat, dokumen ini mengilhami lebih dari 60 instrumen Hak Asasi Manusia membentuk standar HAM internasional. Hari ini, persetujuan umum dari semua Negara Anggota PBB tentang Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Deklarasi membuatnya semakin kuat. Dokumen ini pun menekankan relevansi Hak Asasi Manusia dalam kehidupan kita sehari-hari.

Hingga kini, dokumen deklarasi HAM telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 500 bahasa. Setelah 71 tahun dokumen ini diadopsi, Deklarasi HAM masih menjadi dasar ketika menemukan hal ataupun tantangan baru dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia

Cikal Bakal Hari HAM Sedunia...


Kompas.com - 10/12/2019, 10:20 WIB

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Organisasi Mahasiswa Fakultas Hukum (Ormawa FH ) Universitas Malikussaleh menggelar aksi pawai obor memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia 10 Desember di pusat Kota Lhokseumawe, Aceh, Senin (9/12/2019) malam. Dalam aksi unjuk rasa tersebut, mereka mendesak Presiden Joko Widodo dan Komnas HAM menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh dan di sejumlah daerah lainnya di Indonesia. ANTARA FOTO/Rahmad/wsj.(ANTARA FOTO/RAHMAD)

JAKARTA, KOMPAS.com - Hak asasi manusia ( HAM) merupakan seperangkat hak yang melekat pada setiap orang yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi menjaga kehormatan serta memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat seseorang.

Sebagai bentuk pengakuan terhadap HAM, setiap 10 Desember diperingati sebagai Hari HAM Sedunia. Peringatan ini dimulai sejak 1950 saat Rapat Pleno ke-317 Majelis Umum pada 4 Desember 1950.

Saat itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan Resolusi 423 (V) dan mengundang semua negara anggota dan organisasi lain menetapkan itu.

Adapun terpilihnya tanggal 10 Desember lantaran dua tahun sebelumnya atau pada 10 Desember 1948 digelar pembahasan secara khusus soal HAM dalam sidang PBB. Namun, pengakuan terhadap HAM di era modern saat ini tidak terlepas dari sebuah perjalanan panjang.

Pada tahun 539 sebelum masehi, pasukan Raja Cyrus, raja pertama dari Persia kuno, menaklukan wilayah Babilonia. Seperti dilansir dari Humanrights.com, bukannya menjajah, Raja Cyrus justru membebaskan para budak dan menyatakan bahwa mereka memiliki kemerdekaan untuk memeluk agama dan membangun ras mereka sendiri.

Seluruh kebijakannya itu kemudian dicatat di dalam sebuah tabung silinder yang terbuat dari tanah liat yang dipanggang dan ditulis dalam bahasa Akkadia dengan aksara runcing atau kemudian lebih dikenal dengan Cyrus Cylinder.

Catatan kuno ini sekarang telah diakui sebagai piagam hak asasi manusia pertama di dunia dan kini telah diterjemahkan ke dalam enam bahasa resmi PBB dan isi ketentuannya paralel dengan empat artikel pertama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dari Babilonia, gagasan itu kemudian menyebar ke sejumlah wilayah mulai dari India, Yunani hingga Roma.

Di wilayah-wilayah tersebut saat itu berlaku konsep hukum adat, dimana faktanya orang mengikuti aturan tak tertulis yang didasarkan pada aturan dalam kehidupan. Sedangkan Roma telah menganut hukum Romawi yang didasarkan pada ide-ide rasional yang berasal dari sifat tertentu.

Adapun sejumlah dokumen yang menyatakan hak-hak individu seperti Magna Carta (1215), The Petition of Right (1628), The US Constitution (1787), The French Declaration of the Rights of Man and of the Citizen (1789), dan The US Bill of Rights (1791) merupakan penjabaran dari banyaknya dokumen HAM pada masa ini.

Di Indonesia sendiri, pengakuan terhadap HAM termaktub di dalam sejumlah peraturan mulai dari Pembukaan, Pasal 27 hingga Pasal 34 UUD 1945, Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Hari HAM Sedunia, Perjalanan dari Magna Carta hingga Deklarasi Universal PBB

Kompas.com - 10/12/2018, 09:56 WIB
Penulis : Aswab Nanda Pratama
Editor : Bayu Galih

Ilustrasi hak asasi manusia(humanrights.gov)

KOMPAS.com - Pada dasarnya setiap manusia yang ada di dunia mempunyai nilai dan kedudukan yang sama. Mereka mempunyai hak, kewajiban dan perlakukan yang sama, yang dikenal juga sebagai hak asasi manusia.

Adanya kejahatan manusia terhadap manusia lain menjadikan hak asasi manusia seseorang kerap terampas. Adanya keinginan untuk memperjuangkan kebebasan HAM mulai muncul, terutama setelah banyak perang berkecamuk.

Persatuan Bangsa-Bangsa ( PBB) yang notabene organisasi yang dibentuk pasca Perang Dunia II mengambil inisiatif ini. Melalui PBB, isu-isu mengenai HAM mulai dikeluarkan ke publik. Tujuannya adalah agar masyarakat dunia paham dan menghargai bahwa setiap orang memiliki hak dasar yang harus dilindungi.

Sejak Magna Carta

Sejarah mencatat bahwa pada masa lalu tiap orang memiliki hak dan tanggung jawab melalui keanggotaan mereka dalam kelompok, keluarga, bangsa, agama, kelas, komunitas, atau negara.

Namun, kekuasaan menyebabkan munculnya penindasan terhadap hak manusia satu terhadap manusia lain. Kekuasaan golongan tertentu, terutama kelas bangsawan, menjadikan kebebasan dan hak tiap individu terampas.

Adanya pemahaman yang menyatakan bahwa keinginan raja harus dituruti membuat hak dasar warga terampas. Pada 15 Juni 1215, sebuah piagam dikeluarkan di Inggris. Piagam dengan nama "Magna Carta" ini secara tertulis berperan membatasi kekuasaan absolut raja. Pada piagam ini seorang raja diharuskan menghargai dan menjunjung beberapa prosedur legal dan hak tiap manusia. Selain itu, keinginan seorang raja juga dibatasi oleh hukum.

Magna Carta disebut sebagai sebuah kesepakatan pertama yang tercatat sejarah sebagai jalan menuju hukum konstitusi. Selain itu, Magna Carta juga kerap dianggap sebagai tonggak perjuangan lahirnya hak asasi manusia.

Setelah Magna Carta, muncul petisi-petisi lain yang menginginkan penguasa untuk lebih menghargai kebebasan dan hak individu. Pada 26 Agustus 1789, Revolusi Perancis berdampak langsung terhadap munculnya pengakuan atas hak-hak individu dan hak-hak kolektif manusia. pernyataan ini sering disebut Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara (La Déclaration des droits de l'Homme et du Citoyen).

Setelah Revolusi Perancis, tiap negara mulai memahami pentingnya hak atas individu, baik itu kebebasan maupun yang lainnya. Berbagai petisi lain juga muncul untuk mendukung ini. Namun, kendala utamanya adalah kurangnya kesadaran dari pemimpin dan juga hasrat manusia untuk berperang yang menjadikan pengakuan atas hak asasi manusia terhambat.
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi Kamisan ke-453 di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (4/8/2016). Dalam aksi itu mereka menuntut pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelangaran hak asasi manusia di masa lalu dan mengkritisi pelantikan Wiranto sebagai Menko Polhukam karena dianggap bertanggung jawab atas sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia. 
(KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)


Melalui PBB 

Perang dan keserakahan negara besar menyebabkan hak asasi tiap manusia terampas. Setelah Perang Dunia II, Majelis Umum PBB mulai berencana untuk membuat rencana terbaru untuk penegakan HAM. Dilansir dari situs resmi PBB, www.un.org, Hari Hak Asasi Manusia akhirnya bisa diperingati setiap tahun pada 10 Desember.

Pemilihan tanggal itu dipilih untuk menghormati pengesahan dan pernyataan Majelis Umum PBB bahwa pada 10 Desember 1948 terdapat sidang untuk membahas khusus tentang HAM.

Hasilnya adalah 48 negara menyetujui kesepakatan dan penandatanganan kesepakatan tentang Hak Asasi Manusia. Pertemuan itu mampu menghadirkan sebuah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR).

Deklarasi ini menjadikan tonggak bersejarah yang mampu memperjuangkan hak-hak yang tidak dapat dicabut yang setiap orang sebagai manusia tanpa memandang ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, bahasa, pendapat politik atau lainnya, asal kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran atau status lainnya.

Deklarasi tersebut juga menetapkan nilai-nilai universal dan standar umum pencapaian untuk semua orang dan semua bangsa. Ini menetapkan martabat dan harga diri yang setara bagi setiap orang.

 Berkat Deklarasi Universal HAM dan komitmen banyak negara terhadap prinsip-prinsip HAM, martabat jutaan orang telah terangkat dan landasan untuk dunia yang lebih adil telah diletakkan.

Secara resmi, peringatan Hari HAM Sedunia dilakukan sejak 1950 pada Rapat Pleno ke-317 Majelis Umum pada 4 Desember 1950. Saat itu Majelis Umum menyatakan resolusi 423 (V) dan mengundang semua negara anggota dan organisasi lain menetapkan itu.

Pernyataan secara global pertama tentang hak asasi manusia merupakan salah satu pencapaian besar pertama sejak berdirinya PBB. Setelah itu, mulai muncul berbagai konferensi dan pertemuan politik tingkat tinggi, juga acara dan pameran budaya yang berkaitan dengan masalah HAM.

 Banyak organisasi pemerintah dan non-pemerintah yang aktif di bidang HAM menggelar acara khusus untuk memperingati Hari HAM Sedunia, seperti yang dilakukan banyak organisasi sipil dan lembaga swadaya masyarakat, termasuk di Indonesia.

Kompas.Com 

Senin, 25 November 2019

Ketika PGRI Terbelah


Andreas JW - 25 November 2018
  • Refleksi Hari Guru 25 November
Ilustrasi: Pendidikan pada masa kolonial


Awal tahun 1965, pecah konflik serius di tubuh organisasi guru, PGRI. Konflik tajam bisa muncul karena secara sepihak, tanpa ada perundingan dengan pimpinan yang lain, Ketua PGRI Subiadinata, menyatakan PGRI bergabung dengan SOKSI. Padahal, organisasi PGRI harus non-faksentral.

Subiadinata diketahui luas sebagai aktivis dari unsur PNI kanan. Tentu saja, tindakannya ini memancing reaksi anggota PGRI dari unsur lain. Mereka protes keras atas tindakan sepihak dari Subiadinata, yang secara jelas melanggar keputusan kongres.

Dari sini konflik berkembang semakin meruncing dan sulit untuk didamaikan lagi. Para anggota PGRI yang tetap konsisten dengan pendirian bahwa organisasi PGRI harus non-faksentral, tidak setuju terhadap tindakan sepihak dari Subiadinata. Mereka lantas memisahkan diri. Mereka kemudian membentuk PGRI Non-faksentral. Tokoh-tokoh dibelakang kubu PGRI Non-faksentral di antaranya adalah Subandri, Muljono, dan tokoh Taman Siswa Elan alias Pak Hardjo.

Melihat konflik berkembang semakin tajam dan kelihatannya sulit didamaikan, Bung Karno menyatakan sangat prihatin. Selanjutnya Bung Karno berharap agar kedua kubu segera mencari jalan damai, menuju rekonsiliasi.

Keprihatinan Bung Karno disambut baik oleh kubu PGRI Non-faksentral. Mereka menyatakan bersedia melakukan rekonsiliasi, tapi dengan syarat kubu PGRI Subiadinata terlebih dahulu harus keluar dari SOKSI.
Argumentasi mereka, karena kubu Subiadinata sudah melanggar keputusan kongres.

Karena kedua kubu masih berpegang pada pendiriannya masing-masing, konflik pun terus berlanjut. Bahkan semakin panas. Bung Karno kemudian menugaskan Sujono Hadinoto untuk mengatasi konflik di tubuh organisasi PGRI agar tidak semakin berlarut-larut. Maksud Bung Karno, Sujono Hadinoto, dalam rangka menyelesaikan konflik ini, bertindak sebagai mediator; agar kedua kubu yang tengah berkonflik bersedia menempuh jalan rekonsiliasi.

Pada saat konflik tersebut berlangsung, "Saya tengah sibuk menangani berbagai pekerjaan di Mapenas," ungkap Siswoyo.
Sebagai Wakil Ketua Mapenas, ia tengah menyiapkan konsep Sistem Pendidikan Nasional. Di Mapenas, ia merupakan kolega tepercaya bagi Sujono Hadinoto.
 Selain di Mapenas, "Saya juga anggota DPR-GR dari Fraksi PKI yang membidangi pendidikan." Mungkin atas pertimbangan ini Sujono kemudian menunjuknya untuk turut membantu meredakan konflik dan menindaklanjuti proses rekonsiliasi di tubuh organisasi PGRI.

Siswoyo sudah tahu sejak lama bahwa di tubuh organisasi PGRI banyak terdapat elemen-elemen dari Taman Siswa. Dan ia juga tahu persis merekalah yang terutama menentang keras tindakan sepihak kubu Subiadinata. Kebetulan pula ia banyak mengenal dan sudah sejak lama bergaul akrab dengan mereka. Langkah pertama yang dilakukan, melalui elemen-elemen Taman Siswa,

"Saya mulai menggali informasi untuk mencari tahu bagaimana sesungguhnya duduk perkara yang terjadi. Dari sini saya lalu mulai mengatur langkah lanjutan untuk menyatukan kembali PGRI," tutur Siswoyo.

Menurutnya, sumber masalah berada di pihak kubu Subiadinata. Maka ia segera mengadakan pendekatan kepada pimpinan PNI. Kepada Sekjen PNI, Surachman, dijelaskan permasalahan serta sumber konflik di tubuh PGRI. Seraya tidak lupa,
 "Saya sampaikan pula instruksi Bung Karno agar secepatnya konflik dapat diselesaikan."

Ternyata di internal massa PNI sendiri terdapat perpecahan dalam menyikapi konflik tersebut. Banyak yang menyesalkan, mengapa konflik tersebut bisa terjadi. Terutama kader-kader pimpinan “PNI Ali-Surachman”, yang secara tegas tidak membenarkan tindakan yang dilakukan Subiadinata. Akibatnya, Subiadinata tidak berkutik, posisinya terjepit dan semakin lemah. Sebab, selain ditentang oleh massa PGRI, dia juga mendapat tentangan dari massa PNI.

Akhirnya dilakukan pertemuan di Kantor Pusat PNI untuk membahas penyelesaian konflik. Selain Sekjen PNI Surachman dan Prof. Dr. Sudiarto, "Saya juga hadir sebagai mediator," kata Siswoyo.

Hasil pertemuan inilah sesungguhnya kunci keberhasilan menyelesaikan konflik di tubuh organsasi PGRI. Terutama ketika pimpinan PNI memutuskan untuk “menarik” Subiadinata dari PGRI. Dengan begitu salah satu inti permasalahan sudah dapat diselesaikan, sehingga proses rekonsiliasi selanjutnya bisa berjalan mulus.

Akan halnya untuk menggantikan Subiadinata, "Saya mengusulkan Prof. Dr. Sudiarto duduk dalam kepengurusan PB PGRI, sebagai wakil dari unsur PNI. Dengan begitu dalam kepengurusan baru PGRI tetap melibatkan unsur-unsur Nasakom. Untuk ini Surachman setuju dengan usulan saya."

Berkat bantuan berbagai pihak, tugas untuk menyelesaikan konflik di PGRI, akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Namun demikian tetap saja ada “pengorbanan” dari kedua belah pihak. Yakni, kubu PGRI SOKSI harus melepas Subiadinata; sementara kubu PGRI Non-faksentral harus merelakan Subandri mundur dari kepengurusan. Jadi jalan keluarnya adalah win-win solution.

Selanjutnya diadakan pertemuan rekonsiliasi kedua kubu yang berkonflik di kediaman pribadi Prof. Dr. Sujono Hadinoto di Jalan Cimahi No.5 Menteng, Jakarta.

Namun sejarah mencatat, selang beberapa bulan kemudian, menyusul Peristiwa 1965, banyak jatuh korban dari guru-guru kubu PGRI Non-faksentral. Baik itu ditahan maupun "dihilangkan".

Selasa, 19 November 2019

Pengarsipan Digital: Dari Kerja Individu Menuju Kerja Bersama


19 November 2019

Diskusi internal yang cukup panjang. Dua setengah jam dan belum juga usai. Diskusi internal, yang akhirnya diberi nama oleh Adhe -Tholabul Ilmi- kali ini, dipantik oleh Devananta Rafiq, alumni mahasiswa Ilmu Politik UGM, 2014. Ia mendiskusikan Chantal Mouffe, seorang pemikir politik asal Belgia. Teks ini telah berhasil ia pertahankan dalam ujian, Mei lalu. "Mouffe kupilih ditengah tema skripsi yang itu-itu saja," katanya.

Siang tadi, Rafiq membagikan poin-poin skripsinya kepada saya. Bila berkenan membaca, sila klik tautan berikut:

Ketertarikan personal dengan sejarah Indonesia modern membawa saya pada pemahaman, bahwasannya pada era 1950 hingga 1965, banyak sumber pengetahuan yang tidak terdokumentasikan dengan baik.
Hal itu amat disayangkan, karena berdasarkan apa yang saya arsipkan, geliat intelektualitasnya sungguh meriah dan menyala bernas.

Proyek pengarsipan digital media massa yang saya lakukan berawal dari inisiatif personal yang tertarik dengan sejarah Indonesia usai perang kemerdekaan. Berawal dari keisengan ketika membuka lembar-lembar koleksi pribadi majalah lawas, kemudian berlanjut pada penemuan tulisan-tulisan menarik yang patut dibaca dan disimpan sebagai sumber pengetahuan.

Yang langsung terpikir saat itu adalah keinginan untuk mengkliplingnya. Tetapi, bila harus menggunting lembar-lembar majalah itu sungguh teramat sayang, karena bakal merusak fisiknya.

Sebagai alternatif, memindainya dan kemudian menyimpan dalam bentuk digital agar bisa dibaca sewaktu-waktu tanpa harus membuka lagi majalah tersebut.

Kegiatan iseng-iseng ini, lambat laun, ternyata memiliki banyak faedah. Lembar-lembar koleksi majalah yang merapuh termakan usia tak perlu lagi acap dibuka sehingga tidak merusak keutuhan fisiknya. Selain itu, file yang sudah berbentuk digital mudah pula disimpan dan diakses oleh berbagai pihak yang membutuhkan arsip tulisan itu.

Kegiatan mengarsip dan kemudian membaginya kepada publik inilah yang menjadi proyek kerja personal saya sebagai individu yang peduli ihwal pentingnya arsip sebagai sumber pengetahuan --di luar pekerjaan saya sebagai pelapak daring buku lawas, dengan akun bernama: Tokohitam.

Berkat kegiatan yang mulanya iseng ini, pada September 2017, Tokohitam turut berpartisipasi dalam Festival Arsip IVAA dengan membawa koleksi digitalnya untuk disajikan dalam kegiatan bernama Bakar Arsip.

Nilai penting pengarsipan digital

Kegiatan pendigitalisasian koleksi ini lantas memunculkan kesadaran ihwal pentingnya arsip sebagai sumber pengetahuan. Ketertarikan personal dengan sejarah Indonesia modern membawa saya pada pemahaman, bahwasannya pada era 1950 hingga 1965, banyak sumber pengetahuan yang tidak terdokumentasikan dengan baik.

Hal itu amat disayangkan, karena berdasarkan apa yang saya arsipkan, geliat intelektualitasnya sungguh meriah dan menyala bernas. Sebuah era di mana intelektualitas dicatat dan dipublikasikan dengan baik oleh media massa yang muncul bak cendawan di musim hujan. Itulah sebabnya kemudian saya lebih banyak memfokuskan diri pada pengarsipan majalah atau media massa yang terbit di era-era tersebut.

Di era yang sama, banyak pula bermunculan media massa yang penting untuk diarsipkan. Baik itu majalah yang bertema umum, seperti majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Merdeka, Pesat, Nasional, Majalah Kompas, Minggu Pagi, dll. Majalah khusus memuat perihal seni budaya, seperti Majalah Kebudayaan INDONESIA, Zenith, Majalah Seni, Majalah Budaja, Pujangga Baru, Konfrontasi, Zaman Baru, dll. Bahkan ada majalah yang khusus memuat karya sastra, terutama cerita pendek, bernama KISAH.

Majalah KISAH menjadi salah satu pionir dalam mengenalkan tren sastra majalah yang muncul di era tahun 1950-an awal. Tren sastra majalah pertama kali diperkenalkan oleh Nugroho Notosusanto dalam artikelnya yang terbit di Majalah Kompas (bedakan dengan harian Kompas) No. 7, Juli 1954.

Tulisan yang berjudul “Situasi 1954” ini menyoroti maraknya penerbitan cerpen dan puisi dalam majalah seiring dengan munculnya perdebatan mengenai krisis kesusastraan Indonesia yang bermutu. Peran Balai Pustaka kemudian menjadi sorotan karena tidak mampu mengakomodir karya-karya sastra terbaik yang membuat banyak penulis beralih untuk mengirimkan karya-karyanya ke berbagai penerbitan majalah yang kemudian mengakibatkan munculnya karya-karya sastra yang disesuaikan dengan kebutuhan media itu sendiri.

Pengarsipan media massa ini penting, karena tak banyak dari media-media itu yang bertahan lama dan keberadaannya kini susah ditemui. Ada beberapa media massa yang hanya mampu bertahan tak sampai lima tahun. Mereka harus tumbang karena kekurangan biaya atau karena kalah bersaing dengan majalah lainnya.

Majalah Zenith misalnya, adalah majalah kebudayaan yang hanya terbit empat tahun. Dalam Zenith sering saya jumpai artikel-artikel seni budaya yang menarik untuk diarsipkan, seperti misalnya artikel Trisno Sumardjo mengenai “Kedudukan Seni Rupa Indonesia”, artikel karya komponis Amir Pasaribu mengenai beda antara “Musik Nasional dan Musik Barat”, dll. Zenith, yang perdana terbit pada 1951, mesti tumbang setelah menelurkan empat nomor pada 1954.

Pascatumbangnya Zenith, muncullah majalah SENI yang terbit pada 1955. Tetapi, mesti berakhir dalam setahun dengan menelurkan 12 edisi. Majalah ini banyak memuat artikel dan berita-berita di bidang seni rupa. Saya menjumpai banyak karya rupa yang dibahas dengan genial dalam majalah ini.

Banyak pula majalah-majalah yang kini menjadi barang yang langka seperti jurnal kebudayaan milik Lekra, Zaman Baru. Awalnya, nama tersebut dipakai oleh majalah mingguan sosial politik yang terbit di Surabaya. Lekra, yang saat itu belum punya media massanya sendiri, hanya menumpang pada rubrik lembar kebudayaan yang beberapa halaman saja dalam majalah tersebut. 

Zaman Baru kemudian bersulih menjadi jurnal kebudayaan milik Lekra pada 1953, beriringan dengan pendefinisian ulang Manifesto Kebudayaan Lekra. Dari jurnal inilah saya menjumpai karya tulis beberapa pesohor lukis di medio 1950-an, seperti Basuki Resobowo dan Batara Lubis. Sayang, majalah ini mengalami librisida pada 1965 dan berakibat pada hilangnya rekaman intelektualitas orang-orang Lekra. Hingga kini agak susah untuk menangkap geliat intelektualitas orang-orang Lekra langsung dari sumber pengetahuan primernya.

Satu lagi majalah yang penting untuk diarsipkan adalah Majalah Kebudayaan INDONESIA. Majalah ini terbit perdana pada 1949 dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kemudian, pengelolaan penerbitan berpindah kepada sebuah lembaga kebudayaan bernama Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).

Majalah ini menjadi penting untuk diarsipkan karena memuat banyak karya tulis para penggiat kebudayaan Indonesia pascaperang kemerdekaan. Dibandingkan majalah-majalah kebudayaan lainnya seperti Zenith, Pujangga Baru, Budaja ataupun Konfrontasi, majalah ini lebih utuh membicarakan kebudayaan tanpa tendensi yang berat sebelah.

 Mutu majalah ini kemudian merosot tajam di tahun 1960-an hingga kemudian menghilang setelah menelorkan tiga edisi pada 1965.

Pengerjaan proyek digitalisasi koleksi

Laku pengarsipan yang saya kerjakan sebenarnya sederhana sekali. Pada awalnya hanya mendigitalisasi tulisan-tulisan karya sosok tertentu, sseperti Pramoedya Ananta Toer. Lambat laun, saya asmengarsipkan pula tulisan-tulisan yang bertema sosial, politik, seni dan budaya yang menurut saya masih kontekstual untuk dipelajari sebagai sumber pengetahuan.

Dalam perjalanan pengarsipan kemudian saya tidak lagi hanya mengarsipkan satu persatu tulisan, tapi kemudian jika menjumpai majalah atau buku yang langka dan layak untuk diarsipkan, saya bakal mendigitalisasi secara utuh.

Dalam perjalanan pengarsipan, saya sering terkendala dengan minimnya koleksi yang saya jumpai dan miliki. Selain soal bea, mengingat pengerjaan proyek ini hanya menggantungkan diri pada pendapatan pribadi sebagai seorang pedagang buku lawas, juga terkendala pada kian susahnya mendapatkan koleksi yang layak untuk diarsipkan. Seringkali saya juga menjumpai majalah atau koran yang memuat artikel yang menarik, tetapi ternyata masih bersambung dengan penerbitan selanjutnya yang keberadaannya susah untuk ditelusuri.

Akhirnya, arsip itu menggantung dan tidak mampu bercerita secara detail. Kadang pula kondisi majalahnya sudah terlalu rapuh termakan usia hingga tak bisa lagi diarsipkan karena bisa dipastikan akan merusak fisiknya lebih parah.

Selain kendala biaya dan minimnya koleksi, kendala teknis seringkali menghambat kerja pengarsipan. Saya hanya menggantungkan pengerjaan pada sebuah mesin pemindai berukuran A4 yang hanya mampu memindai lembaran berukuran sama, sehingga ketika menjumpai lembaran yang ukurannya lebih saya harus menyiasatinya dengan menjadikan arsip itu dalam beberapa potongan. Karena bekerja sendirian, saya juga seringkali cepat merasa lelah dan bosan ketika terus menerus menghadapi kerja pengarsipan tersebut. Kerja sendirian ini juga membuat saya lebih banyak mendigitalisasi arsip yang saya senangi saja, sehingga gampang melewatkan data atau tulisan yang sebenarnya penting.

Pada awal 2019, saya bergandengan tangan dengan seorang kawan yang aktif dalam bidang penerbitan buku dan mendirikan sebuah rumah buku yang kemudian kami beri nama O.TH, singkatan dari nama Octopus dan Tokohitam. Rumah buku ini adalah sebuah perpustakaan, berikut sebuah toko buku dan kantor penerbitan kecil, yang didirikan untuk menghidupi kerja-kerja harian kami. Dalam rumah inilah kemudian saya bekerjasama dengan seorang kawan yang mempunyai hasrat yang sama dalam hal pengarsipan kembali mengerjakan proyek digitalisasi dengan semangat yang baru. Salah satu proyek yang kini sedang dikerjakan di Rumah Buku O.TH adalah mendigitalisasi arsip mengenai gerakan pemuda Indonesia setelah era perang kemerdekaan bersumber pada berbagai media massa tahun 1950-an yang menjadi koleksi perpustakaan.

Pengerjaan arsip digital gerakan pemuda ini berawal dari kegundahan kami terhadap banyaknya resistensi masyarakat luas terhadap peran pemuda dan pelajar dalam kegiatan protes terhadap kerja pemerintah.

Aksi para pemuda pelajar dalam berbagai kegiatan unjuk rasa dianggap negatif dan kontraproduktif dengan peran mereka sebagai murid yang harusnya belajar di kelas. Padahal, jika kita memahami sejarah sebagai alat penimbang kondisi-kondisi yang terjadi di hari ini, maka kita akan menemukan bahwa apa yang terjadi di hari ini berkorelasi dengan apa yang terjadi di masa lalu.

Pemeriksaan terhadap koleksi milik Rumah Buku O.TH memperlihatkan bahwa banyak peristiwa dan kegiatan protes yang melibatkan pelajar dan pemuda terjadi di era tahun 1950-an. Selain itu, kami menemukan beberapa artikel yang menarik mengenai peran pemuda dan pelajar dalam gerakan sosial, yang kini mungkin tak banyak orang bahas atau sampaikan.

Pengarsipan digital sebagai kerja gotong royong

Kerja pengarsipan adalah sebuah kenyataan yang harus dijalankan secara berkesinambungan dan konsisten. Membutuhkan banyak energi dan biaya yang tak sedikit. Sebab itu, kerja bergotong royong adalah solusi terdepan yang harus ditempuh mengingat banyak dan luasnya sumber yang harus segera diarsipkan. Berjejaring dengan sesama penggiat arsip digital harus diperluas beriringan dengan penyebaran kesadaran pentingnya kegiatan itu sebagai sebuah kerja budaya.

Berjejaring juga tidak hanya bermanfaat ketika sesama penggiat saling bekerja bersama mengarsipkan sebuah isu yang menarik untuk ditelusuri, namun juga bermanfaat dalam perburuan arsip atau dokumen yang mulai susah untuk didapatkan. Perpustakaan-perpustakaan, kebanyakan milik instansi pemerintah, yang masih banyak menyimpan koleksi majalah atau media massa lama nyaris tidak melakukan kerja apa-apa untuk menyimpan koleksinya agar mudah diakses oleh publik. Mereka seringkali mudah melepaskan koleksinya menjadi tumpukan kertas usang tak berguna yang kemudian diperjualbelikan secara bebas di pasaran buku langka. Ini sungguh menyusahkan para penggiat arsip digital ketika kemudian koleksi tersebut jatuh ke tangan pihak-pihak yang lebih ingin memilikinya sebagai memorabilia, bukan sebagai dokumen atau arsip yang perlu untuk disebarluaskan sebagai sumber pengetahuan.

Digitalisasi memudahkan para penggiat pengarsipan dalam pengerjaannya menggunakan sumber daya yang terbatas. Setiap penggiat kerja arsip digital bisa menggunakan alat yang dia miliki secara maksimal tanpa menunggu tersedianya alat yang lebih mumpuni. Setiap penggiat juga tak perlu harus menunggu tersedianya arsip yang istimewa, cukup dengan mengerjakan apa yang ia temukan dan dirasa menarik sesuai konten yang ingin dipelajari atau ditelusuri maka kecenderungan untuk terus bertekun diri akan membawanya pada perjumpaan-perjumpaan yang istimewa, baik perjumpaan dengan sesama penggiat arsip digital maupun dengan sumber-sumber yang menarik untuk diarsipkan.

Kerja pengarsipan digital bisa dikerjakan secara individual maupun kelompok tanpa menunggu kondisi yang ideal tersedia. Segala kendala hanya bisa dipanggul bersama secara bergotong royong. Berjejaring meluas dan terus berbagi informasi agar pengarsipan digital bisa terus dijalankan tanpa menunggu semua arsip atau dokumen sejarah musnah akibat abainya banyak pihak yang seharusnya bekerja maksimal untuk mempertahankannya.

*Ditulis oleh Dodit “Tokohitam” Sulaksono