Oleh Andri
Setiawan
Makam korban pembunuhan massal 1965 di Plumbon, Semarang, masuk dalam
situs memori CIPDH-UNESCO terkait pelanggaran HAM berat. Nisan makam korban pembunuhan massal 1965 di Plumbon, Semarang. (Dok.
Yunantyo Adi Setiawan).
Pada 1980-an, sebuah makam dengan tumpukan batu di hutan
Plumbon, Semarang hanyalah sebuah tempat bagi orang-orang yang mencari
peruntungan nomor togel. Sesekali ada orang berziarah, namun tak dikenal siapa
mereka.
Pasca Reformasi, tepatnya pada 2000, Yayasan Penelitian
Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65) yang diketuai Sulami, mantan Sekretaris
Jenderal Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), sempat mengidentifikasi keberadaan
makam yang diduga berisi kerangka korban-korban pembunuhan massal 1965
tersebut.
Namun, tak ada kelanjutan dari indentifikasi kala itu,
hingga pada 2014, sekelompok aktivis yang membentuk Perkumpulan Masyarakat
Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) mulai membuka memori masa silam dari
makam di tengah hutan jati itu.
PMS-HAM memerlukan waktu 7,5 bulan untuk melakukan
penelitian mengenai identitas para korban serta melakukan pendekatan kepada
masyarakat dan pemerintah.
“Jadi kami mencari kolega korban, keluarga korban, kemudian minta izin dari RT, RW, lurah, camat sampai walikota, Polsek, Polres, Polda, Koramil, sampai Kodam, dan kami tembuskan juga ke Mabes TNI,” ujar Yunantyo Adi Setiawan, Koordinator PMS-HAM kepada historia.id.
PMS-HAM kemudian berhasil mengidentifikasi delapan nama
dari 24 korban yang diperkirakan dikubur di makam tersebut. Mereka adalah Moetiah,
Soesatjo, Darsono, Sachroni, Joesoef, Soekandar, Doelkhamid, dan Soerono.
Moetiah adalah guru TK Melati dan anggota
Gerwani di Patebon, Kendal. Soesatjo adalah patih yang merangkap pengurus PKI
Kendal. Joesoef adalah carik di Desa Margorejo dan anggota PKI di
Cepiring. Soerono adalah anggota PKI dari Kedungsuren. Sachroni adalah
anggota PKI dari Mangkang.
Sedangkan, Darsono, Soekandar, dan Doelkhamid, merupakan
anggota Pemuda Rakyat.
Yunantyo menyebut kedelapan korban dan belasan
lainnya dibunuh tanpa proses hukum yang jelas.
“Tidak ada pengadilannya. Baru dicurigai tapi sudah dibunuh. Jadi, sebagai upaya kemanusiaan kita waktu itu, rekonsiliasi dalam bentuk memanusiakan makam mereka,” terangnya.
Awalnya PMS-HAM hendak melakukan penggalian terhadap
makam tersebut. Namun, karena Komnas HAM tidak merespons permohonan izin yang
diajukan, maka dipilih opsi pemasangan nisan.
PMS-HAM juga berkaca dari peristiwa di Wonosobo pada
2000. Kala itu YPKP65 melakukan ekskavasi kuburan massal di Hutan Kaliwiro,
Wonosobo. Ketika hendak dimakamkan ulang di daerah Kaloran pada 2001, terjadi
penolakan dari Forum Ukhuwah Islamiyah Kaloran (FUIK). Beberapa kerangka bahkan
dibakar.
Maka untuk pemasangan nisan makam Plumbon, PMS-HAM
melakukan dialog dengan Pemuda Pancasila dan Front Pembela Islam (FPI) terlebih
dahulu.
“Kita hanya bicara kemanusiaan saja, tidak bicara konflik masa lalu,” terangnya.
Doa lintas agama pada acara pemasangan nisan makam korban pembunuhan
massal 1965 di Plumbon, Semarang, 1 Juni 2015. (Dok. Yunantyo Adi Setiawan).
Pada 1 Juni 2015, acara pemasangan nisan
dilangsungkan bersamaan dengan Hari Lahir Pancasila. Dengan mengundang warga,
tokoh lintas agama, serta berbagai elemen masyarakat dan ormas, acara dapat
berjalan dengan lancar. PMS-HAM juga melibatkan pemerintah daerah,
pimpinan Perhutani Kendal selaku pemilik lahan hutan, serta pihak kepolisian
dan TNI. Akhirnya, sebuah batu nisan dari marmer bertuliskan delapan nama
korban pembunuhan berhasil didirikan.
“Intinya waktu itu kita resmikan dengan doa bersama lintas agama bersama warga bahwa tempat itu mulai 1 Juni 2015 menjadi tempat terbuka sebagai upaya kemanusiaan terhadap korban itu,” jelas Yunantyo.
Nisan ini menjadi monumen pertama korban pembunuhan masal
1965 yang didirikan secara resmi atas izin pemerintah. Acara ini juga sekaligus
menjadi peristiwa rekonsiliasi kultural bagi korban, masyarakat dan pemerintah.
Pada 1 Mei 2019, Yunantyo mendapat surel dari The
International Center for the Promotion of Human Rights (CIPDH) yang berada
dibawah United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO), yang meminta materi terkait makam Plumbon tersebut.
CIPDH-UNESCO kemudian menetapkan makam itu sebagai situs
memori terkait pelanggaran HAM berat.
CIPDH-UNESCO didirikan pada 2007 di Buenos Aires,
Argentina, untuk meningkatkan kesetaraan dan nondiskriminasi melalui
program-program yang mempromosikan kesetaraan gender, keberagaman dan
antarbudaya. CIPDH-UNESCO mengandalkan potensi pendidikan warisan budaya dan
sejarah sebagai elemen penting dalam membangun identitas kolektif.
Selain itu, CIPDH-UNESCO juga memprioritaskan
pendidikan HAM sebagai pendorong untuk mempromosikan budaya
koeksistensi demokratis dan akses yang setara terhadap HAM. Untuk itu, CIPDH-UNESCO
berupaya memvisualisasikan situs-situs terkait dengan memori pelanggaran HAM
berat di seluruh dunia sebagai bagian dari warisan budaya kolektif komunitas
dalam bentuk peta interaktif.
Proyek ini juga bertujuan untuk memperoleh pengetahuan
tentang bagaimana masyarakat berurusan dengan masa lalu mereka, kebijakan
publik apa yang diberlakukan untuk menjaga memori dan untuk mengumumkannya,
serta kesepakatan dan konsensus apa yang memungkinkan ingatan ini
dikenal.
Proyek ini mendata berbagai warisan meliputi arsip,
warisan budaya tak benda, monumen, museum dan situs dengan tema perbudakan,
genosida dan atau kejahatan massal, konflik bersenjata, dan persekusi politik.
Makam Plumbon masuk dalam kategori situs persekusi
politik bersama kuburan massal Priaranza del Bierzo di Spanyol dan Space for
Memory and for the Promotion and Defense of Human Rights (Former ESMA) di
Argentina.
Selain makam Plumbon, CIPDH-UNESCO juga memasukan Aksi
Kamisan dalam peta mereka. Aksi dengan pakaian dan payung hitam di depan Istana
Negara itu masuk dalam kategori warisan budaya tak benda dengan tema persekusi
politik.
0 komentar:
Posting Komentar