Kompas.com - 10/12/2019, 09:59 WIB
Penulis : Devina Halim
Editor : Krisiandi
Editor : Krisiandi
Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD saat ditemui di Kemenko
Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2019).(KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO)
Demikian disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam wawancara khusus kepada
Kompas.com, Kamis (5/12/2019).
"Jangan karena ada yang menolak, ada yang setuju, lalu tidak diputuskan, itu tidak boleh. Itulah tugasnya UU, menyelesaikan yang setuju dan tidak setuju," kata Mahfud.
Sejumlah pihak, terutama korban pelanggaran HAM berat, menginginkan agar
penyelesaian kasus dilakukan melalui jalur yudisial atau pengadilan.
Namun, ada pula
alternatif lain yang beberapa kali dilontarkan pemerintah yaitu melalui jalur
non-yudisial. Menurut Mahfud, perdebatan yang ada saat ini membuat penyelesaian
kasus-kasus tersebut menggantung. Maka dari itu, segala pro dan kontra terkait
hal tersebut sebaiknya disampaikan di DPR demi dicapai sebuah keputusan.
"Disampaikan di DPR, adu argumen lalu diputuskan. Kan selesai," ungkapnya. Berdasarkan catatan Kejaksaan Agung, saat ini ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan.
Rinciannya, peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua,
serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh. Kemudian, Peristiwa 1965, peristiwa
Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II
tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa.
Lalu, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, Peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998. Nantinya, KKR akan mengakomodir penyelesaian secara yudisial dan non-yudisial. Mahfud menuturkan, jalur non-yudisial berlaku bagi kasus yang sudah kehilangan obyek dan subyeknya.
"Kalau rekonsiliasi kepada kasus-kasus yang tidak bisa ditemukan lagi obyek dan subyeknya yang sedang berjalan seperti Wasior dan Wamena, kawal penegakan hukum. Kan bisa," ungkapnya.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) Choirul Anam menegaskan bahwa pihaknya menolak mekanisme
penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme KKR.
Sikap itu didasarkan pada hasil riset Litbang Kompas yang
menunjukkan publik lebih memilih mekanisme pengadilan baik nasional maupun
internasional untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Dalam hasil riset
Litbang Kompas, sebanyak 62,1 persen responden memilih mekanisme penyelesaian
kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui pengadilan nasional.
Sisanya, 37,2 persen memilih diselesaikan oleh pengadilan internasional. Hanya
ada 0,5 persen saja yang memilih lainnya, termasuk di dalamnya mekanisme
rekonsiliasi lewat KKR.
Dengan demikian hampir 99,5 persen responden memilih
pengadilan sebagai mekanisme penyelesaian kasus HAM.
"Jadi hentikan KKR, karena kalau angka ini 99,5 persen mengatakan diselesaikan melalui pengadilan, dan memang yang lebih besar adalah harapannya diselesaikan di pengadilan nasional bukan di pengadilan internasional," kata Anam saat merilis hasil riset di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/12/2019).
Kompas.Com
0 komentar:
Posting Komentar