Kompas.com - 10/12/2019,
09:21 WIB
Penulis : Dian Erika
Nugraheny
Editor : Krisiandi
Editor : Krisiandi
Ibu Sumarsih menuntut akan
keadilan anaknya yang menjadi korban tragedi 1998 pada Aksi Kamisan yang ke 604
di depan Istana, Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis
(3/10/2019).(KOMPAS.com/M ZAENUDDIN)
JAKARTA, KOMPAS.com - Maria Katarina Sumarsih, salah satu keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan penggagas aksi Kamisan mengungkapkan harapannya dalam peringatan hari HAM Internasional ke-71 yang diperingati pada hari ini, Selasa (10/12/2019).
JAKARTA, KOMPAS.com - Maria Katarina Sumarsih, salah satu keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan penggagas aksi Kamisan mengungkapkan harapannya dalam peringatan hari HAM Internasional ke-71 yang diperingati pada hari ini, Selasa (10/12/2019).
Menurut Sumarsih, pemimpin negara, penegak hukum dan
pemangku kepentingan lain di negara ini harus memberi perhatian bagi penegakan
keadilan terhadap pelanggaran HAM berat di masa lalu.
"Harapan saya, Indonesia jangan dijadikan negara impunitas (kondisi di mana segelintir pihak yang melakukan kejahatan tidak bisa dipidana). Hendaknya Bapak Presiden Joko Widodo berkomitmen pada sumpah beliau untuk patuh kepada UUD 1945 yang mana Indonesia adalah negara hukum," ujar Sumarsih di Kantor Komnas-HAM, Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019)
Dengan begitu, lanjut dia, Presiden hendaknya memiliki
komitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
"Pak Jokowi harus memegang teguh janji untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum dengan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, sesuai aturan UUD 1945 tentang pengadilan HAM," lanjutnya.
Ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan
ini pun menyatakan akan terus berjuang dalam aksi Kamisan di depan Istana Negara.
Wawan adalah korban penembakan saat Tragedi Semanggi I pada 11-13 November
1998.
Sumarsih menuturkan, aksi Kamisan merupakan pengingat
bagi negara bahwa masih banyak persoalan HAM yang belum terselesaikan, baik di
tingkat pusat maupun daerah.
"Selain itu juga masih banyak persoalan rakyat yang juga belum terselesaikan dengan baik. Kami akan tetap menggelar aksi sebagai pengingat untuk negara dan masyarakat," tambahnya.
Sebagaimana diketahui, pada tahun ini, aksi Kamisan telah
digelar selama 12 tahun. Aksi ini mulanya dilakukan pada 18 Januari 2007 oleh
para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Mereka
menuntut tanggung jawab negara dalam menuntaskan sejumlah kasus HAM berat di
Indonesia, seperti tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei
1998, Talangsari, Tanjung Priok dan Tragedi 1965.
Pada Senin, para korban dan keluarga korban pelanggaran
HAM ini mengadakan audiensi dengan Komnas HAM. Ada tiga butir pernyataan sikap
yang mereka sampaikan.
Pertama, mendesak agar Komnas HAM segera menyikapi hasil
survei Litbang Kompas dengan menjadikan hasil survei tersebut sebagai basis
argumen kepada Presiden, untuk mendorong penuntasan kasus pelanggaran HAM berat
masa lalu secara berkeadilan.
Kedua, Komnas HAM telah diberi mandat oleh UU Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM untuk
melaksanakan tugasnya berupa penuntasan kasus pelanggaran HAM dengan pro
justisia.
Jika Komnas HAM terkendala adanya penolakan berkas
penyelidikan Kejaksaan Agung maka Komnas HAM perlu melakukan amanat dalam pasal
95 UU Nomor 39 Tahun 1999. Pasal tersebut menyebutkan bahwa komnas HAM dapat
meminta bantuan kepada ketua pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.
Ketiga, Komnas HAM diminta konsisten dengan agenda
pengungkapan kebenaran sebagai pihak yang melekat kepada korban dan
keluarganya.
Sebelumnya, hasil survei Litbang Kompas untuk Komnas HAM
menunjukkan bahwa sebagian besar responden ingin agar penuntasan kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan melalui pengadilan, baik nasional
maupun internasional.
Dalam survei tersebut, sebanyak 62,1 persen responden
memilih mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan
melalui pengadilan nasional. Sisanya, 37,2 persen memilih diselesaikan oleh
pengadilan internasional.
Sedangkan hanya ada 0,5 persen saja yang memilih lainnya.
Artinya, hampir 99,5 persen responden memilih pengadilan sebagai mekanisme
penyelesaian kasus HAM.
0 komentar:
Posting Komentar