Oleh: Riyan Setiawan - 10 Desember 2019
Koordinator Kontras Yati Andriyani memberikan keterangan pers.
tirto.id/Riyan Setiawan.
Koordinator Kontras Yati Andriyani memberikan catatan
kritis pada Hari Hak Asasi Manusia Tahun 2019 ini.
Koordinator Kontras Yati Andriyani memberikan catatan
kritis pada Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Tahun 2019 ini. Ia menilai selama satu
tahun terakhir, HAM tidak diberi ruang dan demokrasi menghilang.
"Kami menemukan pada tahun 2019 ada situasi di mana demokrasi dan penegakan HAM berjalan mundur dengan parameter indikator. Khususnya berkaitan dengan persoalan kasus HAM dan kebijakan pemerintah tahun 2019," kata dia di Kantor Kontras, Kwitang, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2019).
Yati melihat terdapat tiga petisi besar yang menyebabkan
kemunduran demokrasi selama satu tahun belakangan. Pertama, dinamika politik
selama dan usai pemilihan presiden dan wakil presiden yang memuncak dalam
peristiwa kekerasan pada tanggal 21-23 Mei 2019.
Kemudian meletupnya kemarahan rakyat Papua atas serangan
rasisme kepada terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya. Sehingga
menyulut rentetan demonstrasi secara masif di seluruh wilayah Papua dan
memuncak pada kekerasan dan kerusuhan di Jayapura dan Wamena pada bulan
September 2019.
Lalu yang ketiga rangkaian demonstrasi mahasiswa dan
masyarakat pada bulan September yang menolak sejumlah Rancangan Undang-undang
(RUU) buatan DPR RI dan Pemerintah.
Mereka menolak sejumlah RUU itu lantaran mengancam
kebebasan sipil dan dianggap merugikan rakyat kecil. Ketiga peristiwa besar
itu, kata Yati, telah menyebabkan kriminalisasi terhadap demonstran. Seperti
melakukan penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang hingga jatuhnya korban
jiwa.
"Secara efektif telah membungkam dan menurunkan level kebebasan rakyat untuk mengemukakan pendapat dan mengkritik pemerintahan," ucapnya.
Selain itu, dia juga mengkritisi terkait sembilan berkas
pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini masih mandeg di Kejaksaan Agung.
Sembilan berkas itu adalah berkas Peristiwa 1965/1966, Peristiwa Penembakan
Misterius, Peristiwa Talangsari Lampung, Peristiwa Penculikan dan Penghilangan
Paksa Aktivis 1997 1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti,
Semanggi l dan Semanggi ll, Peristiwa Wasior dan Wamena, serta Peristiwa
Simpang KKA dan Peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis Lainnya.
Pada 2019 ini, menurutnya, pemerintah belum menemukan
satu upaya dan langkah nyata untuk menuntaskan kasus tersebut. Namun hanya
wacana dari Dewan Kerukunan Nasional yang berada di bawah Menkopolhukam.
"Pada akhir 2019 ini, kami juga dengan Menkopolhukam akan mendorong kembali komisi kebenaran dan rekonsiliasi," pungkasnya.
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri
Ada
tiga petisi besar yang menyebabkan kemunduran demokrasi selama satu tahun
belakangan.
0 komentar:
Posting Komentar