HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Tapol. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tapol. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 September 2019

Cerita Istri Pengawal Presiden Sukarno Melahirkan di Penjara Usai G30SPKI

Muhamad Ridlo - 27 Sep 2019, 04:00 WIB

Foto Sutari, istri mantan pengawal Presiden Soekarno, Mayor (Purn) Abu Arifin. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Purbalingga - Tragedi 1965, atau G30S PKI pecah dan mengoyak Indonesia. Suasana mencekam tak berkesudahan terjadi selanjutnya, dengan dalih pembersihan pelaku atau anggota PKI.

Operasi militer yang ditopang kekuatan milisi terjadi di berbagai kota. Ribuan orang dibunuh, baik anggota PKI, underbow maupun orang yang hanya dicurigai simpatisan PKI.

Belakangan, operasi semakin masif. Kaki tangan rezim Soeharto yang hendak mengambil kekuasaan mulai membersihkan orang-orang yang berbau Sukarno.

Tentu saja, tak ada yang menyatakan secara resmi bahwa orang-orang presiden pertama itu menjadi target. Mereka disingkirkan dengan dalih terlibat atau simpatisan PKI.

Salah satu keluarga yang terkena imbasnya adalah keluarga Pendeta Dr Abu Arifin. Pria kelahiran Klampok, Banjarnegara ini dulunya adalah pengawal Presiden Soekarno, pada awal kemerdekaan, meski hanya empat bulan.

Empat bulan itu begitu membekas di hatinya. Terlebih, istrinya, Sutari begitu mengidolakan sang Putra Fajar. Pendek kata, ia dan keluarganya adalah Soekarnois sejati, dan bukan anggota maupun simpatisan PKI.

Abu Arifin lebih dikenal sebagai anggota pasukan pengawal Panglima Besar Jenderal Soedirman. Ia memang sempat berpindah kompi, dari Kompi 3 ke Kompi 1, pengawal istana dan Presiden dan kemudian menjadi pengawal Jenderal Soedirman.

Ia adalah anggota pasukan Batalyon Mobile Polisi Tentara, cikal bakal Kesatuan Provost, sekaligus pasukan elite pertama RI. Batalion ini setingkat divisi, dengan komandan pasukan berpangkat Mayor Jenderal, meski hanya berkekuatan sekitar 200 personel.

Jumat, 05 Oktober 2018

Kisah Eks-Cakrabirawa Penjemput Jenderal Nasution Melawan Stigma PKI


Muhamad Ridlo - 05 Okt 2018, 04:01 WIB

Sulemi dan istri adalah sepasang orang tua yang bahagia. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Purwokerto - Mendadak Sulemi (77) mengangkat kedua kakinya ke meja. Mantan prajurit Cakrabirawa ini memperlihatkan kedua jempolnya yang bengkok. Kukunya bergelombang dan tumbuh tak normal.

Cacat di jempol kaki dan bekas luka di sekujur tubuhnya itu adalah kenangan yang didapatnya ketika meringkuk di tahanan, sebelum Mahkamah Luar Biasa atau Mahmilub. Ia ditangkap, tepatnya menyerahkan diri, lantaran dituduh terlibat G30S PKI.

Sepanjang waktu selama di tahanan, bekas anggota pasukan elite pengawal presiden ini dipaksa mengaku PKI. Namun, ia bersikukuh bahwa dia hanya menjalankan perintah komandan untuk menjemput Jenderal Nasution.
"Saya prajurit hanya menjalankan perintah atasan. Dalam umur saya, tidak pernah terlibat politik. Kalau perwira menengah, mayor ke atas mungkin," ucapnya bercerita saat diinterogasi Provost.
Tiap jawaban itu meluncur dari mulutnya, ia sadar bakal menghadapi siksaan. Pukulan, tendangan, dipukul popor bedil dan diseret adalah derita yang mesti dirasakan tiap kali diinterogasi.

Bekas prajurit Cakrabirawa dengan pangkat sersan satu ini dipaksa mengaku sebagai anggota PKI.

Tulang punggungnya patah. Belikatnya melesak remuk ke dada akibat pukulan benda keras dan tendangan bertubi-tubi.

Namun, di antara siksaan yang diterimanya, yang paling menyakitkan adalah ketika jempol kakinya ditindih dengan kaki meja. Lantas, meja itu diduduki oleh interogator.
"Kemudian kukunya dicopot dengan tang. Rasanya seperti disambar halilintar. Sakitnya minta ampun. Kedua bola mata saya seolah copot keluar," kata bekas prajurit Cakrabirawa ini. Dia tak pernah lupa peristiwa ini.

Terlibat Penjemputan Jenderal Nasution

Bekas prajurit Cakrabirawa, Sulemi. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Keadaan lantas membaik saat Palang Merah Internasional berkunjung ke tahanan. Saat itu, ia menyebut sudah tak lagi bisa berjalan. Saat buang air besar, ia mesti merayap seperti kadal.
"Daripada saya mengaku PKI, lebih baik mati," ucapnya tegas.
Akibat terlibat upaya penculikan Jenderal Nasution, ia divonis mati. Seluruh harapannya buyar. Ia mesti melepas istri dan anak semata wayangnya.

Namun, oleh pengacara militernya, ia dibujuk untuk mengajukan banding dan berhasil. Dari vonis mati hukumannya berubah menjadi seumur hidup.

Lantas ia dipindah ke Pamekasan, Madura, bersama 32 tahanan politik lainnya. Selama 15 tahun, ia menghabiskan waktu di balik jeruji penjara hingga akhirnya bebas pada Oktober 1980, bulan ini 38 tahun lalu.

Bebas dari penjara bagi Sulemi bukan berarti lepas dari penderitaan. Pulang ke Purbalingga, ia mendapati kakaknya yang seorang PNS di Dinas Pertanian dipecat. Padahal, sang kakak sama sekali tak tahu peristiwa yang terjadi di Jakarta pada Oktober 1965.

Keluarganya juga mesti menanggung perundungan, lantaran dianggap sebagai keluarga pengikut PKI. Penderitaan itu rupanya mesti ditanggung oleh keluarga besarnya.
"Seharusnya yang dihukum itu pimpinan. DI/TII Kartosuwiryo, yang dihukum juga para pimpinan," dia menuturkan.
Terseok-seok, ia mulai mencari pekerjaan. Pekerjaan didapat, tak lama kemudian, dipecat begitu bos mengetahui latar belakangnya sebagai bekas prajurit Cakrabirawa.

Secercah Harapan Usai Reformasi 1998


Sulemi dan istri di kediamannya di Purbalingga, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Di kala susah itu, Tuhan memberi secercah berkah dengan mengirimkan sosok Sri Murni, seorang janda. Mantan istri rekannya sendiri.

Berdua, mereka mulai mendayung biduk di tengah gelombang masa 80-an yang tak ramah. Untuk menyambung hidup, ia memutuskan untuk mematung.

Keahlian ini didapatnya ketika dipenjara di Pamekasan. Salah satu napi adalah seniman yang juga seorang dosen seni rupa. Rekannya ini masuk penjara karena menjadi anggota Lekra.

Sesekali, patungnya laku. Tetapi, di saat lain, tak ada yang mencarinya. Singkat kata, mematung tak bisa menjamin dapurnya tetap mengepul.

Lantas, ia dan istrinya sepakat untuk membuat warung makan. Tak mudah untuk hidup dari sektor jasa. Apalagi, usaha ini membuatnya mesti berinteraksi dengan bermacam konsumen.

Ada kalanya, pelanggan tak lagi kembali begitu mengetahui sang pemilik warung adalah bekas prajurit Cakrabirawa, yang pada masa Orde Baru selalu diembuskan berasosiasi dengan PKI. Tetapi, ia selalu berusaha berlapang dada.
"Saya juga beribadah sebagaimana biasa. Kebetulan rumah saya dekat dengan masjid,” tuturnya.
Ekonomi keluarga Sulemi berangsur pulih. Masalah muncul ketika anak-anaknya beranjak besar dan membutuhkan biaya pendidikan. Istrinya rela membuka kios daging di pasar, sendirian.

Kemudian, seperti mimpi, reformasi bergulir. Gus Dur menjadi presiden. Masa ini ditandai dengan pulihnya hak-hak bekas tahanan politik seperti Sulemi.

Perlahan tapi pasti, semuanya membaik. Bahkan, anak bungsunya menjadi aparat. Sesuatu yang amat haram pada masa Orde Baru.


Rabu, 03 Oktober 2018

Mimpi Buruk Bekas Prajurit Cakrabirawa dan Api Cinta dalam Penjara


Muhamad Ridlo - 03 Okt 2018, 09:01 WIB

Eks-prajurit Cakrabirawa, Sulemi berfoto bersama dengan istrinya, Sri Murni. (Foto: Liputan6.com/ Muhamad Ridlo)

Purwokerto - Keheningan malam rumah sederhana di Purbalingga, Jawa Tengah, itu tiba-tiba pecah oleh teriakan kesakitan Sulemi (78). Lagi-lagi, eks prajurit Cakrabirawa itu kembali bermimpi buruk.

Sang istri, Sri Murni, tergopoh-gopoh membangunkan suaminya. Terkadang, kakek dan nenek ini memang tak selalu tidur sekamar.

Sejak awal menikahi Sulemi, Sri Murni sadar tak hanya sekadar mencintai seorang prajurit. Lebih dari itu, ia mesti bersahabat dengan masa lalu suaminya yang penuh dengan duri.
"Kalau tidur itu teriak-teriak. Saya kan tidur sendiri, bapak di sini. Kalau istilahnya direp-repi. Sampai sekarang, saya jadi heran. Itu ya, seminggu dua kali. Teriak-teriak," ucap Sri Murni kepada Liputan6.com, akhir 2017 lalu.
Satu hal yang membuat Sri tahu betapa menderitanya Sulemi, yakni sejak awal menikah hingga saat ini, Sulemi kerap mengigau. Kadang, Sulemi berteriak kesakitan. Di lain waktu, hanya teriakan yang tak jelas.

Dan itu sering terjadi. Setidaknya mimpi buruk itu datang sepekan dua kali. Belakangan, Sri tahu, suaminya benar-benar mengalami trauma akibat penyiksaan dalam penahananannya selama di penjara usai dituduh terlibat G30S PKI.

Sulemi adalah bekas prajurit Batalyon 1 Kawal Kehormatan Cakrabirawa, kesatuan elite pengawal Presiden Soekarno, dengan komandan Letkol Untung.

Belakangan, ia memang tergabung dalam pasukan Pasopati, yang bertugas menjemput Jenderal AH Nasution. Situasi politik membuatnya dituduh terlibat intrik politik hingga berakhir penyiksaan luar biasa kejam selama di penjara.

Sulemi pun mengakui, ingatan dan trauma penyiksaan selama di tahanan kerap mendatanginya saat tertidur. Terutama, kala dijemput oleh seregu petugas penjara militer. Tiap dijemput, ia tahu, sepulangnya nanti akan disiksa sampai tubuhnya remuk.

Tulang belikat, kaki, dan pinggangnya patah. Tubuhnya penuh dengan bekas sundutan rokok, luka karet yang dibakar, setrum, hingga kuku yang dicopot dengan tang. Mimpi itu secara berkala terus menghantuinya.

Tiap hari di tahanan bagi Sulemi bak neraka. Itu dialaminya pasca pemindahan penahanannya dari Pomdam Diponegoro ke Salemba. Sembari menunggu Mahmilub, ia disiksa habis-habisan. 

Mantan prajurit Cakrabirawa  ini dipaksa mengaku sebagai anggota PKI.

Vonis Mati untuk Prajurit Cakrabirawa

Selama di penjara, eks-prajurit Cakrabirawa, Sulemi mendapat siksaan tak terkira. (Foto: Liputan6.com/ Muhamad Ridlo)

Sulemi tentu tak mengaku. Ia mengakui terlibat menculik Jenderal Nasution. Dan itu pun lantaran dia diperintah oleh komandannya, Letkol Untung dan Letnan Satu Dul Arif, atasannya. Soal politik yang melatarbelakangi kejadian itu, Sulemi tak tahu menahu.
"Saya seorang militer. Tugas saya ya ini. Nah, suatu saat, saya dipaksa, akan dibaptis sebagai seorang komunis. Mana mungkin saya mengaku. Saya dalam umur segitu kok, mau berkecimpung dalam soal ideologi, dan partai," Sulemi menegaskan.
Tentara-tentara yang memeriksanya itu, berupaya meruntuhkan pertahanan Sulemi. Sulemi dipukul dengan kursi kayu, jempolnya diganjal dengan kursi, disetrum, hingga dicabut kukunya.

Tiap kali diperiksa, Sulemi harus ditandu ke selnya. Dan itu diterimanya sepanjang tahun, dua kali seminggu. Asal kondisi tubuhnya mulai pulih, penyiksaan kembali dilakukan.
"Kalau toh saya harus dihukum mati, itulah risikonya. Tapi kalau saya mati dalam keadaan penasaran (mengaku PKI) lebih baik saya mati. Mati dalam penyiksaan daripada harus mengaku PKI," ucap Sulemi.
Satu-satunya yang menjadi sumber kekuatan untuk bertahan adalah kuasa Tuhan. Ia pun yakin, doa ibunya di Purbalingga selalu menyertainya. Harapan bisa berkumpul dengan istri dan anak semata wayangnya pun menjadi kekuatan yang tiada tara.

Selama dua tahun sebelum menghadapi Mahmilub, dia makan nasi berkutu dengan jumlah yang amat sedikit. Di atas nasi itu, ditaruhlah lauk berupa sepotong ikan asin. Sementara, minumnya diambil dari selokan di dalam penjara, disedot dengan selang batang daun pepaya.

Siksaan dan berbagai perlakuan kejam itu baru berakhir kala ia akan diajukan ke Sidang Mahmilub. Sulemi divonis mati. Namun, bagi Sulemi, vonis mati itu tak ada artinya dibanding siksaan yang hampir tiap hari diterimanya.

Ia pun melihat, hakim yang menjatuhinya hukuman mati menangis. Ia paham, sang hakim yang seorang militer pasti tahu apa yang diperbuat prajurit hanyalah perintah pimpinan.
"Prosesnya hanya sebentar, seminggu, tetapi terus-menerus, tiap hari. Akhirnya diputus mati," ucapnya.
Ia pun tak ada niatan untuk mengajukan banding ke Pengadilan Militer Tinggi. Sebab, ia merasa tak salah dan tak ada keinginan sedikit pun untuk bernegosiasi.

Di sisi lain, harapannya untuk bertemu dengan keluarganya kontan luruh. Ia pun pasrah pada garis nasib yang mesti dilakoninya.

Ia lantas berkirim surat kepada istri pertamanya untuk merelakan kematiannya. Dengan kegagahan seorang prajurit, ia juga mempersilakan istrinya untuk menceraikannya. 
"Kalau suruh minta ampun kepada Pak Harto. Ya, maaf, lebih baik saya ditembak mati saja. Ya, bagi saya itu haram. Saya sudah sakit sekali," dia menuturkan.
Akan tetapi, penasihat hukum militernya berpendapat lain. Sulemi kemudian mengajukan banding dan mendapat keringanan hukuman menjadi penjara seumur hidup.

Sulemi lantas dipindah ke tahanan Pamekasan bersama sekitar 32 tahanan politik lainnya. Di tempat itu, Sulemi menyadari meninggalkan seorang istri dan anak. Ia pun kemudian mempersilakan agar istrinya menggugat cerai. Maka, sejak itu, Sulemi tak lebih dari orang yang terbuang.

Doa Bunda dan Harapan Bekas Tahanan Politik

Sulemi kini hidup damai bersama dengan istri, anak-anak dan cucu beserta keluarga yang selalu mencintainya. (Foto: Liputan6.com/ Muhamad Ridlo)

Di penjara Pamekasan pula, Sulemi mendengar kakaknya dipecat dari status PNS-nya, lantaran keterlibatannya dalam peristiwa 1965. Padahal menurut Sulemi, kakaknya itu sama sekali tidak tahu dan sama sekali tak terlibat politik.
"Saya sampai heran. Enggak ngerti apa-apa kok dipecat. Kalau dia itu, dinas ke kantor ya ke kantor, pulang ya pulang," ujarnya.
Kekuatan Sulemi usai bercerai dengan istri pertamanya saat itu adalah doa ibunya. Secara rutin, ia berkirim kabar ke ibundanya di Purbalingga.

Hingga akhirnya, di 1980 ia dibebaskan, setelah mendapat grasi atau pengampunan dari Presiden Soeharto. Pengampunan itu, menurut Sulemi, akibat tekanan HAM PBB agar Indonesia lebih memperhatikan hak-hak tahanan politik.
"Sebanyak 10 orang narapidana seumur hidup seluruh Indonesia dibebaskan, termasuk saya. Tahun 1980 keluar, bulan Oktober," dia mengungkapkan.
Rupanya, penderitaan Sulemi tak begitu saja pungkas usai dibebaskan dari tahanan dan penjara 15 tahun. Saat kembali ke kampungnya di Purbalingga, dia mendapati seluruhnya berubah, kecuali keluarganya.

Mudah ditebak, seorang bekas tahanan politik bakal kesulitan mendapat pekerjaan. Bahkan, tetangganya sendiri enggan menyapa. Satu-satunya tempat ia bersandar adalah keluarganya.

Saat itu, mulai berkarya membuat patung berbahan batu, kayu, atau pasir dan semen. Saat berada di Penjara Pamekasan, ia bersama dengan seorang seniman patung dari sekolah tinggi seni di Yogyakarta. Sang seniman dipenjara lantaran menjadi anggota Lekra, underbouw PKI.

Lantas, ia menikah dengan seorang perempuan, yang menemaninya hingga saat ini, Sri Murni. Sadar mematung tak bisa mencukupi kebutuhan keluarga, Sulemi dan Sri membuka kantin.

Lantas, Sri berjualan daging di Pasar Purbalingga. Kerja keras mereka mulai menampakkan hasil, meski tak bisa juga bisa dibilang cukup.

Waktu berjalan, masa pun berubah. Nasib baik berpihak kepada bekas tahanan politik usai reformasi 1998. Anak bungsu Sulemi bahkan kini menjadi seorang aparat.
"Setelah Presidennya Gus Dur, situasinya membaik. Tekanan kepada orang-orang seperti saya berkurang," dia menerangkan.
Kini, Sulemi, bersama istrinya, disibukkan dengan kunjungan-kunjungan ke saudara dan cucu-cucunya. Terkadang, mereka menghabiskan waktu di Magelang. Ada kalanya, mereka menengok cucu, yang tinggal di Purbalingga.

Kamis, 28 April 2005

Pelanggaran HAM terus menghantui kita


28 April 2005 - Aguswandi, TAPOL

Penindasan buruk bagi citra pemerintah, terutama pemerintah seperti Indonesia yang masih berjuang untuk memperbaiki reputasinya secara internasional. Ini merampasnya dari legitimasinya dan memberi negara lain alasan yang masuk akal untuk mengecamnya.

Kelanjutan dari pelanggaran hak asasi manusia, konflik dan penindasan di Indonesia di era pasca-Soeharto, terutama di Aceh dan Papua, telah mengaburkan beberapa perkembangan positif dalam demokrasi Indonesia. Ini telah membuat dunia berhati-hati tentang memberi Indonesia peran yang lebih penuh di arena internasional.

Sementara negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, Korea Selatan dan India dengan bangga berkampanye untuk mendapatkan kursi di Dewan Keamanan PBB, setelah reformasi, Indonesia masih sibuk menjelaskan kepada dunia tindakan domestik dan kebijakannya yang bertentangan dengan standar internasional hak asasi manusia.

Dalam pertemuan publik di luar negeri tentang Indonesia, beberapa pertanyaan diajukan berulang kali oleh banyak orang yang peduli tentang transisi negara ke demokrasi. Pertanyaan-pertanyaan sering diajukan tentang reformasi militer, militan Islam, mempertahankan kerja demokratisasi, korupsi dan masalah-masalah hak asasi manusia, terutama di Aceh dan Papua.

Perwakilan pemerintah memiliki jawaban standar untuk sebagian besar pertanyaan selain yang berkaitan dengan Aceh, Papua Barat dan hak asasi manusia. Mereka biasanya menyoroti perkembangan positif saat ini dengan optimisme. Mengenai reformasi militer, mereka mengacu pada kebijakan yang dirancang untuk mengontrol peran politik dan bisnis tentara.

Pada pertanyaan militan Islam, diplomat akan menunjukkan bahwa Islam moderat, bukan Islam militan, masih mendominasi wacana agama. Perkembangan positif lainnya juga digunakan untuk membuktikan rezim berubah dan lebih demokratis.

Tetapi bagian-bagian jawaban yang gelisah biasanya terjadi ketika para diplomat harus menjelaskan situasi hak asasi manusia, terutama di Aceh dan Papua. Mereka menemukan diri mereka dalam kesulitan karena mereka harus menjelaskan dan membela yang tidak dapat dipertahankan.

Di Aceh dan Papua, jawaban umum untuk diplomat garis keras, adalah bahwa itu adalah masalah separatisme, dan untuk yang moderat, bahwa itu adalah warisan masa lalu - rezim Soeharto. Tetapi keduanya akan menekankan bahwa pemerintah saat ini akan melakukan apa pun untuk menyelesaikan masalah secara damai.

Namun jawaban oleh diplomat di luar negeri pada akhirnya lebih banyak tentang spin - mendahului situasi di mana mereka akan disalahkan - daripada tentang menghindari penindasan di tempat pertama.

Sulit tetapi penting untuk menerima bahwa bahkan pemerintah sekarang terus membiarkan militer melanjutkan metode lama dan anakronistiknya - penggunaan kekuatan untuk menyelesaikan kedua konflik. 

Kelanjutan ofensif militer di Aceh dan peningkatan kehadiran militer di Papua merupakan kesinambungan antara pemerintah saat ini dan yang lama. Dalam kasus Aceh, sangat disayangkan bahwa sementara pemerintah berbicara tentang perdamaian, Angkatan Darat sedang berperang. Ada rencana lebih lanjut untuk pasukan baru yang akan dikerahkan ke Aceh, serta Papua dan Poso di Sulawesi Tengah.

Operasi militer ini di daerah konflik telah menghasilkan kekerasan yang berkelanjutan dan pelanggaran HAM. Meskipun pihak berwenang berusaha merahasiakan konflik, laporan HAM dari daerah-daerah militer ini secara teratur datang dari bawah radar. Mereka melukai reputasi Indonesia di luar negeri dan mempengaruhi citra perkembangan demokrasi positif di negara ini.

Pada hari yang sama ketika menteri luar negeri, Hassan Wirayuda, dengan bangga berbicara di depan pertemuan Dewan Keamanan PBB di New York tahun lalu tentang betapa hebatnya demokrasi Indonesia setelah pemilu yang sukses dan damai, Human Rights Watch menerbitkan sebuah laporan tentang pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan dan pengadilan yang tidak adil di Aceh.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini mengunjungi Australia dan Selandia Baru untuk mencari dukungan, publik dan bahkan anggota parlemen memprotes pembunuhan di Aceh dan Papua. Ketika pada banyak kesempatan, para diplomat Indonesia berusaha meyakinkan dunia tentang kemajuan luar biasa yang dibuat di Indonesia, mereka sering diganggu dengan pertanyaan tentang Aceh dan Papua Barat dan masalah umum hak asasi manusia.

Menjadi bermusuhan dengan anggota publik asing dan domestik dan kelompok-kelompok yang kritis terhadap masalah hak asasi manusia bukanlah solusi. Memang itu justru memperburuk masalah yang sudah ada. Kebijakan saat ini untuk melarang kelompok atau individu asing yang bekerja pada hak asasi manusia mengunjungi Aceh dan Papua akan membuat dunia bertanya "apa yang Anda takutkan?" dan "apakah kamu menyembunyikan sesuatu?"

Bahkan merupakan pertanyaan yang sah untuk bertanya apa kesamaan Indonesia dengan Korea Utara, Myanmar, dan Zimbabwe - negara-negara yang terkenal karena pelanggaran HAM mereka. Jawabannya adalah bahwa Amnesty International dan kelompok hak asasi manusia lainnya tidak diizinkan untuk mengunjungi tempat-tempat ini. Komisi ahli PBB yang baru-baru ini dibentuk oleh Kofi Annan untuk meninjau kembali penuntutan kejahatan berat di Timor Timur, ditolak masuk ke Indonesia bulan ini. 

Saya bertanya-tanya bagaimana Makarim Wibisono, duta besar Indonesia sebagai ketua komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia, menjelaskan hal ini di Jenewa.

Acara untuk memperingati KTT Asia-Afrika di Jakarta, tentu saja, akan penuh dengan pujian bagi pemerintah, tetapi itu akan menjadi citra dangkal peran utama Indonesia dalam komunitas internasional. Perundingan Helsinki saat ini untuk mengejar perdamaian di Aceh, adalah cara yang jauh lebih baik untuk menciptakan situasi yang lebih baik di lapangan dan citra Indonesia yang lebih baik di luar negeri.

Strategi diplomatik yang tepat untuk Indonesia bukan untuk mencoba dan membela banyak kesalahan yang dilakukan oleh Angkatan Daratnya di Aceh dan Papua Barat dan di daerah sensitif hak asasi manusia lainnya tetapi untuk mencoba dan menyelesaikan masalah dan memperbaiki situasi di lapangan melalui metode damai. 

Diplomasi bermartabat adalah diplomasi yang didasarkan pada koreksi kebijakan dari dalam, tidak membenarkan kesalahan dengan mengeksploitasi pragmatisme politik internasional di luar. 

Tanpa kerja yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki kondisinya di dalam negeri, akan sulit bagi Indonesia untuk memainkan peran penting secara internasional.