Tampilkan postingan dengan label Tapol. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tapol. Tampilkan semua postingan
Jumat, 27 September 2019
Cerita Istri Pengawal Presiden Sukarno Melahirkan di Penjara Usai G30SPKI
Muhamad Ridlo - 27 Sep
2019, 04:00 WIB
Foto Sutari, istri mantan pengawal Presiden Soekarno, Mayor (Purn) Abu
Arifin. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Purbalingga - Tragedi 1965, atau G30S PKI pecah dan
mengoyak Indonesia. Suasana mencekam tak berkesudahan terjadi selanjutnya,
dengan dalih pembersihan pelaku atau anggota PKI.
Operasi militer yang ditopang kekuatan milisi terjadi di
berbagai kota. Ribuan orang dibunuh, baik anggota PKI, underbow maupun orang
yang hanya dicurigai simpatisan PKI.
Belakangan, operasi semakin masif. Kaki tangan rezim
Soeharto yang hendak mengambil kekuasaan mulai membersihkan orang-orang yang
berbau Sukarno.
Tentu saja, tak ada yang menyatakan secara resmi bahwa
orang-orang presiden pertama itu menjadi target. Mereka disingkirkan dengan
dalih terlibat atau simpatisan PKI.
Salah satu keluarga yang terkena imbasnya adalah keluarga
Pendeta Dr Abu Arifin. Pria kelahiran Klampok, Banjarnegara ini dulunya adalah
pengawal Presiden Soekarno, pada awal kemerdekaan, meski hanya empat bulan.
Empat bulan itu begitu membekas di hatinya. Terlebih,
istrinya, Sutari begitu mengidolakan sang Putra Fajar. Pendek kata, ia dan
keluarganya adalah Soekarnois sejati, dan bukan anggota maupun simpatisan PKI.
Abu Arifin lebih dikenal sebagai anggota pasukan pengawal
Panglima Besar Jenderal Soedirman. Ia memang sempat berpindah kompi, dari Kompi
3 ke Kompi 1, pengawal istana dan Presiden dan kemudian menjadi pengawal
Jenderal Soedirman.
Ia adalah anggota pasukan Batalyon Mobile Polisi Tentara,
cikal bakal Kesatuan Provost, sekaligus pasukan elite pertama RI. Batalion ini
setingkat divisi, dengan komandan pasukan berpangkat Mayor Jenderal, meski
hanya berkekuatan sekitar 200 personel.
Jumat, 05 Oktober 2018
Kisah Eks-Cakrabirawa Penjemput Jenderal Nasution Melawan Stigma PKI
04.04
Documentary, Kisah, Kliping #65, Lekra, Purwokerto, Stigma PKI, Tapol, Tjakrabirawa
No comments
Muhamad Ridlo - 05 Okt
2018, 04:01 WIB
Sulemi dan istri adalah sepasang orang tua yang bahagia. (Foto:
Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Purwokerto - Mendadak Sulemi (77) mengangkat kedua
kakinya ke meja. Mantan prajurit Cakrabirawa ini memperlihatkan kedua jempolnya yang
bengkok. Kukunya bergelombang dan tumbuh tak normal.
Cacat di jempol kaki dan bekas luka di sekujur tubuhnya
itu adalah kenangan yang didapatnya ketika meringkuk di tahanan, sebelum
Mahkamah Luar Biasa atau Mahmilub. Ia ditangkap, tepatnya menyerahkan diri,
lantaran dituduh terlibat G30S PKI.
Sepanjang waktu selama di tahanan, bekas anggota pasukan
elite pengawal presiden ini dipaksa mengaku PKI. Namun, ia bersikukuh
bahwa dia hanya menjalankan perintah komandan untuk menjemput Jenderal
Nasution.
"Saya prajurit hanya menjalankan perintah atasan. Dalam umur saya, tidak pernah terlibat politik. Kalau perwira menengah, mayor ke atas mungkin," ucapnya bercerita saat diinterogasi Provost.
Tiap jawaban itu meluncur dari mulutnya, ia sadar bakal
menghadapi siksaan. Pukulan, tendangan, dipukul popor bedil dan diseret adalah
derita yang mesti dirasakan tiap kali diinterogasi.
Bekas prajurit Cakrabirawa dengan pangkat sersan satu ini dipaksa
mengaku sebagai anggota PKI.
Tulang punggungnya patah. Belikatnya melesak remuk ke
dada akibat pukulan benda keras dan tendangan bertubi-tubi.
Namun, di antara siksaan yang diterimanya, yang paling
menyakitkan adalah ketika jempol kakinya ditindih dengan kaki meja. Lantas,
meja itu diduduki oleh interogator.
"Kemudian kukunya dicopot dengan tang. Rasanya seperti disambar halilintar. Sakitnya minta ampun. Kedua bola mata saya seolah copot keluar," kata bekas prajurit Cakrabirawa ini. Dia tak pernah lupa peristiwa ini.
Terlibat
Penjemputan Jenderal Nasution
Bekas prajurit Cakrabirawa, Sulemi. (Foto:
Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Keadaan lantas membaik saat Palang Merah Internasional
berkunjung ke tahanan. Saat itu, ia menyebut sudah tak lagi bisa berjalan.
Saat buang air besar, ia mesti merayap seperti kadal.
"Daripada saya mengaku PKI, lebih baik mati," ucapnya tegas.
Akibat terlibat upaya penculikan Jenderal Nasution, ia
divonis mati. Seluruh harapannya buyar. Ia mesti melepas istri dan anak semata
wayangnya.
Namun, oleh pengacara militernya, ia dibujuk untuk
mengajukan banding dan berhasil. Dari vonis mati hukumannya berubah menjadi
seumur hidup.
Lantas ia dipindah ke Pamekasan, Madura, bersama 32
tahanan politik lainnya. Selama 15 tahun, ia menghabiskan waktu di balik jeruji
penjara hingga akhirnya bebas pada Oktober 1980, bulan ini 38 tahun lalu.
Bebas dari penjara bagi Sulemi bukan berarti lepas dari
penderitaan. Pulang ke Purbalingga, ia mendapati kakaknya yang seorang PNS di
Dinas Pertanian dipecat. Padahal, sang kakak sama sekali tak tahu peristiwa
yang terjadi di Jakarta pada Oktober 1965.
Keluarganya juga mesti menanggung perundungan, lantaran
dianggap sebagai keluarga pengikut PKI. Penderitaan itu rupanya mesti
ditanggung oleh keluarga besarnya.
"Seharusnya yang dihukum itu pimpinan. DI/TII Kartosuwiryo, yang dihukum juga para pimpinan," dia menuturkan.
Terseok-seok, ia mulai mencari pekerjaan. Pekerjaan
didapat, tak lama kemudian, dipecat begitu bos mengetahui latar belakangnya
sebagai bekas prajurit Cakrabirawa.
Secercah Harapan
Usai Reformasi 1998
Sulemi dan istri di kediamannya di Purbalingga, Jawa Tengah. (Foto:
Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Di kala susah itu, Tuhan memberi secercah berkah dengan
mengirimkan sosok Sri Murni, seorang janda. Mantan istri rekannya sendiri.
Berdua, mereka mulai mendayung biduk di tengah gelombang
masa 80-an yang tak ramah. Untuk menyambung hidup, ia memutuskan untuk
mematung.
Keahlian ini didapatnya ketika dipenjara di Pamekasan.
Salah satu napi adalah seniman yang juga seorang dosen seni rupa. Rekannya ini
masuk penjara karena menjadi anggota Lekra.
Sesekali, patungnya laku. Tetapi, di saat lain, tak ada
yang mencarinya. Singkat kata, mematung tak bisa menjamin dapurnya tetap
mengepul.
Lantas, ia dan istrinya sepakat untuk membuat warung
makan. Tak mudah untuk hidup dari sektor jasa. Apalagi, usaha ini membuatnya
mesti berinteraksi dengan bermacam konsumen.
Ada kalanya, pelanggan tak lagi kembali begitu mengetahui
sang pemilik warung adalah bekas prajurit Cakrabirawa, yang pada masa Orde Baru
selalu diembuskan berasosiasi dengan PKI. Tetapi, ia selalu berusaha berlapang
dada.
"Saya juga beribadah sebagaimana biasa. Kebetulan rumah saya dekat dengan masjid,” tuturnya.
Ekonomi keluarga Sulemi berangsur pulih. Masalah muncul
ketika anak-anaknya beranjak besar dan membutuhkan biaya pendidikan. Istrinya
rela membuka kios daging di pasar, sendirian.
Kemudian, seperti mimpi, reformasi bergulir. Gus Dur
menjadi presiden. Masa ini ditandai dengan pulihnya hak-hak bekas tahanan
politik seperti Sulemi.
Perlahan tapi pasti, semuanya membaik. Bahkan, anak
bungsunya menjadi aparat. Sesuatu yang amat haram pada masa Orde Baru.
Rabu, 03 Oktober 2018
Mimpi Buruk Bekas Prajurit Cakrabirawa dan Api Cinta dalam Penjara
Muhamad Ridlo - 03 Okt
2018, 09:01 WIB
Eks-prajurit Cakrabirawa, Sulemi berfoto bersama dengan istrinya, Sri
Murni. (Foto: Liputan6.com/ Muhamad Ridlo)
Purwokerto - Keheningan malam rumah
sederhana di Purbalingga, Jawa Tengah, itu tiba-tiba pecah oleh teriakan
kesakitan Sulemi (78). Lagi-lagi, eks prajurit Cakrabirawa itu kembali bermimpi buruk.
Sang istri, Sri Murni, tergopoh-gopoh membangunkan suaminya.
Terkadang, kakek dan nenek ini memang tak selalu tidur sekamar.
Sejak awal menikahi Sulemi, Sri Murni sadar tak hanya
sekadar mencintai seorang prajurit. Lebih dari itu, ia mesti bersahabat dengan
masa lalu suaminya yang penuh dengan duri.
"Kalau tidur itu teriak-teriak. Saya kan tidur sendiri, bapak di sini. Kalau istilahnya direp-repi. Sampai sekarang, saya jadi heran. Itu ya, seminggu dua kali. Teriak-teriak," ucap Sri Murni kepada Liputan6.com, akhir 2017 lalu.
Satu hal yang membuat Sri tahu betapa menderitanya
Sulemi, yakni sejak awal menikah hingga saat ini, Sulemi kerap mengigau.
Kadang, Sulemi berteriak kesakitan. Di lain waktu, hanya teriakan yang tak
jelas.
Dan itu sering terjadi. Setidaknya mimpi buruk itu datang
sepekan dua kali. Belakangan, Sri tahu, suaminya benar-benar mengalami trauma
akibat penyiksaan dalam penahananannya selama di penjara usai dituduh terlibat
G30S PKI.
Sulemi adalah bekas prajurit Batalyon 1 Kawal
Kehormatan Cakrabirawa, kesatuan elite pengawal Presiden Soekarno,
dengan komandan Letkol Untung.
Belakangan, ia memang tergabung dalam pasukan Pasopati,
yang bertugas menjemput Jenderal AH Nasution. Situasi politik membuatnya
dituduh terlibat intrik politik hingga berakhir penyiksaan luar biasa kejam
selama di penjara.
Sulemi pun mengakui, ingatan dan trauma penyiksaan selama
di tahanan kerap mendatanginya saat tertidur. Terutama, kala dijemput oleh
seregu petugas penjara militer. Tiap dijemput, ia tahu, sepulangnya nanti akan
disiksa sampai tubuhnya remuk.
Tulang belikat, kaki, dan pinggangnya patah. Tubuhnya
penuh dengan bekas sundutan rokok, luka karet yang dibakar, setrum, hingga kuku
yang dicopot dengan tang. Mimpi itu secara berkala terus menghantuinya.
Tiap hari di tahanan bagi Sulemi bak neraka. Itu
dialaminya pasca pemindahan penahanannya dari Pomdam Diponegoro ke Salemba.
Sembari menunggu Mahmilub, ia disiksa habis-habisan.
Mantan prajurit Cakrabirawa ini
dipaksa mengaku sebagai anggota PKI.
Vonis Mati untuk
Prajurit Cakrabirawa
Selama di penjara, eks-prajurit Cakrabirawa, Sulemi mendapat siksaan
tak terkira. (Foto: Liputan6.com/ Muhamad Ridlo)
Sulemi tentu tak mengaku. Ia mengakui terlibat menculik
Jenderal Nasution. Dan itu pun lantaran dia diperintah oleh komandannya, Letkol
Untung dan Letnan Satu Dul Arif, atasannya. Soal politik yang melatarbelakangi
kejadian itu, Sulemi tak tahu menahu.
"Saya seorang militer. Tugas saya ya ini. Nah, suatu saat, saya dipaksa, akan dibaptis sebagai seorang komunis. Mana mungkin saya mengaku. Saya dalam umur segitu kok, mau berkecimpung dalam soal ideologi, dan partai," Sulemi menegaskan.
Tentara-tentara yang memeriksanya itu, berupaya
meruntuhkan pertahanan Sulemi. Sulemi dipukul dengan kursi kayu, jempolnya
diganjal dengan kursi, disetrum, hingga dicabut kukunya.
Tiap kali diperiksa, Sulemi harus ditandu ke selnya. Dan
itu diterimanya sepanjang tahun, dua kali seminggu. Asal kondisi tubuhnya mulai
pulih, penyiksaan kembali dilakukan.
"Kalau toh saya harus dihukum mati, itulah risikonya. Tapi kalau saya mati dalam keadaan penasaran (mengaku PKI) lebih baik saya mati. Mati dalam penyiksaan daripada harus mengaku PKI," ucap Sulemi.
Satu-satunya yang menjadi sumber kekuatan untuk bertahan
adalah kuasa Tuhan. Ia pun yakin, doa ibunya di Purbalingga selalu
menyertainya. Harapan bisa berkumpul dengan istri dan anak semata wayangnya pun
menjadi kekuatan yang tiada tara.
Selama dua tahun sebelum menghadapi Mahmilub, dia makan
nasi berkutu dengan jumlah yang amat sedikit. Di atas nasi itu, ditaruhlah lauk
berupa sepotong ikan asin. Sementara, minumnya diambil dari selokan di dalam
penjara, disedot dengan selang batang daun pepaya.
Siksaan dan berbagai perlakuan kejam itu baru berakhir
kala ia akan diajukan ke Sidang Mahmilub. Sulemi divonis mati. Namun, bagi
Sulemi, vonis mati itu tak ada artinya dibanding siksaan yang hampir tiap hari
diterimanya.
Ia pun melihat, hakim yang menjatuhinya hukuman mati
menangis. Ia paham, sang hakim yang seorang militer pasti tahu apa yang
diperbuat prajurit hanyalah perintah pimpinan.
"Prosesnya hanya sebentar, seminggu, tetapi terus-menerus, tiap hari. Akhirnya diputus mati," ucapnya.
Ia pun tak ada niatan untuk mengajukan banding ke
Pengadilan Militer Tinggi. Sebab, ia merasa tak salah dan tak ada keinginan
sedikit pun untuk bernegosiasi.
Di sisi lain, harapannya untuk bertemu dengan keluarganya
kontan luruh. Ia pun pasrah pada garis nasib yang mesti dilakoninya.
Ia lantas berkirim surat kepada istri pertamanya untuk
merelakan kematiannya. Dengan kegagahan seorang prajurit, ia juga mempersilakan
istrinya untuk menceraikannya.
"Kalau suruh minta ampun kepada Pak Harto. Ya, maaf, lebih baik saya ditembak mati saja. Ya, bagi saya itu haram. Saya sudah sakit sekali," dia menuturkan.
Akan tetapi, penasihat hukum militernya berpendapat lain.
Sulemi kemudian mengajukan banding dan mendapat keringanan hukuman menjadi
penjara seumur hidup.
Sulemi lantas dipindah ke tahanan Pamekasan bersama
sekitar 32 tahanan politik lainnya. Di tempat itu, Sulemi menyadari
meninggalkan seorang istri dan anak. Ia pun kemudian mempersilakan agar
istrinya menggugat cerai. Maka, sejak itu, Sulemi tak lebih dari orang yang
terbuang.
Doa Bunda dan
Harapan Bekas Tahanan Politik
Sulemi kini hidup damai bersama dengan istri, anak-anak dan cucu
beserta keluarga yang selalu mencintainya. (Foto: Liputan6.com/ Muhamad Ridlo)
Di penjara Pamekasan pula, Sulemi mendengar kakaknya
dipecat dari status PNS-nya, lantaran keterlibatannya dalam peristiwa 1965.
Padahal menurut Sulemi, kakaknya itu sama sekali tidak tahu dan sama sekali tak
terlibat politik.
"Saya sampai heran. Enggak ngerti apa-apa kok dipecat. Kalau dia itu, dinas ke kantor ya ke kantor, pulang ya pulang," ujarnya.
Kekuatan Sulemi usai bercerai dengan istri pertamanya
saat itu adalah doa ibunya. Secara rutin, ia berkirim kabar ke ibundanya di
Purbalingga.
Hingga akhirnya, di 1980 ia dibebaskan, setelah mendapat
grasi atau pengampunan dari Presiden Soeharto. Pengampunan itu, menurut Sulemi,
akibat tekanan HAM PBB agar Indonesia lebih memperhatikan hak-hak tahanan
politik.
"Sebanyak 10 orang narapidana seumur hidup seluruh Indonesia dibebaskan, termasuk saya. Tahun 1980 keluar, bulan Oktober," dia mengungkapkan.
Rupanya, penderitaan Sulemi tak begitu saja pungkas usai
dibebaskan dari tahanan dan penjara 15 tahun. Saat kembali ke kampungnya di
Purbalingga, dia mendapati seluruhnya berubah, kecuali keluarganya.
Mudah ditebak, seorang bekas tahanan politik bakal
kesulitan mendapat pekerjaan. Bahkan, tetangganya sendiri enggan menyapa.
Satu-satunya tempat ia bersandar adalah keluarganya.
Saat itu, mulai berkarya membuat patung berbahan batu,
kayu, atau pasir dan semen. Saat berada di Penjara Pamekasan, ia bersama dengan
seorang seniman patung dari sekolah tinggi seni di Yogyakarta. Sang seniman
dipenjara lantaran menjadi anggota Lekra, underbouw PKI.
Lantas, ia menikah dengan seorang perempuan, yang
menemaninya hingga saat ini, Sri Murni. Sadar mematung tak bisa mencukupi
kebutuhan keluarga, Sulemi dan Sri membuka kantin.
Lantas, Sri berjualan daging di Pasar Purbalingga. Kerja
keras mereka mulai menampakkan hasil, meski tak bisa juga bisa dibilang cukup.
Waktu berjalan, masa pun berubah. Nasib baik berpihak
kepada bekas tahanan politik usai reformasi 1998. Anak bungsu Sulemi bahkan
kini menjadi seorang aparat.
"Setelah Presidennya Gus Dur, situasinya membaik. Tekanan kepada orang-orang seperti saya berkurang," dia menerangkan.
Kini, Sulemi, bersama istrinya, disibukkan dengan
kunjungan-kunjungan ke saudara dan cucu-cucunya. Terkadang, mereka menghabiskan
waktu di Magelang. Ada kalanya, mereka menengok cucu, yang tinggal di
Purbalingga.
Kamis, 28 April 2005
Pelanggaran HAM terus menghantui kita
28 April 2005 - Aguswandi,
TAPOL
Penindasan buruk bagi citra pemerintah, terutama
pemerintah seperti Indonesia yang masih berjuang untuk memperbaiki reputasinya
secara internasional. Ini merampasnya dari legitimasinya dan memberi
negara lain alasan yang masuk akal untuk mengecamnya.
Kelanjutan dari pelanggaran hak asasi manusia, konflik
dan penindasan di Indonesia di era pasca-Soeharto, terutama di Aceh dan Papua,
telah mengaburkan beberapa perkembangan positif dalam demokrasi
Indonesia. Ini telah membuat dunia berhati-hati tentang memberi Indonesia
peran yang lebih penuh di arena internasional.
Sementara negara-negara Asia lainnya seperti Jepang,
Korea Selatan dan India dengan bangga berkampanye untuk mendapatkan kursi di
Dewan Keamanan PBB, setelah reformasi, Indonesia masih sibuk menjelaskan kepada
dunia tindakan domestik dan kebijakannya yang bertentangan dengan standar
internasional hak asasi manusia.
Dalam pertemuan publik di luar negeri tentang Indonesia,
beberapa pertanyaan diajukan berulang kali oleh banyak orang yang peduli
tentang transisi negara ke demokrasi. Pertanyaan-pertanyaan sering
diajukan tentang reformasi militer, militan Islam, mempertahankan kerja
demokratisasi, korupsi dan masalah-masalah hak asasi manusia, terutama di Aceh
dan Papua.
Perwakilan pemerintah memiliki jawaban standar untuk
sebagian besar pertanyaan selain yang berkaitan dengan Aceh, Papua Barat dan
hak asasi manusia. Mereka biasanya menyoroti perkembangan positif saat ini
dengan optimisme. Mengenai reformasi militer, mereka mengacu pada
kebijakan yang dirancang untuk mengontrol peran politik dan bisnis tentara.
Pada pertanyaan militan Islam, diplomat akan menunjukkan
bahwa Islam moderat, bukan Islam militan, masih mendominasi wacana
agama. Perkembangan positif lainnya juga digunakan untuk membuktikan rezim
berubah dan lebih demokratis.
Tetapi bagian-bagian jawaban yang gelisah biasanya terjadi
ketika para diplomat harus menjelaskan situasi hak asasi manusia, terutama di
Aceh dan Papua. Mereka menemukan diri mereka dalam kesulitan karena mereka
harus menjelaskan dan membela yang tidak dapat dipertahankan.
Di Aceh dan Papua, jawaban umum untuk diplomat garis
keras, adalah bahwa itu adalah masalah separatisme, dan untuk yang moderat,
bahwa itu adalah warisan masa lalu - rezim Soeharto. Tetapi keduanya akan
menekankan bahwa pemerintah saat ini akan melakukan apa pun untuk menyelesaikan
masalah secara damai.
Namun jawaban oleh diplomat di luar negeri pada akhirnya
lebih banyak tentang spin - mendahului situasi di mana mereka akan disalahkan -
daripada tentang menghindari penindasan di tempat pertama.
Sulit tetapi penting untuk menerima bahwa bahkan
pemerintah sekarang terus membiarkan militer melanjutkan metode lama dan
anakronistiknya - penggunaan kekuatan untuk menyelesaikan kedua konflik.
Kelanjutan ofensif militer di Aceh dan peningkatan
kehadiran militer di Papua merupakan kesinambungan antara pemerintah saat ini
dan yang lama. Dalam kasus Aceh, sangat disayangkan bahwa sementara
pemerintah berbicara tentang perdamaian, Angkatan Darat sedang
berperang. Ada rencana lebih lanjut untuk pasukan baru yang akan dikerahkan
ke Aceh, serta Papua dan Poso di Sulawesi Tengah.
Operasi militer ini di daerah konflik telah menghasilkan
kekerasan yang berkelanjutan dan pelanggaran HAM. Meskipun pihak berwenang
berusaha merahasiakan konflik, laporan HAM dari daerah-daerah militer ini
secara teratur datang dari bawah radar. Mereka melukai reputasi Indonesia
di luar negeri dan mempengaruhi citra perkembangan demokrasi positif di negara
ini.
Pada hari yang sama ketika menteri luar negeri, Hassan
Wirayuda, dengan bangga berbicara di depan pertemuan Dewan Keamanan PBB di New
York tahun lalu tentang betapa hebatnya demokrasi Indonesia setelah pemilu yang
sukses dan damai, Human Rights Watch menerbitkan sebuah laporan tentang
pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan dan pengadilan yang tidak adil di
Aceh.
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini mengunjungi
Australia dan Selandia Baru untuk mencari dukungan, publik dan bahkan anggota
parlemen memprotes pembunuhan di Aceh dan Papua. Ketika pada banyak
kesempatan, para diplomat Indonesia berusaha meyakinkan dunia tentang kemajuan
luar biasa yang dibuat di Indonesia, mereka sering diganggu dengan pertanyaan
tentang Aceh dan Papua Barat dan masalah umum hak asasi manusia.
Menjadi bermusuhan dengan anggota publik asing dan
domestik dan kelompok-kelompok yang kritis terhadap masalah hak asasi manusia
bukanlah solusi. Memang itu justru memperburuk masalah yang sudah
ada. Kebijakan saat ini untuk melarang kelompok atau individu asing yang
bekerja pada hak asasi manusia mengunjungi Aceh dan Papua akan membuat dunia
bertanya "apa yang Anda takutkan?" dan "apakah kamu
menyembunyikan sesuatu?"
Bahkan merupakan pertanyaan yang sah untuk bertanya apa
kesamaan Indonesia dengan Korea Utara, Myanmar, dan Zimbabwe - negara-negara
yang terkenal karena pelanggaran HAM mereka. Jawabannya adalah bahwa
Amnesty International dan kelompok hak asasi manusia lainnya tidak diizinkan
untuk mengunjungi tempat-tempat ini. Komisi ahli PBB yang baru-baru ini
dibentuk oleh Kofi Annan untuk meninjau kembali penuntutan kejahatan berat di
Timor Timur, ditolak masuk ke Indonesia bulan ini.
Saya bertanya-tanya bagaimana Makarim Wibisono, duta
besar Indonesia sebagai ketua komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia, menjelaskan
hal ini di Jenewa.
Acara untuk memperingati KTT Asia-Afrika di Jakarta,
tentu saja, akan penuh dengan pujian bagi pemerintah, tetapi itu akan menjadi
citra dangkal peran utama Indonesia dalam komunitas
internasional. Perundingan Helsinki saat ini untuk mengejar perdamaian di
Aceh, adalah cara yang jauh lebih baik untuk menciptakan situasi yang lebih
baik di lapangan dan citra Indonesia yang lebih baik di luar negeri.
Strategi diplomatik yang tepat untuk Indonesia bukan
untuk mencoba dan membela banyak kesalahan yang dilakukan oleh Angkatan
Daratnya di Aceh dan Papua Barat dan di daerah sensitif hak asasi manusia
lainnya tetapi untuk mencoba dan menyelesaikan masalah dan memperbaiki situasi
di lapangan melalui metode damai.
Diplomasi bermartabat adalah diplomasi yang didasarkan
pada koreksi kebijakan dari dalam, tidak membenarkan kesalahan dengan
mengeksploitasi pragmatisme politik internasional di luar.
Tanpa kerja yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki
kondisinya di dalam negeri, akan sulit bagi Indonesia untuk memainkan peran
penting secara internasional.
Langganan:
Postingan (Atom)