Muhamad Ridlo - 03 Okt
2018, 09:01 WIB
Eks-prajurit Cakrabirawa, Sulemi berfoto bersama dengan istrinya, Sri
Murni. (Foto: Liputan6.com/ Muhamad Ridlo)
Purwokerto - Keheningan malam rumah
sederhana di Purbalingga, Jawa Tengah, itu tiba-tiba pecah oleh teriakan
kesakitan Sulemi (78). Lagi-lagi, eks prajurit Cakrabirawa itu kembali bermimpi buruk.
Sang istri, Sri Murni, tergopoh-gopoh membangunkan suaminya.
Terkadang, kakek dan nenek ini memang tak selalu tidur sekamar.
Sejak awal menikahi Sulemi, Sri Murni sadar tak hanya
sekadar mencintai seorang prajurit. Lebih dari itu, ia mesti bersahabat dengan
masa lalu suaminya yang penuh dengan duri.
"Kalau tidur itu teriak-teriak. Saya kan tidur sendiri, bapak di sini. Kalau istilahnya direp-repi. Sampai sekarang, saya jadi heran. Itu ya, seminggu dua kali. Teriak-teriak," ucap Sri Murni kepada Liputan6.com, akhir 2017 lalu.
Satu hal yang membuat Sri tahu betapa menderitanya
Sulemi, yakni sejak awal menikah hingga saat ini, Sulemi kerap mengigau.
Kadang, Sulemi berteriak kesakitan. Di lain waktu, hanya teriakan yang tak
jelas.
Dan itu sering terjadi. Setidaknya mimpi buruk itu datang
sepekan dua kali. Belakangan, Sri tahu, suaminya benar-benar mengalami trauma
akibat penyiksaan dalam penahananannya selama di penjara usai dituduh terlibat
G30S PKI.
Sulemi adalah bekas prajurit Batalyon 1 Kawal
Kehormatan Cakrabirawa, kesatuan elite pengawal Presiden Soekarno,
dengan komandan Letkol Untung.
Belakangan, ia memang tergabung dalam pasukan Pasopati,
yang bertugas menjemput Jenderal AH Nasution. Situasi politik membuatnya
dituduh terlibat intrik politik hingga berakhir penyiksaan luar biasa kejam
selama di penjara.
Sulemi pun mengakui, ingatan dan trauma penyiksaan selama
di tahanan kerap mendatanginya saat tertidur. Terutama, kala dijemput oleh
seregu petugas penjara militer. Tiap dijemput, ia tahu, sepulangnya nanti akan
disiksa sampai tubuhnya remuk.
Tulang belikat, kaki, dan pinggangnya patah. Tubuhnya
penuh dengan bekas sundutan rokok, luka karet yang dibakar, setrum, hingga kuku
yang dicopot dengan tang. Mimpi itu secara berkala terus menghantuinya.
Tiap hari di tahanan bagi Sulemi bak neraka. Itu
dialaminya pasca pemindahan penahanannya dari Pomdam Diponegoro ke Salemba.
Sembari menunggu Mahmilub, ia disiksa habis-habisan.
Mantan prajurit Cakrabirawa ini
dipaksa mengaku sebagai anggota PKI.
Vonis Mati untuk
Prajurit Cakrabirawa
Selama di penjara, eks-prajurit Cakrabirawa, Sulemi mendapat siksaan
tak terkira. (Foto: Liputan6.com/ Muhamad Ridlo)
Sulemi tentu tak mengaku. Ia mengakui terlibat menculik
Jenderal Nasution. Dan itu pun lantaran dia diperintah oleh komandannya, Letkol
Untung dan Letnan Satu Dul Arif, atasannya. Soal politik yang melatarbelakangi
kejadian itu, Sulemi tak tahu menahu.
"Saya seorang militer. Tugas saya ya ini. Nah, suatu saat, saya dipaksa, akan dibaptis sebagai seorang komunis. Mana mungkin saya mengaku. Saya dalam umur segitu kok, mau berkecimpung dalam soal ideologi, dan partai," Sulemi menegaskan.
Tentara-tentara yang memeriksanya itu, berupaya
meruntuhkan pertahanan Sulemi. Sulemi dipukul dengan kursi kayu, jempolnya
diganjal dengan kursi, disetrum, hingga dicabut kukunya.
Tiap kali diperiksa, Sulemi harus ditandu ke selnya. Dan
itu diterimanya sepanjang tahun, dua kali seminggu. Asal kondisi tubuhnya mulai
pulih, penyiksaan kembali dilakukan.
"Kalau toh saya harus dihukum mati, itulah risikonya. Tapi kalau saya mati dalam keadaan penasaran (mengaku PKI) lebih baik saya mati. Mati dalam penyiksaan daripada harus mengaku PKI," ucap Sulemi.
Satu-satunya yang menjadi sumber kekuatan untuk bertahan
adalah kuasa Tuhan. Ia pun yakin, doa ibunya di Purbalingga selalu
menyertainya. Harapan bisa berkumpul dengan istri dan anak semata wayangnya pun
menjadi kekuatan yang tiada tara.
Selama dua tahun sebelum menghadapi Mahmilub, dia makan
nasi berkutu dengan jumlah yang amat sedikit. Di atas nasi itu, ditaruhlah lauk
berupa sepotong ikan asin. Sementara, minumnya diambil dari selokan di dalam
penjara, disedot dengan selang batang daun pepaya.
Siksaan dan berbagai perlakuan kejam itu baru berakhir
kala ia akan diajukan ke Sidang Mahmilub. Sulemi divonis mati. Namun, bagi
Sulemi, vonis mati itu tak ada artinya dibanding siksaan yang hampir tiap hari
diterimanya.
Ia pun melihat, hakim yang menjatuhinya hukuman mati
menangis. Ia paham, sang hakim yang seorang militer pasti tahu apa yang
diperbuat prajurit hanyalah perintah pimpinan.
"Prosesnya hanya sebentar, seminggu, tetapi terus-menerus, tiap hari. Akhirnya diputus mati," ucapnya.
Ia pun tak ada niatan untuk mengajukan banding ke
Pengadilan Militer Tinggi. Sebab, ia merasa tak salah dan tak ada keinginan
sedikit pun untuk bernegosiasi.
Di sisi lain, harapannya untuk bertemu dengan keluarganya
kontan luruh. Ia pun pasrah pada garis nasib yang mesti dilakoninya.
Ia lantas berkirim surat kepada istri pertamanya untuk
merelakan kematiannya. Dengan kegagahan seorang prajurit, ia juga mempersilakan
istrinya untuk menceraikannya.
"Kalau suruh minta ampun kepada Pak Harto. Ya, maaf, lebih baik saya ditembak mati saja. Ya, bagi saya itu haram. Saya sudah sakit sekali," dia menuturkan.
Akan tetapi, penasihat hukum militernya berpendapat lain.
Sulemi kemudian mengajukan banding dan mendapat keringanan hukuman menjadi
penjara seumur hidup.
Sulemi lantas dipindah ke tahanan Pamekasan bersama
sekitar 32 tahanan politik lainnya. Di tempat itu, Sulemi menyadari
meninggalkan seorang istri dan anak. Ia pun kemudian mempersilakan agar
istrinya menggugat cerai. Maka, sejak itu, Sulemi tak lebih dari orang yang
terbuang.
Doa Bunda dan
Harapan Bekas Tahanan Politik
Sulemi kini hidup damai bersama dengan istri, anak-anak dan cucu
beserta keluarga yang selalu mencintainya. (Foto: Liputan6.com/ Muhamad Ridlo)
Di penjara Pamekasan pula, Sulemi mendengar kakaknya
dipecat dari status PNS-nya, lantaran keterlibatannya dalam peristiwa 1965.
Padahal menurut Sulemi, kakaknya itu sama sekali tidak tahu dan sama sekali tak
terlibat politik.
"Saya sampai heran. Enggak ngerti apa-apa kok dipecat. Kalau dia itu, dinas ke kantor ya ke kantor, pulang ya pulang," ujarnya.
Kekuatan Sulemi usai bercerai dengan istri pertamanya
saat itu adalah doa ibunya. Secara rutin, ia berkirim kabar ke ibundanya di
Purbalingga.
Hingga akhirnya, di 1980 ia dibebaskan, setelah mendapat
grasi atau pengampunan dari Presiden Soeharto. Pengampunan itu, menurut Sulemi,
akibat tekanan HAM PBB agar Indonesia lebih memperhatikan hak-hak tahanan
politik.
"Sebanyak 10 orang narapidana seumur hidup seluruh Indonesia dibebaskan, termasuk saya. Tahun 1980 keluar, bulan Oktober," dia mengungkapkan.
Rupanya, penderitaan Sulemi tak begitu saja pungkas usai
dibebaskan dari tahanan dan penjara 15 tahun. Saat kembali ke kampungnya di
Purbalingga, dia mendapati seluruhnya berubah, kecuali keluarganya.
Mudah ditebak, seorang bekas tahanan politik bakal
kesulitan mendapat pekerjaan. Bahkan, tetangganya sendiri enggan menyapa.
Satu-satunya tempat ia bersandar adalah keluarganya.
Saat itu, mulai berkarya membuat patung berbahan batu,
kayu, atau pasir dan semen. Saat berada di Penjara Pamekasan, ia bersama dengan
seorang seniman patung dari sekolah tinggi seni di Yogyakarta. Sang seniman
dipenjara lantaran menjadi anggota Lekra, underbouw PKI.
Lantas, ia menikah dengan seorang perempuan, yang
menemaninya hingga saat ini, Sri Murni. Sadar mematung tak bisa mencukupi
kebutuhan keluarga, Sulemi dan Sri membuka kantin.
Lantas, Sri berjualan daging di Pasar Purbalingga. Kerja
keras mereka mulai menampakkan hasil, meski tak bisa juga bisa dibilang cukup.
Waktu berjalan, masa pun berubah. Nasib baik berpihak
kepada bekas tahanan politik usai reformasi 1998. Anak bungsu Sulemi bahkan
kini menjadi seorang aparat.
"Setelah Presidennya Gus Dur, situasinya membaik. Tekanan kepada orang-orang seperti saya berkurang," dia menerangkan.
Kini, Sulemi, bersama istrinya, disibukkan dengan
kunjungan-kunjungan ke saudara dan cucu-cucunya. Terkadang, mereka menghabiskan
waktu di Magelang. Ada kalanya, mereka menengok cucu, yang tinggal di
Purbalingga.
0 komentar:
Posting Komentar