Catatan: Misbach
Tamrin
Ilustrasi: Lukisan Misbach Tamrin
Kawan saya pelukis Handogo Sukarno menulis di status FB nya secara singkat. "Dulu.....ada kartu bebas G30S. Sekarang.....perlu kartu bebas HTI. #Bahaya laten HTI".
Saya selaku mantan tapol. Salah seorang korban akibat
dibubarkannya Partai Komunis Indonesia ( PKI ) pada peristiwa '65. Merasa
tersentuh alias tergelitik oleh imajinasi yang tersunting di balik ungkapan
kata dalam tulisan statusnya itu.
Bisa jadi, di luar anggapan. Mungkin hanya sekedar
permainan kata "guyon" atau "kelakar canda" semata. Yang menandai
perkembangan situasi yang sedang hangat di tengah masyarakat dewasa ini. Maka
konten persoalan sebenarnya cukup menarik untuk menggugah pikiran kita.
Terbayang di benak saya. Meski sepintas lalu seakan ada
kesamaan nasib. Yang mengilhami tulisan kawan saya itu untuk menarik garis
keadilan secara linier. Namun, kesepadanan yang mungkin ia bayangkan. Terasa
jauh panggang dari api dalam pengamatan saya. Justru terkait dengan pengalaman
langsung yang pernah saya terjuni.
Sebab larangan buat Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI )
sekarang ini, jauh sangat berbeda. Ketimbang dengan larangan terhadap
keberadaan PKI di masa lalu. Sangat tidak sama dan tidak adil. Tak serupa,
apalagi untuk dikatakan seimbang.
Jika dalam peristiwa '65, semua tokoh-tokoh pimpinan dan pengurus
PKI beserta ormasnya dari pusat hingga ranting di daerah-daerah. Diciduk dan ditahan
dalam kamp-kamp dan penjara. Untuk waktu tak terbatas dan terukur.
Seluruh pimpinan topnya dihukum mati melalui pengadilan
Mahmilub, di samping terbunuh. Ribuan lainnya dibuang ke Pulau Buru. Sebagian
terbanyak dilenyapkan nyawanya melalui pembantaian massal (genosida).
Kemudian sesudah dibebaskan. Mantan tapol PKI diberi KTP
bertanda ET (Eks Tapol) dan OT (Organisasi Terlarang) buat wajib lapor sekian
tahun. Ditambah nasibnya masih entah sampai kapan dikenai diskriminasi dan
stigmatisasi yang relatif tak terpulihkan.
Maka pada HTI pengalaman tragis seperti tersebut di atas
tak pernah ada dan tak akan dilaluinya. Karena waktu dan sikon -situasi dan kondisi- nya; juga sangat berlainan.
Kalau larangan terhadap PKI sebagai partai yang
dibubarkan melalui Tap. MPRS No. XXV/1966. Di bawah kekuasaan rezim otoriter
Orba Suharto yang tidak demokratis. Karena dianggap terlibat perkara peristiwa
G30S 1965 yang sangat berdarah. Di bawah atmosfer situasi politik "Perang
Dingin" dikotomi global dunia.
Maka larangan terhadap HTI selaku ormas yang dibubarkan.
Atau dicabut secara resmi status badan hukumnya. Melalui keputusan Kementerian
Hukum dan HAM pemerintahan RI, pada tgl 19 Juli 2017. Yang semakin dikukuhkan
oleh pengesahan keputusan pembubaran ormas lewat pengadilan PTUN pada tanggal 7 Mei
2018.
Karena dengan alasan dianggap mengusung khilafah yang
bertentangan terhadap Pancasila dan NKRI. Pada saat-saat pemerintahan Jokowi
berkuasa yang terpilih melalui Pemilu di bawah sistem demokratis. Berlaku sejak
tenggang waktu sesudah era Reformasi 1998.
Dengan demikian kita dapat melihat dengan jelas. Di
samping relatif terdapat kesamaaan tipis. Juga sangat menonjol perbedaan yang
sangat tebal di antara PKI dan HTI dalam banyak hal dan berbagai segi.
Terutama dalam setting risiko dan konsekwensi yang
dihadapi pemerintah, negara dan bangsa. Sebagai tanggung jawab atas dampak yang
diakibatkan oleh tekanan nuansa represif dari pembubaran organisasi.
Terhadap kedua mereka selaku golongan masyarakat dengan
paham keyakinan agama dan ideologi yang terisolasi secara sosial dan politik
dalam kehidupan berbangsa.
Tentu saja tidak cukup dengan upaya pencegahan melalui
jaminan pengadilan dan kepastian hukum semata. Namun juga dari segi pendekatan
kemanusiaan yang demokratis. Sesuai dengan kriteria garis-2 haluan negara :
Pancasila, UUD '45, NKRI dan Kebhinnekaan bangsa.
Apalagi terhadap persoalan krusial yang besar telah
mengganjal secara kronis. Bahkan amat permanen terpendam selama setengah abad
lebih. Menimpa salah satu golongan masyarakat di antara keduanya. Yaitu PKI
dengan kaum komunisnya yang hingga kini. Masih tak jelas keberadaan setting
penyelesaian hukum dan sosial politik oleh Negara. Terhadap nasib mereka, dalam
kehidupan berbangsa.
Sedangkan HTI menerima kemalangan nasibnya semacam itu,
baru memulai belum sampai setahun. Betapapun terjadinya berada di bawah naungan
sistem demokrasi pemerintahan Jokowi yang relatif santun, toleran dan
kerakyatan. Yang jauh berbeda dengan nasib PKI yang menjadi korban tindasan
represif kekuasaan rezim otoriter Orba Suharto yang anti demokrasi.
Akhirul kalam, tersisa pertanyaannya yang lama tak
terjawab bagi kita semua. Bagaimana nasib atas keyakinan agama dan ideologi
yang dipegang teguh suatu golongan masyarakat. Melalui badan organisasi massa
PKI dan HTI tersebut. Yang terlarang oleh karena bertentangan dengan kriteria
garis-garis haluan Negara RI.
Namun, kita tahu relatif sulit diberantas dengan cara
apapun oleh siapa saja, termasuk kekuasaan Negara. Baik secara persuasif,
maupun dengan kekerasan represif.
Tatkala Negara kita menyemai kehidupan berbangsa yang
demokratis.
Memayungi kebebasan paham agama dan ideologi semua
golongan masyarakat dari warga negaranya. Dalam kebersamaan kerukunan nasional
yang penuh toleransi. Saling harga menghargai dan hormat menghormati satu sama
lain.
Apakah dimungkinkan akan diterima kembali melalui
rekonsiliasi dan rehabilitasi oleh Negara. Ketika terjadi proses penyesuaian
dari loyalitas ketaatan pihak bersangkutan terhadap garis-2 haluan Negara ?
Bagi mereka sungguh tak terbayangkan sebelumnya.
Akumulasi waktu begitu bertimbun terserak menapak perjalanan derita selama
setengah abad lebih. Hingga kini harapan masih redup terselubung
ketidakpastian. Tanpa pertanda sinyal terang secuwilpun.
Inilah jalan panjang tak berujung yang ditempuh oleh
sebuah partai. Jika kita rentangkan waktu, maka telah menapak usia selama 88
tahun (1920 - 2018). Penuh lika-liku rona duka derita perjuangan. Hingga kini,
entah dimana dan bagaimana keberadaan nasibnya. Sejak ia terbenam dalam misteri
kegelapan. Tanpa identitas yang pasti dan resmi.
Sedangkan HTI baru memulai menerjuni oase pembubaran
orrnas khilafahnya. Masih dalam skala alam demokrasi di bawah kekuasaan
pemerintahan Jokowi yang moderat dan toleran. Jauh lebih ringan ketimbang
dengan tantangan duka derita yang ditanggung PKI. Yang hingga kini tetap
diberantas dengan tegas. Tanpa boleh berkutik sedikipun.....
,***
Sumber: Misbach Tamrin
0 komentar:
Posting Komentar