Reporter: Andita
Rahma
Editor: Ninis
Chairunnisa
Senin, 1 Oktober
2018 19:33 WIB
Bukti pelanggaran
HAM berat periode 1965-1966 yang berhasil dikumpulkan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) dari seluruh penjuru tanah air kecuali Papua untuk
diajukan ke Kejagung untuk ditindaklanjuti. TEMPO/Dasril Roszandi
TEMPO.CO, Jakarta – Buku ‘The Army and The Indonesian
Genocide: Mechanics of Mass Murder’ yang ditulis peneliti Australia Jess Melvin
mengungkap bahwa operasi pembantaian orang-orang berafiliasi dengan PKI di
berbagai pelosok Indonesia pada periode 1965-1966 atau pasca G30S 1965 dikoordinir langsung
oleh mantan Presiden ke-2 Soeharto. Temuan hasil penelitian Melvin itu dinilai
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sebagai lembaga yang berwenang
menyelidiki peristiwa pelanggaran HAM berat 1965-1966 bisa dijadikan bukti tambahan
baru untuk proses penyidikan perkara ini.
“Pada prinsipnya, dalam ruang penyelidikan dan
penyidikan, selama kasus belum ditutup dan didakwa, semua info yang baru bisa
dimasukkan. Apa pun itu,” kata Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM
Mohammad Choirul Anam di kantornya, 21 September 2018.
Pada 2008, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan
terhadap kasus pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI pada 1965-1966
ini. Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang disahkan untuk memberikan ruang
bagi pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, Komnas HAM
berwenang melakukan penyelidikan. Komnas HAM menjalankan mandatnya sebagai
penyelidik membentuk Tim Ad Hoc. Selama melakukan penyelidikan, Komnas HAM
telah memeriksa kurang lebih 349 orang saksi atau korban.
Laporan Komnas HAM
Empat tahun berselang, pada Juli 2012, Komnas HAM
mengeluarkan laporan setebal 800 halaman yang menyatakan peristiwa 1965 sebagai
pelanggaran HAM berat (gross human rights violation). Ketua Tim Penyelidikan
Peristiwa 1965/1966 Komnas HAM, Nur Kholis, menyatakan bahwa salah satu unit
negara yang patut dimintai pertanggungjawaban adalah struktur Komando Pemulihan
dan Keamanan (Kopkamtib) yang dipimpin oleh mantan presiden Soeharto, yang
memimpin dari 1965 dan 1967, serta antara 1977 dan 1978.
Nur Kholis menjelaskan bahwa telah terjadi pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa serta
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang, perkosaan atau bentuk kekerasan seksual, penganiyaan dan
penghilangan secara paksa. Komnas HAM mengakui sedikitnya 32.000 orang
dinyatakan hilang akibat peristiwa itu.
Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa semua bentuk
kejahatan itu memenuhi unsur yang tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26
tahun 2000. Kejahatan ini terjadi di tempat-tempat militer atau tempat dalam
penguasaan militer. Jika ditelusuri, peristiwa ini ada karena berbagai rentetan
lahirnya suatu kebijakan.
Bahwa, keluarnya Surat Keputusan KOTI/PANGTI ABRI, Nomor
142/KOTI/11/1965 tanggal 1 November 1965 bertujuan untuk memulihkan keamanan
dan ketertiban dari akibat peristiwa 30 September. Akan tetapi, dilihat dari
tujuan surat keputusan yang bila dihubungkan dengan berbagai keterangan saksi
menunjuk adanya dugaan penyimpangan dari tujuan diterbitkan surat tersebut.
Mereka yang dianggap bisa dimintai pertanggungjawabannya,
kata Nurcholis, adalah semua pejabat dalam struktur Kopkamtib 1965-1968 dan
1970-1978 serta semua panglima militer daerah saat itu.
Sejumlah korban/keluarga tragedi kemanusiaan 1965/1966 melakukan aksi
damai di gedung Komnas HAM, Jakarta, Selasa (8/5). Mereka mendesak sidang
paripurna untuk mengumumkan segera hasil penyelidikan peristiwa 1965/1966
terbuka. TEMPO/Aditia Noviansyah
Dengan berbagai bukti ini, sesuai undang-undang yang
berlaku Komnas HAM meminta Kejaksaan Agung menggunakan hasil penyelidikan ini
sebagai bahan untuk melakukan penyidikan. Nur Kholis mengatakan hasil
penyelidikan Komnas HAM yang dilakukan telah diserahkan pada Kejaksaan Agung
pada 20 Juli lalu.
“Kami meminta agar hasil penyelidikan ini ditindaklanjuti secara hukum oleh Kejaksaan Agung,” ujarnya.
Hal itu sudah merupakan ketentuan Pasal 1 angka 5 juncto
Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang
mengatakan bahwa Jaksa Agung diminta menindaklanjuti hasil penyelidikan ini
dengan penyidikan.
Pengadilan HAM
atau Jalur Non Yudisial?
Enam tahun berlalu. Sejak 2012 hingga saat ini, belum ada
tindak lanjut dari laporan tersebut. Komnas HAM mengaku sudah berkali-kali
mendatangi Jaksa Agung untuk mempertanyakan bagaimana kelanjutan kasus ini.
Choirul mengatakan, dalam pertemuan terakhir pada Juni 2018, Komnas HAM kembali
mendesak Presiden Joko Widodo, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, dan Menteri Hukum
dan HAM Yasonna Laoly secara langsung untuk melanjutkan penyelesaian perkara
ini.
“Kami clear sampaikan pekerjaan kami. Waktu itu, Presiden bilang ke Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti kasus HAM,” kata Choirul. Selang beberapa hari, Jaksa Agung Prasetyo menyatakan laporan tersebut tak cukup untuk dibawa ke ranah hukum.
Choirul mengaku tersinggung. “Jaksa Agung bilang kurang bukti, kami tersinggung. Korban saja yang kami periksa banyak, minimal 50an orang. Kalau peristiwa ini dianggap imajinasi ya kami lihat itu statement politik,” ujarnya.
Sementara itu, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo enggan
membahas kelanjutan penyidikan kasus ini.
“Saya sudah berulang kali menjelaskan. Saya capek ya. Itu kan dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu,” ujar dia di kantornya, Jumat, 28 September lalu. Bahkan, Prasetyo hanya meminta masyarakat menunggu kasus itu naik ke tahap penyidikan.
Di lain pihak, pemerintah berupaya menempuh jalur
nonyudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Pada Januari 2017,
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menyatakan
pemerintah akan membentuk Dewan Kerukunan Nasional atau DKN untuk menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
“Karena kita mengadopsi undang-undang dari Eropa maka kalau ada masalah, kasus yang ada di masyarakat maka kita larikan ke proses peradilan, proses projustisia," ujarnya.
Menurut Wiranto, DKN dirancang untuk mengedepankan
prinsip musyawarah sebagaimana dilakukan oleh lembaga-lembaga adat di Indonesia
ketika menyelesaikan masalah.
"Yang berlaku sekarang ini yang masuk dulu adalah Komnas HAM, karena Komnas HAM memiliki peran menyelidiki permasalahan, menyelidiki kasus untuk dibawa ke peradilan," kata dia.
Wacana ini ditolak berbagai organisasi HAM di Indonesia
yang menilai DKN akan mengabaikan mekanisme yudisial, termasuk Komnas HAM.
Menurut Choirul, wacana pembentukan DKN itu tidak sesuai
dengan gagasan dan amanat reformasi. Bahkan, Komisioner Komnas HAM Amiruddin
juga mempertanyakan apa dasar hukum Wiranto membentuk DKN.
“Itu yang saya mau tanya, dasar hukumnya apa? Kalau tidak ada dasar hukumnya, bagaimana bisa bekerja?” ucap Amiruddin.
Sumber: Tempo.Co
0 komentar:
Posting Komentar