Oleh: Ita Fatia Nadia*
ilustrasi: Sadinem [Photo Kredit: Ita Fatia Nadia]
Sadinem, nama
perempuan Jawa yang lahir di sebuah desa kecil Cebongan, di barat kota
Yogyakarta. Saat mudanya, Sadinem bekerja pada sebuah keluarga Belanda administrateur pabrik gula di daerah
Cebongan, bernama Tuan dan Nyoya Eintoven.
Dari Nyonya Eintoven, Sadinem belajar membaca, menulis dan berbahasa Belanda. Gadis Sadinem tumbuh menjadi perempuan cerdas gemar membaca khususnya buku-buku sastra dari penulis-penulis dunia, seperti Du Peron. Sadinem muda mengikuti perkembangan berita dunia melalui koran dan majalah yang menjadi bacaan keluarga Eintoven.
Sadinem tidak
puas bekerja sebagai pembantu keluarga Belanda, setelah dia membaca
tulisan-tulisan tentang kaum pergerakan nasional termasuk Kartini. Kemudian Ia
pergi ke kota menikah dengan seorang laki-laki anak pedagang kaya keturunan
Maroko dan keluarga Sultan Yogyakarta.
Sadinem kemudian
membuka restoran kecil di Jalan Malioboro yang menyajikan masakan Eropa dan Rijstaffel. Rumah makan ini kemudian
menjadi tempat berkumpulnya kaum pergerakan Indonesia yang hilir mudik dari
Jakarta-Yogyakarta-Surabaya. Nama-nama seperti H.O.S Tjokroaminoto dan Haji
Agus Salim adalah pelanggannya.
Selain memasak
Sadinem juga mulai menjadi penterjemah tulisan-tulisan para kaum pergerakan.
Dari bahasa Indonesiamaupun Jawa ke bahasa Belanda dan sebaliknya.
Masa pergerakan
melawan pendudukan fasis Jepang tahun 1940-an di Yogyakarta, Sadinem menjadi
pendukung utama keuangan dan makanan untuk para pejuang bawah tanah yang
tergabung dalam Pemuda Patuk, tempat berkumpulnya para pemuda progresif yang
kemudian mendirikan Marx House.
Sadinem adalah perempuan pejuang yang sadar tentang arti kemerdekaan dan keindonesian.
Meninggal tahun 1959, di Yogyakarta dan dimakamkan di makam Pakuncen. [ita]
0 komentar:
Posting Komentar