Oleh: Dwi Dikmansyah | Okt
1, 2018
Sumur bekas pembantaian yang menjadi monumen dan tugu peringatan atas
kekejaman PKI tahun 1948.
SIAGAINDONESIA.COM - Banyak pihak ingin melakukan
upaya rekonsiliasi dan rehabilitasi para pelaku pemberontakan/eks Partai
Komunis Indonesia (PKI). Sejumlah elemen masyarakat kemudian menggelar seminar.
Mengekor aksi bela Islam, mereka pun punya slogan aksi bela PKI.
Menurut mereka sejarah tentang pengkhianatan PKI adalah
kebohongan. PKI disebut menjadi korban. Mereka mengklaim peristiwa PKI yang
terjadi di Indonesia dari tahun 1926, 1948, 1960 hingga 1965, tidak
membantai umat Islam. Karena itu, menuntut negara meminta maaf kepada PKI dan
korban-korban dari pihak PKI.
Selama ini gambaran paham Marxisme-Leninisme atau
gampangnya komunisme, telah menjadi hubungan diametral dengan Islam. Dalam
sejarah yang belum sampai satu abad, paham komunisme telah terlibat dalam
pertentangan bengis tak kunjung selesai dengan Indonesia.
Dalam peristiwa Madiun, 1948, umpamanya, kaum muslimin
Indonesia berdiri berhadapan dengan PKI. Saat itu di bawah kendali Muso, PKI
berusaha menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia yang didirikan oleh
bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Dan kalaulah klaim bahwa tidak ada korban dari pihak
Islam, maka dalam peristiwa di Madiun itu diungkapkan fakta bahwa pemuka agama
Islam dan ulama banyak terbunuh, seperti kalangan pengasuh Pesantren Takeran,
Kabupaten Magetan, Jawa Timur, yang hanya terletak beberapa kilometer di luar
kota Madiun sendiri.
Setidaknya Pesantren Takeran ini menjadi saksi bisu
banyaknya orang yang dijagal dan dimasukkan ke dalam sumur tua di tengah-tengah
perkebunan tebu sewaktu pemberontakan PKI Madiun pada September 1948. Anehnya,
ini malah dianggap tak penting.
Di Desa Rejosari, dekat pabrik gula Rejosari, Kecamatan
Kawedanan, Magetan, setiap bulan September dan Oktober banyak orang berdoa dan
tabur bunga di monumen burung garuda terbang. Sebab di bawah tugu itulah dulu
lubang pembantaian PKI 1948. Siapa yang “ditanam” di dalam lubang sumur itu?
Ada bupati, wedana, jaksa, kiai, haji, pegawai, dan lainnya.
Di tembok monumen memang terdapat 26 nama. Ada bupati
Magetan, anggota kepolisian, patih Magetan, wedana, kepala pengadilan Magetan,
kepala penerangan Magetan, lima orang kiai, dan para warga biasa lainnya. Bila
dijumlah seluruh korban pembantaian tercatat ada 114 orang. Sebelum dieksekusi,
mereka diangkut dengan gerbong lori yang biasa untuk mengangkut tebu.
Beberapa nama ulama yang ada di monumen tertulis KH Imam
Shofwan. Dia pengasuh Pesantren Thoriqussu’ada Rejosari, Madiun. KH Shofwan
dikubur hidup-hidup di dalam sumur tersebut setelah disiksa berkali-kali. Bahkan,
ketika dimasukkan ke dalam sumur, KH Imam Shofwan sempat mengumandangkan azan.
Dua putra KH Imam Shofwan, yakni Kiai Zubeir dan Kiai Bawani, juga menjadi
korban dan dikubur hidup-hidup secara bersama-sama.
Selain itu, beberapa nama yang menjadi korban adalah
keluarga Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM) Takeran. Mereka adalah guru Hadi
Addaba’ dan Imam Faham dari Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran. Imam Faham
adalah adik dari Muhammad Suhud, paman dari mantan mendiang ketua DPR M Kharis
Suhud. Selain perwira militer, pejabat daerah, wartawan, politisi pun ikut
menjadi korbannya.
Hanya saja, untuk Kiai Mursyid dan sesama kiai pesantren
Takeran hingga saat ini belum diketahui di mana kuburannya. Pengasuh Pondok
Pesantren Sabilil Mutaqin KH Zakaria (83) menceritakan, usai shalat Jumat pada
17 September 1948 pesantrennya didatangi beberapa orang tokoh PKI. Kepala
rombongan yang dipimpin aktivis PKI Suhud. Mereka datang didampingi para
pengawal bersenjata yang dikenali sebagai kepala keamanan di Takeran.
”Ketika menjemput Kiai Mursyid, Suhud menukil ayat Alquran, innalloha laa yughoyirru bi qoumin hatta yughoyiyiru maa bi anfusihim (Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib satu kaum kecuali kaum itu mengubah nasibnya sendiri). Setelah berkata seperti itu, Kiai Mursyid dibawa pergi dan sampai sekarang tak diketahui rimbanya,” kata Zakaria mengenangkan peristiwa tersebut.
Saat itu memang banyak pesantren menjadi musuh besar PKI,
lantaran di dalam pesantren terdapat kekuatan yang sangat tak bisa diduga,
apalagi Pesantren Takeran melakukan penggemblengan fisik terhadap santrinya. Di
sini PKI lantas menargetkan para tokoh kiai. Caranya dengan melakukan
penangkapan dan penculikan. Banyak dari mereka tak pernah kembali, dan
kebanyakan ditemukan sudah tak bernyawa dan menjadi mayat di lubang-lubang
pembantaian.
Zakaria mengungkapkan, banyak pesantren lain yang ada di
sekitar Madiun dan Magetan yang juga didatangi gerombolan massa PKI pimpinan
Muso. Salah satu di antara yang diserbu itu adalah Pesantren Tegalrejo, sebuah
pesantren tua yang ada tak jauh dari wilayah Takeran.
”Ketika massa PKI sampai di pesantren Tegalrejo itu, pengasuh pondok, KH Imam Mulyo ditangkap dan dilempari beberapa granat sembari diancam agar mau tunduk kepada ideologi dan partai mereka. Syukurnya granat itu tak meledak,” ujar Zakaria.
Kiai Amal Fatullah Zarkasyi, salah satu putra dari KH.
Imam Zarkasyi, pendiri Pondok Modern Gontor, menceritakan ulang bagaimana kisah
ayahnya yang tertangkap PKI saat mencoba mengungsi dengan kiai dan
santri-santri Gontor. Ia mendapatkan kisah ini langsung dari Kiai Imam
Zarkasyi.
“Saya belum lahir, tapi ceritanya jelas bagi saya,” ujarnya.
Saat situasi semakin genting, datanglah pasukan Hizbullah
yang dipimpin Kiai Yusuf Hasim yang berasal dari Tebu Ireng dan tentara
Siliwangi mengelilingi pasukan PKI. Pada saat itu, jumlah tentara tidak begitu
banyak, hanya saja mereka menggunakan taktik untuk menggertak pasukan PKI.
“Di mana-mana tembakan dibunyikan, padahal orangnya nggak terlalu banyak. Akhirnya PKI itu lari dari sekeliling masjid,” katanya.
Setelah kejadian tersebut, para kiai dan santri Gontor
dapat terbebas dari sanderaan PKI yang mengancam membunuh dari luar masjid.
Di sebuah kampung Kauman yang dihuni oleh umat Islam,
masih kawasan Magetan, ada seorang pedagang keliling yang juga guru ngaji
bernama Kiai Rokib. Dia mengaku pernah didatangi oleh 12 orang anggota PKI pada
19 September 1948, sekitar pukul 03.00 dini hari.
Dalam keadaan langit masih gelap, Rokib digiring ke Desa
Wringin Agung.
Hampir sepekan Rokib diikat dengan erat dan disatukan
dengan sekitar 300-an orang tawanan yang lain. Kemudian dia digiring ke timur
menuju Gorang Gareng. Beruntung Rokib diselamatkan TNI sebelum giliran
eksekusinya.
Sumur-sumur
pembantaian
Proses penculikan yang dilakukan PKI terhadap para kiai,
menunjukkan betapa kejamnya peristiwa bulan September 1948. Itu bukan
aksi biasa tanpa tujuan. Tapi sudah sudah dipersiapkan dengan matang. Terbukti,
dalam waktu singkat pemberontak PKI sudah menguasai wilayah yang cukup luas,
yakni meliputi Madiun, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi,
Purwantoro, Blora, Pati, Cepu, dan Kudus.
Pembersihan PKI dilakukan di mana-mana sebenarnya untuk
mendongkel yang bukan merah dan diganti dengan merah. Sejarah mencatat praktik-praktik
mengerikan yang dilakukan PKI adalah bagian dari teror untuk meruntuhkan moral
lawan-lawannya. Sekalipun peristiwa itu dikenal dengan sebutan Pemberontakan
Madiun, di antara sekian daerah yang menjadi korban keganasan kaum merah,
justru masyarakat di kawasan Kabupaten Magetanlah yang paling parah menerima
akibatnya.
Korban keganasan kaum merah tersebut tak dapat diketahui
secara pasti. Tetapi adanya sumur-sumur tua dan lubang-lubang pembantaian yang
dipakai PKI untuk menghabisi lawan-lawan mereka yang tersebar di berbagai
tempat di Kabupaten Magetan, menjadi saksi sejarah dari sebuah kebiadaban yang
sulit dipercaya kala itu.
Sumur pembantaian itu berada di Soco, sebuah desa kecil
yang terletak hanya beberapa ratus meter di sebelah selatan lapangan udara
Iswahyudi. Desa Soco termasuk dalam wilayah Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan.
Letak Soco yang strategis dan dekat dengan lapangan udara memang dipenuhi
tegalan dan banyak sumurnya. Ini menjadikan kawasan itu layak dijadikan tempat
pembantaian. Apalagi desa ini juga dilewati rel kereta lori pengangkut tebu ke
Pabrik Gula Glodok, Pabrik Gula Kanigoro dan juga Pabrik Gula Gorang-gareng.
Gerbong kereta lori dari Pabrik Gula Gorang-gareng itulah
yang dijadikan kendaraan mengangkut para tawanan untuk dibantai di sumur tua di
tengah tegalan Desa Soco.
Di sumur tua desa Soco ditemukan tak kurang dari 108
jenazah korban kebiadaban PKI. Sebanyak 78 orang di antaranya dapat dikenali,
sementara sisanya tidak dikenal. Sumur-sumur tua yang tak terpakai di desa Soco
memang dirancang oleh PKI sebagai tempat pembantaian massal sebelum melakukan
pemberontakan.
Beberapa nama korban yang menjadi korban pembantaian di
Desa Soco adalah Bupati Magetan Sudibjo, Jaksa R Moerti, Muhammad Suhud (ayah
mantan Ketua DPR/MPR, Kharis Suhud), Kapten Sumarno dan beberapa pejabat
pemerintah serta tokoh masyarakat setempat termasuk KH Soelaiman Zuhdi Affandi,
pimpinan Pondok Pesantren ath-Thohirin Mojopurno, Magetan.
Terungkapnya sumur Soco sebagai tempat pembantaian PKI
bermula dari igauan salah seorang anggota PKI yang turut membantai korban.
Selang seratus hari setelah pembantaian di sumur tua itu, anggota PKI ini
mengigau dan mengaku ikut membantai para tawanan.
Setelah diselidiki dan diinterogasi, akhirnya dia
menunjukkan letak sumur tersebut. Sekalipun letak sumur telah ditemukan, namun
penggalian jenazah tidak dilakukan pada saat itu juga, tapi beberapa tahun
kemudian. Hal ini disebabkan oleh kesibukan pemerintah RI dalam melawan agresi
Belanda yang kedua.
Salah seorang penggali sumur bernama Pangat menuturkan,
mayat-mayat yang digali sudah dalam keadaan hancur lebur seperti tape ketela.
Daging dan kulit jenazah hanya menempel sedikit di antara tulang-belulang. Di
kedalaman sumur yang sekitar duabelas meter, regu pertama menemukan 78 mayat,
sementara regu kedua menemukan 30 mayat. Semua jenazah dihitung hanya
berdasarkan tengkorak kepala, karena tubuh para korban telah bercampur-aduk
sedemikian rupa.
Sumur tua lain berada di Desa Bangsri merupakan tempat
yang paling awal. Sumur tua ini terletak di tengah tegalan ladang ketela di
Dukuh Dadapan. Sekitar 10 orang korban PKI dibantai di sini. Kebanyakan adalah
warga biasa yang dianggap menentang atau melawan PKI. Para korban pembantaian
di Bangsri berasal dari Desa Selo Tinatah, dan berlangsung sebelum
pemberontakan 18 September 1948 dimulai.
Mereka yang tertangkap PKI kemudian ditahan di Dusun
Dadapan. Beberapa hari menjelang hari H pemberontakan, para tawanan disembelih
di lubang pembantaian di tengah tegalan.
Sumur tua di Desa Cigrok ini hampir sama dengan sumur tua
di Desa Soco, sama-sama tidak terpakai lagi. Sebagaimana kepercayaan masyarakat
setempat yang pantang menimbun sumur setelah tidak digunakan lagi, sumur tua
Desa Cigrok demikian pula. Tidak ditimbun, kecuali tertimbun sendiri oleh
tanah.
Sumur tua Desa Cigrok terletak di rumah seorang warga
desa bernama To Teruno. To Teruno sebenarnya bukanlah anggota PKI, justru
dialah yang melaporkan kekejaman PKI di sumur miliknya itu kepada kepala
desanya. Sebanyak 22 orang yang menjadi korban pembantaian di sumur tua Desa
Cigrok.
Selain beberapa sumur di Magetan, ditemukan pula lubang
di Dusun Kresek, Desa Dungus. Di lubang pembantaian di tepi bukit ini ditemukan
17 jenazah. Mereka diantaranya adalah perwira militer, anggota DPRD, wartawan
dan masyarakat biasa.
Pembantaian di Dusun Kresek dilakukan PKI karena
posisinya telah terjepit oleh pasukan Siliwangi. Sementara itu, mereka tersesat
di Kresek dalam perjalanan menuju Kediri. Karena tidak sabar membawa tawanan
sedemikian banyaknya, mereka pun melakukan pembantaian di tepi bukit lalu
menimbunnya di sebuah sumur tua. Terungkapnya sumur ini sebagai tempat
pembantaian bermula dari laporan seorang janda warga Desa Kresek yang mengaku
melihat terjadinya peristiwa keji itu.
Kini, di Kresek telah dibangun monumen dan tugu
peringatan atas kekejaman PKI pada tahun 1948 dulu. Sebagaimana monumen di Desa
Soco, monumen keganasan PKI di Kresek juga dibangun untuk mengingat keganasan
PKI dalam membantai lawan-lawan politiknya, dengan harapan paham itu tidak lagi
bangkit kembali di bumi pertiwi.
Fakta sejarah
diputar Aidit
Sejarah PKI perlu dipahami secara utuh dan
berkesinambungan. Pemahaman sejarah yang dibaca sepotong-sepotong fragmen,
sementara sebagian fragmen telah dipenggal dan ditutup-tutupi, akan melahirkan
pemahaman menyimpang. Sejarah pemberontakan PKI, jangan bilang PKI tidak
bersalah. Peristiwa Madiun 1948 itu ulah biadab PKI. Dan betapa pahitnya
omongan Aidit yang bilang ulama itu tanpa kerjaan, kitabnya yang banyak, yang
bisa buat bendung kali Ciliwung tidak berguna, Indonesia tak butuh ulama.
Dalam pandangan sejarah kontemporer yang tidak benar, PKI
hanya dianggap membuat manuver hanya tahun 1965. Itu pun juga tidak sepenuhnya
diakui, sebab peristiwa berdarah itu dianggap hanya manuver TNI Angkatan
Darat. Kemudian dibuat kesimpulan bahwa PKI tidak pernah melakukan petualangan
politik. Mereka dianggap sebagai korban konspirasi dari TNI AD dan ormas Islam
anti PKI seperti NU dan lain-lain.
Pemberontakan PKI pertama kali dilakukan tahun 1926,
kemudian dilanjutkan dengan Pemberontakan Madiun 1948 dan dilanjutkan kembali
pada tahun 1965 adalah suatu kesatuan sejarah yang saling terkait. Para
pelakunya saling berhubungan. Tujuan utamanya adalah bagaimana mengkomuniskan
Indonesia dengan mengorbankan para ulama dan aparat negara.
Pemberontakan Madiun 1948Â yang dilakukan PKI
beserta Pesindo dan organ kiri lainnya menelan ribuan korban baik dari kalangan
santri, para ulama, pemimpin tarekat, yang dibantai secara keji. Selain itu
berbagai aset mereka seperti masjid, pesantren dan madrasah dibakar. Demikian
juga kalangan aparat negara baik para birokrat, aparat keamanan, polisi dan TNI
banyak yang mereka bantai saat mereka menguasai Madiun dan sekitarnya yang
meliputi kawasan strategis Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Anehnya, PKI menuduh pembantaian yang mereka lakukan itu
hanya sebagai manuver Hatta. Padahal jelas-jelas Bung Karno Sendiri yang
berkuasa saat itu bersama Hatta mengatakan pada rakyat bahwa Pemberontakan PKI
di Madiun yang dipimpin Muso dan Amir Syarifuddin itu sebuah kudeta untuk
menikam republik dari Belakang, karena itu harus dihancurkan.
Korban yang begitu besar itu ditutupi oleh PKI, karena
itu tidak lama kemudian Aidit menerbitkan “buku putih†yang memutarbalikkan fakta
pembantaian Madiun. Para penulis sejarah termakan manipulasi Aidit. Tetapi
rakyat, para ulama dan santri sebagai korban tetap mencatat dalam sejarahnya
sendiri.
Para kiai dianggap sebagai salah satu dari setan desa
yang harus dibabat. Kehidupan kiai dan kaum santri sangat terteror, sehingga
mereka selalu berjaga dari serangan PKI. Fitnah, penghinaan serta pembunuhan dilakukan
PKI di berbagai tempat, sehingga terjadi konflik sosial yang bersifat
horisontal antara pengikut PKI dan kelompok Islam terutama NU.
Serang menyerang terjadi di berbagai tempat ibadah,
pengerusakan pesantren dan masjid dilakukan termasuk perampasan tanah para
kiai. Saat itu NU melakukan siaga penuh yang kemudian dibantu oleh GP Ansor dan
Banser. Lagi-lagi kekejaman yang dilakukan PKI terhadap santri dan kiai dan
kalangan TNI dianggap hanya manuver TNI AD.
Ya, sejarah dibalik. Yang selama ini PKI bertindak
sebagai pelaku kekejaman, diubah menjadi pihak yang menjadi korban kekejaman
para ulama dan TNI. Lalu mereka membuat berbagai manuver melalui amnesti
internasional dan mahkamah internasional, termasuk Komnas HAM.
Karena mereka pada umumnya tidak tahu sejarah, maka
dengan mudah mempercayai pemalsuan sejarah seperti itu. Akhirnya kalangan TNI,
pemerintah dan NU yang membela diri dan membela agama serta membela ideologi
negara itu dipaksa minta maaf, karena dianggap melakukan kekejaman pada PKI.
PKI telah menciptakan suasana sedemikian tegang
sampai pada situasi to kill or to be killed (membunuh atau dibunuh)
dalam sebuah perang saudara. Oleh karena itu kalau diperlukan perdamaian
maka keduanya bisa saling memberi maaf, bukan permintaan maaf sepihak sebagaimana
mereka tuntut, karena justru kesalahan ada pada mereka dengan melakukan agitasi
serta teror bahkan pembantaian.
Pemahaman sejarah yang menyimpang ini harus diluruskan
karena telah menyebar luas. Bahkan tidak sedikit kader NU yang berpandangan demikian,
karena itu harus diluruskan. Demi membangun Indonesia ke depan yang utuh dan
tanpa diskriminasi kalangan ulama bersedia memaafkan PKI sejauh mereka minta
maaf.
NU boleh memaafkan PKI tetapi tidak untuk negara, apalagi
sampai melupakan semua petualangan PKI. Ini agar tidak terjerumus dalam lubang
sejarah untuk ketiga kali. Dengan demikian bisa bersikap proporsional,
bersahabat, bekerjasama dengan semua pihak, namun tetap menjaga keberadaan
agama, keutuhan wilayah, komitmen ideologi serta keamanan negara.[nn]
Sumber: Siaga Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar