Oktober 9, 2018 10:26 PM EDT
Andreas Harsono
Indonesia Researcher
HAM Dipinggirkan demi Pendekatan Politik kepada Militer
Presiden Indonesia Joko
"Jokowi" Widodo kembali mengulang membangkitkan ancaman komunisme,
yang berbahaya dan sepenuhnya fiktif, demi tujuan-tujuan politik yang kelihatan
jelas.
Jumat lalu, dia secara terbuka mengingatkan bangsa
Indonesia tentang ancaman nyata yang ditimbulkan oleh apa yang ia gambarkan
sebagai "komunisme dan warisan PKI (Partai Komunis
Indonesia)."
Dalam rentang tahun 1965-66, para aparat keamanan negara,
organisasi-organisasi paramiliter, dan milisi-milisi Islam membantai 500 ribu
hingga sejuta orang terduga "komunis." Pidato Jokowi tersebut
menafikan puluhan tahun pengawasan terus-menerus oleh badan intelijen negara,
gangguan, dan cap buruk terhadap para bekas terduga komunis beserta anak-cucu
mereka—semua dirancang untuk menghapuskan kemungkinan, sekecil apa pun,
bangkitnya pergerakan komunis terorganisir.
Jokowi juga tak mengatakan bagaimana, misalnya, dalam
tiga tahun terakhir, aparat keamanan yang didukung oleh kelompok-kelompok
paramiliter preman dan Islamis garis keras telah berkali-kali mengusik serta
mengintimidasi rakyat Indonesia yang mengupayakan pertanggungjawaban dalam
pembantaian 1965-1966. Pasal-pasal kejam hukum antikomunis Indonesia tetap
menjadi bahaya berkepanjangan bagi para aktivis masyarakat sipil yang menantang
status quo yang menindas dan menuntut pertanggungjawaban.
Namun, Jokowi mengenali siapa pendengarnya—pidato itu ia
sampaikan di Markas Besar Tentara Nasional Indonesia pada peringatan ulang
tahun ke-73 institusi tersebut. Militer yang punya kekuatan politik besar
diperkirakan bakal jadi pemain penting dalam pemilihan presiden mendatang,
antara Jokowi dan pemimpin oposisi Prabowo Subianto, seorang bekas Komandan
Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pasukan tentara elite Indonesia yang
terkenal sewenang-wenang.
TNI menyimpan rasa takut dan kebencian mendalam terhadap
kemungkinan bangkitnya komunisme di Indonesia. Dengan menunjukkan simpatinya
terhadap perspektif ini, Jokowi mengirimkan sinyal kepada militer bahwa ia
dapat menangguhkan atau bahkan menjegal upaya-upaya tentatif, yang lama
tertunda, menuju akuntabilitas pembantaian 1965-66, terutama tindak lanjut
simposium 2016 atas tragedi tersebut.
Pidato Jokowi adalah "peluit anjing" atau pesan
politik rahasia yang bermakna pendekatan kepada unsur-unsur dalam aparat
keamanan dan pemerintah, yaitu mereka yang menganggap akuntabilitas atas
penyalahgunaan wewenang di masa lalu sebagai kutukan. Dan yang tak kalah
penting, dari pidato itu kita bisa menangkap kesan yang mengkhawatirkan tentang
posisi HAM dalam daftar prioritas kepresidenan Jokowi.
Sumber: HRW.Org
0 komentar:
Posting Komentar