October
8, 2018 - Meisa Clarita Arifiani
Judul Buku : Dibalik Tragedi 1965
Penulis :
Sulastomo
Penerbit :
Yayasan Utama Ummat
Tahun Terbit : 2006
Jumlah Halaman : xi+179 hlm, 14,5 cm x 21 cm
Peristiwa G30S ini terjadi 40 tahun yang lalu, namun
sekarang sudah muncul kabut yang menyelimuti bahwa peristiwa itu adalah sebuah
kudeta PKI sudah mulai dipersoalkan. Teori lain mengatakan bahwa tragedi itu
justru merupakan upaya Bung Karno untuk menyingkirkan pimpinan teras Angkatan
Darat yang sering dikesankan tidak sejalan dengan kebijakan Pemimpin Besar
Revolusi. Komandan operasi Gerakan 30 September, Letkol. Untung dan pelaksana
operasi Gerakan 30 September sebagian besar adalah pasukan Cakrabirawa, Pasukan
Pengawal Pribadi Presiden, sehingga bisa saja diperintahkan untuk melakukan
tujuan itu, sudah tentu skenario apapun yang berjalan semuanya ditutupi dengan
langkah-langkah lain yang tersamar. Karena itu tidak mudah untuk menyimpulkan
peristiwa itu, selain mungkin keterbatasan fakta yang diperlukan untuk
mendukung sebuah teori politisasi peristiwa itu juga bukan suatu kemustahilan.
Sebagai peristiwa politik yang besar peristiwa itu tentunya merupakan puncak
dari sebuah pergulatan politik, Pergulatan politik itu tentu sudah selalu
terkait dengan kekuasaan dan jalan kekuasaan pasti bukan sebuah proses yang
tiba-tiba muncul. Ada pergulatan taktik, strategi diantara berbagai pihak yang
terkait kekuasaan dan lebih dari itu juga ada pergulatan ideologi, cita-cita
atau program, bagaiamana sebaiknya menyelenggarakan Negara dan apa yang terjadi
di tahun 1965 sesungguhnya sangat terkait dnegan seluruh perjalanan bangsa itu
sejak tahun 1945 bahkan sebelum itu. Tokoh-tokoh yang menjadi kunci dari
peristiwa itu adalah tokoh-tokoh yang sejak Indonesia merdeka 1945 yang telah
ikut berjuang dan memikirkan kehidupan bangsa ini dan memang telah saling
mengenal. Pak Harto yang disaat peristiwa tragedi 1965 itu terjadi adalah
Panglima Kostrad dan menjadi tokoh yang menggagalkan G30S, telah mengenali Syam
Kamaruzaman yang kemudian dikenal sebagai Ketua Biro Khusus PIKI, keduanya
adalah termauk anak-anak muda yang ikut berkumpul di Phatuk, Jogya pada sebuah
forum/kursus politik bagi anak-anak muda diawal kemerdekaan. Pak Harto mengenal
Syam sebagai anak buahnya sering dikenal sebagai seorang tokoh partai Sosialis
ketika Sutan Sjahrir menjadi Perdana Menteri Indonesia (14 Nopember 1945-12
Maret 1946).
Namun setelah itu Pak Harto tidak pernah bertemu lagi apalagi
berhubungan dnegan Syam sampai akhirnya diketahuinya Syam sebagai tokoh Biro
Khusu PKI. Syam memang anggota Partai Sosialis tetapi bukan PSI-nya Sjahrir
Partai Sosialis diawal kemerdekaan memang dipimpin oleh Sjahrir dan Amir
Syarifudin. Namun menjelang pemberontakan PKI di tahun 1948 Amir Syarifudin
bergabung dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang ternyata dipengaruhi PKI dan
kemudian menjadi salah satu tokoh dalam pemberontakan itu. Semula Syahrir dan
Amir Syarifudin memang berada dalam satu kelompok bersama Soekarno/Hatta
didalam menyikapi kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah diawal
kemerdekaan yang lebih menekankan perlunya jalan perundingan dengan Inggris dan
AS yang hal ini ditentang oleh Tan Malaka. Mengenai Letkol. Untung anggota pasukan
pengawal Presdien (Cakrabirawa) yang menjadi tokoh Gerakan 30 September dan
Ketua Prseidium Dewan Revolusi, Pak Harto telah mengenalinya sebagai anak
buahnya di kesatuan yang dipimpinannya di Solo. Menjelang peristiwa Gerakan 30
September 1965 berbagai isu telah berkembang di masyarakat, yang
mengindikasikan akan terjadinya peristiwa politik yang benar. Aksi-aksi sepihak
terjadi dimana-mana seperti Jawa Tengah, jawa Timur dan juga Sumatera Utara.
Aksi-aksi sepiak itu berupa perebutan hak atas tanah yang dinilai telalu besar
dan dimiliki oleh perseorangan. Di Jawa Tengah dan jawa Timur perebutan hak
atas tanah-tanah wakaf yang dimiliki oleh pesantren-pesantren telah menimbulkan
konflik terbuka dengan kalangan umat Islam. Meskipun semua itu sebenarnya merupakan
sebuah indikasi akan terjadinya suatu peristiwa politik yang besar, ternyata
banyak juga yang tidak menyadari bahwa hal itu akan terjadi dalam waktu yang
dekat. Kalangan militer khususnya TNI/Angkatan Darat sangat yakin bahwa apapun
yang terjadi PKI tidak mampu melakukan kudeta. Padahal di masyarakat politik
setidaknya telah beredar rumor bahwa “clash” antara Angkatan Darat dan PKI
tinggal menunggu waktu saja. PKI sendiri nampaknya juga semakin yakin bahwa
kemenangan itu sudah diambang pintu, PKI semakin berani hendak memksa
kehendaknya terhadap Bung Karno. Apabila selama ini PKI hanya melalui “jalan
belakang”, melalui lobi atau konsep-konsep yang disodorkan kepada Bung Karno
PKI merasa sudah saatnya secara terbuka hendak memaksakan keendaknya pada Bung
Karno. Mungkin juga sebuah test-case terhadap Bung Karno sejauh apa keterikatan
Bung Karno terhadap garis politik PKI. Menjelang peristiwa tragedi G30S adalah
sebuah realitas dari sejarah bangsa Indonesia yang masih menjadi subyek
interpretasi yang kontroversial dan penuh dengan misteri. Berbagai versi muncul
berkaitan dengan siapakah dalang di balik peristiwa G30S? Siapakah aktor kunci
di balik misteri tragedi G30S? Namun demikian, versi resmi “Orde Baru” yang
telah memvonis PKI sebagai dalang satu-satunya di balik G30S, masih terus
membelenggu memori kolektif sebagian masyarakat bangsa ini. Implikasinya,
bangsa ini terus “terpenjara” dalam ingatan sejarah masa silam yang kelam dan
terus menerus hidup dalam sebuah relasi yang “sakit” (abnormal). Pada peristiwa
30 September 1965 terdapat berbagai isu telah berkembang di masyarakat, yang
mengindikasikan akan terjadinya peristiwa politik yang besar. Di surat kabar
“Bintang Timur”, para seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) juga telah ikut
mengindikasikan akan adanya peritiwa besar. Sajak-sajak yang dimuat dilembar
kebudayaan surat kabar itu antara lain adalah: Kunanti Bumi yang memerah Darah,
oleh Mawie (Bintang Timur, 21 Maret 1965). Selain itu lembaran “Lentera” Surat
kabar Bintang Timur juga dimuat sebuah naskah judul: Tahun 1965 Tahun
Pembabatan Total”, yang ditulis oleh Pramudya Ananta Tor (9 Mei 1965). Kedua
tulisan itu merupakan isyarat bahwa sebuah peristiwa besar akan terjadi. Tahun
1965 merupakan tahun pembabatan secara total, sampai keakar-akaranya, terhadap
lawan-lawan PKI. Sudah tentu selain menimbulkan pertanyaan mengapa mereka sudah
tau juga sangat menggelisahkan dunia seniman dan cendekiawan, namun, indikasi
yang paling jelas terjadi hanya beberapa hari sebelum G30S, Brigjen Sugandhi,
melampirkan percakapan dengan Sudisman dan DN Aidit, keduanaya tokoh PKI (27
Sepetember 1965) bahwa PKI akan melancarkan “Kudeta”, meskipun tidak memperoleh
respons yang memamadai dari Bung Karno. Kepada Brigjen Sugandhi mengatakan, DN
Aidit memang menolak istilah “kudeta” dan mengatakan, langkahnya itu adalah
untuk membersihkan “Dewan Jenderal” (yang akan melakukan kudeta) yang dalam hal
ini juga dibantah oleh Sugandhi, oleh karena Dewan Jenderal itu dikatakannya
sebagai tidak ada. Bung Karno bahkan menganggap Sugandhi telah dihinggapi
penyakit komunis topobia, sebuah sebutan yang sangat popular diwaktu itu bagi
orang-orang yang mewaspadai bahayanya kaum komunis.
Dikalangan pimpinan Angkatan Darat, meskipun laporan –
laporan serupa juga sempat disampaikan pada pimpinan Angkatan Darat, ternyata
juga tidak mendorong langkah untuk mewaspadai peristiwa seperti itu. Penanganan
terhadap para pemimpin Angkatan Darat juga berjalan seperti biasa. Hal ini
terbukti dengan keberhasilan Gerakan 30 September untuk menculik para Jenderal
pimpinan Angkatan Darat dalam waktu ynag secara singkat. Isu Dewan Jenderal
yang sudah beredar sejak bulan Mei 1965, seolah-olah sudah selesai dengan telah
dijelaskannya masalah isu Dewan Jenderal kepada Bung Karno oleh Jenderal Ahmad
Yani. Demkian juga Dokumen Gilchrist yang mengindikasikan kemungkinana
perebutan kekuasaan dengan dibantu oleh “our local army friends”. Di kalangan
Angkatan Darat ada keyakinan yang dibantah oleh Bung karno yang masih memimpin
bangsa ini PKI tidak akan dapat merebut kekuasaan Negara. Demikian juga bagi
Mayjen Soeharto Panglima Kostrad di waktu itu ketika Kol. Latief menemui Pak
Harto di RS Gatot Soebroto tanggal 30 September malam, Pak Harto tidak
menganggap serius laporan Kol. Latief. Ketika itu Kol. Latief melaporkan akan
terjadinya kudeta Dewan Jenderal yang dibantah oleh Pak Harto karena Dewan
Jenderal yang dimaksudkan Kol. Latief itu tidak ada. Meskipun Kol Latief
berusaha meyakinkan, Pak Harto tidak menganggapnya sebagai suatu hal yang
serius. Meskipun semua itu sebenarnya merupakan sebuah indikasi akan terjadinya
suatu peristiwa politik yang besar ternyata banyak juga yang tidak menyadari
bahwa hal itu akan terjadi dalam waktu yang dekat. Kalangan militer, khususnya
TNI/Angakatan Darat sangat yakin bahwa apapun yang terjadi PKI tidak mampu
melakukan kudeta. Ternyata antara lain dipicu oleh sakitnya Bung Karno pada
tanggal 4 Agustus 1975. Berita yang beredar Bung Karno telah jatuh pingsan.
Siapa yang akan mendahului seandainya bung Karno wafat atau tidak bisa
melaksanakan seandainya sebagai Presiden sementara antara PKI dan TNI/Angakatan
Darat sudah tidak mungkin dipertemukan? Kenyataan seperti itu sudah tentu menimbulkan
kekhawatiran berbagai pihak termasuk Negara adikuasa, Blok Barat dan Timur
didalam mempererat strategis. PKI sendiri nampaknya juga semakin yakin bahwa
kemenangan itu sudah diambang pintu. PKI semakin berani hendak memaksakan
kehendaknya terhadap Bung karno. Apabila selama ini PKI hanya melalui “jalan
belakang” melalui lobi atau konsep-konsep yang disodorkan kepada Bung Karno,
PKI merasa sudah saatnya, secara terbuka hendak memaksakan kehendaknya pada
Bung Karno. Mungkin juga sebuah test-case terhadap Bung Karno, sejauh apa
keterikatan Bung Karno terhadap garis politik PKI. Bung Karno,
kemudian juga menganugerahkan Bintang maha Putera kelas III bagi DN Aidit,
ketua CC PKI pada tanggal 13 September 1965, hanya dua minggu sebelum Gerakan
30 September 1965, hanya dua minggu sebelum Gerakan 30 September meletus, atas
contoh kepahlawanan dan teladan dalam kepemimpinan politik. Selanjutnya pada
tanggal 29 September 1965, Konsentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI)
sebuah orgnaisasi mahasiswa ekstra-universiter, onderbouw PKI, menyelenggarakan
Kongresnya, yang dibuka dengan rapat umum di Gelora Bung Karno. Lebih 10.000
masa mahasiswa dan pemuda hadir digedung olahraga itu. Bung Karno Wakil Perdana
Menteri Dr. Leimana dan Ketua CC PKI, DN Aidit hadir disana setelah berhasil
mengeluarkan HMI dari PPMI (Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa
Indonesia) pada tanggal 21 Oktober 1964, CGMI/PKI hendak memaksakan tuntutan
pembubaran HMI. Pergulatan isu pembubaran HMI, nampaknya sudah sampai pada
“hidup atau mati”. PKI tidak menduga akan memperoleh perlawanan begitu besar.
Sebagai Ketua Umum PB HMI mencermati kebijakan PKI bahwa itu langkah yang hanya
satu taktik dari sebuah strategi besar merebut kekuasaan di negeri ini sebab
bukan HMI yang mampu mencegah strategi itu tetapi Bung Karno dan Angkatan Darat
dengan isu pembubaraan HMI menjadi berhadapan secara langsung dengan PKI.
Selain itu HMI juga harus pandai menempatkan diri sebagai
bagian dari kekuatan yang progresif revolusioner. Konsisten terhadapnya sebagai
kader umat dan bangasa. HMI harus melibatkan diri dalam seluruh perjuangan
bangsa. Misalnya ketika Bung Karno menyiarkan untuk mengganyang Malaysia antara
lain dengan membentuk sukarelawan Dwikora. Sebagai ketua PB HMI ikut bergabung
sebagai sukarelawan dokter Dwikora, mengikuti militer, dan siap untuk
diberangkatkan ke garis depan. Bung Karno akan sulit menolak tuntutan
pembubaran HMI yang disampaikan secara terbuka di Gelora Bung Karno oleh DN
Aidit dan CGMI. Seandainya HMI gagal menempatkan diri sebagai bagian dari
kekuatan progresif revolusioner dan merupakan organisasi mahasiswa yang
dinamis. Terakhir adalah solidaritas yang diberikan oleh seluruh partai,
organisasi dan generasi muda islam yang menolak tuntutan pembubabaran HMI (Mei,
1965). Partai-partai dan organisasi Islam itu tentunya tidak akan membela HMI,
apabila HMI gagal menempatkan diri sebagai masalah nasional, bahkan menjadi
pertaruhan nasional sehingga menghasilkan sebuah kekuatan yang mampu
mengimbangi kekuatan PKI. Semua itu menunjukkan bahwa PKI ternyata telah kecele
dengan kebijaksanaannya untuk membubarkan HMI. Kekeliruan ini juga merupakan
salah satu sebab mengapa Gerakan 30 September dapat cepat ditangkal dan
memperoleh perlawanan dari organisasi politik dan kemasyarakatan. Antara lain
karena kesiapan HMI, PMKRI dan kelompok lainnya, di dalam
menghadapi kemungkinan yang terburuk sejak 1 Oktober 1965.
Detik-detik di sekitar peristiwa G30S pada hari Jum’at 1
Oktober 1965. Pagi-pagi salah seorang Ketua PB NU, berada di rumah Subchan di
Jalan Banyumas 4 Magelang, Menteng. Sekitar jam 07.30 telepon berdering
ternyata Syarifuddin Harahap salah seorang Ketua PB HMI memberikan kabar bahwa
ada kudeta. Pernyataan Syarifuddin Harahap itu berdasar pengumuman RRI yang
berbunyi sebagai berikut : “Pada hari Kamis tanggal 30 September 1965 di
Ibukota Republik Indonesia Jakarta telah terjadi gerakan militer dalam Angkatan
Darat dengan dibantu oleh pasukan-pasukan dari angkatan lainnya. Gerakan 30
September yang dikepalai oleh Letkol Untung Komandan Batalion I Resimen
Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Bung Karno ini ditujukan kepada
jenderal-jenderal anggota apa yang menanamkan dirinya “Dewan jenderal”.
Sejumlah Jenderal telah ditangkap dan alat komunikasi yang penting – penting
serta obyek-obyek vital lainnya sudah berada dalam kekuasaan G30 September.
“Dewan Jenderal adalah gerakan subsersif yang disponsori oleh CIA dan waktu
belakangan ini sangat aktif terutama dimulai ketika Bung Karno menderita sakit
yang seirus pada minggu pertama di bulan Agustus yang lalu. Harapan mereka
bahwa Bung Karno akan meninggal dunia sebagai akibat dari penyakitnya tidak
terkabul”.
Oleh karena itu untuk mencapai tujuannya Dewan Jenderal merencanakan
pameran kekuatan pada Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober yang akan datang
dengan mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa Timur, Jawa tengah dan Jawa
Barat. Dengan konsentrasinya kekuatan militer besar ini di Jakarta, dewan
jenderal bahkan telah merencanakan untuk mengadakan coup kontrarevolusioner.
Letkol. Untung telah mengadakan gerakan yang ternyata telah berhasil dengan
baik. Menurut keterangan yang didapat dari Letkol. Untung Komandan Gerakan 30
September gerakan ini semata-mata gerakan dalam Angkatan Darat yang ditujukan
kepada Dewan Jenderal yang telah berbuat mencemarkan nama Angkatan Darat,
bermaksud jahat terhadap Republik Indonesia dan Bung Karno. Letkol. Untung
pribadi menganggap gerakan ini adalah suatu keharusan baginya sebagai warga
Cakrabirawa yang berkewajiban melindungi keselamatan Presiden dan Republik Indonesia.
“Komandan Gerakan 30 September itu selanjutnya menerangkan bahwa tindakan yang
telah dilakukan di Jakarta terhadap Dewan Jenderal akan diikuti
tindakan-tindakan di seluruh Indonesia yang ditujukan kepada kaki tangan dan
simpatisan-simpatisan Dewan Jenderal yang ada di daerah-daerah. Letkol Untung
sebagai Komandan Gerakan 30 September menyerukan kepada seluruh rakyat
Indonesia supaya terus mempertinggi kewaspadaan dan membantu Gerakan 30
September dengan sepenuh hati untuk menyelamatkan Republik Indonesia dari
perbuatan-perbuatan jahat Dewan Jenderal dan kaki tangannya agar dapat
melaksanakan penderitaan rakyat dalam arti kata yang sesungguhnya. Kepada para
Perwira, Bintara dan Tamtama Angatan Darat di seluruh tanah air, Komandan
Letkol. Untung menyerukan supaya bertekad dan berbuat untuk mengikiskan habis
pengaruh-pengaruh Dewan Jenderal dan kaki tangannya dalam Angkatan Darat,
jenderal-jenderal dan perwira yang gila kuasa, yang menelantarkan nasib anak
buah, yang diatas penderitaan anak buah hidup bermewah-mewah dan berfoya-foya
menghina kaum wanita dan menghambur-hamburkan uang Negara harus ditendang
keluar dari Angkatan Darat dan diberi hukuman setimpal. Angkatan Darat bukan
jenderal-jenderal tapi milik semua prajurit Angakatan Darat yang setia pada cita-cita
revolusi Agustus 1945. Kepada pasukan-pasukan Angakatan Bersenjata diluar
Angkatan Darat, Komandan Letkol. Untung menyatakan terimakasihnya atas bantuan
mereka dalam tindakan pembersihan dalam Angakatan Darat dan mengharapkan supaya
dalam Angkatan masing-masing diadakan pembersihan terhadap kaki tangan dan
simpatisan-simpatisan Dewan jenderal. Dalam waktu yang singkat
Komandan Letkol. Untung akan mengumumkan Dektit I tentang Dewan revolusi
Indonesia yang kemudian akan disusul oleh dekrit-dekrit lain itulah sekelumit
gambaran keadaan di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965. Tidak ada yang menduga,
bahwa sebuah peristiwa politik besar telah terjadi. Dimulai pagi hari tanggal 1
Oktober 1965, diawali dengan penculikan dan pembunuhan terhadap para pemimpin teras
TNI/Angakatan Darat, yaitu Jenderal Ahmad Yani, Mayjen S.Parman, Brigjen
Panjaitan, Brigjen Sutoyo, Mayjen Haryono, Mayjen Suprapto, dan Jenderal
Nasution. Jenderal Nasution berhasil lolos, namun ajudannya Mayor Pierre
tendean dan seorang puterinya, Ade Irma Suryani Nasution menjadi korban. Tujuan
Gerakan 30 September sebagaimana di katakan dalam pengumuman RRI itu adalah
hendak menggagalkan kudeta Dewan jenderal bersamaan dengan HUT TNI/ABRI tanggal
5 Oktober 1965. Isu Dewan jenderal ini beredar sejak sekitar bulan Mei 1965
disebarkan oleh kalngan PKI namun tidak jelas dari mana sumbernya. Demikian
juga Isu Dokumen Gilchrist yang mengindikasikan adanya perebutan kekuasaan yang
direkayasa asing dengan dukungan “our local army friends” yang sebuah dokumen
yang sebenarnya tidak layak untuk dipercayai. Untuk serangkaian G30S melakukan
pertemuan yang berlangsung sejak 6 September sampai menjelang tanggal 30
Spetember 1965, diikuti dan diarahkan oleh Syam Kamaruzaman dan Soepono yang
kemudian hari dikenal sebagai anggota Biro Khusus PKI. Serangkaian
pertemuan-pertemuan itu menyimpulkan bahwa Dewan jenderal harus diselesaikan
terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan pesan DN Aidit, Ketua CC PKI yang
disampaikan oleh Syam pada pertemuan-pertemuan itu untuk itu juga diperlukan
mobilisasi kekuatan militer dan rakyat, kekuatan militer dari berbagai
angkatan, sedangkan kekuatan sipil bertumpu pada Pemuda Rakyat. Demikianlah di
pagi buta pada tanggal 1 Oktober serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap
para jenderal pimpinan teras TNI/Angkatan Darat itu berlangsung. Sehingga hari
itu terjadi kudeta sudah merupakan kesimpulan banyak kalangan, Mayjen Soeharto,
yang diwaktu itu adalah Panglima Kostrad, bahkan telah menyimpulakn bahwa PKI
berada dibalik peristiwa Gerakan 30 September itu. Mayjen Soeharto mencermati
peristiwa itu dari serangkaian peristiwa yang mendahului peristiwa itu misalnya
maraknya aksi-aksi sepihak oleh BTI/PKI dan juga pengenalannya dengan
tokoh-tokoh Gerakan 30 September termasuk tokoh utamanya yaitu Letlkol. Untung.
Apa yang terjadi pada tanggal 30 September itu ternyata telah membuka halaman
baru bagi sejarah Indonesia.
Banyak pandangan bahwa suasana politik diawal 1965 memang
sudah sangat kondusif bagi PKI kejalan ekkuasaan di Indonesia. seandainya tidak
terjadi peristiwa Gerakan 30 September PKI mungkin akan dapat mewujudkan jalan
ke kekuasaan dengan jalan damai. Hampir semua isu politik sudah sejalan dengan
garis perjuangan PKI, namun begitu jauh peran PKI dalam penyelenggaraan Negara
sebenarnya masih sangat terbatas. Bung Karno meskipun sejak 1965 telah
melontarkan gagasan “Kabinet Kaki-Empat” namun segitu jau PKI baru menduduki
portofolio ysng tidak strategis atau penting. Bung Karno masih belum memberi
peluang kepada PKI untuk menduduki posisi yang strategis dalam kabinet. Dalam
aspek ini jalan kekerasan mungkin salah satu alternatife yang memang menjadi
pertimbangan bagi PKI hanya mungkin terlalu pagi jalan kekerasan itu ternyata
berdampak fatal. Sebab ABRI khususnya TNI/Angkatan Darat tidak hanya merupakan
kekuatan yang masih belum dapat dikuasainya bahkan menjadi lawan politiknya.
Gerakan 30 September tidak hanya telah menggagalkan sebuah impian yang selama
bertahun-tahun ingin mewujudkan tetapi juga telah menghancurkan Partai Komunis
terbesar ketiga didunia hanya dalam waktu sekejap. Pada tahun 1948 usai di
Indonesia menghadapi pemberontakan PKI 1948, Belanda melancarkan penyerbuan ke
Indonesia yang dikenal sebagai perang kemerdekaan kedua. Mengapa
tokoh PKI antara lain DN Aidit, Alimin dan Tan Ling Djie dapat lepas dari
pertanggungjawaban peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948 dan keluar dari
Penjara Wirogunan. DN Aidit lah yang kemudian membangun PKI diawal tahun
1950-an dan ketika pemilu berlangsung untuk pertama kalinya (1955) PKI berhasil
keluar sebagai pemenang keempat pemilu itu, PKI menampilkan strategis yang jitu
yaitu memperkenalkan tanda gambar “Palu Arit” sebagai gambar tanda PKI dan
orang-orang tidak berpartai. PKI memperoleh suara 6.176.914 atau 16,4% tetapi
suara yang diperoleh oleh PKI ini untuk Pulau Jawa melampaui suara yang
diperoleh oleh Masyumi yang keluar sebagai pemenang kedua setelah PNI. Bung
karno mengesankan mengajak PKI untuk masuk dalam kabinet hal ini kalau tidak
pernah dilakukannya termasuk ketika seluruh kekuatan sudah berada ditangannya
pasca Dekrit Presiden 1959 dan menjelang Gerakan Tigapuluh September disaat
Bung Karno sangat membutuhkan dukungan PKI sekalipun hanya menempatkan
tokoh-tokoh PKI dalam portofolio “Menteri Negara” misalnya DN Aidit yang menduduki
jabatan menteri karena DN Aidit adalah Wakil Ketua MPRS. Sementara itu setelah
Indonesia berhasil merebut kembali Irian Barat (1962) sudah tentu saatnya untuk
membangun Indonesia sangat terbuka luas, tetapi perkembangan politik regional
dan internasional ternyata lain.
Pada awal 1964 Indonesia keluar dari PBB sikap Indonesia
itu disebabkan karena PBB telah menerima Malaysia sebagai anggota Dewan
Keamanan PBB karena itu Bung Karno mengatakan bahwa Malaysia adalah proyek
Nekolim (Inggris dan sekutunya). Suatu hal yang tidak mustahil untuk membendung
teori domino berikan komunisme ke Selatan, Bung Karno kemudian juga
mencanangkan untuk menggalangnya “The new Emerging Forces” dengan markas
besarnya di Jakarta Gedung DPR/MPR yang berdiri sekarang sebenarnya dirancang
untuk menandingi markas besar PBB di New York. Dengan kebijakan politik seperti
itu bung Karno sudah tentu memerlukan dukungan kekuatan dalam juga luar negeri
termasuk Negara-negara yang sedang berlembang. PKI sebagai bagian kekuatan
komunisme Internaisonal, sudah tentu memiliki akses keduanya, memiliki jaringan
dan kekuatan politik yang riil di dalam negeri serta mempunyai pengaruh di luar
negeri melalui kerja sama kaum Komunis Internasional. Selain itu sejak bulan
Mei 1965 beredar dua isu yang menyelimuti udara politik di Jakarta yang sudah
semakin panas itu, dua isu adalah Dokumen Gilchrist dan isu Dewan Jenderal yang
akan melakukan kudeta terhadap Bung Karno. Dokumen Gilchrst adalah sebuah copy
radiogram dari Dubes Inggris di Jakarta, Tuan Gilchrist yang ditujukan kepada
menteri Luar Negeri Inggris, Dokumen diketik pada sebuah kop surat Kedutaan
Besar Inggris di Jakarta yang konon ditemukan di rumah Bill Pamlmer, seorang
pengusaha film AS ketika rumahnya digrebek oleh masa pemuda. Dokumen itu kemudian
diterima oleh Wakil Perdana Menetri Subandrio lewat pos, istrinya seolah-olah
ada komitmen antara AS dan Inggris untuk melaksanakan Komitmennya itu kemudian
diinterpretasikan sebagai perebutan kekuasaan terhadap Bung Karno. Dokumen itu
konon di produsir oleh intelijen Cekoslovakia dibantu oleh dinas rahasia Uni
Soviet sedangkan isu Dewan Jenderal yang juga akan melakukan kudeta terhadap
Bung Karno tidak jelas dari mana asal usulnya, konon isu Dewan Jenderal itu
awalnya justru dari DN Aidit. Kedua isu itu nampaknya dipercayai sebagai benar
dampaknya sudah tentu membuat suasana politik semakin panas. Masyarakat politik
tentu diarahkan pada apa yang bakal terjadi dengan berbagai isu itu sementara
di permukaan terasa PKI semakin melakukan ofensifnya terhadap lawan-lawan
politiknya antara lain melalui aksi-aksi sepihak, tuntutan terhadap pembentukan
Angkatan Kelima, mempersenjatai rakyat disamping ABRI, Nasakomisasi disegala
bidang termasuk pada Angkatan Bersenjata serta tuntutan terhadap pembubaran
HMI. Kekerasan juga sudah tidak ada terelakkan demikian juga konflik-konflik
dengan memiliki tanah yang luas hal itu menandai konflik yang sudah terbuka
antara PKI dan kekuatan anti-PKI termasuk dengan Angkatan Darat, Jenderal Ahmad
Yani Menteri Panglima Angkatan Darat meskipun tidak menentang secara frontal
selalu membelokkan berbagai isu itu. Jenderal Ahmad Yani tidak mau dikesankan
sebagai melawan sikap Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi dan Panglima
Tertinggi angkatan Bersenjata Republik Indonesia terhadap tuntutan Nasakomisasi
ABRI, Jenderal Ahmad Yani mengakatakan bahwa ABRI sudah berjiwa Nasakom (dengan
pengertian Nasasos) karena itu tidak diperlukan Nasakomisasi sedangkan mengenai
pembentukan Angkatan Kelima, jenderal Ahmad Yani mengatakan bahwa semua kelompok
rakyat akan dipersenjatai tidak hanya satu Angkatan Kelima yang hendak
mempersenjatai Pemuda Rakyat gagal.
Dengan suasana politik yang semakin panas munculah berita
bahwa Bung Karno sakit keras, diberitakan pingsan (collaps) pada tanggal 4
Agustus 1965. DN Aidit sepulang dari kunjungan ke RRC ternyata membawa 5 (lima)
orang dokter dari Cina untuk ikut memberi pertolongan kedokteran kepada Bung
karno. Mereka menyimpulkan bahwa kesehatan Bung karno dapat membahayakan
kelangsungan kepemimpinannya dan hal itu dapat terjadi setiap saat yang tidak
dapat diduga sebelumnya informasi seperti inilah yang agaknya menjadi kunci
peristiwa selanjutnya yang merubah perjalanan bangsa Indonesia. G30S adalah
Persoalan Intern TNI/Angakatn Darat bahwa persoalan intern Angkatan Darat
sebagaimana dikemukakan oleh apa yang kemudian dikenal sebagai “Cornel Paper”.
Selain oleh kenyataan bahwa G30S itu dilakukan dan dipimpin oleh kalangan
Angkatan Darat dalam pengumumamn Dewan Revolusi dan dekrit I juga tersirat rasa
ketidaksenangan kalangan perwira progresif revolusioner terhadap para jenderal
yang dianggap sebagai merugikan nama baik Angkatan Darat dengan lebih suka
berfoya-foya dan lain sebagainya. Bahwa dalam gerakan tersebut dimotivasi oleh
adanya kudeta Dewan Jenderal kiranya dapat dipahami sebagai isu yang menarik
mengingat kesetian rakyat kepada Bung Karno yang sangat besar sehingga dapat
dijadikan motivasi yang kuat di internal G30S disamping adanya harapan untuk
memperoleh dukungan rakyat untuk itulah G30S mengklaim Bung Karno berada dalam
keadaan aman dan dalam perlindungannya meskipun pada kenyataan tidak seperti
itu. Sejak peristiwa G30S meletus dipagi buta tanggal 1 Oktober, Bung Karno
tidak pernah berhubungan apalagi dalam perlindungan G30S. namun teori G30S
sebagai peristiwa intern Angkatan Darat sebenarnya sudah terpatahkan dengan
Dekrit I Dewan Revolusi yang menyimpulkan bahwa G30S mempunyai jangkauan yag
sangat jauh terkait dengan kekuasaan, tidak sekedar menyingkirkan Dewan
Jenderal yang dikatakan akan melakukan kudeta terhadap Bung karno sebab G30S
itu sendiri ternyata merupakan sebuah gerakan untuk perebutan kekuasaan. Hal
ini disimpulkan dari Dekrit I Dewan Revolusi itu sendiri :
1. Bahwa Dewan
jenderal Revolusi akan dibentuk di seluruh Indonesia sampai kedesa-desa dan
akan merupakan sumber segala kekuasaan
2. Bahwa Kabinet
Dwikora dinyatakan demisioner
3. Nama Soekarno tidak
terdapat dalam Dewan Revolusi
Dengan memperhatikan isi Dekrit I itu memang dapat
menimbulkan pertanyaan siapa yang memperiapkan Dekrit I itu? tentunya ada dua
alternative :
1. Dipersiapkan oleh
Gerakan 30 September sendiri. Kalau benar demikian berarti Gerakan 30 september
adalah sebuah kudeta militer
2. Dipersiapkan oleh
kelompok/orang lain yang berada dibelakang layar G30S. realita ini diakui oleh
Letkol Untung. Dekrit I Itu dipersiapkan Biro Politik (Syam Kamaruzaman).
Naskah itu ditanda tangani pada pagi hari sebelum ada tanda-tanda kegagalan
G30S.
Dapat disimpulkan bahwa jangkauan G30S tidak hanya
terkait dengan internal TNI/Angkatan Darat tetapi terkait dengan sebuah
perebutan kekuasaan politik di negeri ini, hal ini terlepas bahwa G30S telah
memanfaatkan keadaan internal TNI/Angkatan Darat untuk menjadi motivasi
gerakannya. Kudeta Soeharto terhadap Soekarno bahwa sebuah rangkaian peristiwa
itu adalah sebuah kudeta Pak harto terhadap Bung karno. Teori ini berdasar
realita bahwa akhir dari semua peristiwa itu adalah jatuhnya Bung Karno dan
munculnya Pak Harto sebagai Presiden kedua RI, teori ini banyak dipercayai sebagai
teori yang benar oleh kalangan yang dekat dengan Bung karno dan juga oleh
kalanagan eks-tahanan politik G30S, teori ini percaya bahwa Pak Harto sudah tau
atau sudah diberitahu oleh Kol. Latief salah satu penggerak G30S hanya beberapa
jam sebelum G30S berlangsung namun membiarkan peristiwa itu terus berlanjut.
Sepintas teori tersebut sangat logis, namun apa yang terjadi sesungguhnya tidak
sederhana teori itu proses pegantian berjalan sangat yang alot bahkan
melelahkan. Sebabnya karena Pak Harto disaat itu belum siap atau bahkan tidak
bersedia untuk pergantian kekuasaan. Pak Harto sebenarnya sangat loyal kepada
Bung Karno. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Pak Harto telah memiliki
firasat bahwa PKI berada dibalik Gerakan 30 September sejak awal ketika ia
diberitahu oleh Mashuri. Tetangganya di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965. Hari
itu juga pada jam 06.30 pagi Pak Harto telah berada di Markas Kostrad dan
sesuai dengan konvensi yang berlaku ia mengambil keputusan untuk mengambil alih
kepemimpinan Angkatan Darat. Meskipun tidak menolak dengan tegas, Pak Harto
juga mengabaikan pengangkatan karakter Pimpinan Angkatan Darat, Jenderal
Pranoto Reksosamodra yang diangkat oleh Bung Karno setelah mengetahui bahwa
jenderal Ahmad Yani telah tiada sikap seperti ini dikalangan Angkatan Darat
bukan hal luar biasa ketika dirasakan Negara dalam krisis sebagaimana juga
pernah dilihatkan oleh Jenderal Soedriman terhadap Bung karno diawal revolusi.
Jenderal Soeharto juga tidak dapat memenuhi panggilan Bung karno untuk datang
ke Halim oleh karena Halim adalah wilayah yang telah dijadikan markasnya
G30S.
Sementara itu begitu peristiwa G30S meletus desakan
rakyat agar Pak Harto segera mengambil alih kekuasaan semakin lama semakin
besar, namun proses itu baru terjadi pada tahun 1967 dua tahun setelah
peristiwa G30S dikalangan aktivis mahasiswa sikapnya sering dinilai sangat
lamban. Pada tanggal 2 Oktober telah keluar pernyataan organisasi/ partai
politik untuk menuntut pembubaran organisasi-organisai yang mendukung G30S dan
pada tanggal 4 Oktober sebuah rapat umum telah berlangsung di Taman Suropati
menuntut pembubaran PKI. Peristiwa-peristiwa itulah yang menjadi awal
berdirinya Komando Aksi Pengganyangan G30S/PKI yang kemudian dikenal sebagai
KAP Gestapu atau Front Pancasila, KAP Gestapu/Front Pancasila ini dipimpin oleh
Subchan ZE, seorang Ketua PB. NU dengan Sekjen Harry Tjan Silalahi dari PMKRI
(Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) yang kemudian menjadi Sekjen
Partai katolik. Setelah itu lahirlah berbagai Kesatuan Aksi, termasuk KAMI
(Kesatuan Mahasiswa Indonesia) yang kesemuanya kemudian melahirkan suatu
gelombnag yang dasyat gelombang tuntutan terhadap pembubaran PKI. Nampaknya ada
stigma ideology yang masih menyelimuti Pak Harto disebabkan adanya konflik
ideologi yang sangat tajam menjelang G30S karena itu nama KAP Gestapu kemudian
juga dilengkapi dengan “Front Pancasila”. Front ideologi yang berlawanan dengan
Komunisme yang tidak Pancasilais.
G30S adalah rekayasa Soekarno teori ini mengatakan bahwa
Gerakan 30 September merupakan rekayasa Bung Karno untuk menyingkirkan pimpinan
TNI/Angkatan Darat (Ahmad Yani dkk) dengan menggunakan Letkol. Untung Komandan
Batalion I Resimen Cakrabirawa pasukan pengawal pribadi presiden digambarkan
apa yang dilakukan oleh Letkol Untung adalah perintah Bung Karno. Teori ini
dilandasi oleh asumsi bahwa TNI/Angkatan Darat belum sepenuhnya mendukung
kebijakan Bung Karno baik dalam konfrontasi dengan Malaysia maupun dengan
berbagai isu politik yang dilontarkan Bung Karno misalnya dengan nasakomisasi
di segala bidang pembentukan Angkatan Kelima dan lain sebagainya. Tujuannya
untuk menyingkirkan TNI/Angkatan Darat suatu hal yang sebenarnya sangat naïf
sebab Bung Karno mengetahui Jenderal Ahmad Yani sering “membandel” dengan
gagasan yang dilontarkan Bung Karno, Jenderal Ahmad Yani adalah sangat loyal
kepadanya Bung Karno bahkan membiarkan Ahamad Yani bersikap seperti itu dalam
rangka menjaga keseimbangan politik yang diperankannya. Dalam teori ini
dikesankan Bung karno telah mengetahui terlebih dahulu rencana G30S
namun bukan maksud Bung Karno untuk membunuh Jenderal, terbunuhnya
Jenderal sebenarnya diluar analisis teori itu.
G30S
adalah Konspirasi DN Aidit/Soekarno dan Mao Ze Dong dalam analisis atau teori
ini digambarkan bahwa telah terjadi kesepakatan antara Bung karno, DN Aidit dan
Mao Ze Dong tentang masa depan Indonesia terkait dengan sakitnya Bung karno.
Kepada DN Aidit dan Mao Ze Dong menganjurkan untuk mendahului perebutan
kekuasaan dengan atau tanpa Bung Karno. Gerakan 30 September merupakan awal
pelaksanaan analisis/teori itu yang kemudian diikuti dengan pembentukan Kabinet
Gotong Royong dimana DN Aidit menjadi Perdana Menteri dan Omar Dhani menjadi
presiden sedangkan Bung karno direncanakan untuk beristirahat di sebuah danau :
”Swan Lake” di China menyembuhkan penyakitnya. Pelaksanaan analanisis teori itu
dikatakan dengan 3 alternatif :
Seluruh analisis/teori mengikut sertakan Bung Karno dari
awal sampai akhir. Hal ini akan terjadi kalau Bung karno menyetujui “komitmennya:
yaitu Operasi G30S berjalan sesuai dengan rencana Bung Karno mendukung G30S dan
Bung Karno bersedia melakukan pembentukan Kabinet Gotong Royong
Sebagian analisis/teori bersama Bung karno dan sisanya
tanpa Bung Karno
Tanpa Bung Karno sejak awal.
G30S adalah Provokasi Asing bahwa ditengah puncak perang
dingin antar Blok Barat (Inggris dkk) dan blok Timur (Komunisme Internasional)
diwaktu adalah sangat wajar apabila Negara-negara adikuasa berkepentingan
terhadap masa depan Indonesia dalam pertarungan untuk memenangkan sebuah
strategi merebut Indonesia sudah tentu banyak interaksi berbagai kepentingan.
Peran intelijen asing itu sudah tentu berusaha untuk mempengaruhi sikap
Indonesia ditengah pergolakan Internasional diwaktu itu. PKI dibalik G30S tragedi
1965 selama ini dipercayai sebagai sebuah kudeta PKI bahwa PKI berambisi
mencapai puncak kekuasaan, sebenarnya adalah wajar dan bahkan hak PKI. Kalangan
luas masyarakat kita juga sudah menyadari kemungkinan itu masalahnya apakah
ambisi itu akan dicapai dengan jalan damai atau melalui sebuah jalan kekerasan
sebagaimana peristiwa 1948. Persiapan kearah jalan kekuasaan sebenarnya dengan
sangat rapi memang dipersiapkan oleh PKI sejak tahun 1954 ketika
diselenggarakan pemilu yang pertama PKI telah memperkenalkan sebuah strategi
yang jitu. Tanda gambar : “Palu Arit” diperkenalkan sebagai gambar PKI dan
orang-orang tidak berpartai, dengan tujuan untuk merangkul orang-orang yang
belum tergabung dalam salah satu partai politik yang ada.
Hasilnya sangat
mengejutkan PKI keluar sebagai pemenang keempat pemilu, jauh melampaui PSI
(Partai Sosialis Indonesia) yang diwaktu itu diprediksikan akan memperoleh
suara yang bermakna.
~ Meisa Clarita Arifiani
0 komentar:
Posting Komentar