Svetlana Dayani, putri sulung anggota CC PKI Njoto, berpose bersama anggota Gerwani yang menjadi tahanan politik. [dok. Svetlana]
Masih banyak yang sinis ketika mereka tahu saya putri Njoto."
Perburuan terhadap orang-orang PKI menjadi lazim pada hari-hari setelah G30S alias Gestok, gerakan 1 Oktober 1965. Pengejaran juga menyasar pada keluarga mereka. Tak jarang, anak-anak mereka ikut menyaksikan semua kepiluan itu. Terekam tak pernah mati sebagai trauma yang berkepanjangan.
MALAM belum begitu larut di Gunung Sahari, Jakarta Pusat pada bulan Oktober 1966, ketika Kapten Suroso dan anak buahnya sudah bersiap dengan senapan terkokang di luar sebuah rumah. Mereka mendapat perintah atasan untuk merazia satu rumah indekos di sana.
Sang kapten memimpin anak buahnya masuk ke dalam griya itu. Mereka menyeruak, menangkapi orang-orang yang ada di dalamnya.
Menurut atasan, orang-orang itu adalah mahasiswa komunis, anggota Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi massa milik PKI.
Bagi Suroso, orang-orang yang diseret anak buahnya keluar indekos tersebut turut bersalah dalam malam biadab itu, yakni ketika 5 jenderal dan 2 perwira matranya ditemukan telah menjadi mayat di Lubang Buaya, persis pada bulan sama, tapi setahun silam.
Namun, Suroso mendapati ada yang berbeda dari penggerebekan kali ini. Sebab, selain para ”mahasiswa merah”, sang kapten mendapati perempuan separoh baya dan ketujuh anaknya yang masih kecil-kecil. Ia menaruh curiga kepada satu keluarga tanpa ayah tersebut.
”Dia kakak ipar saya, Mariana namanya kapten,” tutur seorang mahasiswa yang ditangkap kepada Kapten Suroso, menjelaskan sosok perempuan tersebut.
Suroso bukan anak kemarin sore dalam perburuan komunis, ia tak percaya pengakuan pemuda itu.
”Kalian anak siapa? Siapa nama ayah kalian?” tanya Suroso kepada anak-anak yang berkerumun di sekitar perempuan itu.
”Ayah kami Ridwan,” kata anak yang tertua di antara mereka.
Kapten Suroso lantas memberi aba-aba perintah balik badan kepada anak buahnya yang tengah memukuli mahasiswa-mahasiswa. Sejumlah pemuda hasil tangkapannya menangis saat diseret keluar. Mereka mundur.
Sejumlah serdadu diperintahkannya untuk tetap tinggal, menjaga perempuan yang disebut Mariana dan ketujuh anaknya. Mereka tak diperbolehkan keluar, apalagi meninggalkan rumah itu.
Keesokan hari, Kapten Suroso kembali mendatangi rumah indekos yang hanya tinggal menyisakan 1 orang dewasa dan 7 anak-anak di dalamnya.
Ia mengumpulkan 8 orang itu di sebuah ruangan yang sudah diporak-porandakan serdadu semalam. Suroso melihat keping-keping huruf permainan scrabble masih berserakan di lantai ruangan.
Di depan perempuan dan anak-anak itu, Kapten Suroso mengambil 5 keping huruf yang terserak di lantai dan menyusun sebuah kata di papan scrabble hadapan mereka: N-J-O-T-O.
Setelahnya, Kapten Suroso dalam-dalam menatap perempuan yang tadinya mengaku nama Mariana itu.
”Ibu dan anak-anak mau kami bawa. Tidak apa-apa, nggak lama kok bu. Cuma sebentar, mau dimintakan keterangan.”
Sejak hari itu, RA Soetarni Soemosoetargijo bersama ketujuh anaknya hidup dalam penjara. Hari-hari selanjutnya, mereka dihadapkan pada kenyataan, betapa perihnya hidup sebagai keluarga Njoto, Menteri Negara RI dan salah satu anggota CC PKI.
Ikut Ditahan
”Kapten Suroso membuat nama ayah saya di papan scrabble. Dia seperti memberi isyarat ’saya tahu siapa kalian’. Malam belum begitu larut saat kami dibawa. Saya masih berusia 9 tahun waktu itu,” kenang Svetlana Dayani, Jumat, 21 September 2018.
Svetlana Dayani adalah putri sulung Njoto. Dia, bersama 7 adiknya ikut bersama sang ibu hidup dalam penjara Orde Baru. Sementara sang ayah tak tahu di mana rimbanya.
Saat penangkapan, Svetlana maupun ibunyanya belum tahu akan dibawa ke mana. Kepastian mengenai nasib keluarga itu baru ditahui setelah mobil tentara yang membawa mereka berdelapan memasuki area markas komando distrik militer di Jalan Setiabudi.
Soetarni dan ketujuh anaknya kemudian digiring ke dalam, ditempatkan pada satu kamar sempit yang sebenarnya sudah diisi sembilan perempuan yang dituding kader serta simpatisan PKI.
”Kamarnya sangat kecil, bahkan sebenarnya tidak muat untuk kami berdelapan. Padahal, adik bungsu saya yang masih berusia tiga bulan, dia masih harus menyusu,” tuturnya.
Depan kamar mereka, terdapat ruangan lain. Dari ruangan depan selnya itu, Svetlana kecil kerap mendengar suara jeritan dan tangisan perempuan. Kelak, ia mengetahui, ruangan itu adalah sel interogasi.
Tiga bulan penuh Svetlana menemani sang ibunda di sel tersebut. Selama itu pula ia menyaksikan banyak penyiksaan tahanan.
Perempuan yang ditahan ditelanjangi, dipecut, disundut rokok, di ruangan interogasi itu. Puas disiksa, tak jarang perempuan tahanan yang keluar dari ruang interogasi itu berdarah-darah dan diseret karena tak sadarkan diri.
Kalaupun ada yang lebih beruntung, yakni masih sadar, jalannya pun harus dipapah oleh tentara. Kesemua itu adalah pemandangan biasa yang dilihat Svetlana kecil dan adik-adiknya.
”Teriakan dan jeritan itu sudah biasa kami dengar. Adik-adik juga dengar. Tapi saya sendiri, lihat dengan mata kepala perempuan dicambuk memakai buntut ikan pari. Saya tahu, karena saya yang ditugaskan membersihkan ruangan itu setiap pagi. Itu yang membuat saya trauma,” tuturnya.
Irina Dayasih, adik Svetlana, pada masa tuanya juga mengakui, dalam sel itulah ia kali pertama melihat orang ditembak mati. Kala itu ia masih berusia 4 tahun.
Beruntung, Svetlana, adik-adiknya dan sang ibunda hanya tiga bulan di markas militer tersebut. Mereka, pada tahun yang sama, dijemput oleh keluarga yang berasal dari Solo.
Ibu mereka sendiri nantinya kembali ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan. Soetarni baru bebas tahun 1979. Ia wafat di Jakarta, 5 September 2014.
Pertemuan Terakhir
Lelaki ceking berkaca mata bulat yang kerap menyisir rambut ke samping kanan itu dikenal sebagai orang yang cerdas. Tak hanya menjadi salah satu pemimpin PKI, ia juga dikenal aktif dalam Harian Ra’jat—surat kabar dengan oplah terbesar pada era 1960-an dan berafiliasi ke PKI.
Mulai dari artikel politik, filsafat, seni, hingga sepak bola ditulis Njoto secara bernas. Kesukaannya pada seni juga yang membuat Njoto menginisiasi pendirian Lembaga Kebududayaan Rakyat (Lekra). Lelaki yang dikenal jenius itu membuat Presiden pertama RI kepincut, dan menjadikannya sebagai Menteri Negara RI.
“Tapi bagi saya dan adik-adik, Njoto yang kami kenal adalah Njoto yang penyabar dan penyayang,” tutur Svetlana.
Sepotong kisah yang betul-betul masih diingatnya adalah Njoto yang hidup sederhana meski berstatus pejabat negara dan dikenal akrab dengan presiden.
Sebagai Menteri Negara RI, Njoto mendapat fasilitas mobil dinas. Sayangnya, Njoto tak pandai menyetir, sehingga sering menggunakan sopir saat bepergian.
Namun, Njoto sendiri jarang menumpangi mobil dinas itu. Ia lebih memilih menumpangi becak. Begitu pula biasanya kalau Njoto menjemput Svetlana kecil saat bersekolah di TK Melati.
“Saya juga kalau pergi ke sekolah ya naik becak. Kadang diantar bapak. Pulang juga kadang dijemput bapak, pakai becak.”
Selain itu, Njoto di mata Svetlana adalah sosok ayah yang peduli terhadap keluarganya. Saat tidak bertugas atau libur, Njoto sering mengajak ia dan adik-adiknya melakukan beragam aktivitas: bermain musik, membaca buku bersama, atau mengajarkan menulis.
Sang ayah juga jarang atau bahkan tak pernah memarahi Svetlana, walaupun Njoto dalam banyak kesempatan tampak tengah sibuk dengan pekerjaannya.
“Pernah, sewaktu bapak mengetik di mesin tik, saya recoki. Dia tak marah. Bahkan ia mengajak saya duduk di pangkuan dan mengajarkan mengetik,” kenangnya.
Svetlana mengingat, Njoto gemar bermain musik dan menikmati seni. Karena itulah, Njoto bersama DN Aidit ikut mendirikan Lekra di Jakarta, dua tahun setelah peristiwa Madiun 1949.
Njoto sering mengajak Svetlana ke kantor pusat Lekra, Jalan Cidurian 19, Cikini, Jakarta Pusat.
“Namanya juga masih kecil, saya ke sana main-main saja. Saya tahu kegiatan seni, kadang bernyanyi, kadang melukis, membuat patung- patung di sana.”
Dalam kesaksian Svetlana kecil, tak ada tanda-tanda sang ayah atau anak buah Njoto yang berlatih perang untuk melakukan kudeta terhadap Bung Karno.
Saat peristiwa pembunuhan jenderal TNI itu terjadi, Svetlana yakin hakulyakin Njoto tak berada di Jakarta, apalagi di Lubang Buaya. Ayahnya saat itu tengah berada di Medan, Sumatera Utara.
“Malam tanggal 30 September 1965 bapak ada di Sumatera. Saya sendiri menginap di rumah tante, saudara ibu, di Mampang. Anaknya ulang tahun pada 1 Oktober, jadi malam sebelumnya saya menginap di sana,” jelasnya.
Tanggal 2 Oktober 1965, Njoto baru pulang ke rumah. Ketika itu, Njoto mengajak Svetlana dan semua anggota keluarga untuk pergi, berpindah rumah.
Mereka dua kali berpindah rumah sebelum terakhir disembunyikan Njoto di rumah indekos tempat anggota CGMI, Gunung Sahari.
“Saya kali terakhir melihat ayah datang pada suatu malam, saat kami sudah berada di Gunung Sahari. Itu juga hanya sebentar. Setelahnya, saya tak lagi tahu ayah di mana. Sampai sekarang, saya tak tahu di mana dia dibunuh dan dikubur,” tuturnya.
Terus Diawasi
Peristiwa Gestok sudah 51 tahun silam berlalu, namun stigmatisasi terhadap keturunan kader-kader maupun petinggi PKI tetap langgeng. Svetlana benar-benar masih merasakan stigma sebagai anak gembong PKI.
Sekali peristiwa, Svetlana pernah digeruduk segerombolan orang yang mengatasnamakan Forum Anti Komunis Indonesia. Saat itu, Svetlana sedang berdiskusi dengan para penyintas tragedi 1965.
Setelahnya, ia sempat merasa tak aman. Oleh sejumlah kawannya, Svetlana diminta mencari tempat perlindungan yang aman. Akhirnya, ia harus pergi sementara dari rumahnya di Yogyakarta bersama anak bungsu, Bimo.
“Puluhan tahun lalu, saya dibawa oleh ibu tanpa membawa apa-apa. Ternyata anak saya juga merasakan hal yang sama. Saat saya diminta berlindung, saya membawa Bimo tanpa persiapan. Pergi cuma membawa pakaian yang ada di badan, dan peralatan sekolah Bimo,” tuturnya.
Svetlana merasa seolah-olah dalam darah dan dagingnya ada penyakit yang membuatnya harus diasingkan di negeri sendiri.
“Masih banyak yang sinis ketika mereka tahu saya putri Njoto. Terkadang, saya merasa mereka melihat saya ini seperti punya penyakit mematikan dan layak disingkirkan.”
Svetlana mengakui, peristiwa G30S membuat dirinya kehilangan segalanya. Ia tak dapat mengenyam pendidikan setinggi yang dimauinya. Tak pula ia mendapat pekerjaan. Bahkan untuk hidup sederhana pun tetap diawasi.
Tapi, ia menuturkan tak pernah menyesal menjadi putri Njoto. Tak juga ia menyesali hidupnya yang dirundung penderitaan karena berstatus anak gembong PKI.
Satu-satunya yang disesali Svetlana adalah, tentara membakar habis koleksi buku-bukunya dan Njoto dalam perpustakaan pribadi. Pembakaran itu terjadi saat tentara menggerebek rumahnya dulu.
“Sejak kecil saya diajari bapak untuk gemar membaca. Tiba-tiba saya kehilangan semua itu. Kehilangan semua buku adalah siksaan terberat bagi saya.”
Kontributor : Abdus Somad
Sumber: Suara.Com
0 komentar:
Posting Komentar