Oleh: Petrik Matanasi - 1 Oktober 2018
- Seri Huru-Hara 1965
Ilustrasi huru-hara 1 Oktober 1965. tirto.id/Lugas
Gerakan Letkol. Untung dan kawan-kawan berhasil dipadamkan dengan sangat mudah. Padahal, ia mencatut nama orang-orang besar sebagai pendukungnya.
Jumat, 1 Oktober 1965, tepat hari ini 53 tahun silam, seharusnya Hartono merayakan ulang tahunnya yang ke-38. Dan barangkali kado atau kejutan membahagiakan datang pula padanya di hari itu. Tapi yang datang justru kabar mengerikan. Pagi-pagi, muncul berita tentang penculikan para jenderal Staf Umum Angkatan Darat. Bahkan Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani juga diculik.
Sebelum azan salat Jumat berkumandang, sekitar pukul 11.00, Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan sebuah pengumuman penting tentang ditindaknya sekelompok orang yang disebut Dewan Jenderal. Siaran radio itu juga mengumumkan terbentuknya Dewan Revolusi untuk menangkal tindakan Dewan Jenderal dan menyelamatkan Presiden Sukarno. Tentara dan penguasa Orde Baru kemudian menamakan aksi penculikan tersebut sebagai Gerakan 30 September (G30S atau Gestapu).
Satu jam setelah pengumuman itu, sekitar pukul 12.00, muncul bantahan soal keanggotaan Dewan Revolusi. Menurut Dasman Djamaluddin dalam Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (1998: 63-64) yang dikutip Kuncoro Hadi dan kawan-kawan di buku Kronik ’65 (2018: 258-259), Kepala Staf Kodam Brawijaya Brigadir Jenderal Soenarijadi mengumumkan lewat RRI Surabaya bahwa jajarannya tak mengakui Dewan Revolusi.
Pada pukul 13.00 siang, seperti dikutip Kuncoro Hadi dan kawan-kawan dari Mengungkap Pengkhianatan Pemberontakan G30S PKI (1986: 140) karya Djanwar, di Semarang, Kolonel Sahirman, asisten intelijen Kodam Diponegoro, malah menandatangani dukungan terhadap Gerakan 30 September di Jakarta. Dia bahkan memaklumatkan diri sebagai Ketua Dewan Revolusi Jawa Tengah.
Di Jakarta, pukul 13.00 siang itu juga, seperti dicatat Kronik’ 65 (hlm. 260-261), Sukarno memimpin rapat mendadak. Dalam rapat itu, hadir Dr. J. Leimena, Laksamana Madya (Laut) Eddy Martadinata, Laksamana Madya (Udara) Omar Dani, Inspektur Jenderal Soetjipto Joedokoesoemo, Brigadir Jenderal Soetardio, Brigadir Jenderal Saboer, dan Brigadir Jenderal Soepardjo.
Agenda rapat adalah menunjuk pejabat Menpangad setelah terbunuhnya Yani. Nama-nama yang menjadi kandidat antara lain: Mayor Jenderal Moersjid, Mayor Jenderal Pranoto Reksosamoedro, Mayor jenderal Basoeki Rachmat, Mayor Jenderal Soeharto, dan Mayor Jenderal Rukman.
Sukarno tentu punya penilaian tersendiri kepada para kandidat. Dia melihat Basoeki Rachmat orang yang tidak baik kesehatannya. Moersjid, yang rencananya akan menggantikan Yani pada 6 Oktober 1965, mulai tersingkir dari daftar setelah kondisi kacau akibat G30S. Moersjid dinilai pemarah dan tukang gelut. Sementara Soeharto, orang terkuat karena memimpin banyak pasukan dalam Kostrad, sejak lama dianggap sebagai tentara yang koppig (keras kepala) oleh presiden.
Sukarno butuh orang yang tenang, lagi kuat. Akhirnya diputuskan bahwa dirinya lah yang memegang langsung Angkatan Darat. Untuk tugas sehari-hari, Mayor Jenderal Pranoto Reksosamoedro dijadikan caretaker Menpangad.
Pukul 14.00 Siang, RRI mengeluarkan siaran. Kali ini RRI mengumumkan susunan Dewan Revolusi. Dalam susunan itu, Hartono yang sedang berulang tahun disebut namanya sebagai salah satu anggota Dewan Revolusi.
Hartono memang bukan orang sembarangan. Sehari-harinya, Hartono adalah pejabat nomor satu di Korps Komando TNI-AL (Marinir) dengan pangkat mayor jenderal. Kejutan dari pengumuman itu adalah nama Hartono ada di urutan 18 dari anggota Dewan Revolusi. Namanya ada di atas Brigadir Jenderal Polisi Sutarto, orang penting di Badan Pusat Intelijen (BPI). Juga di bawah nama Sumarno, S.H.
Selain mereka bertiga, ada Menteri Panglima Angkatan Laut (Menpangal) Laksamana Madya Martadinata; Kepala Polisi Inspektur Jenderal Sutjipto Judodihardjo; Panglima Kodam Brawijaya Mayor Jenderal Basoeki Rachmat; Panglima Kodam Jakarta Raya Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah; Wakil Perdana Menteri Dr. Subandrio; dan Dr. Leimena.
Seluruhnya ada 45 nama yang tercantum, termasuk ayah dari Menteri Pertahanan Ryamizard Ryachudu, yakni Brigadir Jenderal Musanif Ryachudu. Tak hanya orang militer atau orang komunis, beberapa pemuka agama Islam juga ada di sana. Beberapa tokoh perempuan dicantumkan pula. Di antaranya Nyonya Utami Surjadarma, istri Laksamana Surjadarma.
Dari 45 nama itu, tak disebut Mayor Jenderal Soeharto. Padahal ia adalah Panglima Kostrad, posisi yang sangat penting di Angkatan Darat. Tapi ada yang lebih aneh lagi. Orang yang berada di urutan pertama Dewan Revolusi sekaligus menjadi ketuanya adalah sosok yang sama sekali tidak dikenal: Letnan Kolonel Untung.
Banyak dari mereka yang tercantum dalam Dewan Revolusi bingung dengan pengumuman tersebut. Untung tak pernah melakukan konfirmasi kepada mereka. Ia terkesan asal tunjuk saja. Tak heran, banyak tokoh yang dimasukkan namanya dalam Dewan Revolusi kemudian membantahnya.
Gerakan Letkol. Untung dan kawan-kawan berhasil dipadamkan dengan sangat mudah. Padahal, ia mencatut nama orang-orang besar sebagai pendukungnya.
Jumat, 1 Oktober 1965, tepat hari ini 53 tahun silam, seharusnya Hartono merayakan ulang tahunnya yang ke-38. Dan barangkali kado atau kejutan membahagiakan datang pula padanya di hari itu. Tapi yang datang justru kabar mengerikan. Pagi-pagi, muncul berita tentang penculikan para jenderal Staf Umum Angkatan Darat. Bahkan Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani juga diculik.
Sebelum azan salat Jumat berkumandang, sekitar pukul 11.00, Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan sebuah pengumuman penting tentang ditindaknya sekelompok orang yang disebut Dewan Jenderal. Siaran radio itu juga mengumumkan terbentuknya Dewan Revolusi untuk menangkal tindakan Dewan Jenderal dan menyelamatkan Presiden Sukarno. Tentara dan penguasa Orde Baru kemudian menamakan aksi penculikan tersebut sebagai Gerakan 30 September (G30S atau Gestapu).
Satu jam setelah pengumuman itu, sekitar pukul 12.00, muncul bantahan soal keanggotaan Dewan Revolusi. Menurut Dasman Djamaluddin dalam Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (1998: 63-64) yang dikutip Kuncoro Hadi dan kawan-kawan di buku Kronik ’65 (2018: 258-259), Kepala Staf Kodam Brawijaya Brigadir Jenderal Soenarijadi mengumumkan lewat RRI Surabaya bahwa jajarannya tak mengakui Dewan Revolusi.
Pada pukul 13.00 siang, seperti dikutip Kuncoro Hadi dan kawan-kawan dari Mengungkap Pengkhianatan Pemberontakan G30S PKI (1986: 140) karya Djanwar, di Semarang, Kolonel Sahirman, asisten intelijen Kodam Diponegoro, malah menandatangani dukungan terhadap Gerakan 30 September di Jakarta. Dia bahkan memaklumatkan diri sebagai Ketua Dewan Revolusi Jawa Tengah.
Di Jakarta, pukul 13.00 siang itu juga, seperti dicatat Kronik’ 65 (hlm. 260-261), Sukarno memimpin rapat mendadak. Dalam rapat itu, hadir Dr. J. Leimena, Laksamana Madya (Laut) Eddy Martadinata, Laksamana Madya (Udara) Omar Dani, Inspektur Jenderal Soetjipto Joedokoesoemo, Brigadir Jenderal Soetardio, Brigadir Jenderal Saboer, dan Brigadir Jenderal Soepardjo.
Agenda rapat adalah menunjuk pejabat Menpangad setelah terbunuhnya Yani. Nama-nama yang menjadi kandidat antara lain: Mayor Jenderal Moersjid, Mayor Jenderal Pranoto Reksosamoedro, Mayor jenderal Basoeki Rachmat, Mayor Jenderal Soeharto, dan Mayor Jenderal Rukman.
Sukarno tentu punya penilaian tersendiri kepada para kandidat. Dia melihat Basoeki Rachmat orang yang tidak baik kesehatannya. Moersjid, yang rencananya akan menggantikan Yani pada 6 Oktober 1965, mulai tersingkir dari daftar setelah kondisi kacau akibat G30S. Moersjid dinilai pemarah dan tukang gelut. Sementara Soeharto, orang terkuat karena memimpin banyak pasukan dalam Kostrad, sejak lama dianggap sebagai tentara yang koppig (keras kepala) oleh presiden.
Sebelum azan salat Jumat berkumandang, sekitar pukul 11.00, Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan sebuah pengumuman penting tentang ditindaknya sekelompok orang yang disebut Dewan Jenderal. Siaran radio itu juga mengumumkan terbentuknya Dewan Revolusi untuk menangkal tindakan Dewan Jenderal dan menyelamatkan Presiden Sukarno. Tentara dan penguasa Orde Baru kemudian menamakan aksi penculikan tersebut sebagai Gerakan 30 September (G30S atau Gestapu).
Satu jam setelah pengumuman itu, sekitar pukul 12.00, muncul bantahan soal keanggotaan Dewan Revolusi. Menurut Dasman Djamaluddin dalam Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (1998: 63-64) yang dikutip Kuncoro Hadi dan kawan-kawan di buku Kronik ’65 (2018: 258-259), Kepala Staf Kodam Brawijaya Brigadir Jenderal Soenarijadi mengumumkan lewat RRI Surabaya bahwa jajarannya tak mengakui Dewan Revolusi.
Pada pukul 13.00 siang, seperti dikutip Kuncoro Hadi dan kawan-kawan dari Mengungkap Pengkhianatan Pemberontakan G30S PKI (1986: 140) karya Djanwar, di Semarang, Kolonel Sahirman, asisten intelijen Kodam Diponegoro, malah menandatangani dukungan terhadap Gerakan 30 September di Jakarta. Dia bahkan memaklumatkan diri sebagai Ketua Dewan Revolusi Jawa Tengah.
Di Jakarta, pukul 13.00 siang itu juga, seperti dicatat Kronik’ 65 (hlm. 260-261), Sukarno memimpin rapat mendadak. Dalam rapat itu, hadir Dr. J. Leimena, Laksamana Madya (Laut) Eddy Martadinata, Laksamana Madya (Udara) Omar Dani, Inspektur Jenderal Soetjipto Joedokoesoemo, Brigadir Jenderal Soetardio, Brigadir Jenderal Saboer, dan Brigadir Jenderal Soepardjo.
Agenda rapat adalah menunjuk pejabat Menpangad setelah terbunuhnya Yani. Nama-nama yang menjadi kandidat antara lain: Mayor Jenderal Moersjid, Mayor Jenderal Pranoto Reksosamoedro, Mayor jenderal Basoeki Rachmat, Mayor Jenderal Soeharto, dan Mayor Jenderal Rukman.
Sukarno tentu punya penilaian tersendiri kepada para kandidat. Dia melihat Basoeki Rachmat orang yang tidak baik kesehatannya. Moersjid, yang rencananya akan menggantikan Yani pada 6 Oktober 1965, mulai tersingkir dari daftar setelah kondisi kacau akibat G30S. Moersjid dinilai pemarah dan tukang gelut. Sementara Soeharto, orang terkuat karena memimpin banyak pasukan dalam Kostrad, sejak lama dianggap sebagai tentara yang koppig (keras kepala) oleh presiden.
Sukarno butuh orang yang tenang, lagi kuat. Akhirnya diputuskan bahwa dirinya lah yang memegang langsung Angkatan Darat. Untuk tugas sehari-hari, Mayor Jenderal Pranoto Reksosamoedro dijadikan caretaker Menpangad.
Pukul 14.00 Siang, RRI mengeluarkan siaran. Kali ini RRI mengumumkan susunan Dewan Revolusi. Dalam susunan itu, Hartono yang sedang berulang tahun disebut namanya sebagai salah satu anggota Dewan Revolusi.
Hartono memang bukan orang sembarangan. Sehari-harinya, Hartono adalah pejabat nomor satu di Korps Komando TNI-AL (Marinir) dengan pangkat mayor jenderal. Kejutan dari pengumuman itu adalah nama Hartono ada di urutan 18 dari anggota Dewan Revolusi. Namanya ada di atas Brigadir Jenderal Polisi Sutarto, orang penting di Badan Pusat Intelijen (BPI). Juga di bawah nama Sumarno, S.H.
Selain mereka bertiga, ada Menteri Panglima Angkatan Laut (Menpangal) Laksamana Madya Martadinata; Kepala Polisi Inspektur Jenderal Sutjipto Judodihardjo; Panglima Kodam Brawijaya Mayor Jenderal Basoeki Rachmat; Panglima Kodam Jakarta Raya Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah; Wakil Perdana Menteri Dr. Subandrio; dan Dr. Leimena.
Seluruhnya ada 45 nama yang tercantum, termasuk ayah dari Menteri Pertahanan Ryamizard Ryachudu, yakni Brigadir Jenderal Musanif Ryachudu. Tak hanya orang militer atau orang komunis, beberapa pemuka agama Islam juga ada di sana. Beberapa tokoh perempuan dicantumkan pula. Di antaranya Nyonya Utami Surjadarma, istri Laksamana Surjadarma.
Dari 45 nama itu, tak disebut Mayor Jenderal Soeharto. Padahal ia adalah Panglima Kostrad, posisi yang sangat penting di Angkatan Darat. Tapi ada yang lebih aneh lagi. Orang yang berada di urutan pertama Dewan Revolusi sekaligus menjadi ketuanya adalah sosok yang sama sekali tidak dikenal: Letnan Kolonel Untung.
Pukul 14.00 Siang, RRI mengeluarkan siaran. Kali ini RRI mengumumkan susunan Dewan Revolusi. Dalam susunan itu, Hartono yang sedang berulang tahun disebut namanya sebagai salah satu anggota Dewan Revolusi.
Hartono memang bukan orang sembarangan. Sehari-harinya, Hartono adalah pejabat nomor satu di Korps Komando TNI-AL (Marinir) dengan pangkat mayor jenderal. Kejutan dari pengumuman itu adalah nama Hartono ada di urutan 18 dari anggota Dewan Revolusi. Namanya ada di atas Brigadir Jenderal Polisi Sutarto, orang penting di Badan Pusat Intelijen (BPI). Juga di bawah nama Sumarno, S.H.
Selain mereka bertiga, ada Menteri Panglima Angkatan Laut (Menpangal) Laksamana Madya Martadinata; Kepala Polisi Inspektur Jenderal Sutjipto Judodihardjo; Panglima Kodam Brawijaya Mayor Jenderal Basoeki Rachmat; Panglima Kodam Jakarta Raya Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah; Wakil Perdana Menteri Dr. Subandrio; dan Dr. Leimena.
Seluruhnya ada 45 nama yang tercantum, termasuk ayah dari Menteri Pertahanan Ryamizard Ryachudu, yakni Brigadir Jenderal Musanif Ryachudu. Tak hanya orang militer atau orang komunis, beberapa pemuka agama Islam juga ada di sana. Beberapa tokoh perempuan dicantumkan pula. Di antaranya Nyonya Utami Surjadarma, istri Laksamana Surjadarma.
Dari 45 nama itu, tak disebut Mayor Jenderal Soeharto. Padahal ia adalah Panglima Kostrad, posisi yang sangat penting di Angkatan Darat. Tapi ada yang lebih aneh lagi. Orang yang berada di urutan pertama Dewan Revolusi sekaligus menjadi ketuanya adalah sosok yang sama sekali tidak dikenal: Letnan Kolonel Untung.
Banyak dari mereka yang tercantum dalam Dewan Revolusi bingung dengan pengumuman tersebut. Untung tak pernah melakukan konfirmasi kepada mereka. Ia terkesan asal tunjuk saja. Tak heran, banyak tokoh yang dimasukkan namanya dalam Dewan Revolusi kemudian membantahnya.
Kontra-Aksi Mulai Bergerak
Panglima Kostrad Soeharto, yang sedari pagi sudah tahu Yani terbunuh, berusaha mengamankan pasukan Kostrad dari Jawa Tengah dan Jawa Timur (Batalyon 454 dan Batalyon 530) pada sore harinya.
Pada senja 1 Oktober itu, jam malam diberlakukan di Jakarta. Soeharto berusaha mengamankan area sekitar Lapangan Monas dan Istana Negara. Termasuk Gedung RRI di Merdeka Barat.
Biografi Letnan Jenderal Sintong Panjaitan, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009:113-114), mengisahkan bagaimana RRI direbut. Sebelumnya Soeharto bertanya kepada Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Kolonel Sarwo Edhi Wibowo: "Berapa lama RRI bisa direbut?"
Sarwo Edi dengan yakin menyebut, ia dan pasukannya hanya butuh 20 menit untuk menguasai tempat itu. Apalagi ada laporan tempat itu hanya dijaga sekitar 10 Pemuda Rakyat. Dari Sarwo Edhi, perintah turun ke Mayor C.I. Santoso. Dari Santoso, turun lagi ke Letnan Satu Feisal Tanjung.
Berhubung hanya sekitar 10 orang yang menjaga tempat itu, maka Feisal Tanjung memutuskan untuk menggerakkan satu peleton saja. Letnan Dua Sintong Panjaitan ditunjuk sebagai pemimpinnya.
Dari Markas Kostrad, Sintong dan pasukannya berjalan kaki memotong lapangan Monas. Begitu RRI sudah dekat, tiga tembakan dari AK-47 diletuskan dan para pasukan liar yang berjaga di RRI kabur. Dengan hati-hati, Sintong dan pasukannya memasuki RRI. Semua karyawan RRI diamankan terlebih dahulu.
Setelahnya, Sintong melapor bahwa RRI sudah mereka duduki. Tapi, Sarwo Edhi yang berada di Kostrad tidak mau percaya, karena siaran RRI masih mengudara demi kepentingan pengacau G30S.
“Apa? RRI sudah diduduki? Coba kamu periksa semua ruangan dulu. Itu aktivitas mereka masih ada di dalam,” kata Sarwo Edhi.
Sintong menurutinya dan kemudian melaporkan lagi hal yang sama. Tidak ada musuh lagi di dalam RRI.
“Laporanmu tidak benar. Kamu bersihkan dulu dengan bersih. Jangan buru-buru lapor. Kamu tangkap dulu semua orang yang berada di situ!” bantah Sarwo Edhi.
Sintong pun melihat tape recorder yang pitanya masih berputar. Ia berencana memakai popor senapan untuk menghentikan putarannya. Tapi seorang petugas RRI mencegahnya. Dengan memencet tombol off, maka berhentilah tape recorder itu berputar. Dan siaran G30S pun lenyap dari studio RRI.
Rupanya yang disiarkan dari RRI itu rekaman saja. Bukan siaran langsung seperti yang dikira Sarwo Edhi.
Kepala Penerangan Angkatan Darat Brigadir Jenderal Ibnu Subroto, yang mengikuti Sintong dan pasukannya, akhirnya menyiarkan pidato tertulis dari Mayor Jenderal Soeharto.
Setelah pidato selesai dan pulang ke Markas Kostrad, salah seorang seniornya bilang ke Sintong, “Ah, kampungan kamu itu. Masa kamu tadi tidak tahu kalau siaran G30S/PKI itu berasal dari tape recorder.”
“Ya tapi tadi saya mendapat perintah mencari orangnya,” balas Sintong tak mau terlihat payah.
Belakangan tak hanya RRI yang dikuasai. Gedung Telekomunikasi dan gedung lain di sekitar Merdeka Barat juga berhasil diduduki. Kawasan Merdeka Timur dan Lapangan banteng juga diamankan hari itu.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Sumber: Tirto.Id
Panglima Kostrad Soeharto, yang sedari pagi sudah tahu Yani terbunuh, berusaha mengamankan pasukan Kostrad dari Jawa Tengah dan Jawa Timur (Batalyon 454 dan Batalyon 530) pada sore harinya.
Pada senja 1 Oktober itu, jam malam diberlakukan di Jakarta. Soeharto berusaha mengamankan area sekitar Lapangan Monas dan Istana Negara. Termasuk Gedung RRI di Merdeka Barat.
Biografi Letnan Jenderal Sintong Panjaitan, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009:113-114), mengisahkan bagaimana RRI direbut. Sebelumnya Soeharto bertanya kepada Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Kolonel Sarwo Edhi Wibowo: "Berapa lama RRI bisa direbut?"
Sarwo Edi dengan yakin menyebut, ia dan pasukannya hanya butuh 20 menit untuk menguasai tempat itu. Apalagi ada laporan tempat itu hanya dijaga sekitar 10 Pemuda Rakyat. Dari Sarwo Edhi, perintah turun ke Mayor C.I. Santoso. Dari Santoso, turun lagi ke Letnan Satu Feisal Tanjung.
Berhubung hanya sekitar 10 orang yang menjaga tempat itu, maka Feisal Tanjung memutuskan untuk menggerakkan satu peleton saja. Letnan Dua Sintong Panjaitan ditunjuk sebagai pemimpinnya.
Dari Markas Kostrad, Sintong dan pasukannya berjalan kaki memotong lapangan Monas. Begitu RRI sudah dekat, tiga tembakan dari AK-47 diletuskan dan para pasukan liar yang berjaga di RRI kabur. Dengan hati-hati, Sintong dan pasukannya memasuki RRI. Semua karyawan RRI diamankan terlebih dahulu.
Setelahnya, Sintong melapor bahwa RRI sudah mereka duduki. Tapi, Sarwo Edhi yang berada di Kostrad tidak mau percaya, karena siaran RRI masih mengudara demi kepentingan pengacau G30S.
Rupanya yang disiarkan dari RRI itu rekaman saja. Bukan siaran langsung seperti yang dikira Sarwo Edhi.
Kepala Penerangan Angkatan Darat Brigadir Jenderal Ibnu Subroto, yang mengikuti Sintong dan pasukannya, akhirnya menyiarkan pidato tertulis dari Mayor Jenderal Soeharto.
Setelah pidato selesai dan pulang ke Markas Kostrad, salah seorang seniornya bilang ke Sintong, “Ah, kampungan kamu itu. Masa kamu tadi tidak tahu kalau siaran G30S/PKI itu berasal dari tape recorder.”
Pada senja 1 Oktober itu, jam malam diberlakukan di Jakarta. Soeharto berusaha mengamankan area sekitar Lapangan Monas dan Istana Negara. Termasuk Gedung RRI di Merdeka Barat.
Biografi Letnan Jenderal Sintong Panjaitan, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009:113-114), mengisahkan bagaimana RRI direbut. Sebelumnya Soeharto bertanya kepada Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Kolonel Sarwo Edhi Wibowo: "Berapa lama RRI bisa direbut?"
Sarwo Edi dengan yakin menyebut, ia dan pasukannya hanya butuh 20 menit untuk menguasai tempat itu. Apalagi ada laporan tempat itu hanya dijaga sekitar 10 Pemuda Rakyat. Dari Sarwo Edhi, perintah turun ke Mayor C.I. Santoso. Dari Santoso, turun lagi ke Letnan Satu Feisal Tanjung.
Berhubung hanya sekitar 10 orang yang menjaga tempat itu, maka Feisal Tanjung memutuskan untuk menggerakkan satu peleton saja. Letnan Dua Sintong Panjaitan ditunjuk sebagai pemimpinnya.
Dari Markas Kostrad, Sintong dan pasukannya berjalan kaki memotong lapangan Monas. Begitu RRI sudah dekat, tiga tembakan dari AK-47 diletuskan dan para pasukan liar yang berjaga di RRI kabur. Dengan hati-hati, Sintong dan pasukannya memasuki RRI. Semua karyawan RRI diamankan terlebih dahulu.
Setelahnya, Sintong melapor bahwa RRI sudah mereka duduki. Tapi, Sarwo Edhi yang berada di Kostrad tidak mau percaya, karena siaran RRI masih mengudara demi kepentingan pengacau G30S.
“Apa? RRI sudah diduduki? Coba kamu periksa semua ruangan dulu. Itu aktivitas mereka masih ada di dalam,” kata Sarwo Edhi.Sintong menurutinya dan kemudian melaporkan lagi hal yang sama. Tidak ada musuh lagi di dalam RRI.
“Laporanmu tidak benar. Kamu bersihkan dulu dengan bersih. Jangan buru-buru lapor. Kamu tangkap dulu semua orang yang berada di situ!” bantah Sarwo Edhi.Sintong pun melihat tape recorder yang pitanya masih berputar. Ia berencana memakai popor senapan untuk menghentikan putarannya. Tapi seorang petugas RRI mencegahnya. Dengan memencet tombol off, maka berhentilah tape recorder itu berputar. Dan siaran G30S pun lenyap dari studio RRI.
Rupanya yang disiarkan dari RRI itu rekaman saja. Bukan siaran langsung seperti yang dikira Sarwo Edhi.
Kepala Penerangan Angkatan Darat Brigadir Jenderal Ibnu Subroto, yang mengikuti Sintong dan pasukannya, akhirnya menyiarkan pidato tertulis dari Mayor Jenderal Soeharto.
Setelah pidato selesai dan pulang ke Markas Kostrad, salah seorang seniornya bilang ke Sintong, “Ah, kampungan kamu itu. Masa kamu tadi tidak tahu kalau siaran G30S/PKI itu berasal dari tape recorder.”
“Ya tapi tadi saya mendapat perintah mencari orangnya,” balas Sintong tak mau terlihat payah.Belakangan tak hanya RRI yang dikuasai. Gedung Telekomunikasi dan gedung lain di sekitar Merdeka Barat juga berhasil diduduki. Kawasan Merdeka Timur dan Lapangan banteng juga diamankan hari itu.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan
0 komentar:
Posting Komentar