HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Konspirasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Konspirasi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Maret 2020

Pemerintah Bahas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Kamis, 12 Maret 2020

RUU KKR sebagai payung hukum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat pada masa lalu melalui jalur nonyudisial.

Sejumlah korban kasus Talangsari Lampung 1989 saat berunjuk rasa di depan Kejagung, Jakarta. Mereka menuntut Kejagung segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi 25 tahun lalu dan menghilangkan 426 nyawa. Agus Sahbani/ANT

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, M. Mahfud MD bertemu Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen HAM Kemenkumham) Mualimin Abdi yang membahas tentang Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). RUU KKR merupakan salah satu RUU Prolegnas Prioritas 2020 yang masuk kategori RUU Kumulatif Terbuka usulan pemerintah. 
"Kami diperintahkan Pak Menko untuk mendalami informasi yang berkembang di kawan-kawan Civil Society Organization (CSO), tokoh-tokoh gitu, kan memang yang akan kita ke depankan masalah pemulihan (keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat, red)," kata Mualimin Abdi di Kantor Kemenkopolhukam Jakarta, Kamis (12/3/2020) seperti dikutip Antara.
Dia mengatakan pembahasan RUU KKR ini untuk mendalami mengenai penyempurnaan draf RUU KKR. Menurut dia, RUU KKR sebagai payung hukum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat pada masa lalu melalui jalur nonyudisial. 
"Memang tujuannya itu, penyelesaian yang sifatnya non-yudisial, pemulihan untuk korban," kata dia.
Mualimin menegaskan skema nonyudisial itu akan ditujukan kepada korban pelanggaran HAM masa lalu yang sudah terdata oleh Komnas HAM ataupun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Di sisi lain, Mualimin juga mengungkapkan saat ini draf RUU KKR belum tuntas karena masih memerlukan perbaikan.
"Kita kan masih bekerja terus ya, perbaikan-perbaikan, mana yang paling baik," ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Mualimin menuturkan Menkopolhukam Mahfud MD akan mengadakan rapat pimpinan tingkat menteri atau RPTM untuk membahas RUU KKR tersebut. "Pak Menko minggu depan mau mengadakan RPTM untuk membahas draf RUU KKR ini," ungkapnya.

Setelah RPTM, tahap selanjutnya ialah menyampaikan permohonan izin prakarsa dan kumulatif terbuka kepada presiden. Setelah disetujui, tambah dia, Presiden Jokowi akan mengeluarkan surat presiden (Surpres) RUU KKR ke DPR.

Seperti diketahui, pembentukan RUU KKR ini merupakan salah satu yang pernah direkomendasikan Komnas HAM kepada Presiden untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 47 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terkait penyelesaian pelanggaran HAM melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibentuk berdasarkan UU.

Menurut Komnas HAM, meskipun MK telah menyatakan bahwa UU No.27 Tahun 2004 tentang KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (dibatalkan), bukan berarti penyelesaian melalui KKR tidak dimungkinkan lagi. Mengingat mendesaknya penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dan ketiadaan payung hukum, Presiden dapat (sementara) mengeluarkan Perppu mengenai KKR.

Selain itu, Komnas HAM meminta Presiden tetap memastikan agar Jaksa Agung menggunakan kewenangannya untuk melakukan penyidikan terhadap hasil penyelidikan yang telah dituntaskan Komnas HAM sebelumnya.  

Dalam perkembangannya, RUU KKR sempat menimbulkan perdebatan karena sejumlah pihak, terutama korban pelanggaran HAM berat, tetap menginginkan agar penyelesaian kasus dilakukan melalui jalur yudisial atau pengadilan. Namun, ada alternatif lain yang beberapa kali dilontarkan pemerintah yaitu penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui jalur nonyudisial.

Tahun lalu, Komnas HAM mencatat dalam 5 tahun pemerintahan Jokowi (periode I) tidak ada upaya serius untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Anam mencatat narasi yang berkembang mengarahkan penyelesaian kasus itu melalui rekonsiliasi atau mekanisme lain seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Mengacu hasil survei Komnas HAM dan Litbang Kompas pada Oktober-September 2019 yang melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi di Indonesia, salah satu hasilnya menunjukan lebih dari 90 persen responden menginginkan pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme pengadilan.
“Sebanyak 62,1 persen responden menginginkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui pengadilan nasional, dan 37,2 persen melalui pengadilan internasional,” kata Anam dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM Jakarta, Rabu (4/12/2019) lalu.
Komnas HAM bisa membantu Presiden Jokowi untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat itu secara cepat, bahkan dalam kurun waktu satu tahun. Sebagai upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, Presiden Jokowi bisa menerbitkan Keppres yang intinya memberikan pemenuhan hak-hak korban tanpa menunggu putusan pengadilan.
“Atau Presiden bisa juga menerbitkan Perppu untuk memperkuat kewenangan Komnas HAM untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan memberi pemenuhan hak korban tanpa menunggu proses di pengadilan,” sarannya.
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5e6a223e4f42d/pemerintah-bahas-ruu-komisi-kebenaran-dan-rekonsiliasi

Rabu, 25 Desember 2019

Lebih Ekstrim dari Penumpasan Begal Sadis, Soeharto Berani Selundupkan 2000 Senjata ke Afganistan


Rabu, 25 Desember 2019 11:04
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta

Editor: Adrianus Adhi


Ilustrasi: Lebih Ekstrim dari Penumpasan Begal Sadis, Soeharto Berani Selundupkan 2000 Senjata ke Afganistan - Kolase Tribunnews.com/ Dennis Destryawan

SURYA.co.id - Langkah Soeharto dalam menindak begal sadis pada masa pemerintahannya memang cukup ekstrim

Namun, ada lagi kebijakan Soeharto yang tak kalah ekstrim dari itu
Soeharto pernah berani menyelundupkan 2000 pucuk senjata ke Afganistan yang dilaksanakan oleh Benny Moerdani

Melansir dari buku berjudul "Benny Moerdani Yang Belum Terungkap", berikut kisahnya

Hal ini berawal saat pasukan Uni Soviet akan menduduki Afganistan, sehingga membuat Amerika Serikat yang sedang perang dingin pun mulai gusar


Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto yang saat itu memang dekat dengan Amerika Serikat, lantas memutuskan untuk membantu
Soeharto mengutus Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan, Benny Moerdani untuk bertemu dengan kepala intelijen Pakistan
"Pertemuan itu membahas permintaan pejuang Afganistan dan intelijen Pakistan untuk penyediaan logistik, obat-obatan, dan persenjataan buat pejuang Afganistan" kata Marsekal Madya (Purn) Teddy Rusdy yang saat itu menemani Benny
Lalu, disepakatilah operasi bersama yang diberi nama Babut Mabur atau permadani terbang

Operasi ini untuk mengirimkan senjata-senjata sumbangan dari Uni Soviet yang diterima Indonesia saat Trikora, diserahkan kepada pejuang Afganistan

Tentu saja atas persetujuan Presiden Soeharto

Teddy Rusdy dalam buku biografinya yang berjudul "Think Ahead" menyebut senjata itu diangkut ke Jakarta dan dismpan di bandara Halim Perdanakusuma
"Waktu itu terkumpul 2000 pucuk senjata, cukup untuk dua batalion" kata Teddy
Pekerjaan berikutnya, Teddy diperintah Benny untuk menghapus nomor seri senjata-senjata itu

Baru pada Juli 1981, persiapan pengiriman mulai dilakukan
Semua senjata dimasukkan ke peti dan diberi tanda palang merah
Sebagai kamuflase, peralatan tempur ini dicampur dengan obat-obatan dan selimut

Teddy juga ditugasi Benny mengantar peti-peti tersebut dengan kargo udara, memakai Boeing 707 milik Pelita Air.


Pesawat ini diawaki kapten Arifin, Andullah, dan Danur
Seluruh aktivitas Teddy dipantau Benny dari Jakarta

Benny juga meminta Teddy terus berkomunikasi menggunakan scrambler atau peralatan komunikasi milik intelijen

Saat pesawat mendarat, intel Pakistan sudah siaga dengan membawa 20 truk 

Misi penyelundupan senjata pun sukses dan berhasil diterima oleh pejuang Afganistan

Kerahkan Pasukan ABRI Tumpas Begal Sadis

Diberitakan sebelumnya, Presiden Soeharto menerapkan langkah ekstrim untuk menumpas para pelaku kejahatan begal yang marak terjadi.

Tak tanggung-tanggung, Soeharto mengerahkan pasukan ABRI yang kala itu terdiri dari unsur TNI dan Polri.

Melansir dari Intisari dalam artikel 'Bahkan Ribuan Penjahat Ditangkapnya, Begini Mengerikannya Penumpasan Kejahatan di Zaman Orba, Mayat Begal Dibiarkan di Pinggir Jalan', hal ini berawal saat aparat keamanan sedang dibuat geram oleh maraknya aksi begal di tahun 1980an.

Para begal yang menamakan diri mereka sebagai gabungan anak liar (gali), cukup menganggu roda perekonomian negara kala itu.

Contohnya, kawasan terminal yang sudah dikuasai para gali membuat para penguasaha bus mengalami kerugian, karena banyaknya begal yang membajak bus dan truk di jalanan.


Terinspirasi dari prestasi Polda Metro, Soeharto lalu memerintahkan untuk menerjunkan tim khusus dari ABRI yang terdiri dari TNI dan Polri

Mereka bertugas untuk melaksanakan operasi penumpasan kejahatan terhadap para begal yang makin marak dan sadis.

Hingga tahun 1982, Polri di bawah pimpinan Kapolri Jenderal Awaloedin Djamin telah melakukan berbagai operasi penumpasan kejahatan.

Misalnya saja Operasi Sikat, Linggis, Operasi Pukat, Operasi Rajawali, Operasi Cerah, dan Operasi Parkit di seluruh wilayah Indonesia serta berhasil menangkap 1.946 begal.

Meski sudah banyak begal yang diringkus, operasi penumpasan kejahatan terus berlanjut seperti yang dilaksanakan oleh Komando Daerah Militer (Kodim) 0734 Yogyakarta di bawah pimpinan Kolonel Muhamad Hasbi.

Tahun 1983, Kolonel Hasbi menyatakan perang terhadap para begal.
Hal itu lantaran ulah mereka yang makin meresahkan masyarakat Yogyakarta .

Kolonel Hasbi pun menggelar Operasi Pemberantasan Keamanan (OPK) bekerja sama dengan intelijen TNI AD, TNI AU, TNI AL dan kepolisian.
Kodim Yogyakarta lalu melakukan pendataan terhadap para begal melalui operasi intelijen.

Kemudian para begal yang berhasil didata diwajibkan melapor serta diberi kartu khusus.

Setelah mendapat kartu, para begal tersebut dilarang bikin ulah lagi.
Tak hanya itu, mereka juga harus mau memberitahukan lokasi begal lainnya yang kerap melakukan kejahatan dan tidak mau melapor.

Para begal yang tidak melapor kemudian diburu oleh tim OPK Kodim untuk ditangkap dan bagi yang lari atau melawan akan langsung ditembak.


Mayat para begal yang ditembak dibiarkan tergeletak di mana saja dengan tujuan membuat jera (shock therapy) para gali lainnya.

Setiap ada mayat yang ditemukan di pinggir jalan, tepi hutan, bawah jembatan, dan lainnya, apalagi dengan luka tembak, kerap dinamai sebagai korban penembakan misterius (petrus)

Yang kemudian istilah 'petrus' itu menjadi sangat populer sekaligus menakutkan di zaman itu.

Rabu, 23 Oktober 2019

Kabinet Jokowi 2019, Prabowo jadi menteri pertahanan, pengamat militer: Pandangannya 'berbahaya'


Callistasia Wijaya - Wartawan BBC News Indonesia - 23 Oktober 2019

Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, resmi diumumkan sebagai Menteri Pertahanan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Rabu (23/10). ANTARA/PRASETYO UTOMO

Pandangan Prabowo Subianto mengenai anggaran pertahanan yang diungkapkannya pada masa kampanye pilpres lalu cenderung 'tidak nyambung' dan 'bahaya', menurut pengamat militer.

Muhamad Haripin, pengamat militer Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merujuk pada ucapan Prabowo Subianto saat debat Pilpres 2019 mengenai anggaran pertahanan Indonesia yang dinilainya kecil dan kekuatan pertahanan yang disebutnya lemah.

Dalam debat tanggal 30 Maret 2019 itu, Prabowo dengan berapi-api menegaskan pentingnya meningkatkan anggaran pertahanan Indonesia.
"Saya menilai pertahanan Indonesia lemah karena kita tidak punya uang."
Jokowi menjawab, "Anggaran pertahanan kita 107 triliun rupiah. Itu merupakan anggaran kedua terbesar di Indonesia."
Prabowo mendebat, "Maaf Pak Jokowi, mungkin Pak Jokowi mendapat briefing-briefing yang kurang tepat. 107 triliun itu 5% dari APBN kita, padahal anggaran pertahanan Singapura itu 30% dari anggaran mereka."
"Saya pengalaman di tentara, budaya ABS (Asal Bapak Senang). Kalau ketemu Panglima, siap Pak, aman Pak, terkendali, Pak. Tidak benar itu, Pak. Ini budaya Indonesia, asal bapak senang."
Dalam debat Pilpres 2019, Prabowo mengatakan pertahanan Indonesia lemah. DZIKI OKTOMAULIYADI/ANTARA 
"Kalau mau damai, bersiaplah untuk perang," demikian Prabowo Subianto dalam debat tersebut. Saat itu debat mengenai anggaran pertahanan negara menjadi salah satu sorotan publik.
Calon wakil presiden Prabowo saat itu, Sandiaga Uno, bahkan menyebut jika terpilih, ia dan Prabowo akan menyisihkan 1,5 persen dari PDB untuk anggaran pertahanan.
Muhamad Haripin mengatakan anggaran pertahanan yang di bawah PDB, tidak berarti kecil. Setiap tahun anggaran Kementerian Pertahanan selalu meningkat.

Tahun depan, pemerintah menganggarkan sekitar Rp 127,4 triliun untuk Kementerian Pertahanan, atau meningkat hampir sekitar Rp20 triliun dari tahun sebelumnya, menjadikan kementerian ini sebagai penerima anggaran terbanyak dibandingkan kementerian lainnya.

Menurut Haripin, masalah pertahanan di Indonesia, bukanlah masalah banyaknya anggaran, tapi alokasi anggaran.


Sekitar 70% anggaran pertahanan, kata Haripin, digunakan untuk belanja pegawai, alih-alih untuk pengembangan teknologi pertahanan dan belanja modal alutsista.
"Bercermin dari omongan Prabowo, saya sangsi Prabowo mengerti soal itu (anggaran pertahanan) atau dia pura-pura nggak ngerti?" kata Haripin.
"Kalau kita jadikan pegangan, pandangan-pandangan (Prabowo) selama kampanye 2014 dan 2019 (tentang pertahanan), itu nggak nyambung dan malah jadi bahaya," katanya.
Prabowo dipanggil oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (21/10) dan diminta membantu kabinetnya. ANTARA FOTO

Ia pun mengkhawatirkan mekanisme pengawasan penggunaan anggaran tersebut jika anggaran tersebut dinaikkan.

Haripin mengatakan keputusan Jokowi memutuskan untuk memilih Prabowo sebagai menteri pertahanan terlihat sebagai pertimbangan politik semata.
"Itu agak disayangkan, kok kelihatannya pertimbangan politik jadi panglima betul, dibandingkan keamanan nasional dan demokrasi secara umum?" ujarnya.
BBC NEWS INDONESIA

Meski begitu, Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono mengatakan Prabowo akan melihat kondisi perekonomian Indonesia sebelum memutuskan untuk menaikkan anggaran pertahanan.
"Semua bergantung pada keamanan ekonomi 2020, apakah sektor penerimaan negara mampu meningkatkan anggaran pertahanan dan keamanan. Semua belum bisa diprediksi," katanya.
Siapa yang pantas jadi menhan?

Menurut Arief, Prabowo dipilih oleh Jokowi karena kompetensinya di bidang pertahanan. Prabowo pun, ujarnya, bersedia mengabdi bagi negara.

Prabowo dan pasangannya dalam pemilihan presiden lalu, Sandiaga Uno, turut menghadiri pelantikan presiden dan wakil presiden baru. ANTARA FOTO
"(Prabowo bersedia) demi bangsa, apalagi menhan itu jabatan sangat vital. Jantungnya negara itu kan pertahanan dan keamanan," ujarnya.
UUD 1945 mengatur bahwa jika presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya, pelaksanaan tugas kepresidenan adalah menteri luar negeri, menteri dalam negeri dan menteri pertahanan secara bersama-sama.

Ketiga menteri itu disebut sebagai "Triumvirat".

Meski begitu, pengamat militer LIPI Muhamad Haripin mengatakan posisi menteri pertahanan seharusnya merupakan simbol kontrol sipil atas militer.
Menteri itu, ujar Haripin, memegang fungsi sebagai pemberi pedoman arah pertahanan negara untuk dijalankan oleh Panglima TNI dan Kapolri.

Menurut Haripin, idealnya, presiden memilih menteri pertahanan dari pihak sipil. ANTARA FOTO

Menurut Haripin, idealnya, presiden memilih menteri pertahanan dari pihak sipil.
"(Militer) perlu pengawasan, pekerjaan mereka mesti di-'kerangkeng' dalam kerangka demokrasi," ujarnya.
Pada era Orde Baru, jabatan menteri pertahanan dipegang oleh petinggi militer, yang saat itu merangkap jabatan sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Tradisi itu diubah oleh presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid, yang kemudian memilih menteri dari kalangan sipil, yaitu Juwono Sudarsono.

Sejak era reformasi hingga sekarang, sejumlah menteri pertahanan berasal dari kalangan sipil, seperti Mahfud M.D., Matori Abdul Djalil, dan Purnomo Yusgiantoro.

Ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) dan wakil ketua umumnya, Edhy Prabowo (kanan), saat tiba di kompleks Istana Merdeka, Senin (21/10). FOTO WAHYU PUTRO A/ANTARA

Ada tiga orang menteri yang memiliki latar belakang militer, yakni Wiranto (masa pemerintahan B.J. Habibie), Agum Gumelar (masa pemerintahan Abdurrahman Wahid), dan Ryamizard Ryacudu (masa pemerintahan Jokowi).

Ia lanjut mengkritik kinerja menteri pertahanan di periode pertama Jokowi, Ryamizard Ryacudu, yang menurutnya memiliki program 'ajaib' seperti '100 juta kader bela negara', atau pelatihan masyarakat menjadi milisi.
"Saya pikir latar belakang kemiliteran Ryamizard memengaruhi preferensinya atas kebijakan model padat karya. Ia beralasan kementerian pertahanan punya tanggung jawab untuk pembinaan kekuatan Komponen Pendukung (Komduk) dan Komponen Cadangan (Komcad) yang diterjemahkan ke bela negara itu," ujarnya.
Joko Widodo bertemu dengan Prabowo Subianto di stasiun MRT Lebak Bulus. BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN

Sementara itu, politikus PDI-P Andreas Pareira mengatakan pemilihan menteri adalah hak prerogatif presiden.

Ia mengatakan kemungkinan bergabungnya Prabowo dengan koalisi pemerintahan sudah diawali dengan komunikasi antara Jokowi dan Prabowo untuk meredakan situasi di masyarakat, yang memanas pasca Pilpres.
"Ini "harga" yang harus dibayar untuk kita bisa bergabung, bekerja sama," ujarnya.
Bagaimana dengan larangan Prabowo masuk AS?


Amerika memasukkannya dalam daftar hitam karena menilai Prabowo punya latar belakang pelanggaran HAM.

Di Timor Timur, Prabowo tercatat pernah menjadi komandan salah satu grup yang bertugas pada 1978-1979.

Sementara sebagai komandan jenderal Kopassus, Prabowo menjabatnya ketika di ujung kekuasasan Soeharto yang banyak dituding terlibat penculikan aktivis.

'Lobi-lobi antara Jokowi dan Prabowo telah berlangsung dalam pertemuan-pertemuan yang dilakukan keduanya.' BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN

Pengamat militer LIPI Muhamad Haripin mengatakan dia tidak melihat larangan masuk AS bagi Prabowo akan mengganggu kerja sama Indonesia dengan negara lain di bidang pertahanan.

Wiranto, yang juga disebut terlibat dalam kasus pelanggaran HAM, misalnya, kata Haripin, tidak menerima protes dari negara-negara lain saat ia menjabat sebagai Menkopolhukam di periode pertama pemerintahan Jokowi.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono mengatakan yakin bahwa kini kebijakan luar negeri Amerika Serikat sudah lebih terbuka.

Amerika Setikat memasukkan Prabowo dalam daftar hitam karena menilai Prabowo punya latar belakang pelanggaran HAM. GETTY IMAGES

Jika Prabowo dilantik sebagai menteri pertahanan, Arief Poyuono optimistis pemerintahan AS akan mengakhiri larangan itu.

Pihaknya pun, kata Arief, akan melakukan lobi ke Kongres AS jika diperlukan untuk meminta penghapusan larangan itu.

Di sisi lain, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) memandang masuknya Prabowo ke kabinet adalah kemunduran demokrasi.


"Itu menujukkan pemilihan kabinet tidak diikuti pertimbangan mengenai HAM," ujar Kepala Riset Penelitian Kontras Rivanlee Anandar.
Ia mengatakan penunjukkan Prabowo sebagai menteri bisa memperburuk keadaan penegakkan HAM karena posisinya yang strategis dengan TNI.
"Tanpa Prabowo saja kami sudah sangsi (masalah pelanggaran HAM akan selesai), apalagi dengan Prabowo," pungkasnya.

Jumat, 04 Oktober 2019

Gerakan 30 September: Kematian Para Prajurit Cakrabirawa Setelah Subuh Maut 1 Oktober 65


Oleh: Petrik Matanasi - 4 Oktober 2019

Ilustrasi Nasib Naas Prajurit dan Sersan Batalyon Untung. tirto.id/Sabit

Parade kematian para prajurit Resimen Cakrabirawa yang memimpin penculikan dan menembak para perwira Angkatan Darat dalam G30S.

Pagi tanggal 16 Februari 1990 adalah pagi terakhir bagi empat orang mantan pasukan Cakrabirawa. Johannes Surono, Paulus Satar Suryanto, Simon Petrus Solaiman, dan Norbertus Rohayan dijemput dari selnya di Penjara Cipinang hendak dieksekusi. Satu regu tembak telah menunggu.

Dalam catatan Amnesty International Report (1991:119), keempat tahanan itu hampir semuanya telah lansia. Ketika diekseskusi, Johannes Surono berusia 60 tahun, Paulus Satar Suryanto 57 tahun, Simon Petrus Solaiman 60 tahun, dan Norbertus Rohayan 49 tahun.

Di antara mereka, hanya Rohayan yang mendapat kunjungan dari keluarga. Pamannya menjenguk Rohayan beberapa hari sebelum ia dieksekusi. Inside Indonesia nomor 14 April 1988 menyebut bahwa ia menderita diabetes dan penyakit lainnya.

Dua dekade lebih mereka ditahan rezim Orde Baru karena terlibat G30S. Saat peluru satu persatu menghabisi hayat, kematian mereka terdengar hingga negeri Belanda seperti diberitakan oleh surat kabar De Volkskrant edisi 19 Februari 1990.

Menurut Majalah Tapol nomor 98 April 1990, mereka ditangkap antara tanggal 4 hingga 8 Oktober 1965.

Rohayan berasal dari Angkatan Udara. Ia ditangkap pada 5 Oktober 1965 dan dijatuhi hukuman mati oleh Mahkalah Militer distrik Bandung pada 8 November 1969. Ia sempat mengajukan banding, namun pada Februari 1987 bandingnya ditolak. Lalu pada 5 Desember 1989 ia mengajukan grasi, dan lagi-lagi ditolak. Pada malam 1 Oktober 1965, Rohayan adalah penembak Mayor Jenderal Raden Soeprapto.

Sehari sebelum penangkapan Norbertus Rohayan, Satar Suryanto lebih dulu dicokok. Seperti terdapat dalam Gerakan 30 September dihadapan Mahmillub 2 Di Djakarta Perkara Untung (1966:21), Satar adalah sersan mayor dengan NRP 107453. Ia menjabat sebagai komandan peleton II Kompi C Batalyon II Kawal Kehormatan Cakrabirawa yang tinggal di Asrama Tanah Abang. Saat menjadi saksi dalam perkara Untung pada 1966, usianya sekitar 34 tahun dan masih beragama Islam.

Satar memimpin penculikan Mayor Jenderal Suwondo Parman dan dijatuhi hukuman mati pada 29 April 1971 oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Permohonan bandingnya ditolak, dan sebelum dieksekusi ia memakai nama Paulus Satar Suryanto.

Sebagaimana kawannya, Johannes Surono pun sempat menjadi saksi dalam perkara Untung. Saat itu usianya 36 tahun dan beragama Islam dengan nama Surono Hadiwijono. Lelaki kelahiran Pucungsawit, Solo itu adalah komandan peleton III kompi C batalyon Untung di Cakrabirawa.

Surono memimpin penculikan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo dan ditangkap pada 8 Oktober 1965. Lima tahun kemudian ia dijatuhi hukuman mati oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Pengajuan banding dan grasinya ditolak pada tahun 1986 dan 1989.

Jika Norbertus Rohayan adalah penembak Mayor Jenderal Raden Soeprapto, maka Simon Petrus Solaiman adalah orang yang diberi tugas oleh Letnan Satu Dul Arif untuk memimpin penculikan petinggi Angkatan Darat tersebut.

Menurut sumber pemerintah, Solaiman kelahiran Cepu, Blora, Jawa Tengah, pada 1927. Ia ditangkap pada 5 Oktober 1965 ketika Mayor Jenderal Soeprapto dan perwira Angkatan Darat lainnya dikebumikan di Taman Makam Kalibata.

Solaiman dijatuhi hukuman mati pada November 1969 oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Seperti ketiga kawannya, banding dan grasi yang ia ajukan semuanya ditolak pemerintahan daripada Soeharto.


Para Eksekutor dan Pemimpin Penculikan Lainnya

Selain keempat orang tersebut, ada juga seorang prajurit bernama Anastasius Buang. Usia penembak Mayor Jenderal Suwondo Parman itu seumuran dengan Rohayan. Pertengahan 1980-an, Buang terancam dihukum mati. Namun ia baru meninggal secara misterius pada September 1989. Jenazah Buang berhasil ditemukan oleh keluarganya.

Rohayan dan Buang punya kesalahan yang sama dengan Sersan Dua Gijadi Wignjosuhardjo, mereka sama-sama menjadi eksekutor operasi penculikan.

Gijadi yang kelahiran Solo tahun 1928 adalah penembak Letnan Jenderal Ahmad Yani. Ia ditangkap pada 4 Oktober 1965 dan sempat menjadi saksi dalam perkara Untung. Menurut Inside Indonesia nomor 14 April 1988, Gijadi dijatuhi hukuman mati pada 16 April 1968 oleh mahkamah militer distrik Jakarta.

Bersama Sersan Mayor Soekardjo yang memimpin penculikan Brigadir Donald Izacus Panjaitan, Gijadi dieksekusi mati pada Oktober 1988.

Setelah puluhan tahun menjadi tahanan Orde Baru, para pemimpin penculikan dan penembak dari pasukan Cakrabirawa itu pada akhirnya menyusul dua atasan mereka, Letnan Kolonel Untung dan Letnan Satu Dul Arif, ke alam kubur.

Untung adalah Komandan Batalion Kawal Kehormatan II Cakrabirawa, sementara Dul Arif Komandan Kompi C dari batalion yang dipimpin Untung. Sebagai prajurit penjaga presiden, para sersan dan kopral yang memimpin penculikan dan penembakan para jenderal tak dapat menolak perintah kedua atasannya.

Maka pada malam menjelang Subuh 1 Oktober 1965, mereka bergerak menculik dan menghabisi para perwira Angkatan Darat yang dianggap tidak loyal kepada presiden lewat isu Dewan Jenderal. Puluhan tahun kemudian, parade kematian itu mereka hadapi sendiri.

Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh

Sebelum dieksekusi regu tembak, sejumlah terpidana mati peristiwa G30S memilih memakai nama Katolik.

Sabtu, 27 Juli 2019

Tangis Ribka Tjiptaning Pecah di Tengah Sepi Peringatan Kudatuli


Reporter: Dewi Nurita - Editor: Rina Widiastuti
Sabtu, 27 Juli 2019 14:40 WIB

Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning saat ditemui Tempo di ruangannya, lantai 4 kantor DPP PDIP Diponegoro, Sabtu, 27 Juli 2019. TEMPO/Dewi Nurita
TEMPO.COJakarta - Tangis Ribka Tjiptaning pecah ketika memperingati peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang lebih dikenal Kudatuli. Berurai airmata, Ketua DPP PDIP itu berkeliling gedung DPP PDIP Diponegoro bersama para korban Kudatuli dan Satgas PDIP yang dulu bersama-sama berjuang membela Megawati Soekarnoputri melawan rezim Orde Baru.
"Dulu kita sama-sama di sini ya, memukul mundur orang-orang yang menyerang kantor kita," ujar Ribka Tjiptaning mengingat teman-temannya yang sudah berpulang, bersama Ketua Fornas 27 Juli 1996, Fahrudin di basement kantor DPP PDIP Diponegoro, Jakarta pada Sabtu, 27 Juli 2019.
Selain sedih mengingat kejadian 'Sabtu Kelabu' itu, Ribka mengaku kecewa karena banyak kader dan petinggi PDIP yang juga melupakan peringatan peristiwa bersejarah bagi PDIP itu. "Kita selalu gembar-gembor jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Gimana mau ingat perjuangan Bung Karno, kalau sejarah partai sendiri kita lupa," ujar Ribka Tjiptaning kepada Tempo di ruangannya, lantai 4 kantor DPP PDIP Diponegoro, Sabtu, 27 Juli 2019.
Tepat hari ini, 23 tahun silam, terjadi pengambilalihan paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jakarta Pusat oleh massa pendukung Soerjadi, Ketua Umum PDI versi Kongres Medan. Kerusuhan pecah. Catatan Komnas HAM, sebanyak lima orang yang tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang dalam peristiwa itu.
Hari ini, hanya Ribka sebagai perwakilan DPP PDIP yang hadir memperingati peristiwa Kudatuli di kantor DPP PDIP Diponegoro. Ribka menyebut, Megawati Soekarnoputri sebenarnya mengajak jajaran DPP nyekar di makam Bung Karno di Jawa Timur memperingati peristiwa ini. Namun, dia lebih memilih hadir di DPP memperingati peristiwa Kudatuli bersama para aktivis jalanan yang dulu membela Mega mati-matian.
"Gedung ini megah tapi kan sedih kita melihatnya. Kok semakin enggak ada teman-teman yang datang," ujar Ribka.
Menurut Ribka, banyak kader PDIP saat ini yang tidak mengenal sejarah partai sendiri. 
"Mungkin, banyak teman-teman yang baru. Tidak ikut merasakan perjuangan kami ketika itu. Jadi sedih aku ya, Kudatuli itu bukan hanya peringatan PDIP, tapi juga tonggak reformasi," ujar Ribka.
Pada 23 tahun yang lalu, ujar Ribka, Megawati didaulat rakyat melawan Soeharto yang tak tergoyahkan selama 32 tahun. Semua kekuatan tertumpah mendukung Megawati di kantor yang dikenal Diponegoro 58 itu. Mahasiswa, aktifis jalan, rakyat kecil, semua menjadi kekuatan pendukung PDI. 

"Kemenangan PDI dulu itu bukan karena kader saja, tapi karena semua kekuatan bersatu. Jadi kalau sekarang sudah jadi gedung megah, jangan jadi sombong. Pongah. Ojo dumeh," ujar Ribka.

Penulis buku "Aku Bangga jadi Anak PKI" ini kemudian berseloroh ihwal penyebab sepinya peringatan Kudatuli di kantor DPP PDIP itu kepada para Satgas PDIP. 

"Elu sih, bikin proposalnya tabur bunga, coba tabur duit, pasti rame," ujar Ribka Tjiptaning sambil tertawa.

Selasa, 18 Juni 2019

Simbiosis Politik Jenderal-Jenderal Orba dengan Ormas dan Preman

Gromico Oleh: Fadrik Aziz Firdausi - 18 Juni 2019

Sekjen DPD FPI Jakarta Novel Bamukmin berorasi saat melakukan aksi di depan kantor Facebook, Jakarta, Jumat (12/1/2018). tirto.id/Andrey

Strategi menggandeng ormas dan memanfaatkan preman sudah jadi cara elite militer ikut kontestasi politik sejak dulu. Mereka membentuk simbiosis politik.

Usai ontran-ontran di Bawaslu pada 22 Mei lalu, media-media kita diramaikan berita-berita soal penangkapan aktor-aktor di balik kericuhan itu. Salah satu yang bikin khalayak heboh adalah reportase majalah Tempo edisi 10-16 Juni 2019.

Dengan gamblang awak Tempo membeber nama-nama yang diketahui punya hubungan dengan Prabowo Subianto. Nama pertama yang terungkap adalah mantan Komandan Jenderal Kopassus, Soenarko.

Majalah Tempo edisi 3-9 Juni menyebut ia ditangkap pada 20 Mei, sehari sebelum demonstrasi di Bawaslu. Mulanya atas sangkaan makar, kemudian kepemilikan senjata api ilegal.

Mengutip Moeldoko, Tempo menyebut soal adanya skenario penembakan terhadap demonstran dan pengerahan massa bayaran.
“Skenarionya hampir mirip seperti peristiwa Mei 1998,” katanya.
Kericuhan yang terjadi hampir selama dua hari itu disebutnya dikomando dengan rapi. Ada koordinator lapangan yang memantau dan mengarahkan massa. Ada pula ambulans yang digunakan untuk menyusupkan massa, menyediakan senjata, juga menyembunyikan duit bayaran bagi perusuh.
“Setelah berhasil masuk, mereka langsung memprovokasi massa,” terang Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo sebagaimana dikutip Tempo.
Untuk urusan ini yang tersangkut adalah Ketua Bidang Pendayagunaan Aparatur Partai Gerindra Fauka Noor Farid. Mantan anggota Tim Mawar yang terlibat penculikan aktivis pada 1998 itu diduga sebagai pengatur demonstrasi yang akhirnya ricuh di Bawaslu. Tempo menyebut bahwa orang-orang Fauka terlibat dalam kericuhan itu.

Tentu saja Fauka tak bermain sendirian. Ia disebut mengerahkan sumber daya dari Garda Prabowo—organisasi yang dibikin untuk mendukung Prabowo. Salah satu yang membantu Fauka adalah Abdul Gani Ngabalin, bekas anak buah gembong preman Tanah Abang Rozario Marshal alias Hercules. Sudah jadi rahasia umum bahwa Hercules adalah “binaan” Prabowo.
“Beberapa hari sebelum unjuk rasa, ia ditengarai diperintahkan Fauka bersiap-siap mengikuti demonstrasi, yang kemudian berujung ricuh. [...] Menjelang 22 Mei, Abdul Gani diduga ikut mengerahkan massa dari berbagai daerah, antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Maluku. Sebagian diinapkan di daerah sekitar Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur,” tulis Tempo edisi 10-16 Juni 2019.
Sejauh mana keterlibatan dan peran nama-nama itu dalam kerusuhan 22 Mei hingga kini masih didalami polisi. Hubungan antara para mantan tentara itu atau juga politikus dengan ormas dan preman pun masih spekulatif.

Tapi jika menilik sejarah politik Indonesia, hubungan macam itu sebenarnya bukanlah isapan jempol belaka. Hubungan itu bersifat mutualistis.

Para politikus pengejar kekuasaan butuh massa sebagai modal politik. Sementara para pentolan ormas dan dedengkot preman memang mediator efektif untuk mengumpulkan dukungan dari beragam kelompok sosial. Mereka juga memanfaatkan hubungan itu untuk memperoleh konsesi dari politikus atau partai yang mereka dukung.

Preseden dari simbiosis ini dapat dirunut sejak Republik Indonesia baru lahir.

Sisa-Sisa Zaman Revolusi Pada tahun-tahun pertama kemerdekaan, gerombolan jago dan geng-geng kota punya peran penting dalam perang melawan Belanda. Umumnya mereka tergabung dalam laskar-laskar dan berjuang bersama tentara Republik.

Di Jakarta, pentolan preman terkenal yang ikut perang adalah Imam Syafe’i si penguasa Senen. Jerome Tadie dalam Wilayah Kekerasan di Jakarta (2009) menyebut Syafe’i bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR—cikal bakal TNI).

Ia juga berhasil mengajak pengikutnya yang kebanyakan pencuri dan pencopet jadi tentara dengan membentuk Resimen Perjuangan (hlm. 238).

Setelah perang berakhir Syafe’i jadi tentara profesional berpangkat kapten. Meski begitu ia tetap mempertahankan hubungannya dengan dunia preman dengan membikin geng Cobra. Jaringannya luas, meliputi Senen, Tanah Abang, Jatinegara, Pasar Rebo, hingga Kebayoran Lama.

Selama masa Sukarno berkuasa, ia terkenal karena keahliannya memobilisasi massa untuk kepentingan politik. Pada 1966 ia bahkan diangkat Sukarno jadi Menteri Urusan Keamanan. Selain memastikan keamanan ibu kota, menghambat demonstrasi mahasiswa masuk pula dalam deskripsi tugasnya.
“Ia ditangkap pada 18 Maret [1966] sebagai komunis, padahal ia bukan komunis, maka dibebaskan beberapa bulan kemudian. Sebagaimana dinyatakan oleh salah satu saksi zaman itu: dia tidak tahu apa-apa tentang politik. Dia hanya setia pada Soekarno,” tulis Tadie (hlm. 244).
Tentara yang sadar politik dan paham benar potensi jejaring preman tentu saja adalah Jenderal Abdul Haris Nasution. Potensi massa mereka itu dihimpun Nasution dalam Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan terkhusus sayap pemudanya, Pemuda Pancasila.
“Dengan dukungan kalangan jago dan kriminal sebagai basis sosialnya, Nasution dan IPKI turut menciptakan tekanan yang memuncak pada pembubaran Konstituante oleh Sukarno dan mengawali periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965),” tulis indonesianis Ian Douglas Wilson dalam Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2019: 28)
Bertahan hingga Reformasi Bentuk simbiosis macam itu terus dipakai hingga Soeharto melengserkan Sukarno. Di masa Orde Baru, aktornya adalah Jenderal Ali Moertopo yang membina para preman dengan membentuk serbaneka organisasi. Semasa menjabat Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara, Ali membentuk Yayasan Fajar Menyingsing yang kemudian jadi organ preman terbesar di Jawa Tengah.

Lain itu, ada The Prems di Jakarta dan Massa 33 di Jawa Timur. Ormas-ormas macam inilah yang kerap ia manfaatkan untuk memuluskan kepentingan politik Orde Baru. Salah satunya adalah dimanfaatkan untuk menggalang dukungan bagi Golkar dan menekan oposannya.
“Tugas saya adalah menghancurkan organisasi massa para buruh yang menjadi onderbouw partai agar buruh hanya setia kepada Golongan Karya,” tutur Bathi Mulyono, mantan anggota Fajar Menyingsing, sebagaimana dikutip Tempo edisi 6-12 Oktober 2014.
Jejak ormas dan preman binaan Ali Moertopo juga tercium dalam Peristiwa Malari 1974. Majalah Historia nomor 9/2013 menyebut Ali diduga menunggangi aksi mahasiswa yang kemudian berujung rusuh melalui Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI). Sebelumnya, pada 1971, organisasi yang diisi beberapa eks-DI/TII rekrutan Ali itu terlibat dalam kampanye Golkar.

Dalam Peristiwa Malari, GUPPI ditengarai menggalang massa dari luar Jakarta untuk ikut berdemo. Ali juga tak segan membayar preman dan tukang becak untuk melakukan perusakan dan penjarahan. Kerusuhan yang terjadi di Senen hingga Harmoni adalah kreasi kelompok Ali ini.

Hubungan tentara dan para binaannya itu nyatanya tak selalu erat. Ada pula masa-masa ketika para preman itu digebuk ABRI. Aktivis eks-DI/TII dan preman-preman itu ganti diburu ketika Jenderal Benny Moerdani naik jadi Panglima ABRI pada 1983. Tapi, toh itu tak menghentikan pembinaan preman generasi baru. 

Di masa akhir Orde Baru ada Prabowo dan Wiranto yang diketahui punya hubungan dengan preman atau ormas. Seturut penelusuran Wilson, Prabowo sudah membina Hercules sejak ia berdinas di Timor Timur pada akhir 1980-an. Hercules sendiri mulanya adalah pemuda Timor yang direkrut tentara dalam Tenaga Bantuan Operasional (TBO). Koneksi inilah yang di kemudian hari dimanfaatkan Hercules untuk menguasai dunia gelap Tanah Abang.

Tak hanya itu, Hercules dan gengnya juga kerap dikontrak untuk menekan kelompok pro-kemerdekaan Timor Timur di Jakarta. Meski di hadapan publik Prabowo sempat menyangkal koneksi itu, Hercules nyatanya selalu berada dalam lingkaran Prabowo hingga Reformasi.

Ketika Prabowo menyorongkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaya Purnama dalam Pilkada Jakarta 2012, Hercules diketahui ikut mendukung kampanyenya.
“Hercules juga muncul dalam pada beberapa acara kampanye Jokowi, dan organisasinya, Gerakan Rakyat Indonesia Baru (GRIB), dikerahkan untuk mengawasi TPS-TPS atas permintaan Gerindra, partai milik bekas beking militernya, Prabowo Subianto,” tulis Wilson (hlm. 261)

Sementara itu, Wiranto diketahui punya koneksi dengan Rizieq Shihab dan FPI. Pada 2017, di hadapan para wartawan, Wiranto mengaku telah mengenal dekat Rizieq sejak sebelum 2000. Lebih dari sekadar kenal, keduanya mengaku pernah berjuang bersama menjaga negara saat reformasi terjadi.

“Saya kira waktu itu secara faktual kita bersama-sama ikut mengamankan negeri ini supaya tetap selamat menghadapi satu gelombang memburuknya ekonomi dunia disusul satu gerakan reformasi luar biasa,” ujar Wiranto.
Di masa itu Rizieq juga diketahui punya koneksi dengan Kapolda Metro Jaya Mayjen Nugroho Djayoesman dan Pangdam Jaya Mayjen Djaja Suparman. Keduanya disebut Robert W. Hefner dalam artikel "Muslim Democrats and Islamist Violence in Post-Soeharto Indonesia" sebagai orang yang ikut terlibat mendirikan FPI.

Meski dibantah, Hefner menunjukkan beberapa indikasi. Misalnya atas undangan Wiranto pada November 1999, FPI membantu melakukan mobilisasi masa hingga 100.000 orang yang disebut sebagai Pam Swakarsa untuk melindungi DPR dan pemerintah dari para demonstran yang menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya.

FPI kerap dituding sebagai kelompok yang mendapatkan perlindungan politik dari beberapa elite seperti Wiranto. Kecurigaan ini sering kali muncul karena FPI seakan-akan kebal hukum atas aksi-aksi main hakim sendiri yang pernah mereka lakukan.

Dukungan FPI terhadap Wiranto juga ditunjukkan saat pemilu 2004. Saat itu FPI mendukung Wiranto sebagai calon presiden bahkan mengirimkan dai-dai ke daerah-daerah untuk mendiskreditkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pesaing terberat Wiranto. Seperti yang sudah-sudah, para elite politik bekas tentara itu bisa membantah mutualisme tersebut.

Tapi peran komplotan ormas dan preman nyatanya tak pernah surut. Karena itu, tepat belaka jika Ian Wilson menyebut, “Mereka menjadi tantangan bagi demokrasi sekaligus pihak yang paling berhasil memanfaatkan demokrasi” (hlm. xix).

Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan


Para politikus butuh massa, para pentolan ormas dan preman menyediakannya.

Tirto.ID