HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Pulau Buru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pulau Buru. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 November 2019

Dari Gereja Kandang Ayam ke Namlea


Oleh Andri Setiawan

Berawal dari sebuah gereja sederhana bekas kandang ayam, para tapol Pulau Buru bisa mengunjungi Namlea.

Lukas Tumiso, ketiga dari kiri, bersama Monsignor Andreas Sol dari Keuskupan Amboina dan beberapa tapol lainnya pada 1978. (Dok. Lukas Tumiso).
"Ini Santo Paulus di Atas Bukit Karang, kudirikan gerejaku," kata Romo Alexander Dirdjosusanto bangga. Sebuah gereja Katolik yang layak bagi para tahanan politik (tapol) akhirnya berhasil didirikan di Unit III kamp pembuangan Pulau Buru pada 1976.
Pendirian gereja itu bermula dari ide Lukas Tumiso, tapol asal Surabaya yang hendak membangun gereja di Unit III. Namun karena keterbatasan bahan bangunan, ia menggunakan sebuah bangunan bekas kandang ayam. Setelah dibersihkan dari gurem dan sedikit perbaikan, gereja sederhana itu bisa mengadakan kegiatan-kegiatan agama Katolik.

Kegiatan Tumiso sempat diejek oleh beberapa kawannya, salah satunya adalah Oey Hay Djoen, mantan anggota Konstituante dari PKI. Oey menyebut ketika di Surabaya, Tumiso bukan penganut Katolik yang taat.
"Tumiso jadi apa itu? Arek itu di Surabaya tidak seperti itu. Sekarang kok ke gereja. Tahi kucing macam apa coba?" ujar Oey Hay Djoen.

Tumiso pun hanya tertawa dan menganggap Oey hanya bercanda. Pasalnya, Tumiso dan Oey memang sudah akrab sejak di Surabaya.
Lain halnya dengan Oey, Tjoo Tik Tjoen, seorang pemikir di PKI justru mendukung Tumiso. "Kamu jangan dengarkan omongannya Oomu (Oey Hay Djoen) itu. Sudah, keinginanmu seperti apa, lanjutkan saja," kata Tjoo Tik Tjoen.

Kegiatan di gereja bekas kandang ayam itu mendapat perhatian Romo Alexander Dirdjosusanto dari Namlea. Romo Alex pun membangun gereja yang lebih layak bagi para tapol yang beragama Katolik. Gereja baru itu diberi nama Santo Paulus di Atas Bukit Karang.

Untuk memperkaya bacaan tentang agama Katolik, Romo Alex menawarkan kepada Tumiso untuk berkunjung ke Namlea setiap hari Minggu. Namun, Tumiso menolaknya.
"Romo, kalau ke Namlea kita setuju, ndak keberatan. Tapi kalau tiap Minggu, ndak bisa Romo," kata Tumiso.
"Lho, kenapa ndak bisa?" tanya Romo Alex.
"Tugas pokok seorang tapol itu di sektor pertanian, bukan di gereja," jawab Tumiso.
"Ah, nanti itu bisa kita bicarakan," balas Romo Alex.
Jawaban Tumiso atas tawaran Romo Alex itu membuat Tumiso diolok-olok oleh teman-temannya. Ia dianggap bodoh karena tidak mau menerima tawaran ke Namlea. Tumiso beralasan, jika ia menerima tawaran itu, barangkali ia bisa kena hukuman.

Namun, Romo Alex tetap mendesaknya untuk ke Namlea agar bisa memperdalam agama Katolik. Akhirnya, Tumiso bersedia dengan syarat ada satu orang lagi yang menemani. Alasannya untuk membantu membawa sayuran ke Namlea, 15 kilogram untuk pastoran dan 15 kilogram untuk susteran.

Usulannya disetujui. Tumiso dan satu tapol lainnya akhirnya ke Namlea setiap Minggu. Namun, setelah empat kali ke Namlea, Tumiso berhenti.
 "Ini ndak bisa berlanjut, sebab Namlea itu impian. Ibarat punya uang ratusan ribu satu kamar, kita tetap tidak bisa ke Namlea. Ke peradaban," ujarnya.
Tumiso mengatakan bahwa tidak adil jika hanya orang Katolik yang diberi kesempatan mengunjungi Namlea.
"Toh yang lain cemburu. Itu seumur hidup orang belum tentu bisa tahu Namlea," ungkapnya.
Tumiso kemudian mengusulkan agar selain dua orang Katolik untuk keperluan belajar agama, diberikan kesempatan pula kepada dua orang lainnya untuk bersama-sama mengunjungi Namlea. Ternyata usulan itu disetujui.

Para tapol akhirnya bisa mengunjungi Namlea secara bergiliran setiap hari Minggu. Kunjungan ke Namlea juga ternyata bisa membuka akses para tapol terhadap informasi di luar kamp. Selain itu, mereka juga bisa mendapat berbagai barang yang dibutuhkan di kamp.
"Kalau turun ke Namlea, pasti ada majalah Tempo, pasti ada kacamata, pasti ada pakaian bekas," sebutnya.
Tumiso pun akhirnya bisa berkelakar kepada Oei Hay Djoen. Yang dulu mengejeknya ketika merintis gereja, saat itu ikut senang karena sering diberi bacaan dari Namlea.

Senin, 30 September 2019

Para Tapol dan Anjingnya


Oleh: Andri Setiawan

Kecintaan para tapol Pulau Buru pada anjing peliharaan mereka memicu "perang".

Tapol di Pulau Buru. (visualdocumentationproject.wordpress.com).
“Leo ini besok kita sembelih,” kata seorang tahanan politik (tapol) Pulau Buru kepada kawan-kawannya.
“Oh jangan! Leo ini kalau masuk hutan, di depan ada ular dia cepet. Jangan, jangan Leo!” sergah majikan Leo.
“Hercules kita potong,” usul yang lainnya.
“Jangan Hercules!” seru majikan Hercules.
Keributan pun terjadi. Setiap sebuah nama diajukan, selalu ada yang menolaknya. Leo, Hercules, dan nama-nama itu adalah nama anjing peliharaan para tapol Pulau Buru. Anjing mana yang akan disembelih besok, bisa menjadi topik perdebatan yang panas.
“Jadi setiap kita mau potong anjing, perang!” kata Lukas Tumiso, seorang bekas tapol Pulau Buru yang kini tinggal di Panti Jompo Waluya Sejati Abadi, Jalan Kramat V, Jakarta Pusat.
Lukas Tumiso ditahan di Pulau Buru sejak Agustus 1969 hingga Desember 1979. Laki-laki berusia 79 tahun ini masih bisa bercerita panjang lebar tentang kondisi Pulau Buru saat ia ditahan, tentang kisahnya menyelamatkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, hingga yang tak kalah menarik, tentang bagaimana para tahanan mendapat asupan daging.

Salah satu sumber daging di kamp adalah dari anjing-anjing yang dipelihara di sana. Sayangnya, setiap anjing tentu saja punya cerita tersendiri bagi pemiliknya.

Ada anjing yang ditemukan dalam keadaan pincang dan dirawat hingga sehat. Ada anjing diberi makan seperti anak sendiri, bahkan mendapat makanan lebih enak dari pemiliknya. Sehingga untuk menyembelih satu ekor anjing saja, mereka harus "perang".
“Akhirnya kita buat arisan. Semua harus setuju arisan. Siapa yang enggak setuju? Kalau enggak, perang!” ujar Tumiso.
Menurut Tumiso, kecintaan mereka terhadap anjing-anjing peliharaannya memang luar biasa. Urusan makanan misalnya, pemilik anjing seringkali mendahulukan anjingnya. Ketika mendapat ikan yang kecil-kecil, para tapol biasanya masih mencari-cari daging ikannya barang cuma secuil. Sedangkan mereka yang punya anjing langsung memberikannya kepada anjing peliharaannya. Bahkan beberapa pemilik mengunyahkan makanan untuk anjingnya agar si anjing menurut.
“Nurutnya setengah mati, pinter, gemuk. Dia lebih cinta anjingnya, dia makan kuahnya aja. Daun singkong yang dihabisin, ikannya buat anjing,” ujar Tumiso.
Sumber daging biasa didapat pula setiap peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Setiap tapol mendapat jatah daging dan bisa memilih daging yang mereka inginkan. Sapi, kambing, atau anjing.

Satu ekor sapi, jelas Tumiso, cukup untuk 32 orang, satu orang biasanya mendapat satu rantang daging. Untuk satu ekor kambing, cukup untuk 12 hingga 16 orang, sama halnya dengan anjing.

Tumiso seringkali memilih antrean paling sedikit agar mendapat daging lebih banyak. Sementara itu, barangkali karena banyak tapol yang menyayangi anjing, antrean daging anjing biasanya paling pendek.
“Kambing ada 17, ah pindah sapi. Sapi, sapi berapa? Anjing? Anjing hanya 11 orang,” kata Tumiso, maka ia pun sering memilih antrean daging anjing.

Kecil di Digul Muda di Buru


Empat belas tahun pengasingan di Boven Digul. Tujuh tahun penahanan di Pulau Buru.  

Oleh: Bonnie Triyana



RUMAH berpagar kuning itu terletak berhadapan dengan lapangan serbaguna di sebuah perumahan di bilangan Kunciran, Tanggerang. Gerbang pagar setinggi dada orang dewasa itu segera dibuka setelah beberapa kali terucap salam.

Seorang pria senja berkemeja putih dan bercelana panjang batik tampak berdiri di pintu menyambut dengan senyum dikulum. Tangan kirinya berpegangan pada tembok, menopang tubuh rentanya.
“Tangan kanan saya kena stroke, tak bisa lagi digerakkan. Silahkan masuk,” katanya mempersilahkan. Dia pun menyeret langkahnya untuk duduk di kursi.
Lelaki itu adalah Tri Ramidjo, 85 tahun. Sakit tak pernah menghalanginya untuk beraktivitas. Tri melek teknologi. Dia tak gagap menggunakan komputer dan akrab dengan internet. Sampai hari ini dia aktif sebagai anggota jejaring sosial Facebook dan kerapkali membagi pengalaman hidupnya di berbagai mailing list. Semangatnya tak pernah pudar.
“Tubuh saya sakit, tapi semangat saya masih selalu ada,” kata dia.
Senyumnya selalu mengembang saat bercerita tentang pengalaman masa kecilnya di Boven Digul, Papua. Pria kelahiran Kutoardjo, 27 Februari 1926 itu dibawa saat masih bayi oleh kedua orangtuanya, Kyai Dardiri Ramidjo dan Nyi Darini Ramidjo, ke Tanah Merah, Digul.

Kyai Dardiri dibuang ke Digul karena turut aktif dalam pemberontakan komunis melawan pemerintah kolonial pada 1926. Dardiri dan Darini masih sepupuan. Mereka adalah cucu dari Kyai Hasan Prawiro, pengikut setia Pangeran Diponegoro yang mengobarkan perang Jawa pada 1825-1830.

Kamp Boven Digul dibangun oleh pemerintah kolonial pertama kali untuk memenjarakan aktivis PKI yang terlibat pemberontakan 1926. Menurut Ruth T. McVey pemerintah kolonial memindahkan 1.308 lebih mereka yang terlibat pemberontakan. Beberapa tokoh yang ditahan di sana antara lain Ali Archam, Sardjono, Mas Marco Kartodikromo, Kyai Maskur (ayah MH Lukman, tokoh PKI) dan KH Tubagus Achmad Chatib, pemimpin pemberontakan PKI di Banten.

Pada masa selanjutnya kamp Digul juga digunakan sebagai tempat pembuangan aktivis pergerakan nasional seperti Hatta dan Sjahrir.
Menurut Bung Hatta dalam buku Mengenang Sjahrir (1980) waktu itu kampung Tanah Merah terbagi dua.
“Kedua bagian itu dipisah pula oleh sebuah jalan yang lebarnya kira-kira dua meter. Rumahku terletak di jalan itu. Sebelah kanan jalan itu disebut kampung B, sebelah kirinya kampung A,” kata Bung Hatta.
Menurutnya orang-orang yang tinggal di kampung A memilih untuk tak bekerja pada pemerintah. Mereka disebut kaum “naturalis” karena menerima jatah makanan per bulan secara natura dari pemerintah setempat dalam bentuk 18 kg beras, 2 kg ikan asin, 300 gram teh, 300 gram kacang hijau, 2/3 botol limun minyak kelapa. Sementara itu kampung B dihuni golongan “werkwillig” yang bekerja untuk pemerintah dengan upah 40 sen sehari.

Sementara golongan ketiga adalah golongan “die hard” yang sejak datang kali pertama ke Digul menolak bentuk kerjasama apapun dengan penguasa setempat. Bahkan mereka menolak untuk membersihkan pekarangan tempat tinggal mereka sendiri. Mereka tak mau membangun rumah atau pun kampung sendiri dan memilih untuk tinggal di satu barak yang telah disediakan. 
“Mereka itu dicap sebagai “onverzoenlijken” – menentang terus,” tulis Bung Hatta. Golongan ini ditempatkan di Tanah Tinggi, kira-kira berjarak tempuh sehari perjalanan ke arah hulu sungai Digul.
Tri dan orangtuanya tinggal di kampung Tanah Merah dan masuk ke dalam golongan naturalis. Kemudian ayah Tri berhenti jadi natura dan memutuskan untuk jadi “daggelder” (buruh harian). Berbeda dengan keterangan Bung hatta, upah yang diterima ayah Tri sebagai buruh harian sebesar 10 sen per hari.

Tri kecil dan kawan sebayanya sering bermain mengunjungi rumah Bung Hatta untuk belajar bahasa Inggris. Dia pun mengenal baik Sjahrir dan kerapkali mendapatkan cokelat darinya.
“Oom Hatta itu orangnya penyendiri sementara Oom Sjahrir lebih luwes mau bergaul dengan siapa saja,” kenang Tri yang memanggil kedua tokoh itu selayaknya paman sendiri.  
Hatta dan Sjahrir tak lama berada di Digul.
Mereka datang pada Januari 1935 dan dipidahkan ke Banda Neira pada November 1935.

Para tahanan politik Digul selalu merayakan peringatan pemberontakan PKI setiap 12 November. Tri mengisahkan pada perayaan itu dia dan kawan sebayanya saat itu menyanyikan lagu-lagu perjuangan seperti “Dua Belas November”, “Satu Mei” dan “Enam Jam Kerja”.
“Tapi sayang, tengah kami bernyanyi-nyanyi, datanglah sepasukan baju hijau, yaitu serdadu kolonial Belanda bersama Lurah Tanah Merah Oom BS,” kata Tri merahasiakan nama lurah itu. Tanpa babibu lagi pasukan langsung membubarkan hajatan.
“Perayaan kami dibubarkan, diobrak-abrik, dan kue-kue yang seharusnya bisa kami nikmati  itu berhamburan di tanah berwarna merah kecoklat-coklatan di halaman rumah Oom Kadirun,” kenang Tri menggambarkan suasana.
Dia kembali melanjutkan kisahnya, “Anak-anak perempuan ada yang menangis karena kehilangan kuenya... Mas Suroso dan Mas Lukman digelandang oleh serdadu-serdadu Belanda walaupun mereka berdua belum dewasa mereka dijebloskan dalam tahanan.”
Lukman yang dimaksud Tri adalah MH Lukman, kelak jadi tokoh PKI dan dikenal sebagai salah satu dari tiga serangkai Aidit-Njoto-Lukman. Seperti Tri, Lukman pun turut ke Digul beserta kedua orang tuanya.

Ayahya, Kyai Muklas juga tokoh dalam perlawanan terhadap Belanda di tahun 1926. Setelah insiden perayaan itu, Kyai Muklas dan beberapa keluarga lainnya dipindahkan ke Tanah Tinggi, daerah pembuangan buat golongan “die hard”.

Sedangkan BS yang dimaksud Tri kemungkinan besar adalah Budi Soetjitro (dalam buku Mengenang Sjahrir Bung Hatta menyebutnya Budisucipto, Ruth T. McVey dalam buku Kemunculan Komunisme Indonesia menulisnya dengan ejaan Budisutjitro) tokoh PKI yang ditunjuk jadi lurah Tanah Merah dan dianggap telah tunduk pada pemerintah.

Ketika Jepang datang, Belanda bertekuk lutut tanpa perlawanan. Sebagian tahanan politik di Boven Digul dibawa ke Australia, tempat di mana pemerintah Hindia Belanda menjalankan pemerintahan pengasingannya.

Pada 1942 Jepang berhasil menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda. Dua tahun sebelum kedatangan Jepang, Tri bersaudara diboyong terlebih dahulu ke Jawa oleh ibunya.
“Semula ibu tak mau pulang karena di Jawa sudah tak punya apa-apa, tapi ayah mendesaknya karena sebentar lagi akan terjadi perang besar, nanti anak-anak akan sangat menderita,” kata Tri dalam memoarnya Kisah-Kisah dari Tanah Merah: Cerita Digul Cerita Buru.
Pada 1944 Tri ikut pelatihan militer dan lulus sebagai perwira yang bertugas di Kalimantan Barat. Saat Jepang mulai kalah perang, Tri melarikan diri bersama puluhan anak buahnya yang bersenjata lengkap. Jepang kemudian kalah perang. Indonesia merdeka. Pada masa revolusi itu Tri kembali melanjutkan sekolahnya yang sempat tertunda sambil bekerja mengayuh becak di Jakarta.

Tri kemudian bekerja di Algemeene Volkscrediet Bank. Sebagai pegawai bank, dia mendapat gaji dan tunjangan yang mencukupi hidupnya.

“Kemapanan” itu hanya berlangsung beberapa saat saja, sampai kemudian, pada suatu hari di bulan Agustus 1950 dia bertemu dengan Siti Rollah, kakak perempuan MH Lukman, yang pernah tinggal bersama di Tanah Merah beberapa tahun sebelumnya. Sembari bercanda Rollah menyindir Tri yang memilih hidup sebagai pegawai bank.
“Kamu mau jadi borjuis, yah?” kata Tri meniru sindiran Rollah diamini oleh Lukman, Njoto, dan Aidit yang ada pada saat itu.
“Saya malu betul waktu itu,” kata Tri pelan.
Setelah pertemuan itu Tri keluar dari pekerjaannya. Dia memilih untuk bergabung dengan tiga serangkai Aidit-Njoto-Lukman dan mengelola penerbitan Bintang Merah dan Bulletin PKI .

Kegiatan redaksi Bintang Merah menumpang di pavilyun kontrakan milik Peris Perdede di Gang Kernolong 4, Jakarta Pusat. Dari bilik kontrakan itu pula Aidit, Njoto dan Lukman membangun kembali kekuatan partai yang sempat luluh lantak setelah peristiwa Madiun 1948.
Tri yang alumnus Universitas Waseda, Jepang itu bahu membahu mengerjakan semua hal. “Mulai administrasi sampai redaksi saya kerjakan semua.”
Pada masa-masa awal itu Tri mengambarkan betapa sulitnya mengelola penerbitan berkala. Untuk mencetak perlu izin dari kementrian penerangan berupa Surat Izin Pembelian Kertas (SIPK). Tanpa izin itu sukar untuk mencetak secara resmi.
“Beruntung waktu itu Pak Budiardjo yang bekerja di Departemen Perekonomian mau membantu kami untuk mendapatkan surat izin,” ujar Tri.
Budiardjo adalah suami Carmel Budiardjo, perempuan Inggris yang bekerja untuk Kementerian Luar Negeri RI. Mereka berdua ditangkap setelah pergolakan politik Oktober 1965 meletus. Carmel kini tinggal di London dan aktif mengelola lembaga nirlaba TAPOL yang memokuskan kegiatan pada advokasi tahanan politik dan penegakan hak azasi manusia.

Seiring waktu kegiatan redaksi Bintang Merah dan Bulletin PKI semakin bertambah. Apalagi Aidit, Njoto dan Lukman mulai mengadakan pembenahan di tubuh partai. Markas mereka pun berpindah dari Gang Kernolong 4 yang sempit ke sebuah rumah di Gang Lontar IX No. 18, Jakarta Pusat. Tri mengontrak sebuah kamar di jalan Salemba, tak jauh dari tempatnya beraktivitas. Hubungan Tri dengan Njoto kian akrab. Dia bahkan menawari Njoto untuk tinggal bersamanya.
“Njoto saya ajak tinggal bersama di tempat saya. Dia orang yang pintar, suka musik dan olahraga. Kami sering main bulutangkis sama-sama,” kenang Tri lirih.
Tri punya kenangan lain bersama Njoto. Pada Agustus 1951 kabinet Sukiman melancarkan razia terhadap anggota PKI. Razia tersebut bermula ketika segerombolan orang tak dikenal mengenakan simbol palu arit menyerbu kantor polisi di Tanjung Priok. Ribuan kader dan pemimpin PKI ditangkap. Sehari sebelum kejadian, Tri mengajak Njoto pindah ke rumah sebelah.
“Buat apa pindah?” kata Njoto ragu, mencoba menolak ajakan Tri. Setelah meyakinkan Njoto, Tri berhasil mengajaknya pindah kos. Mereka berdua pun selamat dari razia.
“Saya juga nggak mengira seperti itu, tapi akhirnya kami tak kena razia,” ujar Tri mengulum senyum.
Aidit juga lepas dari kejaran itu. Berdasarkan penuturan adiknya, Murad Aidit, dia bersembunyi di sebuah rumah kontrakan di bilangan Tanjung Priok untuk beberapa waktu lamanya. Kabar yang sempat tersiar saat itu Aidit melarikan diri ke luar negeri. Razia tersebut menjadi salah satu rintangan berat yang dihadapi oleh mereka di saat merintis kembali kekuatan partai yang sempat terserak.

Dalam kolomnya di Majalah TEMPO edisi khusus Aidit, 1 Oktober 2007, sejarawan Hilmar Farid menulis sejak Januari 1951 Aidit beserta Njoto dan MH Lukman mengambilalih kepemimpinan partai.
“Pengambilalihan partai dari apa yang disebut "kalangan tua" oleh Aidit, Lukman, dan Njoto, pada awal 1951 bukanlah proses yang mudah.
Perdebatan berlangsung di tingkat pimpinan pusat sampai kader-kader daerah,” tulis kandidat doktor National Unversity Singapore itu. Kerja keras meraka tak sia-sia. Pada Pemilu 1955 PKI memperoleh suara terbanyak keempat setelah PNI, Masyumi dan NU.
Tri masih tetap aktif mengelola penerbitan dan sukarela berkegiatan di partai yang telah memiliki kantor sendiri di jalan Kramat Raya 81. Tapi dia tak pernah sengaja mendaftar jadi anggota PKI.
“Persyaratannya terlalu berat, saya takut melanggarnya,” kata Tri sambil menyebutkan beberapa syarat keanggotaan yang masih dia ingat betul.
Kegiatan Tri di partai dibarengi dengan pekerjaan rutinnya sebagai pegawai di Departemen Pekerjaan Umum.
“Waktu dulu gampang saja bekerja di PU sambil aktif di partai,” ujarnya.
Pada 1962 Tri berhasil diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Waseda, salah satu universitas terbaik yang ada di Jepang. Di tahun itu juga dia berangkat ke Tokyo, Jepang meninggalkan seorang istri dan anaknya yang tetap tinggal di Jakarta. Saat menempuh kuliah itulah peristiwa G.30.S 1965 meletus. Ribuan pemimpin dan kader PKI ditangkap dan dibunuh. Sahabat Tri, Njoto, pun hilang tak tentu rimbanya. Begitu pula Aidit dan Lukman. Selesai studi pada 1967, Tri memutuskan pulang ke Indonesia. Nasib baik tak berpihak padanya.

Salah seorang kerabatnya melaporkan kalau Tri, anak PKI Digul, telah pulang ke Indonesia. Polisi pun segera menangkapnya. Setelah penangkapan itu siksaan demi siksaan diterimanya. Tri dipaksa mengaku sebagai anggota PKI dengan lecutan ikan pari dan bogem mentah sampai babak belur. Tak hanya itu, interogator yang terdiri dari seorang letnan, seorang sersan RPKAD dan seorang interogator sipil menjulurkan kabel, menyetrum kemaluan Tri. Siksaan itu masih harus ditambah lagi dengan gencetan kaki meja pada ujung jempol kakinya.

Setiap kali dipaksa mengaku PKI, secara lantang dia mengakuinya.
“Ya, ayah saya juga PKI, Perintis Kemerdekaan Indonesia. Mendapat pengesahan dari Departemen Sosial RI dan setiap bulan mendapat tunjangan sosial dari pemerintah. Saya juga PKI, Perintis Kemerdekaan Indonesia,”  tutur Tri mengisahkan penyiksaannya. Jawaban itu ditingkahi dengan pukulan bertubi-tubi dan setruman yang tanpa henti sampai Tri tak sadarkan diri.
Belakangan, saat Tri berada di pulau Buru, tahu kalau interogator sipil itu adalah tokoh organisasi kepemudaan yang berafiliasi dengan PKI.
“Dia anggota pimpinan pusat IPPI, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia, yang namanya cukup terkenal dan bahkan katanya ketika pernikahannya mendapat sambutan dari Ketua CC PKI DN Aidit,” katanya
Pada 1971 Tri ditahan di Pulau Buru. Dia ditempatkan di Unit 15 setelah sebelumnya ditahan di Unit 14.
“Unit 15 ini, orang mengatakan tempat tokoh-tokoh pimpinan PKI, mantan anggota DPR, sarjana lulusan pelbagai universitas dalam dan luar negeri. Ya, pokoknya yang dianggap oleh penguasa tokoh-tokoh kepala batu, die hard,” kenang Tri.
Tri dibebaskan pada 20 Desember 1977.  Setibanya di Jakarta dia mendapatkan kabar kalau istrinya telah menikah lagi dan memperoleh seorang anak dari perkawinan itu.
“Aku terdiam. Aku tak bisa berucap kata. Ke mana aku harus menuju sekarang. Ke rumah kontrakan istriku yang kini sudah bersuamikan orang lain atau ke mana?” tulis Tri dalam memoarnya. Setelah menemui istrinya, Tri akhirnya memilih tinggal di rumah salah satu kerabatnya.
Dia tak ingin menganggur dan pasrah. Berbekal batu asah, Tri keliling Menteng, menjajakan keahliannya mengasah pisau dan gunting. Suatu hari di jalan Pekalongan seorang perempuan memanggilnya dan meminta Tri mengasah pisau. Selesai mengasah nyonya rumah datang ke rumah dan turun dari mobilnya. Dia langsung memegang pisau yang baru diasah dan bergumam dalam bahasa Jepang, mengagumi ketajaman pisau hasil asahan Tri.
“Untuk memotong sashimi, bukan?” timpal Tri dalam bahasa Jepang. Nyonya Jepang tadi pun kaget, bagaimana bisa tukang asah pisau berbahasa Jepang.
Pertemuan itu pun membawa kemujuran buat Tri. Dia diperkenalkan kepada suami nyonya tadi, yang ternyata bekerja untuk stasiun televisi Jepang, NHK. Tri diberi pekerjaan sebagai penerjemah dan kemudian dilibatkan dalam beberapa proyek pembuatan film dokumenter NHK. Lepas dari NHK, Tri bekerja sebagai wartawan di Japan Economic Journal sembari membuka kursus bahasa Jepang di rumahnya. Kehidupan yang mulai beranjak baik mendorongnya untuk menyatukan kembali keluarganya yang tercerai berai, termasuk istrinya yang sempat bersuamikan orang lain.
  
Kini Tri melintasi masa tuanya dengan terus menulis apa pun yang masih diingatnya dari masa yang telah usai. Kesadarannya akan laku manusia dalam sejarah membuat Tri Ramidjo tak pernah mendendam pada siapa pun yang menyebabkan hidupnya menderita.
“Mengapa rasa benci dan dendam itu kutenggelamkan? Karena rasa benci dan dendam bagaikan api dalam sekam yang akan membakar diri sendiri,” tulis Tri, melepas semua beban yang menggelayutinya.

Ingin Kembali ke Pulau Buru


40 tahun berlalu. Lukas Tumiso, bekas tahanan politik itu, ingin kembali ke Pulau Buru.

Oleh: Andri Setiawan

Lukas Tumiso. (Youtube Falcon).

Lukas Tumiso telah meninggalkan kamp tahanan Pulau Buru 40 tahun yang lalu. Sejak sebuah kapal membawanya menjauh dari dermaga Pelabuhan Namlea pada Desember 1979, ia merasa kembali menjadi manusia bebas.

Tumiso ditangkap pasca peristiwa 1965 karena bergabung dalam Resimen Mahasurya yang dianggap pro-Sukarno. Dengan kapal ADRI 10, ia diangkut ke Pulau Buru pada April 1969. Selama sepuluh tahun, ia hidup di pengasingan hingga dibebaskan pada 1979.

Sejak 2004, Tumiso menjalani hidup di Panti Jompo Waluya Sejati Abadi, Jalan Kramat V, Jakarta Pusat. Di Panti yang dari tahun ke tahun mulai sepi penghuni itu, Tumiso seringkali teringat kawan-kawannya di Pulau Buru. Hingga pada 2016, ia kembali menginjakkan kaki ke Pulau Buru.

Pada kunjungan pertama, ia menyempatkan diri mencari makam teman-temannya. Ia merasa miris karena makam teman-temannya ditemukan dalam kondisi tidak terawat. Bahkan beberapa sempat tidak ditemukan.
“Makam teman-teman saya itu terletak di tengah-tengah hutan jati, di tengah-tengah padang rumput,” terang lelaki berusia 79 tahun itu.
Dari kunjungan pertama itu, Tumiso berkeinginan untuk memperbaiki pusara kawan-kawan. Baginya, itu salah satu hal berguna yang bisa ia lakukan di sisa hidupnya.

Tumiso pun berangkat ke Pulau Buru untuk kedua kalinya. Kali ini, Tumiso sangat terkejut karena mendapati makam teman-temannya telah berubah menjadi kubangan celeng (babi hutan). Hal ini membuat Tumiso berbulat tekad untuk mengeksekusi rencananya.

Ia pun mengumpulkan teman-temannya di Jakarta dan meminta bantuan dana. Dana terkumpul sekitar 30 juta dan ia pun berangkat ke Pulau Buru untuk ketiga kalinya. Di Buru, ia bertemu dengan beberapa transmigran untuk meminta izin memperbaiki makam.
“Pak ini kuburan mau saya perbaiki, pendapat bapak bagaimana?” tanya Tumiso kepada Kabul, seorang transmigran Buru.
“Lho jangan tanya saya, tanya sama penghuni,” jawab Kabul.
“Penghuninya siapa?” tanya Tumiso lagi.
“Tanya saja yang di dalam kubur. Coba sampean tanya besok dia sudah njawab,” ujar Kabul.
Tumiso pun mengikuti usulan Kabul. Keesokan harinya, Kabul berkabar, “wonge klecang-kleceng, ngguya ngguyu, seneng (orangnya senyum-senyum, tertawa-tertawa, senang). Eksekusi!”

Tumiso pun langsung bergegas memperbaiki makam-makam itu. Pertama-tama, ia membuat saluran air supaya air yang menggenangi areal makam bisa surut.
“Besok sudah ada informasi dari kubur, penghuni lepas baju kipas-kipas ngguya-ngguyu. Jadi bajunya dilepas dia tertawa-tawa,” kata Tumiso.
Selama sepuluh hari memperbaiki pemakaman, “informasi” dari dalam kubur itu keluar. Tumiso tidak mempermasalahkan benar tidaknya informasi itu. Baginya, hal itu adalah tanda bahwa apa yang dilakukannya itu memiliki arti.
“Tapi apa yang dia ceritakan, satu persatu persona yang ada di sana itu adalah temen-temen saya yang satu, disruduk sapi, mati kena tanduk sapi, ada yang tenggelam, ada yang minum racun, itu muncul semua,” jelasnya.
Pasca perbaikan makam teman-temannya  itu, Tumiso berpikir untuk memperbaiki makam dari unit lain.
“Kalau hanya teman saya yang saya perbaiki makamnya betapa jeleknya nama saya,” kata laki-laki yang dulu menghuni unit 3 bersama Pramoedya Ananta Toer itu.
Kali ini, untuk menjalankan keinginannya, Tumiso berharap bisa sekaligus tinggal di Pulau Buru.
“Akan lebih baik kan kalau kuburan teman-teman saya perbaiki semua dengan catatan saya tinggal di sana. Secara fisik saya masih mampu,” ujarnya.
Menurut Tumiso, terdapat 23 titik lokasi pemakaman tapol di Pulau Buru. Beberapa lokasi yang dekat dengan penduduk transmigran masih terawat, sedangkan pemakaman yang berada jauh di padang rumput dan hutan kondisinya sangat memprihatinkan.

Kini, ia tengah mempersiapkan proposal pembiayaan beternak sapi di Pulau Buru yang hasilnya akan digunakan untuk memperbaiki makam dan hidup sehari-hari di sana.

Di Panti Jompo yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid itu, ia bersemangat menjelaskan tentang jenis sapi apa yang akan ia ternak, tentang menanam rumput untuk pakan di tebing sungai sekaligus untuk mencegah erosi, serta tentang memanfaatkan jerami yang melimpah pasca panen. Bahkan ia sudah menghitung kebutuhan asupan garam sapi-sapinya nanti.

Tumiso lalu juga bercerita tentang menanam cabai, tomat, terong, mentimun hingga soal mengolah pohon-pohon kelapa yang sudah tua.
“Ambisius ya?” ujarnya tak butuh jawaban. Lukas Tumiso benar-benar ingin kembali ke Pulau Buru.

Senin, 02 September 2019

Cerita Amarzan Loebis dan Pengasingan di Pulau Buru


Reporter: Dewi Nurita
Editor: Syailendra Persada
Senin, 2 September 2019 09:55 WIB

Amarzan Ismail Hamid atau yang dikenal Amarzan Loebis menghadiri acara bulanan `Teras Budaya` yang digelar di gedung Tempo, Jakarta, 11 Desember 2015. Amarzan yang merupakan redaktur senior Tempo, puisi-puisinya menyebar di banyak penerbitan, yang sedang disiapkan menjadi kumpulan `Memilih Jalan ke Guci`. TEMPO/Wahyurizal Hermanuaji

Jakarta - Wartawan Senior Amarzan Ismail Hamid atau Amarzan Loebis meninggal di usia 78 tahun pada Senin, 2 September 2019. Semasa hidup, dia pernah diasingkan ke Pulau Buru, Maluku oleh rezim orde baru. Cerita ini terjadi ketika Amarzan menjadi redaktur Koran Harian Rakyat, media yang dianggap dekat dengan gerakan kiri.

Selama 12 tahun hidup di pengasingan, Amarzan memiliki banyak pengalaman. Dia menyesalkan tak ada lagi bekas bangunan yang tertinggal di tempat pembuangan tahanan politik itu.

Barak-barak yang dulu menjadi tempat tidur para tahanan di 22 unit sejak lama dihancurkan. Tak ada lagi jejak untuk sekedar mengingat sejarah.
"Bangunan kamp sudah diratakan untuk menghapus jejak. Tidak ada lagi bangunan yang ditinggalkan. Padahal kalau ditinggalkan, ya saya kira bagus untuk obyek wisata sejarah," ujar dia di sebuah wawancara dengan Tempo Institute pada 2012.
"Bagaimana kita bisa punya sejarah, wong kita merusak sejarah kita sendiri".
Bagi Amarzan, diasingkan ke Pulau Buru menyisakan kenangan pahit tentang rezim Soeharto. Pada tahun 1965 adalah awal berkuasanya rezim yang sangat otoriter, tak percaya demokrasi, tak peduli hak asasi manusia, dan tak mau mendengar perbedaan pendapat.

Ketika itu, rezim Soeharto dapat menangkap siapa saja yang mengkritik pemerintah, tanpa proses pengadilan. 
"Hal yang paling sulit dilupakan, Soeharto merampas usia produktif saya. Ditahan usia 27, dilepaskan usia 39 tahun. Saya keluar, teman-teman saya sudah jadi doktor," kata Amarzan.

Kamis, 15 Agustus 2019

Bumi Manusia: Film adaptasi dari buku mantan tapol yang pernah dilarang, 'perjalanan sulit' Pramoedya Ananta Toer


15 Agustus 2019

Bumi Manusia diadaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer yang pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung. Larangan ini belum pernah dicabut, sekalipun sudah tidak memiliki kekuatan hukum. FALCON PICTURES

Film Bumi Manusia, adaptasi dari buku yang pernah dilarang karya Pramoedya Ananta Toer diluncurkan menjelang hari kemerdekaan, langkah untuk menggambarkan "perjalanan sulit' mantan tapol dan "mengenang korban penderitaan orde baru".

Bumi Manusia yang dibintangi antara lain oleh Iqbaal Ramadhan - pemeran film Dilan - disebut produsernya HB Naveen, pendiri dan pemilik Falcon Pictures, sebagai cara menggambarkan persepsi milenial terkait kejadian 1965 yang sudah berubah.

Buku Bumi Manusia dan buku-buku Pram lain sudah dijual bebas. Naveen menekankan pentingnya situasi yang sudah berubah. Novel Bumi Manusia bercerita tentang perjuangan tokoh Minke memperjuangan kedudukan pribumi melawan diskriminasi Belanda pada masa kolonial Belanda di awal abad keduapuluh. Sebagai anak bupati, Minke bisa bersekolah, dan ia menggunakan pengetahuannya untuk melawan kolonialisme Belanda. 
"Generasi kan sudah berubah, perspektif sudah berubah, persepsi sudah berubah, environment (lingkungan) sudah berubah. Jadi masyarakat millenial zaman sekarang menilai Pram itu dari karyanya. Dan bisa saya sampaikan pada minggu kemarin buku Bumi Manusia novel itu di Gramedia dicatat sebagai buku nomer dua best seller," kata Naveen.
Buku Bumi Manusia sendiri pernah dilarang pada 1981 oleh Kejaksaan Agung RI dengan surat larangan nomer SK-052/JA/5/1981. Sejak larangan itu keluar, beberapa orang mahasiswa pernah dipenjara dengan tuduhan menyimpan dan mengedarkan buku itu.

Tanggal penayangan film ini, menurut Naveen memang sengaja dipilih untuk memperingati Kemerdekaan Indonesia dan juga untuk mengingat "kehebatan Pram."
Naveen mengatakan, "Dari perspektif kami bahwa itu Pram tidak mendapatkan yang semestinya. Kehebatan yang dilakukan oleh beliau di Indonesia, dengan menulis begitu banyak novel. Juga perjalanan beliau yang cukup susah dan cukup rumit. Kita ingin dengan kita launching tanggal 15 Agustus itu, beliau diingatkan kembali, sebagai sumbangsih beliau kepada Indonesia dengan novel sastra yang demikian hebat."
Memiliki atau mengedarkan novel Bumi Manusia dan buku-buku Pramoedya Ananta Toer lainnya pernah menjadi sesuatu yang bisa membawa risiko seseorang menjalani hukuman penjara. FALCON PICTURES

Novel Bumi Manusia sendiri kini sudah dijual bebas. Namun surat larangan Kejaksaan Agung itu belum pernah dicabut. Naveen sendiri menyatakan belum memastikan apakah larangan sudah resmi dicabut.
Tetapi ia mengatakan novel Bumi Manusia "sejak 10 tahun lebih sudah terbit di toko buku."

"Mengenang penderitaan korban orde baru"

Pengamat yang menjadi dosen di Direktur Herbert Feith Centre dan profesor di Monash University Australia, Ariel Heryanto, melihat bahwa soal larangan Bumi Manusia pada awal 1980an mencerminkan kacaunya peraturan masa Orde Baru yang terbawa hingga kini.
"Soal larangan Orde Baru terhadap Bumi Manusia ini kacau lagi. Peraturan mereka itu kan compang-camping. Jadi di zaman Orde Baru sampai sesudah Orde Baru juga, peraturan itu ngga dibuang dan dimasukkan tong sampah.
Pemerintah ini lebih suka bikin larangan-larangan baru untuk membatasi kehidupan rakyat, ketimbang membersihkan dan menghapus larangan yang sudah kadaluwarsa."
Melalui akun Twitternya, Ariel juga menyatakan film ini dapat dipakai untuk "Mengenang pula penderitaan beliau dan seluruh keluarganya sebagai korban rezim Orde Baru."
Peraturan yang menjadi dasar pelarangan buku-buku di Indonesia terutama yang dianggap kiri atau berhaluan komunis adalah UU No.4/PNPS/1963. UU ini sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010.

Pengacara yang menangani gugatan itu, Taufik Basari menyatakan bahwa SK pelarangan itu sebenarnya sudah tidak memiliki kekuatan hukum lagi.
Taufik mengatakan, 
 "Ketika suatu keputusan hukum sudah tidak ada dasar hukumya lagi, maka keputusan itu menjadi keputusan yang abu-abu, di mana secara hukum sebenarnya dia sudah tidak lagi mempunyai kekuatan hukum tapi secara administratif, SK-nya belum dicabut."
BBC Indonesia telah beberapa kali mengontak pihak Mahkamah Agung melalui Kapuspenkum, Mukri, namun tidak mendapat tanggapan.

FALCON PICTURES | Penayangan perdana tanggal 15 Agustus terkait dengan perayaan kemerdekaan Indonesia karena novel Pram Bumi Manusia dan Perburuan bercerita tentang momen dalam sejarah yang anti terhadap kolonialisme.

Perjalanan susah dan rumit dan menciptakan novel sastra hebat
Buku Bumi Manusia sendiri dilarang oleh Kejaksaan Agung bersamaan dengan Anak Semua Bangsa.

Pada tahun 1985, novel Jejak Langkah juga dilarang. Pelarangan ini dikait-kaitkan dengan posisi Pram yang dekat dengan Lembaga Kesenian Rakyat atau LEKRA, organisasi kebudayaan di bawah Partai Komunis Indonesia.
Pram sendiri dijadikan tahanan politik di Pulau Buru - tempat di mana novel-novel itu dihasilkan - bersama dengan para tahanan anggota PKI dan simpatisannya.

Menanggapi hal ini, HB Naveen menyatakan tidak mempersoalkan posisi Pram dan yang utama adalah jasa besar Pram bagi Indonesia.
"Dari perspektif kami bahwa Pram tidak mendapatkan yang semestinya (yaitu) kehebatan yang dilakukan oleh beliau di Indonesia, dengan menulis begitu banyak novel. Juga perjalanan beliau yang cukup susah dan cukup rumit. Kita ingin dengan kita launching tanggal 15 Agustus itu, kita diingatkan kembali akan sumbangsih beliau kepada Indonesia dengan novel sastra yang demikian hebat."
Ariel Heryanto juga menyambut baik peluncuran film yang didekatkan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia.
"Saya sih menyambut baik kalau ada perayaan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia dikaitkan dengan jasa-jasa orang-orang komunis. Sudah saatnya lah kita mengakui jasa-jasa orang-orang kiri - termasuk yang komunis - dalam perjuangan kemerdekaan RI." kata Ariel.
Sejumlah orang yang telah menyaksikan film ini menyambut dengan menulis melalui Twitter, "Sebagus itu sih #BumiManusia, keluar bioskop mewek dong dan yang bikin terharu setelah film selesai satu studio hampir pada standing applause."
Mantan aktvisi dan politisi Budiman Sudjatmiko menyebut, "Awal kesadaran kebangsaan Indonesia layak difilmkan lewat #BumiManusia."
Pengguna lain menulis, "Tak terbayangkan, Bumi Manusia bisa hidup dan kita tonton di bioskop!"

Rabu, 14 Agustus 2019

Pram dan Pulau Buru, Tempat Lahirnya Bumi Manusia


AHMAD NAUFAL DZULFAROH - 14/08/2019, 05:30 WIB

Pramoedya Ananta Toer.(KOMPAS/LASTI KURNIA)

KOMPAS.com - Sosok Pramoedya Ananta Toer, kembali menjadi perbincangan ketika novelnya yang berjudul Bumi Manusia difilmkan.  


Pram, nama panggilannya, merupakan sastrawan Indonesia yang pernah menjadi tahanan politik di masa Orde Baru. Ia dituduh terlibat dengan PKI, sehingga dipenjara bersama ribuan tahanan politik lainnya di Pulau Buru pada tahun 1966.

Berbicara sosok Pram, tak bisa dilepaskan dari Pulau Buru. Selama 13 tahun dalam masa tahanannya, Pram menghasilkan karya besar berupa Tetralogi Pulau Buru yang hingga saat ini masih bisa kita nikmati. Tetapi, apakah empat novel tersebut ditulis tanpa fasilitas mesin tik, kertas, dan meja tulis?

Dikutip dari Harian Kompas (15/5/2006), Pram tidak memiliki fasilitas untuk menulis atau mengarang sebagaimana tahanan politik lainnya.

Para tahanan, termasuk Pram, diharuskan bekerja di ladang atau kerja fisik lainnya hampir sembilan jam per hari. Humor dan Seks Di malam hari pun, lampu wajib dimatikan pada pukul 20.00 malam.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang dipenjara di Pulau Buru sekitar tahun 1977, menyelesaikan karya-karyanya dengan sebuah mesin tik tua. (KOMPAS/SINDHUNATA)

Dalam kondisi demikian, sulit bagi para tahanan untuk menulis. Selain tidak ada waktu, para tahanan juga tidak memiliki fasilitas untuk itu. Akan tetapi, Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro datang ke Pulau Buru pada tahun 1972 dan menanyakan kebutuhan yang diinginkan Pram.


Pada saat itu juga si pengarang ulung itu mengajukan permintaan untuk memperoleh mesin tik, dan alat tulis-menulis. Permintaan tersebut pun segera dipenuhi oleh Jenderal Soemitro.

Baru pada tahun 1973, Pram diperlakukan lebih khusus dibandingkan dengan ribuan tahanan lainnya dan mendapatkan fasilitas yang ia minta sebelumnya.

Penderitaan Pram di Pulau Buru juga berpengaruh pada gaya penceritaannya. Pram hampir tidak pernah menyelipkan humor dan seks dalam novelnya.
 "Hidup saya dalam penindasan terus, bagaimana mau ketawa? Paling-paling yang bisa saya lakukan mengejek. Kalau soal seks banyak, cuma tidak mendetail," kata Pram seperti diberitakan Harian Kompas (4/4/1999).
Apa yang membuat Pram begitu ditakuti dulu, namun dirayakan kini?

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, pernah meneliti tentang dekolonisasi dalam karya Pram. Ia menyebut, di Orde Lama kritik yang disampaikan Pram lewat esai dan ceritanya juga dilakukan oleh banyak penulis lainnya.

Namun setelah Orde Baru berkuasa, Pram menjadi satu dari sedikit penulis yang masih berani melawan kendati dalam tahanan.
"Tahun 1970-an bentuk novel sejarah seperti Pram enggak banyak. Boleh dibilang dari segi itu Pram pelopor lah, bikin historical novel. Ini genre yang khas karena selalu berusaha menggambarkan masyarakat sebagai totalitas, bukan fragmen. Dari segi itu belum ada bandingannya," kata Fay, panggilan akrab Hilmar Farid dalam perbincangan dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
Penulis : Ahmad Naufal Dzulfaroh
Editor : Sari Hardiyanto


Jumat, 17 Mei 2019

Sepetik harapan mantan tapol di Pulau Buru

Jumat, 17 Mei 2019

Pantai Sanleko
Pantai Sanleko tempat mendaratnya para tahanan politik unit IV saat di buang di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Bergetar tangan Diro Utomo saat menceritakan tersiksanya ia dan ribuan tahanan politik lainnya pada awal masa pembuangan mereka di Pulau Buru untuk dipaksa bekerja membuka hutan dan membuat sawah hanya dengan sebuah cangkul.

Diro Utomo pria berusia 83 tahun itu dibawa ke Pulau Buru pada tahun 1971 dan langsung ditempatkan Unit XVIII meski tanpa ada alasan yang jelas mengapa ia ditangkap dan ditahan.

Memeluk kawan senasib
Mantan tahanan politik Diro Utomo (kiri) memeluk kawan senasibnya Slamet (kanan) di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Pulau Buru yang berada di Maluku menjadi lokasi tempat pemanfaatan (Tefaat) yang kemudian berubahan menjadi Inrehab (Instalasi Rehabilitas) para tahanan politik yang ditangkap pasca-G30S/PKI untuk dimanfaatkan membangun kawasan persawahan.

Hamparan sawah
Hamparan sawah hasil kerja paksa para tahanan politik di Savana Jaya, Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Namun dari sekitar 12 ribu tahanan politik yang dibawa ke Pulau Buru tak semuanya terkait dengan organisasi terlarang PKI. Banyak dari mereka yang difitnah sebagai anggota PKI karena ada yang tak suka pada mereka.

Tugu peresmian
Tugu peresmian nama desa Savana Jaya pada masa pembuangan tahanan politik di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

“Pada saat itu telunjuk lebih mematikan dari pada senjata, seseorang yang tidak suka sama kita dengan mudahnya menunjuk kita sebagai PKI sehingga kita ditangkap dan dijadikan tahanan politik tanpa melalui proses pengadilan”, ujar Diro.

Seperti Solikhin, pria berusia 84 tahun itu ditangkap bersama istrinya pada pertengahan 1966 di Tasikmalaya karena di halaman rumahnya ditemukan peta rencana penyerangan kantor polisi yang sama sekali ia tak pernah melihat peta tersebut sehingga ia harus dibuang ke Pulau Buru pada tahun 1970 dan menghuni unit IV/Savana Jaya.

Menetap di Pulau Buru
Mantan tahanan politik Sugito (kanan) bersama istrinya Sugiharti yang juga anak mantan tahanan politik memilih menetap di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Selama menjalani kerja paksa, para tahanan politik pun kerap mendapatkan kekerasan dari tentara yang mengawasi mereka selama bekerja di unit masing-masing.
Panen padi
Foto hasil reproduksi empat tahanan politik saat melakukan panen padi di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

“Boleh dibilang Pulau Buru ini dibangun dengan keringat dan air mata tahanan politik sehingga Buru kini telah menjadi lumbung padi di kawasan Indonesia Timur”, tutur Solikhin yang memilih hidup di Savana Jaya.

Berladang
Mantan tahanan politik Diro Utomo berladang di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Mulai tahun 1972, banyak istri dan anak para tapol didatangkan dari Pulau Jawa sehingga setelah masa pembebasan pada tahun 1979 banyak para mantan tahanan politik lebih memilih menetap di Pulau Buru tempat dimana mereka menghabiskan waktunya dalam bekerja paksa.

Anak mantan tapol
Anak mantan tahanan politik bekerja sebagai pegawai di SDN 1 Waepo, Savana Jaya, Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Kehadiran anak-anak tapol yang masih gadis pun menimbulkan benih-benih cinta dari para tahanan politik yang masih bujangan. Banyak dari mereka yang menikah dan memilih menetap di Buru.

Foto lawas
Foto mantan tahanan politik Solikhin memeluk istrinya sebelum ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Seperti Sugito, pria kelahiran 1942 itu jatuh hati dengan seorang anak tahanan politik bernama Sugiharti yang akhirnya menikah pada masa tahanan politik 1978 meski di akte pernikahannya tertulis pekerjaan seorang tahanan politik.

Foto pernikahan
Foto hasil reproduksi pernikahan tahanan politik Sugito (kedua kiri) dan anak mantan tahanan politik Sugiharti (kedua kanan) pada tahun 1978 di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Para mantan tahanan politik yang berada di Pulau Buru kini sudah hidup dengan tenang, ada yang menghabiskan sisa hidupnya dengan bertani hingga membuka warung untuk memenuhi kebutuhan hidupnnya.

Berpose di depan rumah
Mantan tahanan politik Solikhin berada di depan rumahnya di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Mereka pun telah berbaur dengan para transmigran yang didatangkan dari Pulau Jawa meski sesekali ada saja yang menyebut mereka “dasar PKI” bila ada seseorang yang jengkel dengan mereka.

Mencoblos saat Pemilu
Mantan tahanan politik Diro Utomo (kiri) dan anak dari tahanan politik Sugiharti (kedua kiri) melakukan pencoblosan saat Pemilu 2019 di Savana Jaya Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Pascapemilu 2019, mantan tahanan politik berharap siapapun presiden yang terpilih nanti dapat mengembalikan nama baik mereka dan keluarganya agar mereka dapat hidup lebih aman dan tentram. Harapan tak terjadi lagi peristiwa yang pernah mereka rasakan pun terus terucap.

Foto dan teks : Hafidz Mubarak A