Empat belas tahun pengasingan di Boven Digul. Tujuh tahun
penahanan di Pulau Buru.
Oleh: Bonnie Triyana
RUMAH berpagar kuning itu terletak berhadapan dengan
lapangan serbaguna di sebuah perumahan di bilangan Kunciran, Tanggerang.
Gerbang pagar setinggi dada orang dewasa itu segera dibuka setelah beberapa
kali terucap salam.
Seorang pria senja berkemeja putih dan bercelana panjang
batik tampak berdiri di pintu menyambut dengan senyum dikulum. Tangan kirinya
berpegangan pada tembok, menopang tubuh rentanya.
“Tangan kanan saya kena stroke, tak bisa lagi digerakkan. Silahkan masuk,” katanya mempersilahkan. Dia pun menyeret langkahnya untuk duduk di kursi.
Lelaki itu adalah Tri Ramidjo, 85 tahun. Sakit tak pernah
menghalanginya untuk beraktivitas. Tri melek teknologi. Dia tak gagap
menggunakan komputer dan akrab dengan internet. Sampai hari ini dia aktif
sebagai anggota jejaring sosial Facebook dan kerapkali membagi
pengalaman hidupnya di berbagai mailing list. Semangatnya tak pernah
pudar.
“Tubuh saya sakit, tapi semangat saya masih selalu ada,” kata dia.
Senyumnya selalu mengembang saat bercerita tentang
pengalaman masa kecilnya di Boven Digul, Papua. Pria kelahiran Kutoardjo, 27
Februari 1926 itu dibawa saat masih bayi oleh kedua orangtuanya, Kyai Dardiri
Ramidjo dan Nyi Darini Ramidjo, ke Tanah Merah, Digul.
Kyai Dardiri dibuang ke Digul karena turut aktif dalam
pemberontakan komunis melawan pemerintah kolonial pada 1926. Dardiri dan Darini
masih sepupuan. Mereka adalah cucu dari Kyai Hasan Prawiro, pengikut setia
Pangeran Diponegoro yang mengobarkan perang Jawa pada 1825-1830.
Kamp Boven Digul dibangun oleh pemerintah kolonial
pertama kali untuk memenjarakan aktivis PKI yang terlibat pemberontakan 1926.
Menurut Ruth T. McVey pemerintah kolonial memindahkan 1.308 lebih mereka yang
terlibat pemberontakan. Beberapa tokoh yang ditahan di sana antara lain Ali
Archam, Sardjono, Mas Marco Kartodikromo, Kyai Maskur (ayah MH Lukman, tokoh
PKI) dan KH Tubagus Achmad Chatib, pemimpin pemberontakan PKI di Banten.
Pada masa selanjutnya kamp Digul juga digunakan sebagai
tempat pembuangan aktivis pergerakan nasional seperti Hatta dan Sjahrir.
Menurut Bung Hatta dalam buku Mengenang Sjahrir (1980)
waktu itu kampung Tanah Merah terbagi dua.
“Kedua bagian itu dipisah pula oleh sebuah jalan yang lebarnya kira-kira dua meter. Rumahku terletak di jalan itu. Sebelah kanan jalan itu disebut kampung B, sebelah kirinya kampung A,” kata Bung Hatta.
Menurutnya orang-orang yang tinggal di kampung A memilih
untuk tak bekerja pada pemerintah. Mereka disebut kaum “naturalis” karena
menerima jatah makanan per bulan secara natura dari pemerintah setempat dalam
bentuk 18 kg beras, 2 kg ikan asin, 300 gram teh, 300 gram kacang hijau, 2/3
botol limun minyak kelapa. Sementara itu kampung B dihuni golongan “werkwillig”
yang bekerja untuk pemerintah dengan upah 40 sen sehari.
Sementara golongan ketiga adalah golongan “die hard” yang
sejak datang kali pertama ke Digul menolak bentuk kerjasama apapun dengan
penguasa setempat. Bahkan mereka menolak untuk membersihkan pekarangan tempat
tinggal mereka sendiri. Mereka tak mau membangun rumah atau pun kampung sendiri
dan memilih untuk tinggal di satu barak yang telah disediakan.
“Mereka itu dicap sebagai “onverzoenlijken” – menentang terus,” tulis Bung Hatta. Golongan ini ditempatkan di Tanah Tinggi, kira-kira berjarak tempuh sehari perjalanan ke arah hulu sungai Digul.
Tri dan orangtuanya tinggal di kampung Tanah Merah dan
masuk ke dalam golongan naturalis. Kemudian ayah Tri berhenti jadi natura dan
memutuskan untuk jadi “daggelder” (buruh harian). Berbeda dengan keterangan
Bung hatta, upah yang diterima ayah Tri sebagai buruh harian sebesar 10 sen per
hari.
Tri kecil dan kawan sebayanya sering bermain mengunjungi
rumah Bung Hatta untuk belajar bahasa Inggris. Dia pun mengenal baik Sjahrir
dan kerapkali mendapatkan cokelat darinya.
“Oom Hatta itu orangnya penyendiri sementara Oom Sjahrir lebih luwes mau bergaul dengan siapa saja,” kenang Tri yang memanggil kedua tokoh itu selayaknya paman sendiri.
Hatta dan Sjahrir tak lama berada di
Digul.
Mereka datang pada Januari 1935 dan dipidahkan ke Banda
Neira pada November 1935.
Para tahanan politik Digul selalu merayakan peringatan
pemberontakan PKI setiap 12 November. Tri mengisahkan pada perayaan itu dia dan
kawan sebayanya saat itu menyanyikan lagu-lagu perjuangan seperti “Dua Belas
November”, “Satu Mei” dan “Enam Jam Kerja”.
“Tapi sayang, tengah kami bernyanyi-nyanyi, datanglah sepasukan baju hijau, yaitu serdadu kolonial Belanda bersama Lurah Tanah Merah Oom BS,” kata Tri merahasiakan nama lurah itu. Tanpa babibu lagi pasukan langsung membubarkan hajatan.
“Perayaan kami dibubarkan, diobrak-abrik, dan kue-kue yang seharusnya bisa kami nikmati itu berhamburan di tanah berwarna merah kecoklat-coklatan di halaman rumah Oom Kadirun,” kenang Tri menggambarkan suasana.
Dia kembali melanjutkan kisahnya, “Anak-anak perempuan ada yang menangis karena kehilangan kuenya... Mas Suroso dan Mas Lukman digelandang oleh serdadu-serdadu Belanda walaupun mereka berdua belum dewasa mereka dijebloskan dalam tahanan.”
Lukman yang dimaksud Tri adalah MH Lukman, kelak jadi tokoh
PKI dan dikenal sebagai salah satu dari tiga serangkai Aidit-Njoto-Lukman.
Seperti Tri, Lukman pun turut ke Digul beserta kedua orang tuanya.
Ayahya, Kyai Muklas juga tokoh dalam perlawanan terhadap
Belanda di tahun 1926. Setelah insiden perayaan itu, Kyai Muklas dan beberapa
keluarga lainnya dipindahkan ke Tanah Tinggi, daerah pembuangan buat golongan
“die hard”.
Sedangkan BS yang dimaksud Tri kemungkinan besar adalah
Budi Soetjitro (dalam buku Mengenang Sjahrir Bung Hatta menyebutnya
Budisucipto, Ruth T. McVey dalam buku Kemunculan Komunisme Indonesia menulisnya
dengan ejaan Budisutjitro) tokoh PKI yang ditunjuk jadi lurah Tanah Merah dan
dianggap telah tunduk pada pemerintah.
Ketika Jepang datang, Belanda bertekuk lutut tanpa
perlawanan. Sebagian tahanan politik di Boven Digul dibawa ke Australia, tempat
di mana pemerintah Hindia Belanda menjalankan pemerintahan pengasingannya.
Pada 1942 Jepang berhasil menguasai seluruh wilayah
Hindia Belanda. Dua tahun sebelum kedatangan Jepang, Tri bersaudara diboyong
terlebih dahulu ke Jawa oleh ibunya.
“Semula ibu tak mau pulang karena di Jawa sudah tak punya apa-apa, tapi ayah mendesaknya karena sebentar lagi akan terjadi perang besar, nanti anak-anak akan sangat menderita,” kata Tri dalam memoarnya Kisah-Kisah dari Tanah Merah: Cerita Digul Cerita Buru.
Pada 1944 Tri ikut pelatihan militer dan lulus sebagai
perwira yang bertugas di Kalimantan Barat. Saat Jepang mulai kalah perang, Tri
melarikan diri bersama puluhan anak buahnya yang bersenjata lengkap. Jepang kemudian
kalah perang. Indonesia merdeka. Pada masa revolusi itu Tri kembali melanjutkan
sekolahnya yang sempat tertunda sambil bekerja mengayuh becak di Jakarta.
Tri kemudian bekerja di Algemeene Volkscrediet Bank.
Sebagai pegawai bank, dia mendapat gaji dan tunjangan yang mencukupi hidupnya.
“Kemapanan” itu hanya berlangsung beberapa saat saja,
sampai kemudian, pada suatu hari di bulan Agustus 1950 dia bertemu dengan Siti
Rollah, kakak perempuan MH Lukman, yang pernah tinggal bersama di Tanah Merah
beberapa tahun sebelumnya. Sembari bercanda Rollah menyindir Tri yang memilih
hidup sebagai pegawai bank.
“Kamu mau jadi borjuis, yah?” kata Tri meniru sindiran Rollah diamini oleh Lukman, Njoto, dan Aidit yang ada pada saat itu.
“Saya malu betul waktu itu,” kata Tri pelan.
Setelah pertemuan itu Tri keluar dari pekerjaannya. Dia
memilih untuk bergabung dengan tiga serangkai Aidit-Njoto-Lukman dan mengelola
penerbitan Bintang Merah dan Bulletin PKI .
Kegiatan redaksi Bintang Merah menumpang di
pavilyun kontrakan milik Peris Perdede di Gang Kernolong 4, Jakarta Pusat. Dari
bilik kontrakan itu pula Aidit, Njoto dan Lukman membangun kembali kekuatan
partai yang sempat luluh lantak setelah peristiwa Madiun 1948.
Tri yang alumnus Universitas Waseda, Jepang itu bahu membahu mengerjakan semua hal. “Mulai administrasi sampai redaksi saya kerjakan semua.”
Pada masa-masa awal itu Tri mengambarkan betapa sulitnya
mengelola penerbitan berkala. Untuk mencetak perlu izin dari kementrian
penerangan berupa Surat Izin Pembelian Kertas (SIPK). Tanpa izin itu sukar
untuk mencetak secara resmi.
“Beruntung waktu itu Pak Budiardjo yang bekerja di Departemen Perekonomian mau membantu kami untuk mendapatkan surat izin,” ujar Tri.
Budiardjo adalah
suami Carmel Budiardjo, perempuan Inggris yang bekerja untuk Kementerian Luar
Negeri RI. Mereka berdua ditangkap setelah pergolakan politik Oktober 1965
meletus. Carmel kini tinggal di London dan aktif mengelola lembaga nirlaba
TAPOL yang memokuskan kegiatan pada advokasi tahanan politik dan penegakan hak
azasi manusia.
Seiring waktu kegiatan redaksi Bintang Merah dan Bulletin
PKI semakin bertambah. Apalagi Aidit, Njoto dan Lukman mulai mengadakan
pembenahan di tubuh partai. Markas mereka pun berpindah dari Gang Kernolong 4
yang sempit ke sebuah rumah di Gang Lontar IX No. 18, Jakarta Pusat. Tri
mengontrak sebuah kamar di jalan Salemba, tak jauh dari tempatnya beraktivitas.
Hubungan Tri dengan Njoto kian akrab. Dia bahkan menawari Njoto untuk tinggal
bersamanya.
“Njoto saya ajak tinggal bersama di tempat saya. Dia orang yang pintar, suka musik dan olahraga. Kami sering main bulutangkis sama-sama,” kenang Tri lirih.
Tri punya kenangan lain bersama Njoto. Pada Agustus 1951
kabinet Sukiman melancarkan razia terhadap anggota PKI. Razia tersebut bermula
ketika segerombolan orang tak dikenal mengenakan simbol palu arit menyerbu
kantor polisi di Tanjung Priok. Ribuan kader dan pemimpin PKI ditangkap. Sehari
sebelum kejadian, Tri mengajak Njoto pindah ke rumah sebelah.
“Buat apa pindah?” kata Njoto ragu, mencoba menolak ajakan Tri. Setelah meyakinkan Njoto, Tri berhasil mengajaknya pindah kos. Mereka berdua pun selamat dari razia.
“Saya juga nggak mengira seperti itu, tapi akhirnya kami tak kena razia,” ujar Tri mengulum senyum.
Aidit juga lepas dari kejaran itu. Berdasarkan penuturan
adiknya, Murad Aidit, dia bersembunyi di sebuah rumah kontrakan di bilangan
Tanjung Priok untuk beberapa waktu lamanya. Kabar yang sempat tersiar saat itu
Aidit melarikan diri ke luar negeri. Razia tersebut menjadi salah satu
rintangan berat yang dihadapi oleh mereka di saat merintis kembali kekuatan
partai yang sempat terserak.
Dalam kolomnya di Majalah TEMPO edisi khusus
Aidit, 1 Oktober 2007, sejarawan Hilmar Farid menulis sejak Januari 1951 Aidit
beserta Njoto dan MH Lukman mengambilalih kepemimpinan partai.
“Pengambilalihan partai dari apa yang disebut "kalangan tua" oleh Aidit, Lukman, dan Njoto, pada awal 1951 bukanlah proses yang mudah.
Perdebatan berlangsung di tingkat pimpinan pusat sampai kader-kader daerah,” tulis kandidat doktor National Unversity Singapore itu. Kerja keras meraka tak sia-sia. Pada Pemilu 1955 PKI memperoleh suara terbanyak keempat setelah PNI, Masyumi dan NU.
Tri masih tetap aktif mengelola penerbitan dan sukarela
berkegiatan di partai yang telah memiliki kantor sendiri di jalan Kramat Raya
81. Tapi dia tak pernah sengaja mendaftar jadi anggota PKI.
“Persyaratannya terlalu berat, saya takut melanggarnya,” kata Tri sambil menyebutkan beberapa syarat keanggotaan yang masih dia ingat betul.
Kegiatan Tri di partai dibarengi dengan pekerjaan
rutinnya sebagai pegawai di Departemen Pekerjaan Umum.
“Waktu dulu gampang saja bekerja di PU sambil aktif di partai,” ujarnya.
Pada 1962 Tri berhasil diterima di Fakultas Ekonomi
Universitas Waseda, salah satu universitas terbaik yang ada di Jepang. Di tahun
itu juga dia berangkat ke Tokyo, Jepang meninggalkan seorang istri dan anaknya
yang tetap tinggal di Jakarta. Saat menempuh kuliah itulah peristiwa G.30.S
1965 meletus. Ribuan pemimpin dan kader PKI ditangkap dan dibunuh. Sahabat Tri,
Njoto, pun hilang tak tentu rimbanya. Begitu pula Aidit dan Lukman. Selesai
studi pada 1967, Tri memutuskan pulang ke Indonesia. Nasib baik tak berpihak
padanya.
Salah seorang kerabatnya melaporkan kalau Tri, anak PKI
Digul, telah pulang ke Indonesia. Polisi pun segera menangkapnya. Setelah
penangkapan itu siksaan demi siksaan diterimanya. Tri dipaksa mengaku sebagai
anggota PKI dengan lecutan ikan pari dan bogem mentah sampai babak belur. Tak
hanya itu, interogator yang terdiri dari seorang letnan, seorang sersan RPKAD
dan seorang interogator sipil menjulurkan kabel, menyetrum kemaluan Tri.
Siksaan itu masih harus ditambah lagi dengan gencetan kaki meja pada ujung
jempol kakinya.
Setiap kali dipaksa mengaku PKI, secara lantang dia
mengakuinya.
“Ya, ayah saya juga PKI, Perintis Kemerdekaan Indonesia. Mendapat pengesahan dari Departemen Sosial RI dan setiap bulan mendapat tunjangan sosial dari pemerintah. Saya juga PKI, Perintis Kemerdekaan Indonesia,” tutur Tri mengisahkan penyiksaannya. Jawaban itu ditingkahi dengan pukulan bertubi-tubi dan setruman yang tanpa henti sampai Tri tak sadarkan diri.
Belakangan, saat Tri berada di pulau Buru, tahu kalau
interogator sipil itu adalah tokoh organisasi kepemudaan yang berafiliasi
dengan PKI.
“Dia anggota pimpinan pusat IPPI, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia, yang namanya cukup terkenal dan bahkan katanya ketika pernikahannya mendapat sambutan dari Ketua CC PKI DN Aidit,” katanya
Pada 1971 Tri ditahan di Pulau Buru. Dia ditempatkan di
Unit 15 setelah sebelumnya ditahan di Unit 14.
“Unit 15 ini, orang mengatakan tempat tokoh-tokoh pimpinan PKI, mantan anggota DPR, sarjana lulusan pelbagai universitas dalam dan luar negeri. Ya, pokoknya yang dianggap oleh penguasa tokoh-tokoh kepala batu, die hard,” kenang Tri.
Tri dibebaskan pada 20 Desember 1977. Setibanya di
Jakarta dia mendapatkan kabar kalau istrinya telah menikah lagi dan memperoleh
seorang anak dari perkawinan itu.
“Aku terdiam. Aku tak bisa berucap kata. Ke mana aku harus menuju sekarang. Ke rumah kontrakan istriku yang kini sudah bersuamikan orang lain atau ke mana?” tulis Tri dalam memoarnya. Setelah menemui istrinya, Tri akhirnya memilih tinggal di rumah salah satu kerabatnya.
Dia tak ingin menganggur dan pasrah. Berbekal batu asah,
Tri keliling Menteng, menjajakan keahliannya mengasah pisau dan gunting. Suatu
hari di jalan Pekalongan seorang perempuan memanggilnya dan meminta Tri
mengasah pisau. Selesai mengasah nyonya rumah datang ke rumah dan turun dari
mobilnya. Dia langsung memegang pisau yang baru diasah dan bergumam dalam
bahasa Jepang, mengagumi ketajaman pisau hasil asahan Tri.
“Untuk memotong sashimi, bukan?” timpal Tri dalam bahasa Jepang. Nyonya Jepang tadi pun kaget, bagaimana bisa tukang asah pisau berbahasa Jepang.
Pertemuan itu pun membawa kemujuran buat Tri. Dia
diperkenalkan kepada suami nyonya tadi, yang ternyata bekerja untuk stasiun
televisi Jepang, NHK. Tri diberi pekerjaan sebagai penerjemah dan kemudian
dilibatkan dalam beberapa proyek pembuatan film dokumenter NHK. Lepas dari NHK,
Tri bekerja sebagai wartawan di Japan Economic Journal sembari membuka kursus bahasa
Jepang di rumahnya. Kehidupan yang mulai beranjak baik mendorongnya untuk
menyatukan kembali keluarganya yang tercerai berai, termasuk istrinya yang
sempat bersuamikan orang lain.
Kini Tri melintasi masa tuanya dengan terus menulis apa
pun yang masih diingatnya dari masa yang telah usai. Kesadarannya akan laku
manusia dalam sejarah membuat Tri Ramidjo tak pernah mendendam pada siapa pun
yang menyebabkan hidupnya menderita.
“Mengapa rasa benci dan dendam itu kutenggelamkan? Karena rasa benci dan dendam bagaikan api dalam sekam yang akan membakar diri sendiri,” tulis Tri, melepas semua beban yang menggelayutinya.
0 komentar:
Posting Komentar