Muflika Nur
Fuaddah - Selasa, 24 September 2019 | 06:30 WIB
illustrasi
Seakan masih lekat diingatan bahwa tragedi kemanusiaan
peristiwa Gerakan 30 September 1965 / G30S 1965 menyisakan luka yang mendalam.
Kemudian untuk erespon peristiwa G30S, hadir kebijakan
pemberantasan terhadap orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan para simpatisannya.
Sehingga hal iyu turut menyulut konflik sosial di Jawa
dan Bali hingga menyebar ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Seusai kejadian G30S, konflik yang berujung pembunuhan
terjadi di daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Salah satunya adalah Operasi Gagak Hitam yang berada di
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Para algojo atau penjagal muncul sebagai eksekutor untuk
membunuh orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI) atau mereka yang dicap
sebagai PKI.
Berikut adalah kesaksian seorang anggota Gagak Hitam
yang Tribunnewswiki.com kutip dari Liputan Khusus Tempo edisi 1-7
Oktober 2012, 'Pengakuan Algojo 1965'.
Informasi yang dituliskan telah terlebih dahulu dilakukan
verifikasi melalui beberapa sumber.
Selain itu juga telah dilakukan pengecekan apakah benar
pelaku atau orang yang sekadar ingin dicap berani.
Privasi narasumber tetap diutamakan.
Pencantuman nama seseorang diperoleh melalui izin atau
berita yang telah memperoleh izin.
Beberapa orang yang tak ingin disebut namanya, maka akan
dicantumkan inisial.
Sedangkan foto yang terpampang adalah mereka yang telah
memberikan izin gambar untuk diketahui publik luas.
Tidak ada niatan untuk membuka aib atau menyudutkan
orang-orang yang terlibat.
Tribunnewswiki.com tidak mengubah beberapa pernyataan
individu untuk menjaga otentisitas sumber.
Operasi Gagak
Hitam: Balas Dendam Anggota NU dan PNI
Gagak Hitam adalah sebuah pasukan yang dibentuk untuk
menumpas anggota dan simpatisan PKI di Banyuwangi, Jawa Timur.
Gagak Hitam bukan merupakan pasukan Angkatan Bersenjata,
melainkan berisi anggota Nadhlatul Ulam (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI),
dan organisasi onderbouw keduanya yang berada di Banyuwangi, Jawa Timur.
Tugas pasukan Gagak Hitam adalah melakukan penumpasan
terhadap orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI) di daerah Banyuwangi.
Nama Gagak Hitam karena atribut yang dipakai yaitu, serba
hitam dari mulai celana, baju, hingga ikat kepala.
Dilansir oleh Tempo, pasukan Gagak Hitam dibentuk karena
kemarahan anggota NU karena sejumlah 62 anggota Ansor dihabisi oleh anggota PKI
di Dusun Cemethuk, Kecamatan Cluring, Banyuwangi, Jawa Timur.
Pada mulanya, anggota Ansor yang telah bersenjatakan
celurit, pedang samurai, keris, dan bambu runcing mempunyai tujuan untuk
membantai orang-orang PKI.
Namun demikian, anggota Ansor ini justru dihadang di
ujung desa dan disekap bersama orang-orang PNI oleh orang-orang PKI untuk
kemudian dihabisi.
Peristiwa ini selanjutnya diabadikan dalam Monumen
Pancasila Jaya atau yang dikenal dengan Lubang Buaya, di Cemethuk, Jawa Timur.
Seorang anggota Gagak Hitam, bernama Baidawi diwawancarai
Tempo mengaku membantah bahwa dirinya terlibat pembunuhan terhadap orang PKI.
"Kalau ada yang bilang saya tukang bunuh orang PKI, tidak usah didengarkan. Itu salah. Saya hanya melihat," katanya.
Dituturkan oleh Baidawi bahwa ia menjadi anggota Gagak
Hitam karena menganggap komunisme membahayakan negara.
"Tapi sekarang saya tak perlu mengingatnya lagi, asalkan PKI tidak bangkit lagi di Indonesia" ujar Baidawi.
Operasi Gagak
Hitam: Kisah Penumpasan Anggota PKI
Baidawi mengaku bahwa kegiatan penumpasan orang-orang
komunis dilakukan dengan cara diumumkan oleh seorang pegawai kecamatan
setempat.
"Sambil bawa pengeras suara, dia (pegawai kecamatan) mengumumkan bahwa orang-orang PKI harus dihabisi", kata Baidawi.
Mereka (pasukan Gagak Hitam) datang ke rumah anggota PKI
dan organisasi dibawahnya.
Setelah bertemu dengan target, mereka menghabisinya dengan
parang.
Jasad orang-orang PKI kemudian dibuang ke sungai atau
jurang.
Tak hanya itu, rumah orang PKI juga turut dibakar.
"Saat itu seperti kiamat", kata Baidawi.
Baidawi juga mengungkapkan bahwa pembantaian selain
dilakukan oleh warga, juga dilakukan oleh tentara.
Ia menceritakan pada suatu waktu, tentara kalah jumlah
anggota dengan orang-orang yang akan dihabisi.
Karena hal itu, eksekusi diserahkan kepada warga desa.
Baidawi menuturkan bahwa desanya pernah mendapat limpahan
orang-orang komunis, yang terdiri dari empat pria dan satu wanita.
Ia mengungkapkan bahwa kelima orang PKI tersebut
dieksekusi di lapangan yang saat ini telah menjadi pemakaman desa setempat.
Eksekusi dihadiri oleh ratusan warga yang semuanya
membawa parang, termasuk Baidawi sendiri.
Baidawi mengisahkan, kelima orang PKI tersebut diikat
tangannya kemudian dibantai beramai-ramai dengan parang dan dikubur dalam satu
lubang.
Seorang warga bernama Andang Chatif Yusuf yang merupakan
Sekretaris Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Banyuwangi menuturkan kepada
Tempo, bahwa jumlah korban dari pihak PKI diperkirakan mencapai ribuan.
Andang menuturkan bahwa dirinya pernah dipenjara oleh
tentara selama dua tahun.
Dituturkan olehnya, sebelum dipenjara ia dibawa ke kamp
tahanan di lapangan di Kecamatan Kalibaru.
Ia berada di kamp penahanan tersebut selama 10 hari.
Di kamp penahanan tersebut, Andang menyaksikan ada ribuan
orang yang bernasib sama dengan dirinya.
"Dari camat, lurah, carik, semua ada di kamp itu,
" kata Andang.
Menurutnya, setiap orang yang berada di sana dipisahkan
berdasarkan jenis hukumannya.
Apabila masuk kategori berat, maka akan langsung
dieksekusi pada malam harinya.
Tubuh jenasahnya dibuang di Jurang Tangis yang berada di
kawasan Taman Nasional Baluran yang berada di perbatasan Banyuwangi dan
Situbondo.
Jurang Tangis adalah salah satu kuburan massal orang PKI
di Banyuwangi.
Sedangkan lokasi kuburan massal lainnya berada di Jurang
Gunung Kumitir, yang berada di perbatsan Banyuwangi dan Jember. (Dinar Fitra Maghiszha)
--
Sumber:
Liputan Khusus
Tempo, 1 - 7 Oktober 2012 "Pengakuan Algojo 1965"
Artikel ini pernah
tayang di Tribunnewswiki.com, oleh Dinar Fitra aghiszha dengan judul asli
"G30S
1965 - Operasi Gagak Hitam, Pembantaian Anggota PKI di Banyuwangi Jawa
Timur"
0 komentar:
Posting Komentar