Oleh: R. Kreutzer
Mengingat organisasi FDR di Madiun relatif kuat dan
tangguh, maka pucuk pimpinan FDR di Yogyakarta mengambil keputusan untuk
menggunakan Madiun sebagai basis kekuatan bila terjadi sesuatu kejadian.
Sehubungan dengan itu Madiun harus diperkuat dengan kesatuan-kesatuan kekuatan
bersenjata yang bersedia mempertahankan dan membela FDR [51].
Di Madiun sudah ditempatkan beberapa kesatuan TNI yang
pro-FDR/PKI. Juga ada beberapa pasukan yang diambil dari garis demarkasi – yang
merupakan tapal batas antara daerah kekuasaan Republik dengan daerah yang
diduduki oleh tentara Belanda – sebab pertahanan Madiun pada waktu itu dianggap
menjadi lebih penting daripada pertahanan garis demarkasi.
Pucuk pimpinan FDR juga mengeluarkan perintah-perintah
khusus untuk merealisasi secepat mungkin program agraria di daerah Madiun,
seperti pembagian tanah yang lebih adil. Demikian pula soal bagi hasil untuk
memperbesar pengaruh FDR Madiun secara politis dan ekonomis di kalangan rakyat,
sambil menelanjangi tingkah laku Kabinet Hatta. Madiun harus menjadi basis
kekuatan yang tidak terpatahkan [52].
Akan tetapi agak tidak menguntungkan bagi FDR/PKI, sebab
daerah Madiun sudah sejak awal September 1948 sudah dirembesi (diinfiltrasi)
oleh kesatuan-kesatuan tentara dan kelompok-kelompok bersenjata yang
anti-komunis, serta yang berdiri di belakang Pemerintah Hatta. Corps Polisi
Militer yang anti-komunis langsung mengambil tindakan keras terhadap golongan
buruh yang melakukan pemogokan di Kotapraja Madiun. Juga Polisi Militer
melakukan pengejaran terhadap anggota-anggota SOBSI.
Menjelang pertengahan September 1948 PKI telah
mengundurkan diri dengan semua kekuatannya ke basisnya yang terakhir, Madiun.
Seandainya dia kalah di sini dan kehilangan Madiun, maka kedudukannya di
bagian-bagian lain di Indonesia juga akan terjepit secara nyata. Kira-kira
dalam waktu yang bersamaan tersiar berita yang bersumber pada bagian informasi
FDR sendiri maupun dari beberapa pejabat Kepolisian Negara, yang menunjukkan
dengan meyakinkan bahwa CPM, kesatuan-kesatuan Siliwangi (misalnya Brigade
Tengkorak) dan kesatuan-kesatuan Polisi Negara menyiapkan gerakan-gerakan
operasional untuk melucuti barisan-barisan bersenjata, kesatuan-kesatuan
tentara yang bersimpati kepada FDR/PKI.
Dan setelah itu barulah pimpinan FDR/PKI. Benar saja.
Sekira waktu itu kesatuan Siliwangi mulai memindahkan pasukannya secara
berangsur-angsur ke Madiun. Di kalangan masyarakat beredar desas-desus bahwa
pasukan ini akan melucuti barisan bersenjata TNI pro-FDR, yang menentang
penetapan Presiden No.13.
Penduduk juga memperhatikan bahwa pada hari-hari
belakangan secara mencolok banyak Polisi Militer dan kesatuan-kesatuan
Siliwangi melakukan patroli di dalam Kota Madiun. Kesatuan itu ada juga yang
mengawal bagian kota tertentu. Kesatuan-kesatuan bersenjata FDR yang
dikonfrontasikan dengan kegiatan-kegiatan dari Polisi Militer dan
kekuatan-kekuatan Siliwangi, telah bersiap siaga menghadapi serta
mempertahankan hak hidupnya dari posisinya yang terakhir di Madiun. Bahkan
mereka telah siap tempur untuk menukar posisi bertahan (defensif) menjadi
posisi menyerang (offensif) apabila itu perlu, dalam arti bahwa “menyerang
adalah pertahanan terbaik”. Keadaan menjadi tambah gawat (kritis) [53].
Anderson melukiskan posisi pimpinan FDR/PKI yang
menyesakkan dada itu sebagai berikut: “Keadaan makin memburuk. Berita diterima
bahwa Siliwangi dan Barisan Banteng telah mengalahkan Divisi Senopati di Solo
padang tanggal 17 September dan sedang mengadakan persiapan untuk menyerbu ke
pusat pertahanan Pesindo di Madiun, guna menyempurnakan kemenangannya. Dalam
keadaan seperti ini para pemimpin laskar dihadapkan kepada dua tindakan yang
mungkin diambil: Mereka dapat memutuskan untuk bersikap demikian pasif dan
tidak melawan, serta membiarkan tentara pro-Pemerintah menghancurleburkan
organisasi kemiliteran mereka di Madiun, dan di mana saja atas pertimbangan
memelihara keamanan dalam negeri, atau mengambil alih kekuasaan Pemerintah
Republik di dalam Kepresidenan... dimana orang-orang FDR sudah pasti lebih
berdominasi di dalam ibukotanya... dan kebenaran petunjuk untuk mengambil
keputusan dramatis itu akan dapat menyelamatkan mereka dan akan memadai efeknya
untuk menghentikan gerak maju pasukan-pasukan pro-Pemerintah”. [54]
Sumarsono menceritakan tentang tugas yang harus
dijalankannya untuk di luar kota Madiun menghubungi bagian anggota Pucuk
Pimpinan FDR/PKI yang masih mengembara di daerah Madiun guna menerima
instruksi-instruksi lebih lanjut. Sumarsono dan pimpinan FDR/PKI yang sedang
mengembara waktu itu mengambil kesimpulan bahwa FDR/PKI harus mendahului dan
melucuti senjata CPM, Polisi Negara, dan Siliwangi, sebelum mereka sebaliknya
dapat melucuti senjata kesatuan-kesatuan tentara tertentu yang memihak FDR.
Akan tetapi tidak ada instruksi sama sekali untuk menduduki jabatan, instansi-instansi
dan kedinasan-kedinasan pemerintah, apalagi mengambi alih kekuasaan [55].
Pada pagi-pagi sebelum fajar tanggal 18 September 1948
FDR/PKI mulai melancarkan serangan terhadap unsur-unsur pemerintahan pro-Hatta
di dalam kota Madiun. Dalam beberapa jam saja urusan itu cepat diselesaikan,
tanpa setetes darah pun yang tertumpah. Maka kota Madiun sudah di bawah kontrol
FDR/PKI. Kemudian ternyata bahwa seorang Kapten dari tentara pro-Hatta tewas.
Akan tetapi itu disebabkan oleh peluru nyasar [56].
Setiajid dan Wikana berada di Madiun. Dan mereka
memutuskan untuk mengambil alih kekuasaan baru, yang dinamakan Pemerintah Front
Nasional Daerah Madiun, tatkala mereka untuk pertama kalinya mendengar tentang
kejadian-kejadian yang dramatis di Madiun, ketika Sumarsono sedang berpidato
melalui radio dengan semangat dan penuh antusiasme. Pada malam harinya
disiarkan komentar dalam bahasa Belanda melalui Radio Gelora Pemuda. “Madiun
telah memberontak untuk menumpas semua musuh revolusi. Polisi, Polisi Militer,
dan tentara telah dilucuti senjatanya oleh rakyat. Kaum buruh dan tani telah
membentuk suatu pemerintahan yang baru. Senjata-senjata tidak diam sebelum
seluruh Indonesia dibebaskan. Dan revolusi sudah berbunyi.” [58]
Jika komentar tersebut benar, ternyatalah bahwa para
pemimpin FDR/PKI setempat telah mengambil keputusan atau inisiatif sendiri
tentang peningkatan kegiatan. Pemimpin-pemimpin FDR/PKI yang sedang mengadakan
perjalanan (tourne) seketika menghentikan kegiatan mereka dan segera berangkat
ke Madiun.
Setibanya di sana, baru saja 20 jam sesudah dimulainya
operasi, mereka mengadakan rapat untuk mendiskusikan situasi yang tidak
diduga-duga itu. Tetapi sebelum mereka sempat memberikan keterangan pers,
mereka juga telah dihadapkan dengan fakta kedua yang tak terduga. Yakni, pda
tanggal 19 September 1948 pukul 8 malam Presiden Sukarno menyatakan perang
dengan “PKI Musso”. Dalam pidato radionya ia antara lain mengucapkan:
“teranglah sudah bahwa kegiatan-kegiatan itu hanya mempunyai satu tujuan, yaitu
menjatuhkan Pemerintah Republik Indonesia... kemarin malam Musso dari PKI telah
melancarkan sebuah kup. Di Madiun pemerintah yang sah dikuasai dan dibentuk
sebuah Pemerintah Soviet di bawah pimpinan Musso.” Sukarno menyuruh rakyat
Indonesia membuat pilihan antara “Musso dengan PKI-nya yang akan membawa
cita-cita kemerdekaan Indonesia kepada kehancuran atau Sukarno dan Hatta yang
dengan bantuan atau restu Tuhan yang memimpin negara kepada Indonesia yang
merdeka, bebas dari semua penguasaan asing”.
Adalah tidak jelas apakah Sukarno pada saat itu sudah
mengetahui tentang usul kompromi atau pendekatan dari pihak FDR/PKI yang
berisi, bahwa mereka hanya membatasi diri sampai pendudukan kota Madiun saja
sebagai imbalan dari pihak penguasa di Yogyakarta untuk sungguh-sungguh
menerima elemen-elemen yang progresif di dalam pemerintahan. Akan tetapi
Pemerintah Hatta sudah kegirangan dengan terbukanya kesempatan yang sangat baik
dengan adanya usul kompromi itu untuk menyapu bersih kaum kiri dari muka bumi,
tentu saja setelah kini dia jauh lebih kuat. Belum tentu apakah kelak imbangan
kekuatan akan lebih membaik, maka oleh karena itu lebih baik sekarang
kemungkinan yang terbuka ini dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tambahan pula Kabinet
Hatta sekarang ini sudah mampu memenuhi persyaratan dari Amerika untuk
mendapatkan bantuan, seperti yang telah dikemukakan oleh Cochran pada waktu
kunjungannya kepada Sukarno dan Hatta tanggal 19 September 1948 itu juga
(barulah Sukarno mengucapkan pidato radionya. [59]
Musso atas pernyataan perang dari Sukarno itu memberi
jawaban dengan segera secara tandas dan keras. Satu jam setengah setelah pidato
Sukarno ia menjawab: “Selama tiga tahun ini rakyat sudah muak dan bosan
terhadap Sukarno Hatta. Mereka dengan Belanda dan Inggris telah menjalankan
politik kapitulasi dan sekarang ini sedang bergiat untuk lagi-lagi menyerahkan
rakyat Indonesia kepada imperialisme Amerika.
”Musso merasa yakin bahwa rakyat Indonesia akan berdiri
di pihaknya dan bukan di pihak “pengkhianat-pengkhianat” dan
“tengkulak-tengkulak romusha, Sukarno-Hatta” [60]. Alers berkomentar atas
pidato Musso begini: “Hal ini agaknya merupakan suatu cukilan jiwa politik yang
paling buruk yang menandai sejarah bangsa Indonesia”. [61]
Sesudah itu jelas terlihat timbulnya suatu selisih
pendapat antara Musso di satu pihak dan para pemimpin FDR/PKI yang lainnya di
pihak lain. Hal ini dapat disimpulkan dari dua kenyataan. Yang pertama pidato
Musso tersebut adalah keterangan Musso resmi yang paling akhir, yang keluar
dari mulutnya sendiri. Hal kedua adalah munculnya para pemimpin FDR/PKI yang
lain dengan pernyataan-pernyataan lain yang sifatnya agak lunak dan bernada
seakan mengharapkan kerujukan. Sebagai contoh pada tanggal 20 September
berucaplah Suripno lewat radio, bertalian dengan kata-kata Sukarno yang
mengharuskan rakyat memilih antara Sukarno-Hatta atau Musso, bahwa rakyat
“tidak diharuskan memilih, melainkan harus melanjutkan perjuangan kemerdekaan” [62].
Pada hari itu juga Djokosudjono menerangkan: “Affair Madiun
bukanlah satu kup, dan bukanlah itu suatu usaha untuk membunuh Republik, akan
tetapi itu adalah suatu upaya untuk mengecilkan pengaruh anasir-anasir kolonial
dan feodal.” Dan Amir Syarifuddin menyatakan: “Undang-undang Dasar kami adalah
UUD RI, bendera kami adalah Sang Saka Merah Putih. Dan lagu kebangsaan kami tak
lain dari pada Indonesia Raya” [63].
Akan tetapi blok yang dibentuk oleh Hatta, Nasution dan
Masyumi tidak mau tahu tentang perujukan atau kompromi dengan “kaum kiri”.
Mereka sudah berniat dan berketetapan hati untuk menaklukkan kaum kiri.
Bukankah sudah terbuka kesempatan yang mereka nanti-nanti dan yang telah mereka
provokasikan sendiri. Bahkan tatkala Letkol. Suharto datang ke Yogyakarta [64] dengan membawa konsepsi kompromi yang jelas atas
perintah Pak Dirman, setelah menyelidiki masalahnya dan menerangkan situasi di
Madiun lain “daripada apa yang oleh Pemerintah diumumkan lewat radio” untuk
diketahui oleh masyarakat, tetap saja Hatta, Nasution, dan pimpinan Masyumi
menolak untuk berbicara dengan para pemimpin FDR/PKI [65].
Mereka yang akan memilih Musso harus dibunuh dan barang
siapa yang memilih Sukarno harus memusnahkan mereka sampai ke akar-akarnya.
Tidak boleh ada kerja yang setengah-setengah [66]. Muryanto menerangkan tidak
ada sama sekali “kup” di Madiun. Keadaan di kota itu selama ini tenang dan
biasa-biasa saja. Tidak ada orang yang ditangkap dan dibunuh. Menurut Muryanto
yang ada ialah cuma suatu sengketa militer, yang digerakkan oleh Hatta untuk
menyerang dan mengamuk [67].
Bahan-bahan keterangan (informasi) yang baru tentang
peristiwa Madiun menjurus kepada suatu kesimpulan, terutama bagi penulis bahwa
sudah terang dan nyata di Madiun tidak ada suatu perebutan kekuasaan (coup
d’etat). Paling banter orang dapat berbicara tentang penguasaan kota
(stadsgreep, “bukan staatsgreep”).
Tidak ada perencanaan untuk menggulingkan Pemerintah
Hatta. Yang ada cuma upaya FDR/PKI untuk bersama kekuatan bersenjata dan
tentara yang anti-rasionalisasi mengubah iklim dan suasana, serta menghentikan
serangan blok reaksioner dan kontra-revolusioner bentukan Hatta, Nasution, dan
pemimpin Masyumi.
Suatu fakta nyata adalah bahwa pemerintah dengan mudah saja dapat menangkap sejumlah besar pemimpin dan anggota FDR/PKI di Yogyakarta. Hal mana lebih meyakinkan tentang tidak adanya rencana coup d’etat. Bahkan wakil-wakil yang duduk dalam Badan Pekerja KNIP hadir dalam suatu sidang badan tersebut yang diadakan ada tanggal 20 September 1948 [68]. Orang-orang yang merenanakan coup pasti tidak akan bertingkah seperti itu, melainkan mereka semuanya akan menghilang.
Hari-hari berikutnya pemerintah masih juga dengan sama gampangnya dapat menangkapi ribuan politisi, orang-orang serikat buruh, wartawan dan lainnya [69]
Ada lagi fakta, yang dari padanya orang dapat menarik
kesimpulan bahwa tidak ada permasalahan “kup”, sebab banyak yang mengetahui
bahwa sebagian pemimpin FDR/PKI bepergian dalam tourne, sedang bagian yang lain
tenang saja berada di Yogyakarta.
Hatta memerintahkan tindakan kekerasan dan berdarah tanpa
mengenal kompromi dan ampun lagi. Kota Madiun telah ditaklukkan dalam tempo 10
hari oleh kesatuan-kesatuan tentara pemerintah dengan berintikan Divisi
Siliwangi. Setelah perlawanan gigih para pemimpin FDR/PKI terpaksa menyingkir
bersama-sama dengan pasukan mereka yang kecil saja. Mereka dikejar dan
kesudahannya ditangkap satu per satu. Musso gugur dalam suatu pertempuran
sengit. Ia menghembuskan nafas yang penghabisan dengan senjata di tangan. Amir
Syarifuddin, Maruto Darusman, Suripno, Djokosujono dan pemimpin-pemimpin lain
pada bulan Desember 1948 ditembak mati oleh Gatot Subroto atas perintah Hatta.
Begitulah Indonesia telah kehilangan sejumlah
pejuang-pejuang revolusionernya, patriot-patriot sejati yang berjuang bagi
kepentingan rakyatnya. Akhirnya Indonesia melalui tangan-tangan Hatta, Nasution
dan pemimpin-pemimpin Masyumi yang reaksioner, jatuh di bawah penindasan
imperialisme Amerika. Untung saja sejumlah pemimpin-pemimpin PKI luput dari
teror Hatta. Mareka kemudian menjadi pemimpin PKI yang tertinggi.
Dan dalam proses dekolonisasi-ekonomi pada tahun 1958-an [70] mereka itu cukup mampu membuktikan tuduhan PKI dan
para pengikutnya bukan patriot adalah tidak berdasar sama sekali. Di dalam
perjuangan melawan imperialisme Amerika, Inggris dan Belanda pada tahun 1950-an
dan 1960-an mereka teguh dalam garis paling depan di antara pejuang-pejuang
sejati dalam melawan imperialisme dan neo-kolonialisme.
Sebagai penutup berikut ini disertakan beberapa tambahan
penjelasan yang terasa perlu mengenai hal-hal yang tersebut dalam tulisan ini
yang dicukil dari catatan kaki (foot note) no.60 dan 70.
*Fasisme Jepang yang menduduki Indonesia dan seluruh Asia
Tenggara membutuhkan tenaga kerja murah untuk mendirikan dan membuat
sarana-sarana pertahanan. Mereka memaksakan kepada para penguasa (pemimpin)
yang di bawah kontrol mereka di Asia Tenggara – kalau di Indonesia adalah
Sukarno dan Hatta – untuk menyediakan tenaga kerja yang murah, dalam bahasa
Jepang disebut romusha. Dalam praktek terjadilah “kerja perbudakan” yang bengis
dan kejam. Puluhan ribu romusha mati lantaran kelaparan, kekurangan makan,
penyakit-penyakit tropis yang tidak mendapat pengobatan. Juga banyak romusha
yang mati lantaran kerja berat yang yang tidak berkeperimanusiaan, juga yang
mati lantaran pemboman-pemboman yang dahsyat menjelang akhir perang.
Musuh-musuh politik Sukarno-Hatta menganggap dua pemimpin itu menyerahkan
bangsanya secara sukarela untuk menjadi romusha [60]
*Tahun 1958 semua milik Belanda di Indonesia
dinasionalisasi. Dalam tahun 1963 terjadi nasionalisasi semua milik Inggris di
Indonesia [70].
Catatan:
[44] Lihat catatan [18].
[45] Untuk keterangan Sumarsono, lihat catatan [7] dan untuk Suripno lihat catatan [38].
[46] Kahin, Nationalism and Revolution (Nasionalisme dan Revolusi), p. 287.
[47] Menurut keterangan-keterangan Sumarsono pada tanggal 11 November 1949 (lihat catatan kaki 7, p. 2).
[48] D.C. Anderson, “The Military Aspects” (Aspek-aspek Militer), p. 15.
[49] ibid.
[50] ibid.
[51] Keterangan-keterangan Sumarsono.
[52] ibid.
[53] ibid.
[54] D.C. Anderson, “The Military Aspects” (Aspek-aspek Militer), p. 25.
[55] Keterangan-keterangan Sumarsono, p. 5.
[56] Penuturan dari Moorianto.
[57] Keterangan-keterangan Sumarsono.
[58] Dinas Penyuluhan Pemerintah (RVD), Glashnews No. 2. Kup di Madiun – Kekhususan II, Batavia, 20 September 1948.
[59] Penuturan-penuturan Ruth Mc. Vey kepada D.C. Anderson - “The Military Aspects” (Aspek-aspek Militer), p. 27.
[60] Lihat keterangan tambahan (*).
[61] H.J.H. Alers, Om een rode of groene Merdeka: 10 jaren binnenlandse politiek; (Bagi Merdeka yang merah atau hijau; 10 tahun politik dalam negeri), Indonesia, 1943-1953, Eindhoven, 1956, p. 190.
[62] Kantor Berita Aneta, 20 September 1948.
[63] ibid.
[64] Keterangan-keterangan Sumarsono.
[65] Lihat juga Bintang Merah, Agustus-September 1951.
[66] Dokumen GMI No. 5334 – Terjemhan ke Bahasa Belanda dari pernyataan dari pengurus Dewan Pertahanan dari Pengurus Besar Masyumi 7 Oktober 1948.
[67] Percakapan dengan Moorianto pada tanggal 25 April 1979.
[68] Buku Putih tentang Peristiwa Madiun, Jakarta, tidak ada keterangan tahun.
[69] Percakapan dengan Parna yang juga termasuk salah seorang dari sejumlah besar tahanan.
[70] Lihat keterangan tambahan
(*).
Martin L Mau menanggapi
soal Madiun dijadikan sebagai basis dan daerah pengunduran diri. Ada versi yang
menyatakan, sejak Musso datang dengan Resolusi Jalan Baru-nya, FDR/PKI
mempersiapkan dislokasi pasukan ke demarkasi. Bisa dibaca dalam "Yang
Berlawan: Kumpulan Catatan Untuk Tambahan Bahan Studi", hlm. 195 yang
ditulis oleh S. Kromorahardjo: ”Sebelum memulai Kampanye Jalan Baru, PKI sudah
mempersiapkan dislokalisasi pasukan untuk memimpin dan mengorganisir rakyat
melakukan perlawanan di daerah pendudukan Belanda. Dislokalisasi pasukan ini
memiliki arti strategis, dimana rakyat akan melihat siapa pihak yang paling
konsekwen berjuang melawan Belanda, sekaligus menciptakan situasi tidak stabil
di daerah pendudukan Belanda. Dengan menguatnya dukungan rakyat terhadap PKI
dan terciptanya situasi yang tidak stabil di daerah pendudukan Belanda ini maka
praktis persetujuan gencatan senjata menjadi lumpuh dan persetujuan Renville
menjadi terhapus." Mr. Siregar dalam dalam buku "Tragedi Manusia dan
Kemanusiaan: Holokaus Terbesar Setelah NAZI", hlm. 22, menulis: “Gagasan
mengenai dislokasi pasukan berasal dari hasil-hasil percakapan antara Musso
dengan kader-kader PKI seperti Jenderal Mayor Sudradjat, bekas kepala seksi
amunisi Kementerian Pertahanan, Supeno, bekas Inspektorat Pemuda Biro
Perjuangan, Nata, Bekas Ketua Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia
Keresidenan Kediri serta beberapa komandan-komandan pasukan yang mendukung PKI.
Tidak lama setelah itu, sejumlah komandan lasykar rakyat bergerak menuju
demarkasi. Resimen Tenggor yang dipimpin oleh Sugiri bergerak menuju
Temanggung. Langkah dan tujuan yang sama juga dilakukan oleh batalyon eks-Pesindo
Pekalongan, yang dipimpin oleh Mayor Mahmud. Konsolidasi antar pasukan semakin
diintensifkan untuk mewujudkan perlawanan di daerah pendudukan Belanda ini.
Satuan-satuan dari unsur Pesindo, Lasykar Buruh, Lasykar Merah dan Lasykar
Rakyat yang selama ini berada di bawah berbagai panji, akan disatukan di bawah
satu panji dan satu komando, yang akan diadakan pada Kongres Fusi bulan Oktober
1948."
0 komentar:
Posting Komentar