Muhamad Ridlo - 27 Sep
2019, 02:00 WIB
Mantan Pengawal Panglima Besar Jenderal Soedirman, Pendeta Dr. Abu
Arifin (Mayor Purnawirawan). (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Purbalingga - Pertengahan dasarian kedua September
2019, rumah mungil bercat putih, di Purbalingga, Jawa Tengah, itu nampak sepi.
Ini lah rumah mantan Pengawal Jenderal Soedirman, DR Abu Arifin, yang
belakangan dituduh simpatisan PKI lantaran dekat dengan Presiden Soekarno.
Namun, tak lama kemudian, sebuah sedan tua melambat dan
berbelok ke garasi sederhana rumah mungil itu. Lantas, keluarlah Abu Arifin,
pengawal setia Jenderal Soedirman yang juga sempat mengawal Presiden Soekarno.
Barangkali, namanya tak sepopuler Suparjo Rustam atau
Tjokropranolo. Berlatar belakang sama-sama militer, dua orang yang disebut
belakangan itu bernasib lebih beruntung.
Suparjo Rustam misalnya, menjadi Menteri pada masa orde
baru (Orba). Tjokropranolo alias Nolly, menjadi Gubernur Jakarta, pengganti Ali
Sadikin.
Berbeda dengan kedua orang itu, Abu Arifin justru sempat
merasakan menjadi pesakitan selama berpuluh-puluh tahun. Stigma bahwa ia dekat
dengan PKI begitu
sulit dihapus.
Alikisah, pada 1946, ia terpilih menjadi anggota Batalyon
Mobile Polisi Tentara yang lantas berubah menjadi Batalyon Mobile Polisi
Militer. Ini lah cikal bakal Korps Polisi Militer.
Boleh dibilang, ini lah pasukan elit pertama yang
dimiliki Republik Indonesia yang masih begitu muda. Di sini, terkumpul
tentara-tentara pilihan dari berbagai angkatan dan kesatuan.
“Senjatanya lebih lengkap. Itu hadiah dari Austria kepada Jenderal Soedirman,” ucapnya.
Ia nampak masih fasih mengucapkan kata demi kata. Kesan
renta perlahan padam. Semangatnya luar biasa. Ingatannya masih tajam untuk
menceritakan peristiwa nyaris 80 tahun lalu hingga masa revolusi 65 atau PKI.
Mengawal Jenderal
Soedirman dan Presiden Soekarno
Mantan Pengawal Panglima Besar Jenderal Soedirman, Pendeta Dr. Abu
Arifin (Mayor Purnawirawan), dengan seragam lengkap purnawirawan militer.
(Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Meski disebut batalyon, Batalyon Mobile Polisi Tentara
dianggap setara dengan divisi. Sebabnya, batalyon khusus ini dipimpin oleh
Mayor Jenderal Santoso. Tugas yang diembannya juga khusus dan berat.
Mereka berperang, tetapi sekaligus juga mengawal
orang-orang paling penting di republik ini. Kompi 1 dipimpin oleh Kapten
Tjokropranolo alias Nolly, bertugas mengawal Jenderal Soedirman.
Kompi 2 Kapten Sumantri, bertugas mengawal Wakil Presiden
Hatta, para menteri, dan pejabat militer. Adapun Kompi 3, dipimpin oleh Kapten
Susatyo, bertugas mengawal Istana Negara dan Presiden Soekarno.
“Kekuatanya sekitar 200 orang. Jadi bolak-balik, ke medan perang, balik mengawal lagi. Kecuali Kompi 3, semua anggota bergantian terjun ke medan perang, saat dibutuhkan,” dia menjelaskan.
Abu Arifin kali pertama bertugas di Batalyon Mobile
Polisi Tentara bertugas di Kompi 1, mengawal Jenderal Soedirman. Namun, ia
sempat dipindah tugas mengawal Presiden Soekarno, selama empat bulan.
Perkenalannya yang begitu dekat dengan Soekarno
betul-betul membuatnya mengidolakan proklamator ini. Pemikiran Soekarno,
semangatnya membela negara dan keberaniannya, begitu merasuk dan berpengaruh
kepadanya.
Hanya empat bulan ia mengawal Soekarno. Ia lantas
dikembalikan ke Kompi 1, yang bertugas mengawal Jenderal Soedirman, baik dalam
keadaan damai maupun perang.
Ia turut dalam perang gerilya hingga Belanda mengakui
kedaulatan RI. Dengan setia, ia mengawal Panglima Jenderal Sodirman dalam perang,
pelarian, penyusupan, hingga pengaturan strategi perang dari dalam hutan yang
begitu melelahkan.
Keluarga Jadi
Sasaran
Mantan Pengawal Panglima Besar Jenderal Soedirman, Pendeta Dr. Abu
Arifin (Mayor Purnawirawan) di perpustakaan sekaligus ruang dokumen sejarah.
(Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Singkat cerita, Jenderal Soedirman wafat. Para
pengawalnya lantas tersebar di kesatuan yang berbeda. Waktu berlalu dan tiba
pada 1964, Abu Arifin memutuskan pensiun dini.
Ia memilih berkumpul dengan keluarganya. Kebetulan,
istrinya, Sutari bekerja di Balai Pelatihan Kerja (BLK) Dinas Tenaga Kerja di
Semarang.
Sesaat berkumpul dengan keluarganya, prahara bernama
G30SPKI itu terjadi tanpa terelakkan. Abu Arifin dan keluarganya kena getahnya.
Empat bulan menjadi pengawal Soekarno justru menjadi
alasan intel tentara untuk menangkapnya. Ia dianggap sebagai Soekarnois dan
harus dibasmi.
Orde Baru, membersihkan semua yang berbau Soekarno.
Secara keji, mereka bahkan dituduh simpatisan PKI.
“Saya pengawal Soekarno, istri saya mengidolakan Soekarno. Semuanya dibersihkan, secara keji dengan jargon bahaya laten komunis,” dia menuturkan.
Tak mau menanggung dosa yang tidak dilakukannya, Abu
Arifin kabur. Ia bersembunyi di Tanjung Karang, Lampung, kemudian ke Jambi.
Keluarganya jadi sasaran. Istrinya didatangi intel
tentara dan dituduh menyembunyikan buron. Sutari ditampar berkali-kali.
Bahkan kemudian dipenjara tanpa persidangan kurang lebih
setahun di Penjara Bulu, Semarang. Belakangan, tuduhan itu tak terbukti dan
Sutari dibebaskan.
Rekonsiliasi dan
Pengakuan Jasa
Mantan Pengawal Panglima Besar Jenderal Soedirman, Pendeta Dr. Abu
Arifin (Mayor Purnawirawan) di perpustakaan sekaligus ruang dokumen sejarah.
(Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Nun di pulau seberang, Abu Arifin terus bersembunyi. Ia
baru kembali ketika Sudomo menjadi menteri. Ia tak lagi bersembunyi.
Satu per satu keluarganya jadi sasaran. Adik istrinya,
dibuang ke Digoel, dan baru kembali belasan tahun kemudian. Kemanakan, paman
dan saudara lainnya ada pula yang lenyap tanpa diketahui nasibnya.
“Setelah Sudomo naik, saya bisa pulang. Tapi saya tidak mendapat pensiun dari dinas militer saya,” ujarnya.
Abu Arifin kehilangan harta dan kehormatan. Namun, itu
tak membuatnya putus asa. Abu Arifin lantas memutuskan untuk menjadi pendeta.
Dan itu semua dilakukan dari rumah kontrakannya yang kecil di Purbalingga.
Zaman berubah, masa berganti. Semenjak reformasi, kran
kebebasan dibuka. Abu Arifin lebih leluasa. Hingga kini, ia menjadi penngajar
Sekolah Tinggi Teologi (STT) Bandung.
Pada akhirnya, jasa-jasanya sebagai pejuang kemerdekaan
diakui. Pada 2013, semasa pemerintahn Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia
memperoleh hibah rumah yang kini ditempati dengan anak bungsunya.
“Saya menjadi pendamping rohani napi, memimpin kebaktian di beberapa lapas juga,” ucapnya.
Di usia nyaris seadab, tepatnya 97 tahun, Abu Arifin tak
lagi menyimpan dendam. Ia mengikhlaskannya kepada Tuhan. Di usia senja ini, ia
masih bermimpi membuat sebuah buku catatan perjalannya semasa perang
kemerdekaan hingga menjelang akhir hayat.
0 komentar:
Posting Komentar